Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 7)


JEJAKMISTERI - "Wes Kang, mlebuo!" (Sudah Kang, masuklah!) Dengan tergugup penuh rasa takut Kolis pun melangkah menuruti ucapan Ilham. Menapaki rumput-rumput liar yang terkadang membuatnya harus menahan perih lantaran kulit kakinya tergores daunnya yang tajam.

Sesampainya ia di depan gundukan tanah berukuran 3x2 membulat, Kolis kembali terdiam. Siutan aroma pandan mengawali gemuruh dadanya, sebelum kabut tipis yang tetiba muncul menyelimuti gundukan tanah di depannya memudar memunculkan satu sosok lelaki bertubuh gempal berbungkus kain putih kusam.
Sosok lelaki itu menatap Kolis tajam. Raut kesengsaraan terpancar jelas dari balik wajah pucat pasinya, menimbulkan rasa takut tersendiri bagi Kolis.

"Mbah, Kulo ijin njaluk lemah e" (Mbah, Saya ijin mintak tanahnya)

Pelan dan bergetar suara Kolis, sembari meletakan lampu ke tanah. Tepat di saat itu sosok lelaki berperut buncit dengan kulit mengelupas tiba-tiba menghilang, tetapi masih meninggalkan wangi pandan.

Tak ingin berlama-lama, Kolis segera mendekat ke arah batu berukir yang tertancap tegak di ujung gundukan dengan tulisan sebuah nama Broto. Satu persatu tujuh buah dupa Kolis tancapkan berjejer di depan nisan setelah membakar ujungnya.

Kepulan asap putih seketika membumbung dengan aroma khas menyengak dari tujuh buah dupa yang terbakar. Menambah keangkeran Serut Muter, terkhusus di area kuburan Broto.
Menyadari di sekitaran tempat itu mulai muncul suara-suara aneh, Kolis buru-buru mengeluarkan kain hitam dari sakunya. Tangannya dengan sedikit tergesa segera meraup beberapa kali tanah gembur paling atas gundukan.

Di rasa cukup, Kolis kemudian menyimpan bungkusan tanah di sakunya dan meraih lampu yang ia letakan. Segera ia membalikan badan berniat untuk kembali ke tempat Ilham menunggu.
Namun belum sempat ia melangkah, Kolis terperanjat kaget melihat sekelilingnya tiba-tiba berubah.

Bukan lagi berupa Serut di tumbuhi rumput liar, melainkan tanah kosong terhampar luas.
Kolis bingung, jiwanya tercekam, merasai bila dirinya seperti tengah berada di tempat luas, tetapi terasa sempit untuk bernafas.

Tubuhnya sudah tak dapat membendung lagi kucuran keringat, menetes deras, sederas rasa takutnya yang muncul bersamaan suara teriakan keras menyayat dari seorang sosok lelaki berperut buncit di hadapannya.

Sosok itu terus berteriak, berguling-guling sambil memegangi perutnya. Seakan tengah merasai sakit luar biasa dari dalam perut yang terlihat semakin lama semakin menghitam.

Pemandangan mengerikan pun kemudian tersaji di depan Kolis. Perlahan kulit perut sosok lelaki itu mengelupas, menumpahkan lelehan cairan kental beraroma busuk, membuat mual sesiapapun yang menciumnya termasuk Kolis sendiri.

Jerit menyayat terus menggema, meski sosok lelaki itu tak lagi berguling-guling. Namun kini keadaannya semakin mengerikan, bukan hanya kulit perutnya yang mengelupas gosong, tetapi dari pangkal pahanya juga mulai terlihat rembesan darah deras mengalir.

Kolis sendiri sudah tak merasakan lagi detak jantung dan desiran darah dari tubuhnya, menyaksikan pemandangan mengerikan yang entah dari mana datangnya. Tetapi, melihat dari sosok lelaki itu, Kolis sedikit teringat akan sosok yang pertama ia lihat di samping gundukan tanah, yang dirinya duga adalah sosok Broto.
Selagi Kolis masih di rundung rasa takut dan ngeri, sayup-sayup telinganya tersusupi suara alunan gamelan.

Tak lama, dari samping kanannya muncul sesosok wanita setengah baya dengan menari mengikuti alunan gamelan, mendekat ke arah sosok lelaki berperut buncit yang sudah sekarat.
Sosok wanita itu terus menari mengitari tubuh lelaki yang hanya bisa mengerang kesakitan.

Tiap kali suara Gong menggaung, wanita itu selalu menghentakkan kakinya ke tanah, seketika bersamaan dengan hal itu, dari mulut lelaki yang terkapar, menyembur darah merah serta gumpalan-gumpalan hitam sebesar ujung jari kelingking.

Ingin rasanya Kolis menolong lelaki itu, tetapi untuk bergerak saja kakinya tak mampu, sehingga hanya bisa melihat betapa menderitanya sosok itu, tersakiti yang entah oleh apa sebabnya.

Sebentar Kolis merasakan keheningan, kala sang wanita setengah baya bersanggul mahkota kecil menghentikan tariannya. Lalu wanita itu melangkah dan duduk bersimpuh di samping atas sosok lelaki sedikit lebih tua darinya.

Kemudian tangannya menarik pelan kepala sang lelaki serta meletakan di pangkuannya. Tanpa rasa jijik, di usap lelehan darah kental dari mulut lelaki itu menggunakan tangan tak beralas.

Namun bukan raut senang di tunjukan wajah sang lelaki meski dengan telatennya jari tangan wanita yang memangkunya membersihkan bibir sampai ke dagu. Tetapi sebaliknya, ketakutan bercampur amarah tersirat dari sorot matanya yang tajam menyala.

"Delok neh, Kang. Loromu iki ilang. Tenango, bakal tak gawekne dewe kanggo ngubur. Aku jane gak tegel, tapi Koe wes gawe aku loro disek"

(Sebentar lagi, Kang. Sakitmu ini hilang. Tenanglah, akan Saya buatkan sendiri untuk menguburmu. Saya sebenarnya tidak tega, tapi Kamu sudah buat Saya sakit duluan)

"Koe ko iso ketemu anakmu wedok. Nek anakmu lanang aku seng ngurus, ojo kuwater"
(Kamu nanti bisa ketemu Anak perempuanmu. Kalau Anak lelakimu Saya yang ngurus, tenang saja)

Lembut, terdengar suara sosok wanita itu. Bahkan dengan penuh kasihnya, selesai membersihkan darah kental tangannya mengusap kepala dan rambut lelaki bertubuh gempal dalam pangkuannya.

Namun lagi-lagi katakutan teramat sangat malah di tunjukan sang lelaki. Berkali-kali ia membuat gerakan berontak, tetapi setiap kali kepalanya terangkat, darah dengan deras mengucur dari mulutnya.

Kali ini sosok wanita itu tersenyum sinis, lalu melantunkan sebuah tembang menyayat terkandung aura mistis. Sampai pada bait terakhir, sosok wanita itu mengatupkan rapat-rapat dua bola matanya hingga beberapa tarikan nafas.

Tak lama, setelah membuka kembali matanya, sang wanita kembali tersenyum sembari menatap ke depan, dimana sesosok lelaki bertubuh tegap dengan pakaian layaknya seorang bangsawan berjalan ke arahnya.

Wajah sosok lelaki muda itu terlihat putih bersih, sangat kontras dengan rambut sebahunya yang hitam mengkilap, menambah aura kewibawaannya. Tetapi, ketika pandangan dialihkan ke atas, tepat di belakang mahkota perak yang di kenakan sang lelaki muda, tak ayal akan tersurut mundur mendapati dua buah tanduk merah menyala.
Hal itu juga di alami Kolis. Walau kedua kakinya tak mampu menapak, Kolis terduduk di tempat ketika matanya melihat kehadiran sosok lelaki tampan, namun mengerikan.

Sedikit berbeda dengan keadaan lelaki gempal yang tak berdaya. Matanya melotot dan mengerjab kencang. Kedua kakinya pun berusaha menghentak, melihat sosok lelaki muda bertanduk mendekatinya.

"Monggo, Kang Mas..." (Silahkan, Kang Mas...) Lirih ucapan sosok wanita kepada lelaki muda yang telah berdiri di bagian bawah lelaki bertubuh gempal. Sebentar mengangguk dan berjongkok di antara sela-sela kaki lelaki berkumis yang semakin ketakutan.

Jerit menyayat kembali menggema dari mulut lelaki yang sudah tak berdaya. Tubuhnya mengejang, mengeliat kuat serta mata membelalak lebar, merasai sakit luar biasa kala sosok bertanduk menarik paksa alat Vitalnya.

Auman disertai tawa menggelegar keluar dari mulut sosok bertanduk. Tangannya yang terlumuri darah oleh segumpal daging alat Vital terangkat ke atas sebelum memasukannya ke dalam mulut lebarnya.

Melihat hal itu, sosok wanita menyunggingkan senyum. Tak ada kengerian tersirat pada wajahnya seperti halnya Kolis.

Senyum sang wanita semakin melebar, manakala matanya melihat sosok lelaki di pangkuannnya tersengal-sengal.

Tak sampai sepuluh tarikan nafas, tubuh lelaki gempal dengan perut buncit terkulai dengan mata melotot ke atas.

Saat itu bagi Kolis dunia terasa gelap gulita. Ketakutan, kengerian, menyatu mengguncang jiwanya. Hampir saja ia tak sadarkan diri, namun sebelum ia roboh, satu cengkraman kuat pada pundak dengan di barengi sebuah tangan menutup wajah, menyeret paksa tubuhnya.

Kolis merasakan bila saat itu seperti berlari di padang rerumputan. Seakan berkejaran dengan lengkingan tawa dari dua suara berbeda yang seperti berada di belakangnya.

Beberapa kali ia berusaha untuk membuka mata dan melepas cengkraman dua tangan yang menyeretnya.

Tetapi dirinya seolah tak mempunyai tenaga, dan hanya bisa terus mengikuti seretan dari sepasang tangan yang entah akan membawanya kemana.

Kolis baru menyadari bila ia di bawa menjauh, setelah lengkingan tawa mulai terdengar sayup dan kemudian lenyap. Berganti suara gemerasak dari kakinya yang menginjak dedaunan kering.

Tak lama tubuhnya limbung dan terhempas beberapa jengkal, saat dua tangan yang tadinya mencengkram tetiba melemparkannya.

Perlahan Kolis membuka mata, menatapi tempat sekilingnya yang di penuhi rerimbunan semak. Ia baru benar-benar tersadar manakala matanya melihat dua buah pohon jati besar berjejer, meyakinkan jika dia telah kembali ke tempat awal dirinya memasuki Serut Muter.

"Untung gak telat, Kang. Nek ora, iso rong dino rong bengi dewe nang kene!" (Untung tidak terlambat, Kang. Kalau tidak, bisa dua hari dua malam kita disini!)

Kolis seketika menoleh. Mendapati Ilham yang sedang meneteng lampu dan mendekatinya.

Kebingungan Kolis akhirnya terjawab. Bahwa yang telah menyeretnya adalah Ilham. Kolis pun sebentar mengingat kembali, namun tak mampu ia teruskan.

"Ayo Kang, muleh. Wes meh subuh iki" (Ayo Kang, pulang. Sudah hampir subuh ini) seru Ilham yang sudah berada di atas motor tuanya.

Kolis yang masih sedikit pusing dan bingung, bergegas membonceng di belakang sambil meneteng lampu yang telah padam.

Membayangkan kengerian di tempat itu, membuatnya ingin segera meninggalkan dan berharap untuk tak kembali lagi selamanya.

***

Apa yang di ucapkan Ilham memang tak meleset. Baru saja mereka memasuki perkampungan, lantunan suara Adzan Subuh berkumandang.

Membuat Kolis tertegun seolah tak percaya bila ia begitu lama berada di Serut Muter.

Sesampainya di gubuk tirakat Ilham, Kolis terduduk. Pikiranya melayang, mengingat kembali kejadian yang ia lihat. Terasa mustahil, tetapi sangat membekas dalam benaknya.

"Opo seng tok pikir, Lis" (Apa yang Kamu pikir, Lis)
Sebuah suara akhirnya membuyarkan memori di kepala Kolis. Ia pun segera berpaling dan mendapati sosok Mbah Waris telah berada di belakangnya.

"Eh, Mbah" sahut Kolis tergagap.

"Kenek opo kok ngasi isuk ngene?" (Kenapa kok bisa sampai pagi begini?) tanya Mbah Waris sambil menghenyakan pantatnya, duduk di hadapan Kolis.

Sejenak Kolis terdiam sembari menarik nafas dalam-dalam. Seteguk air kopi yang baru di hidangkan Ilham, menjadi awal ceritanya pada Mbah Waris.

Sesekali Mbah Waris mengangguk. Terkadang seperti serius mendengarkan, hingga sampai akhir cerita, raut wajahnya datar, menandakan tak terkejut dengan cerita mengerikan Kolis.

"Yo ngunu kui biyen matine Broto. Gawe tumbal Adine dewe" (Ya seperti itu dulu meninggalnya Broto. Untuk tumbal Adiknya sendiri) ucap Mbah Waris.

"Berarti wong wedok seng tak delok kui, Rahmi biyene, Mbah? terus seng lanang sirahe sungunen?" (Berarti perempuan yang saya lihat itu, Rahmi dulunya, Mbah? terus lelaki yang kepalanya bertanduk?) tanya Kolis dengan wajah mempias ngeri.

"Iku seng di sembah Rahmi. Kabeh wong seng dadi tumbale Rahmi, mesti kilangan barang vitale. Mergo iku dadi panganane Rojo Gotroh, Iblis Alas Geong seng di sembah, sekaligus bojo batine Rahmi"

(Itu yang di sembah Rahmi. Semua orang yang jadi tumbalnya Rahmi, pasti kehilangan alat vitalnya. Karena itu jadi makanannya Rojo Gotro, Iblis penghuni Alas Geong yang di sembah, sekaligus Suami ghaibnya Rahmi) jelas Mbah Waris.

"Kabeh kuburan seng bakal tok jikok lemahe, bakal meruhi piye matine. Mulo Ilham tak kon melu supoyo awakmu iso metu lan balek meneh" (Semua makam yang akan kamu ambil tanahnya, bakal memberi gambaran bagaimana meninggalnya.

Makanya Ilham Saya suruh ikut supaya kamu bisa keluar dan pulang lagi) sambung Mbah Waris menerangkan.

Terjeguk kaget Kolis mendengar penuturan Mbah Waris. Bayang kengerian seolah menari di ujung mata akan kesadisan sosok Rahmi beserta Iblis junjungannya.

Apalagi bukan hanya satu gambaran saja, melainkan masih tersisa Enam, termasuk gambaran kematian Bapaknya sendiri.

"Mangke ndalu kuburane sinten maleh, Pak?" (Nanti malam kuburanya siapa lagi, Pak?) Ilham, yang duduk di samping Kolis angkat bicara menanyakan tentang tanah kuburan siapa lagi yang bakal di ambil Kolis bersama dirinya.

"Seng bakal mbok parani mengko bengi rodok adoh seko kene. Tapi kuburan iku gak koyo gone Broto seng di dewekne. Mangkato rodok sore, tengerono disek, mergo gak iso awakmu gowo lampu mlebu nek wancine Sengkolo wes ketutup"

(Yang akan kalian datangi nanti malam sedikit jauh dari sini. Tapi kuburan ini tidak seperti punya Broto yang di sendirikan. Berangkatlah agak sore, tandai dahulu, karena tak bisa kalian membawa lampu masuk jika waktu Sengkolo sudah tertutup) jawab Mbah Waris.

Mendengar hal itu, Kolis dan Ilham saling tatap. Tampak keduanya saling membayangkan bagaiman suasana tempat itu tanpa penerangan.
Terutama bagi Kolis. Sebab tugas terpentingnya adalah mendapatkan tanah kubur yang di maksud.

"Niku kuburan sinten, Mbah?" (Itu kuburan siapa, Mbah?) tanya Kolis sedikit penasaran.

"Iku kuburane Rasmoyo. Anak e Broto seng lanang, Bapakne Sanira" (Itu kuburannya Rasmoyo. Anaknya Broto yang laki-laki, Bapaknya Sanira) jawab Mbah Waris singkat.

Jawaban Mbah Waris kali ini membuat Kolis termangu. Terbayang olehnya sosok Mbah Sanir yang telah ikut mengorbankan diri demi menghentikan kesadisan Murti Rahmi. Hal itu ternyata di dasari oleh ikatan darah yang ternodai oleh keserakahan, hingga harus mengorbankan satu sama lain.

Tentunya, sedikit banyak Mbah Sanir ingin membalaskan dendam atas kematian seluruh keluarganya, melalui tangan Kolis.

"Artine Mbah Sanir iku keturunan terakhir seko Broto" (Artinya Mbah Sanir itu keturunan terakhir dari Broto) gumam Kolis sendiri.

"Iyo. Sanira iso slamet teko tuo mergo gak mbojo. Lan kui ngunu mergo Mbahmu seng nulong. Mulo di lungakne adoh bareng karo Lekmu Latip supoyo ora keno Srenggi patine Rahmi" (Iya. Sanira bisa selamat sampai tua karena tak bersuami.

Dan itu juga karena Kakekmu yang menolong. Sebab itu di tempatkan jauh bersama Pamanmu Latip supaya tidak terkena Srenggi patinya Rahmi) jelas Mbah Waris.

"Wes, istirahato saiki. Ko sore budalo, ojo ngasi kewengen" (Sudah, istirahatlah sekarang. Nanti sore berangkat jangan sampai kemalaman)

"Ilham wes ngerti nandi kuburane Rasmoyo. Tapi tugase dekne mek ngeterke, karo ngetokke awakmu seko Klewung lelembut seng nggambarke matine dadi korbane Rahmi" (Ilham sudah tau tempat kuburannya Rasmoyo. Tapi tugas dia hanya mengantar dan mengeluarkanmu dari Klewung lelembut yang menggambarkan kematiannya saat jadi korbannya Rahmi)

Selesai berucap, Mbah Waris bangkit. Tak ketinggalan tangannya meraih bungkusan kain hitam berisi tanah kuburan Broto yang di dapatkan Kolis.

Selepas kepergian Mbah Waris, Ilham segera beranjak membaringkan tubuh. Sedang Kolis masih terdiam, menyelami pikirannya yang bercampur aduk. Ada bersitan rasa kangen pada Anak dan Istrinya, tetapi kini tanggung jawabnya sangat menuntut untuk dirinya berpisah sementara.

Menjelang sore, Ilham yang sudah terbangun dan menyempatkan diri mengambil makanan dari rumah Mbah Waris bergegas membangunkan Kolis. Dengan sedikit malas Kolis mengguyur tubuh lelahnya dan di teruskan menghampiri Ilham yang telah selesai menyantap sebagian makanan yang di bawanya.

Tak berapa lama, keduanya telah bersiap. Tanpa meninggalkan segala keperluan untuk menuju sebuah tempat yang bakal menjadi giliran ke dua, untuk Kolis mengambil tanah sebagai salah satu persyaratan.

Dua jam lebih perjalanan yang di tempuh Kolis dan Ilham kali ini. Meski tak ada gangguan apapun, mengingat hari yang masih terang, tetap saja kecemasan menghantui jiwa Kolis. Apalagi, saat memasuki perkampungan tempat dimana Rasmoyo di kuburkan, perasaan Kolis semakin was-was.

Akhirnya Ilham pun menghentikan laju kuda besinya, di sebuah jalan kecil masuk area persawahan. Ia pun meneruskan berjalan kaki ke sebuah tempat berpintu gerbang potongan bambu bersusun, tanpa Kolis.
Beberapa saat menunggu, Ilham pun kembali.

Sebentar berbincang memberitahukan tentang sebuah tanda yang di letakan pada kuburan Rasmoyo, sebagai pengingat Kolis nantinya.
Kolis hanya mengiyakan dan mengikuti Ilham yang kembali masuk ke kampung. Sampai di sebuah rumah joglo berhalaman luas, Ilham memarkirkan roda duanya.

Keduanya kemudian berjalan mendekati pintu kayu berukir yang tertutup. Sekian detik menunggu setelah Ilham mengetuk di sertai ucapan salam, bunyi derit pintu terbuka memunculkan seraut wajah tua bertutup kepala blangkon, memandang keduanya dengan tatapan sedikit heran.

"Nyuwun sewu, Mbah. Kulo Ilham, putro angkate Mbah Waris" (Mohon Maaf, Mbah. Saya Ilham, Anak angkatnya Mbah Waris) ucap Ilham dengan sopan mengenalkan diri.

"Oalah, Anak e Waris. Ayo mlebu le..." (Oalah, Anaknya Waris. Ayo masuk Nak...) sahut sang pemilik rumah sambil tersenyum memamerkan deretan gigi hitamnya.

Di bawah keremangan lampu gantung, Kolis dan Ilham di persilahkan duduk pada kursi kayu membentuk persegi empat.

Baru berbasa-basi sebentar, tiga buah cangkir berisi kopi panas tersaji, yang di bawakan oleh seorang wanita setengah baya dari arah belakang.
Meminum seteguk, Ilham dan Kolis terdiam saling pandang ketika satu pertanyaan terlontar dari bibir lelaki tua berblangkon pada mereka.

Membuat suasana sedikit canggung, sebelum seutas senyum ramah tersungging dari sudut bibir sang tuan rumah, melegakan hati Ilham dan Kolis.

"Aku ki guyon, Le. Kopine gak opo-opo. Ombenen" (Saya cuma bercanda, Le. Kopinya gak apa-apa. Minumlah) ucap lelaki tua sambil terkekeh, melihat ketakutan Ilham dan Kolis saat ia memberi pernyataan tentang kopi yang rasanya memang berbeda.

"Tapi seng bener kui yo memang enek bedone karo kopi biasane. Mergo awakmu rene gowo konco akeh, dadi tak gawe bedo supoyo podo gak iso melu ngombe"

(Tapi yang benar itu memang ada bedanya sama kopi biasanya. Karena Kamu kesini bawa teman banyak, jadi Saya buat berbeda supaya mereka tidak bisa ikut minum)

Kali ini Kolis dan Ilham pun sama-sama tersentak mendengar penuturan lelaki itu. Wajah keduanya menegang, manakala menyadari jika kalimat teman banyak adalah teman lelembut. Terutama Ilham, ia yang mengerti tentang hal seperti itu, segera bangkit dan melangkah keluar.

Waktu memang telah memasuki surup dan petang, tetapi bagi mata Ilham saat itu masih bisa melihat dengan jelas di halaman telah berdiri puluhan sosok berkain putih lusuh dengan wajah hitam gosong.
Meski sepintas tak ada rasa takut pada diri Ilham, tetapi ada kekawatiran tersirat, mengingat puluhan pocong berwajah gosong tanpa bola mata itu, berasal dari tanah kuburan yang baru saja ia tandai salah satunya, Kuburan Rasmoyo.

Ilham segera menutup pintu dan kembali duduk, menatap lekat pada Kolis, sebelum mengalihkan tatapannya pada sang lelaki tua.

"Nopo kok podo ngetutke kulo, Mbah Damiri?" (Kenapa mereka mengikuti Saya, Mbah Damiri?) tanya Ilham pada lelaki tua yang di panggilnya Mbah Damiri.

"La Awakmu mau nang kuburan gawe opo?" (La Kamu tadi di kuburan berbuat apa?) sahut Mbah Damiri balik bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, Ilham segera menceritakan semua tujuannya. Beberapa kali terlihat Mbah Damiri menggelengkan kepalanya, dengan guratan wajah sulit di tebak.

Sampai pada akhir penuturan Ilham, Mbah Damiri terdiam. Seperti tengah merenungi atau mencerna cerita Ilham.

"Waris ngunu gak salah ngongkon awakmu nglakoni kui. Tapi seng tak pikir, masio awak-awakmu iso intok kabeh syarat kui, tetep bakal enek korbane"

(Waris sebenarnya tidak salah menyuruh kalian melekukan itu. Tapi yang saya pikirkan, walaupun Kalian bisa mendapatkan semua syarat itu, tetap akan ada korbanya) Ucap Mbah Damiri terbaluri kecemasan.

"Kuburane Rasmoyo ora podo kuburan liane. Pocong-pocong seng neng njobo kae podo ora trimo karo awakmu. Mergo iku memang tandurane Rahmi biyen ge njogo mayite Rasmoyo"

(Kuburannya Rasmoyo tidak sama dengan kuburan lainnya. Pocong-pocong yang ada di luar itu tidak terima dengan Kamu. Karena itu memang di tanam Rahmi dulu untuk menjaga mayat Rasmoyo) sambung Mbah Damiri.

"Trus pripun niki, Mbah" (Terus gimana ini, Mbah?) tanya Kolis yang tegang dan cemas setelah mendengar penjelasan Mbah Damiri.

"Aku gak iso mastekne kepiyene. Nek masalah awakmu njikok lemah kuburane Rasmoyo aku iso mbantu. tapi masalah urusan karo keluargane Rahmi, tak serahke karo Waris. Memang salah sewijine syarat kanggo medot pesugihane Rahmi seng saiki wes di wariske nang anak e, si Ratri, yo bener banyu pitung sumber karo lemah kuburan wong-wong seng di dadekno tumbal"

(Aku tidak bisa memastikan bagaimananya. Kalau masalah Kamu mau mengambil tanah kuburan Rasmoyo Saya bisa bantu. Tapi untuk masalah urusan dengan keluarga Rahmi, Saya serahkan pada Waris. Memang salah satunya syarat untuk memutus persekutuan yang sekarang di wariskan pada anaknya, Si Ratri, benar Air tujuh sumber dengan tanah kuburan dari orang-orang yang di jadikan tumbal) terang Mbah Damiri.

"Mengko mangkato nang kuburane Rasmoyo, rodok wengi sitik. Pas Sengkolo ketutup. Gawanen beras iki, kanggokne pas awakmu mari oleh lemahe. Nek kepepet di ganggu karo bongso lelembut opo wae, sawurke"

(Nanti berangkatlah ke kuburannya Rasmoyo agak malam sedikit. Tepat saat Sengkolo sudah tertutup. Bawalah beras ini, gunakan ketika Kamu sudah mengambil tanahnya.

Kalau terpaksa di ganggu sama bangsa lelembut apa saja, taburkan) ucap kembali Mbah Damiri seraya menyerahakan segenggam beras berwarna kuning yang terbungkus kain putih dari selipan baju lusuhnya.

Sedikit gemetar tangan Kolis menerima beras kuning dari Mbah Damiri. Entah mengapa dalam benaknya terbersit rasa takut luar biasa setelah secara singkat dirinya mendengar cerita Mbah Damiri.

Kolis segera memasukan pemberian Mbah Damiri ke dalam saku samping jaketnya. Tangannya kemudian meraih cangkir di depannya yang berisi sisa kopi, sebagai penenang pikiran dari rasa takut dan kecemasan.

Malam semakin merajai bersama kegelapannya. Kesunyian sangat di rasa Kolis, meski hal itu sudah biasa dan lumrah bagi kehidupan di perkampungan, tetapi kali ini sunguh ia rasakan berbeda.
Kalimat terakhir dari Mbah Damiri masih terus terngiang di telinganya.

Jika keberhasilannya masih harus di tukar TUMBAL TERAKHIR. Entah siapa dan dimana, yang pasti dirinya yakin jika hal itu akan terjadi tepat di TANGGAL TIGA BELAS.

Setelah berpamitan dan lagi-lagi beberapa pesan dari Mbah Damiri menjadi awal perjalanan kedua Kolis dan Ilham ke tempat yang mungkin orang lain tak mau mendatanginya, apalagi pada waktu malam.
Udara dingin yang sudah biasa melekat pada tubuh keduanya, seharusnya menjadi akrab.

Akan tetapi, terkhusus bagi Ilham, itu menjadi salah satu bagian kengerian yang ia rasakan selepas keluar dari rumah Mbah Damiri.
Bukan tanpa alasan semua itu bagi Ilham. Sebab sedari satu langkah ia keluar dari pintu, matanya tak lepas dari sosok-sosok berbalut kain putih lusuh dengan wajah gosong tak berbola mata.
Kolis sendiri hanya melihat keresahan tak biasa dari wajah Ilham. Di samping hawa anyep yang semakin dirinya mendekati tanah Kuburan, semakin terasa tersesap lembab.

Sesampainya di tempat awal, sebuah jalan tanah berumput yang bedampingan dengan sungai kecil, Ilham memarkirkan roda duanya. Ia terus merunduk tanpa sepatah katapun, dan hanya menunjuk serta mengangguk, sebagai isyarat bagi Kolis untuk masuk area pemakaman sendiri.

Gelap, anyep, mendampingi Kolis kali ini. Berjalan pelan menyusuri setapak demi setapak menuju makam kampung tanpa penerangan. Sesekali langkahnya tertahan, kala pedut putih tebal menghalangi di depannya. Tetapi dengan tekad membulat, Kolis tetap menembus, melangkah, hingga sampai di depan gapura setinggi tiga meter berpagar bambu bulat bersusun.
Selangkah masuk ke dalam, mata Kolis langsung di sambut beberapa sosok pocong tak berbola mata. Tak lama telinganya ikut tersusupi rintihan-rintihan lirih dari beberapa tempat sekitar.

Tepatnya, dari sosok-sosok yang tersimpuh di sisi kuburan yang mungkin milik masing-masing.

"Sraakk... Srakkk... Sraakkk..."
Kolis benar-benar terhenyak, tiap kali dirinya melewati sosok yang duduk tersimpuh merintih seraya memeluk nisan kayu, tetiba saja sosok itu bangkit dan mengikutinya dari belakang. Seolah bagai seorang pemandu semakin masuk ke dalam, semakin banyak sosok beragam wujud keseramannya mengikuti langkahnya.
Sesampai di sebuah bangunan kecil berkuncup, Kolis menghentikan langkah.

Sama halnya dengan puluhan sosok yang kesemuanya berbalut kain putih lusuh sebagian gosong terbakar, ikut berhenti. Mereka serentak melolong, mengejutkan Kolis sampai harus tersurut mundur dua langkah. Aroma busuk bercampur bau khas kapur barus seketika menyusup, memenuhi rongga hidung Kolis manakala belum reda keterkejutannya, tetiba dari dalam bangunan kecil berdinding tembok yang telah di tandai Ilham, muncul kabut putih bergumpal-gumpal.

Dengan tertatih menahan ketakutan, Kolis tetap melangkah mendekat. Masuk ke dalam bangunan kecil yang terdapat gundukan tanah bertanda sebuah pohon kenanga sebagai pengganti nisan. Ia segera bersimpuh, bergumam lirih dengan suara bergetar berucap ijin.

Tanganya yang gemetar bergegas mengeluarkan tujuh buah dupa dan selembar kain hitam. Kemudian ia pun berniat membakar ujung dupa dengan pemantik api yang telah di pegangnya.

Namun baru saja pemantik itu menyala dan belum sempat menyentuh ujung dupa, dari cahaya api kecil itu samar mata Kolis melihat seraut wajah lelaki, tepat di depannya berjarak selebar gundukan tanah.

Mata dari wajah itu melotot tajam. Rambutnya sebahu dan acak-acakkan, sebagian mengempal akibat lelehan darah dari kedua telingannya yang hancur.

Gidik kengerian seketika menyebar ke seluruh tubuh Kolis. Namun belum sempat membuncah, Kolis menunduk, mengingat kembali semua pesan dari Mbah Waris, serta Mbah Damiri.

Buru-buru tangan Kolis menggenggam tujuh dupa dan memebakarnya. Setelah terlihat kepulan asap membumbung, ia segera menancapkan di bawah pohon kenanga pengganti nisan kuburan Rasmoyo.

Setelah itu tangan Kolis meraup beberapa genggam tanah sedikit keras di atas gundukan. Mengabaikan geraman di belakangnya, serta seringaian dan tatapan nyalang seraut wajah yang masih terus berada di depannya.

Selesai membungkus Kolis segera beranjak dan melangkah keluar dari bangunan kecil. Tak terkejut lagi dengan puluhan sosok yang masih berdiri di antara nisan-nisan kayu kuburan warga kampung, tengah mengawasi meski mereka tak berbola mata.

Tetapi tak lama kemudian Kolis akhirnya mundur, menyandarkan tubuhnya di tembok kuburan Rasmoyo bagian luar yang setinggi dada, saat puluhan sosok berbau busuk dengan hembusan nafas beraroma Kapur Barus melayang dan berloncatan mendekat ke arahnya.

Geraman dan tawa ngikik mengiringi tangan-tangan sosok itu, seperti ingin meraih tubuh Kolis dan mencabik-cabik dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Mereka mengerubung, mengelilingi dan saling berebut mendekat, sebelum satu pekikan melolong membuyarkan puluhan sosok-sosok lainnya.

Sesaat suasana hening, setelah lengkingan di sertai percikan api kecil sempat mewarnai area kuburan, kala Kolis yang terdesak menaburkan Beras kuning pemberian dari Mbah Damiri.
Namun hal itu hanya berlangsung sekian puluh detik saja, setelahnya berganti suara gemuruh manakala tetabuhan gamelan lagi-lagi muncul beriring lantunan tembang berirama mistis dari suara seorang wanita.
Kali ini wajah sosok wanita yang pernah Kolis lihat, tampak marah.

Sorot matanya tajam, tetapi bukan menatap pada dirinya, melainkan pada sesosok lelaki yang tengah terbaring di sebuah ranjang.
Wanita itu mendekat, meniup beberapa kali ke wajah lelaki berbadan tegap dengan kumis melintang menambah kesangaran wajahnya.

Tak lama, lelaki itu terbangun, bergegas berdiri seraya membalas lototan mata wanita di depannya.

"Kewanen Koe saiki Rasmoyo! Aku nguripi Koe, malah arep ngrusak tatanan seng tak atur!"

(Kelewat berani Kamu sekarang Rasmoyo! Aku memberimu hidup, malah untuk merusak tatanan dan aturan yang sudah saya atur!)
Sinis, suara wanita berkebaya batik dengan sanggul berkonde. Tapi tak menyurutkan keberanian lelaki muda di hadapannya.

"Koe nguripi aku mergo arep tok dadekne budakmu, Bulek! Aku gak iso seneng seko bondomu seng tok olehi seko Iblis! opo meneh Bapakku melu dadi tumbalmu!" (Kamu menghidupi Saya karena mau menjadikanku budakmu, Bulek! Saya tidak bisa bahagia dari hartamu yang di dapatkan dari Iblis! Apalagi Bapakku ikut menjadi tumbalmu!) sahut lelaki itu, tak kalah sengit.

"Lancang cangkemmu! Opo anggepmu gampang arep lungo seko aku! getehmu, banyu kringetmu, wes kecampur iduku. Mati kuilah bakal dadi giliranmu!" (Lancang mulutmu! Apa menurutmu mudah mau pergi dari Saya! Darahmu, air keringatmu, sudah tercampur ludahku. Mati itulah akan menjadi giliranmu!)

"Tapi aku iso ndawakne umurmu, asal gowonen rene anakmu! bakal tak rumati Sanira, bakal tak dadekne pendampingku, ngurusi bondoku seng melimpah ruah iki, bakal mulyo uripe"

(Tapi Saya bisa memanjangkan umurmu, asal bawa ke sini Anakmu! akan saya rawat Sanira, akan saya jadikan pendampingku, mengurus harta yang berlimpah ruah ini, akan mulya hidupnya) ucap sosok wanita di barengi dengan seringaian sadis, tersungging dari sudut bibirnya.

Sedangkan sang lelaki yang di panggil Rasmoyo, terbungkam. Wajahnya pucat, nyalinya menciut, tetapi segera berubah menjadi luapan amarah manakala nama anaknya Sanira di sebut oleh sosok wanita di depannya.

Seketika ia melangkah cepat mendekati sosok wanita itu, namun belum sampai tangannya meraih leher untuk mencekik, dari bibir dan hidungnya tersembur darah merah.

Tak hanya itu, jeritannya pun langsung melengking dengan tangan mendekap kedua telingannya yang tiba-tiba meleleh bagai tersiram air keras.
Tak ada rasa iba dari sang Wanita, ia terus tersenyum, tergelak, menatapi ceceran darah yang deras keluar dari dua lubang telinga Rasmoyo.

Tak sampai hitungan menit, tubuh kekar Rasmoyo roboh. Kesangaran wajahnya berubah menjadi raut mengiba, pancaran matanya menggambarkan ratapan belas kasihan di samping tekanan rasa sakit teramat yang di rasakannya.

Namun itu tak cukup menggugah rasa welas asih dari sosok yang di panggilnya Bulek.
Sosok wanita itu kemudian menari, mengitari tubuh Rasmoyo yang tergenangi darahnya sendiri. Matanya menatap lurus, seolah bersuka ria melihat nafas Rasmoyo yang tersengal.

Sekira lima kali berputar, satu suara Gong menggaung bersambut auman keras menyambut kedatangan satu sosok lelaki muda berpakaian ala kerajaan.

Langkah sosok yang baru saja muncul begitu berderap hingga menggoyang dua tanduk berwarna merah di atas kepalanya. Sesampainya di bawah, di antar sela kedua kaki Rasmoyo, sosok itu berjongkok, menatap dan tersenyum sebentar pada sang wanita yang menganggukan kepala, sebelum liukan dan hentakan tubuh Rasmoyo begitu kencang, mengantarkannya pada kematian.
Tepat di saat itu, Kolis menunduk dan memejamkan mata. Rasa takutnya sangat luar biasa ketika harus melihat semua adegan kematian orang yang menjadi tumbal Rahmi.

Tak berapa lama, Kolis merasakan tubuhnya seperti melayang. Meski tak ada tangan yang mencengkram, menyeret paksa, tetapi tetap saja tubuhnya terhempas, terguling di atas tanah berumput.

"Wes mulai tatag awakmu, Kang" (Sudah mulai kuat Kamu, Kang)

Ucapan Ilham melegakan jiwa Kolis. Ia pun segera membuka mata, menghempaskan nafas kengerian yang menggumpal di dada.

Sekira malam itu Ilham ingin kembali ke rumah Mbah Damiri, setelah Kolis terlihat lebih tenang. Ada beberapa hal yang ingin Ilham ungkapkan sebelum ia pulang. Namun, ada keanehan di rasakannya. Ilham sadar betul, ia juga masih sangat mengingat dimana letak rumah Mbah Damiri.

Tetapi kini tempat yang ia kira rumah joglo milik Mbah Damiri, tak lebih dari pekarangan kosong bersemak belukar.

Hanya gelap dan bayangan rerimbunan tampak di hadapannya. Tak ada halaman bercahaya remang, atau rumah joglo seperti pertama dirinya datang.

Sekian menit Ilham terdiam di tempat itu, sampai pada titik tak mampu mencari jawaban, ia memutuskan beranjak pergi. Sedang Kolis hanya membisu, menatapi wajah Ilham yang kebingungan tanpa dirinya tau penyebabnya.

Sampai di sebuah pertigaan kampung, Ilham berhenti sejenak. Menghampiri beberapa penduduk yang duduk di sebuah pos ronda, menanyakan keberadaan rumah Mbah Damiri.
Seketika jawaban salah seorang warga membuatnya terkejut, seolah tak percaya jika Mbah Damiri telah meninggal lama.

Bahkan salah seorang warga sempat memberikan arah tempat kuburannya, yang ternyata adalah tempat dimana Ilham dan Kolis pertama datang.
Ilham akhirnya tersadar akan arti ucapan dan perintah dari Mbah Waris.

Jika waktu sorop, sebelum Sengkolo tertutup ia bisa menemui Mbah Damiri, yang berarti lelaki tua itu bukan lagi Manusia.
Kolis yang baru tersadar ikut tersentak kaget, tak mengira jika sosok yang telah membantunya adalah wujud Qorin kematren Mbah Damiri.

Membuatnya terdiam bisu sepanjang perjalanan lebih dari tiga jam.
Sesampainya, Ilham segera mengguyur tubuhnya meski malam telah masuk dini hari. Air dingin yang membasuh melonggarkan pikirannya yang terasa penat akibat beberapa kejadian janggal malam itu.

Sedang Kolis duduk terdiam menyandar pada dinding papan, menatap kosong halaman pondok yang gelap.

"Aduso Kang. Ben plong pikiranmu" (Mandilah Kang. Biar plong pikiranmu)
Kolis hanya menoleh sebentar, memastikan jika yang bicara menyuruhnya adalah Ilham.

Setelahnya ia kembali menatapi kabut-kabut melayang di luar pondok.

"Abot banget Mas. Opo aku sanggup tekan rampung. Rasane koyo wes gak kuat aku" (Berat sekali, Mas. Apa Saya sanggup sampai selesai. Rasanya seperti sudah tidak kuat Saya) ucap Kolis bernada lemah putus asa.

"Iki podo ae separuh dalan Kang. Adikmu, karo wong-wong liyo seng ono sangkut paute karo keluargane Rahmi ngenteni awakmu. Upomo o nyerah, awakmu yo ra kiro iso urep tenang"
(Ini sama saja sudah separuh jalan, Kang. Adikmu, dengan orang-orang lain yang ada sangkut pautnya sama keluarga Rahmi menunggu Kamu. Seumpamanya nyerah, Kamu juga tak akan bisa hidup tenang) sahut Ilham setelah duduk di sebelah Kolis.

"Iki nek gak salah, gari telong gon meneh kuburan seng bakale dewe tekani. Tapi yo mbuh mengko piye Bapak leh arep ngarahke" (Ini kalau tak salah, tinggal tiga tempat lagi kuburan yang akan kita datangi.

Tapi ya entah nanti bagaimana Bapak mengarahkannya) sambung Ilham mencoba menenangkan Kolis.

Baru saja Ilham selesai bicara, dari arah depan suara derap langkah mengheningkan suasana di dalam. Tak lama, seraut wajah milik Mbah Waris muncul di ambang pintu dengan raut sedikit tegang.

"Lis, waktumu wes gak akeh. Telung dino meneh di mulaine Nganggreni Batine Komala. Sisok wengi kudu mbok rampugke kabeh olehmu nyukupi syarat"
(Lis, waktumu sudah tidak banyak. Tiga hari lagi di mulainya Pencucian Batinnya Komala. Besok malam harus Kamu selesaikan semua usahamu mencukupi syarat)
Kolis sedikit melebarkan bola matanya mendengar ucapan Mbah Waris yang baru saja datang dan duduk di hadapannya.

Berat rasanya bagi Kolis, membayangkan apa yang bakal terjadi tiga hari ke depan. Apalagi mengingat perkataan sosok misterius Mbah Damiri, bahwa akan ada Tumbal Terakhir yang menjadi penutup sekaligus pemutus persekutuan Murti Rahmi.

"Nek Kulo iso nyukupi syarat iku, terus seng bakal dadi Tumbal Terakhire sopo, Mbah?" (Kalau Saya bisa mencukupi syarat itu, terus yang akan menjadi Tumbal Terakhirnya siapa, Mbah?)
Kalimat yang menjadi ganjalan benak Kolis, akhirnya meluncur begitu saja dari mulutnya.

Seketika mengheningkan suasana, setelah sebentar Mbah Waris tersentak, kaget dengan pertanyaan itu.
Beberapa kali dengusan dan hempasan nafas mewarnai kesunyian di ruangan berlantai papan hingga beberapa saat lamanya.

Sampai pada detik berikutnya, mata Kolis dan Ilham serentak menatap pada Mbah Waris yang bangkit dan berdiri di ambang pintu memandangi kegelapan di luar rumah pondok.

"Tumbal Terakhir pancen kudu ono kanggo medot tetalen persekutuane Murti Rahmi. Neng aku mastekne nek kui dudu awakmu Lis"

(Tumbal Terakhir memang harus ada untuk memutus ikatan persekutuannya Murti Rahmi. Tapi Aku pastikan kalau itu bukan Kamu, Lis) ucap Mbah Waris masih dalam posisi berdiri membelakangi Kolis dan Ilham.

"Maksudte wani njamin ngunu, Mbah?" (Maksudnya berani menjamin seperti itu, Mbah?) tanya Kolis, penasaran akan arti ucapan Mbah Waris.

"Mergo ora sembarangan getih seng iso go medot! opo Mbah Damiri gak nyritakno kabeh perkoro Tumbal Terakhir seng di maksudke kui?"

(Karena tidak sembarangan darah yang bisa untuk memutus! apa Mbah Damiri tidak menceritakan semua perkara Tumbal Terakhir yang di maksudkan itu?) Jelas Mbah Waris seraya memalingkan wajah sepuhnya, menatap antara Kolis dan Ilham bergantian.

Keduanya terdiam, saling tatap sebelum Kolis mewakili menggelengkan kepalanya.
Mbah Waris akhirnya kembali duduk bersila di hadapan Kolis. Raut wajahnya kali ini terlihat sedikit tenang dari sebelumnya. Meski tak ada senyum, tetapi dari pancaran bola matanya, ada satu kebahagiaan tersirat yang belum terungkap.

"Bakal gamblang, padang, kabeh perkoro iki mengko pas awakmu mlebu, melu upacara ritual batin antarane Komala karo Jasmoro. Awakmu ora mek dadi wakile Kang Soko, neng dadi wakile wong akeh, termasuk Aku, Lis"

(Akan gamblang, terang, semua perkara ini nanti saat Kamu masuk, ikut upacara ritual nikah Batin antaranya Komala dan Jasmoro. Kamu tidak hanya menjadi wakil Kang Soko, tapi jadi wakilnya orang banyak, termasuk Aku, Lis) ujar Mbah Waris.

"Sesuk seng mbok parani disek Kuburane Rosyid. Mangkato awan, mergo gon e paling adoh. Sak bare kui, langsung nang kuburane Rohmadi. Nang kunu iku enek kuburan limo, neng jikuk en lemah kuburane Rohmadi karo lemah kuburan sebelahe, loro jejer paling dowo"

(Besok yang Kamu datangi dulu kuburannya Rosyid. Berangkatlah siang, karena tempatnya paling jauh. Setelah itu, langsung ke kuburannya Rohmadi. Di tempat itu ada lima kuburan, tapi ambil tanah kuburannya Rohmadi dengan tanah kuburan sebelahnya, dua berjejer paling panjang) sambung Mbah Waris, menerangkan dan memberi perintah.

"Seng loro iku kuburane sopo, Mbah?" (Yang dua itu kuburannya siapa, Mbah?) tanya kolis penasaran dengan dua kuburan yang akan ia ambil tanahnya, tetapi tak mengetahui siapa pemiliknya.

"Iku kuburannya Mbok Sun lan Mbah Sali, wong tuoku karo Eyangku"

(Itu kuburannya Mbok Sun dan Mbah Sali, orang tuaku dengan leluhurku) jawab Mbah Waris lirih.

"Wes, istirahato. Sesuk awakmu karo Ilham bakal kesele tenanan. Ojo lali pesenku kabeh mau" (Sudah, istirahatlah. Besok Kamu dengan Ilham akan capek benar. Jangan lupa semua pesanku tadi) sahut Mbah Waris seraya bangkit, seolah menghindari percakapan lebih panjang. Sedang Kolis yang hendak membuka mulut untuk kembali bertanya, seketika urung terbungkam dengan wajah di penuhi gurat penasaran.

Kolis dan Ilham hanya mengangguk ketika Mbah Waris berpamitan serta berlalu sambil menenteng bungkusan kain hitam berisi tanah, hasil perjuangan Kolis di kuburan Rasmoyo. Meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak Kolis, yang belum terjawab.

Rasa lelah kemudian menuntun tubuh keduanya untuk berbaring. Melenyapkan sebentar rasa takut dan ngeri, berharap terganti oleh keindahan mimpi sebagai teman lelap dalam tidur mereka.

*****

Tepat ketika Matahari bergeser dari atas kepala, Kolis terbangun. Bergegas mengguyur tubuhnya, sembari menunggu Ilham yang telah terbangun lebih dulu.
Hampir enam puluh menit setelah kedatangan Ilham dari rumah Mbah Waris yang membawa bekal, Kolis dan Ilham kemudian memulai perjalanan akhir dari tugas ritual tujuh makam. Sengatan cuaca panas saat itu sangat di rasa keduannya kala menyusuri jalan hitam aspal. Tetapi ketika memasuki sebuah perkampungan dan baru melewatinya, tetiba saja suasana alam berubah.

Entah semua orang, atau hanya di rasakan oleh Ilham dan Kolis saat itu, yang mana hawa sejuk sedikit lembab menyentuh kulit keduannya.
Semakin laju kendaraan Ilham yang sudah menempuh empat jam perjalanan jauh meninggalkan perkampungan, kelembaban semakin begitu melekat.

Tiba di sebuah tanah bersemak banyak di tumbuhi pohon kelapa, Ilham menghentikan laju motornya. Ia segera turun, berdiri tegak sembari mengedarkan pandangan, menatapi sekeliling tempat yang berbatasan dengan sebuah hutan kecil di sebelah Utara serta perkebunan warga di sisi Barat dan Timur.
Sunyi sepi saat itu. Entah karena waktu yang sudah masuk senja, atau memang hari itu tak ada kegiatan dari para warga yang mempunyai kebun di sekitar.

Kolis hanya terbengong dan ikut menatapi lahan yang luasnya hampir satu hektar dengan puluhan pohon kelapa tinggi menjulang. Dirinya merasa belum pernah melihat tempat itu sebelumnya, tetapi batinnya merasa tak begitu asing, bahkan seperti sangat dekat dengan tempat itu.

Semakin aneh bagi Kolis, manakala Ilham mengajaknya melangkah masuk ke dalam. Seketika dirinya merasa jika di dalam sangat ramai antara suara dan lalu lalang Manusia namun matanya tak melihat satu sosok pun.

Beberapa kali Kolis menghentikan langkahnya tersentak kaget mendapati tubuhnya tersiur hawa dingin pekat, seakan tersentuh sesuatu. Di tambah aroma wangi bunga kamboja menyusup, membuat bulu-bulu halusnya seketika berdiri tegak.

"Enek opo, Kang?" (Ada apa, Kang?) tanya Ilham, menyadari sikap aneh Kolis.

"Mas, iki gon opo? Aku kroso anyes banget" (Mas, ini tempat apa? Saya ngerasa dingin sekali?) sahut Kolis balik bertanya.

Ilham sedikit bingung mendengar penuturan Kolis. Sebentar ia meraba kulit tubuhnya sendiri, ingin memastikan tentang pengakuan Kolis yang merasakan hawa dingin.

"Biasa ae, Kang" (Biasa saja, Kang) sahut Ilham.

"Aku yo ngroso koyo gak asing gon iki, Mas. Opo kene iki kuburane Rosyid?" (Saya juga merasa seperti tidak asing dengan tempat ini, Mas. Apa ini kuburannya Rosyid?) ucap Kolis kembali.

"Iki dalan mlebune. Kuburane gon kono iku" (Ini jalan masuknya. Kuburannya di sana itu) sahut Ilham sembari mengulurkan tangan, menunjuk ke suatu arah berjarak lima ratusan meter di depan.

"Iki durung wayahe mlebu rono, Kang. Sengkolo gek tas kebuka"

(Ini belum saatnya masuk kesana, Kang. Sengkolo baru saja terbuka)

"Saiki dewe mbalek disek" (Sekarang kita kembali dulu) sambung Ilham seraya membalikan badan dan berlalu dari tempat itu.

Sejenak Kolis menengadahkan kepalanya ke atas sebelum mengikuti langkah Ilham. Menatap langit yang mulai gelap tertutup oleh awan-awan hitam di samping waktu yang memang telah masuk surup.

"Kang, dewe ngenteni kene ae. Delok neh Kang Kolis mlebu rono, gampang tengerane, mergo kuburane mek siji, yo kui kuburane Rosyid" (Kang, kita nunggu disini saja. Sebentar lagi Kang Kolis masuk kesana, mudah mencarinya, karena kuburan hanya satu, itulah kuburan Rosyid) ucap Ilham pada Kolis yang baru saja duduk di sebelahnya dengan beralaskan rumput dan tanah.

"Aku koyo gak asing karo gon iki" (Saya seperti tidak asing dengan tempat ini) Lagi, sahut Kolis bergumam mengulang firasatnya.
Tak ada reaksi apapun dari Ilham. Dirinya diam seperti telah menduga dengan yang di rasakan oleh Kolis mengenai tempat sekitarnya.

Beberapa saat keheningan menyesap, menambah kesan angker di tempat yang telah di rambah kegelapan.
Satu kerlipan cahaya dari lampu tenteng akhirnya tersulut menerangi dua wajah serentak mulai menegang.

Mendapati hembusan angin menderu, menjadi satu awal dari puluhan suara Manusia, yang tiba-tiba terdengar riuh layaknya sebuah pasar.

"Rasah mbok toleh, Kang. Awakmu memang kudune apal karo lemah iki. Kudune meneh kelingan iki bekas gon opo" (Tidak usah di tengok, Kang. Kamu memang seharusnya hafal dengan tanah ini. Juga harusnya ingat ini bekas tempat apa) ucap Ilham yang tau bila Kolis kaget dengan ramai suara di belakangnya dan ingin menoleh.

"Maksudmu, Mas?" tanya Kolis ingin memperjelas ucapan Ilham.

"Iki sebenere lemah e Mbahmu, Kang. Suoro rame nang mburine dewe, wujud polahe Rahmi" (Iki sebenere tanah Kakekmu, Kang. Suara ramai di belakang kita, wujud dari tingkah polahnya Rahmi)

Terhenyak Kolis mendengar ucapan Ilham kali ini. Di cobanya mengingat-ingat masa lalunya, tetapi sampai sekian menit, tak satu pun rekaman di kepalanya yang menggambarkan tempat ia duduk bersama Ilham saat itu. Hal itu semakin membuat rasa penasaran membekas kuat.

Terbersit dalam benaknya untuk mendesak Ilham bercerita, namun urung manakala ia melihat Ilham tiba-tiba berdiri dan langsung membalikan badan dengan raut sangat tegang.

"Mlebuo saiki, Kang! Iso ciloko dewe nek sampek telat, enek seng arep nutup pekso lawang Klewung!"

(Masuklah sekarang, Kang! Bisa celaka kita kalau sampai terlambat, ada yang mau menutup paksa pintu Klewung!) seru Ilham dengan cemas.
Seketika itu juga Kolis terjingkat bangkit. Walau tak mengetahui secara pasti, namun ia yakin bila Ilhan tak main-main untuk urusan batin.

Setapak demi setapak kaki Kolis mulai menyusur kembali ke dalam tanah kebun bersemak. Suara gemrasak dari tapak kakinya yang bersentuhan dengan daun-daun kering, berpacu bersama gemuruh dalam dada, saat tau dirinya bakal melewati puluhan sosok bertelajang bulat dengan anggota tubuh berlumur darah sudah menampakan wujud di depannya.

Wajah sosok-sosok itu tak mampu untuk ia kenali. Terlihat hanya bola mata mereka yang utuh, sedang anggota tubuh lainnya, banyak yang hilang.
Aroma amis darah tercium sangat menyengat, kala Kolis mulai melewati satu persatu sosok yang berjejer mematung layaknya pengawal.

Dengusan dan rintihan tak lama mulai ramai menelusup gendang telinga, saat lambaian tangan-tangan tak sempurna milik sosok yang telah terlewati dan dirinya abaikan.
Seratusan meter ke depan, atau setelah melewati sebuah parit kecil, suasana berbeda harus Kolis lalui.

Dimana bukan lagi sosok-sosok berlumuran darah, tetapi wujud sempurna dari para wanita berparas ayu dengan kulit putih menawan tanpa tertutup sehelai benang.
Hampir semua sosok wanita yang awal tampak berlalu lalang sambil tertawa riang berhenti dan menatap ke arah Kolis.

Sinis dengan sorot tajam, menggambarkan kebengisan meski dengan rupa menawan. Hal itu betul-betul di rasakan Kolis. Baginya saat itu mereka lebih menakutkan dari pada sosok-sosok sebelumnya.

Apalagi saat melihat untaian rambut hitam panjang mereka seperti menyatu tanpa ujung, semakin menciutkan nyali dan keberanian Kolis.
Sempat terhenti langkah kaki Kolis oleh suara sapaan lembut menyebut namanya dari belakang. Sejenak ia ragu antara menoleh dan mengabaikan.

Di saat itu juga suara panggilan semakin jelas, bahkan kini teramat lembut dan begitu dekat.
Hampir saja Kolis tak dapat membendung keinginannya untuk menyambut sapaan itu. Namun sebelum terjadi, satu suara menyentak, meyadarkannya jika bahaya lah yang menantinya di belakang.

Kolis akhirnya terus melangkah maju, membiarkan suara panggilan yang mulai berubah menjadi tawa melengking bersahutan memenuhi gendang telinganya. Sesampainya ia di depan sebuah pohon besar tinggi menjulang, guguran dedaunan menyambutnya.

Tak lama, gemerincing besi berbenturan menandai kemunculan satu sosok di sudut kanan, tepat di samping sebuah gundukan tanah setinggi hampir satu meter.

Ada ketakutan tersendiri dalam diri Kolis saat itu, saat dimana ia melihat sosok berwajah tampan terbelenggu rantai hitam pada bagian tangan kaki dan leher. Sepintas Kolis hanya melihat sosok itu meringis mengiba, tak ada luka atau goresan pada bagian tubuh atasnya, tetapi ketika pandangannya teralihkan pada bagian kaki, nampak lelehan darah deras mengucur dari pangkal pahanya.
Tubuh Kolis seketika ikut bergetar, kedua kakinya mulai goyah, manakala sosok itu menjerit, meronta ingin melepaskan diri.

Namun hal itu hanya menimbulkan suara keras dari rantai hitam yang berbenturan dan lelehan darah semakin deras mengalir.
Rasa ngeri terus menghantui jiwa Kolis. Kepalanya tertunduk saat kakinya mulai melangkah mendekat ke arah gundukan tanah.

Tak ada guna lagi lampu di tangannya, lantaran sedari awal ia masuk sekitar tempat itu terasa waktu sore.
Langkah tertatih Kolis akhirnya sampai di bagian ujung bawah kuburan. Sebentar ia melirik ke arah sudut kanan namun sosok itu telah hilang.

Dengan cepat ia pun membakar tujuh dupa dan melambarkan kain hitam yang ia bawa. Di bawah kepulan asap beraroma menyengat, tangan Kolis segera meraup beberapa kali bagian atas tanah kuburan milik Rosyid.
"Tulungen Aku, tulungen Aku..."

Lirih bersayup memelas suara dari belakang Kolis. Membuatnya urung berbalik, sadar jika suara itu bisa membuatnya celaka.
Lagi-lagi Kolis tertunduk memejamkan mata, tak perduli lagi tetesan keringat dari wajahnya, jatuh di sisi kuburan Rosyid.

Tiga sampai empat kali suara itu masih terngiang, dan akhirnya hilang. Memantapkan batin Kolis untuk bangkit meninggalkan gundukan tanah bernisan batu marmer mengkilap.
Selangkah Kolis menjejak, sapuan angin kencang menghantam wajah dan menghentikan ayunan kakinya.

Sesaat, Kolis pun terperangah mendapati di depannya bukan lagi sebuah lahan kosong, melainkan bangunan luas bertembok, bertuliskan tempat Pabrik penggilingan padi.
Awal Kolis melihat banyak aktivitas dari beberapa orang di dalam ruangan itu.

Namun lambat laun suasana itu berubah kehenginan mencekam.
Sekian menit berlalu, dari arah samping kanan terdengar derap langkah kaki bersepatu. Tak lama, seraut wajah lelaki yang pernah Kolis lihat muncul menenteng tas hitam.

Lelaki muda itu kemudian duduk di kursi goyang berwarna biru. Sebentar membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku tebal dari dalam.
Belum sempat lelaki itu membuka halaman buku, ia terjingkat kaget dan bangkit dari kursi.

Berjalan pelan menuju sebuah pintu yang terdengar gedoran keras.
Lagi-lagi lelaki itu harus terkejut, manakala baru sampai di depan pintu, satu hempasan bersamaan robohnya daun pintu menyurutkan tubuhnya mundur.

Mata sang Lelaki membelalak lebar, tubuhnya bergetar hebat, melihat wujud sesosok mengerikan dari balik pintu yang roboh. Ia pun cepat-cepat membalikan tubuhnya berniat untuk berlari.

Namun belum lagi sempat kakinya berayun, ia kembali harus terdiam dalam ketakutan mendapati di belakangnya seorang wanita berkemben telah menghadang dengan sebuah parang mengkilat di tangan kanan.

"Ratri! opo urung cukup koe mateni keluargaku karo anak buahku! saiki koe tegel arep mateni aku, kakangmu dewe!?" (Ratri! apa belum cukup Kamu membunuh keluargaku dan anak buahku! Sekarang Kamu tega mau membunuhku, Kakakmu sendiri!?)

Parau dan panik suara lelaki itu. Wajahnya pucat, kakinya gemetar, air matanya mengalir wujud dari rasa takutnya.

"Salahmu kadung nolak, Kang. Iki wes dadi pestine dewe, kudu urep salah siji. Aku ora salah milih dalan iki, mergo seng kudu marisi peninggalane Ibu, mek siji!"

(Salahmu terlanjur menolak, Kang. Ini sudah jadi kepastian kita yang harus hidup salah satu. Aku tidak salah memilih jalan ini, karena yang harus mewarisi peninggalannya Ibu, hanya satu orang) sahut sosok wanita dengan sinis.

"Rojo Gotro wes nagih janji, wengi iki kudu lunas! Artine, getehmu dadi bayarane, Kang!" (Rojo Gotro sudah menagih janji, malam ini harus lunas! Artinya, darahmu jadi bayarannya, Kang!)
Gelak tawa bersahutan jerit histeris seketika membahana di ruangan itu.

Aroma amis ikut merebak, dari ceceran darah yang mengalir di sela dua kaki lelaki muda bercelana dasar.
Teriakan memohon, mengiba, dari mulut lelaki itu tak mampu menggoyah kebengisan sang Wanita.

Ia terus tertawa lantang, seperti merasakan kepuasan melihat sang lelaki yang telah terkapar bersimbah darah.
Kesadisan tak hanya sampai di situ. Beberapa saat kemudian, sang Lelaki muda kembali harus berteriak ngeri, manakala satu aungan keras menandai kemunculan sosok mengerikan yang sempat ia lihat merobohkan pintu.
Getaran derap langkah kaki dari makhluk bertanduk merah api, mengguncang hebat tubuh lelaki muda. Bersamaan itu, samar matanya melihat ke arah sang wanita.

Menatap penuh permohonan belas kasih tetapi sang wanita mengabaikan, tersibukan oleh tangannya tengah melepas kain yang melekat pada tubuhnya.
Sayup nan lirih sebuah tembang terlafad dari bibir sang wanita sembari berlenggak lenggok menari dengan bertelanjang bulat.

Membuat lelaki muda terlihat pasrah tanpa daya, seperti tau bila itu adalah detik-detik terakhir jantungnya berdetak.

"Kang, Awakmu iku durung bakal mati saiki. Rojo Gotro mbutuhke geteh langumu tekane sak purnama. Dadi tenango, bakal tak urus Awakmu"

(Kang, Kamu itu belum akan mati sekarang. Rojo Gotro membutuhkan darah dari vitalmu sampai satu purnama. Jadi tenanglah, akan Saya urus Kamu) ucap pelan wanita yang di panggil Ratri, setelah merampungkan tembang mistisnya.

Ucapannya itu segera saja di sambut auman panjang sosok makhluk bertanduk yang baru saja berjongkok. Sekali lagi mengaum keras, sebelum lidahnya terjulur menjilati darah merah yang keluar dari sela kaki lelaki muda itu.

Di saat bersamaan, Kolis yang masih berdiri kaku dan bergidik ngeri, tersadarkan satu suara keras yang masuk gendang telinganya. Ia pun segera menuruti suara yang menuntunya untuk berlari. Menerjang alam gelap, menembus siluet-siluet hitam yang terpekik menjerit.

Puluhan hingga ratusan meter ayunan kencang kaki Kolis masih terasa ringan. Tubuhnya seperti tak berbobot, langkahnya tanpa beban, ketika melewati kembali sosok-sosok berlumur darah tanpa indra tubuh sempurna.

Hingga tiba di sebuah gerbang berpagar kaki dan tangan manusia, tubuh Kolis seperti melayang terlempar jauh keluar.

"Bukkk...."
Kolis sempat terpekik, mendapati dirinya tersungkur di pinggiran kebun yang berbatasan dengan jalan dan tanah kosong.

Meski suasana berubah gelap, tetapi ingatan Kolis masih begitu segar untuk sekedar mengenali tempat itu, tempat dimana ia duduk bersama Ilham sebelum masuk ke lahan kuburan Rosyid.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close