Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 8)


JEJAKMISTERI - "Munggah rene, Kang!" (Naik sini, Kang!)

Linglung dan masih tampak terpukul jiwa Kolis saat mendengar seruan dari Ilham. Ia masih terdiam sampai beberapa saat untuk mengumpulkan kesadarannya.

Satu rengkuhan tangan Ilham yang mengalah turun, akhirnya Kolis rasakan memapah tubuhnya yang masih lemah. Tiba di tepi jalan tepat di sebelah kuda besi milik Ilham yang bercahaya remang, Ilham mendudukan Kolis sebentar.

Beberapa tegukan air dingin yang di sodorkan Ilham sedikit demi sedikit membantu memulihkan kesadaran Kolis. Tak berapa lama, senggukan terdengar dari tenggorokan Kolis, sebelum isak bersahut satu ucapan melenguh menandakan jiwanya telah kembali.

"Aku koyo gak kuat neh, Mas Ilham!" (Aku seperti tak kuat lagi, Mas Ilham!) Lirih bernada putus asa suara yang keluar dari tenggorokan Kolis. Hal itu hanya di tanggapi dengusan nafas panjang Ilham. Tepukan pelan segera di daratkan Ilham mencoba menguatkan tekad Kolis.

Hening berselimut sunyi sejenak. Keduanya hanyut dalam rasa tegang, sebelum ajakan Ilham untuk meneruskan tujuan selanjutnya, yang harus terselesaikan malam itu memaksa tubuh lemah Kolis untuk bangkit.

Deru kendaraan Ilham seketika menyahut bunyi gemerincing rantai yang sayup masih terdengar di telinga Kolis. Auman suara memohon pun lamat mengikuti perjalanan Kolis kala meninggalkan tempat angker, dimana terkubur tubuh anak lelaki Rahmi yang menjadi salah satu korban persekutuan Ibunya sendiri dan telah di teruskan oleh anak perempuannya, Ratri.

Sepuluh menitan Ilham menarik tuas gas memecah keheningan bulak persawahan hingga sampai di sebuah gapura masuk sebuah Desa.

Di saat itu juga, berbagai suara yang masuk telinga Kolis lenyap.

Namun perjalanan keduanya masih cukup jauh. Beberapa kali harus melewati Desa berbeda, menyebrangi beberapa jembatan pemisah antar kampung, hingga melintas di jalan hitam aspal.

Hempasan angin dingin menusuk, menyusup tulang-tulang Kolis dan Ilham, manakala memasuki sebuah perkebunan pohon jati. Melewati sebuah gapuro batu bersusun menguncup, bercahaya remang dari beberapa lampu yang tergantung berjarak satu sama lain.

Pias menegang sangat kentara di wajah Kolis ketika Ilham membelokan stang kuda besinya melewati gapuro guna masuk area kebun lebih jauh. Dalam benaknya, tersimpan sebuah bayangan mengerikan yang muncul membangkitkan ingatan beberapa waktu lalu atau tepatnya saat ia di dalam Bus.

Meski kala itu dirinya seolah tertidur, tetapi kini, di hadapannya semua kembali, nyata dan sama persis seperti yang pernah dirinya saksikan.

"Seng kuat, Kang. Garek gon iki seng ngeri" (Yang kuat, Kang. Tinggal tempat ini yang mengerikan)

Ilham, berucap memecah kebisuan dan mencoba menguatkan jiwa Kolis saat tau serta merasakan getaran rasa takut dari tubuhnya. Tetapi bagi Kolis itu tak cukup untuk mengusir klebatan bayang-bayang kengerian yang tengah menggambar dalam memori kepalanya.

"Kang... Kang...."

Satu dua sampai tiga kali panggilan pelan Ilham masih di abaikan Kolis. Membuatnya memperlambat laju kendaraan hingga tiba persis di sisi sebuah pohon besar nan rimbun.

Sejenak Ilham menolehkan kepalanya, menatap Kolis yang tengah tertunduk dengan mata terpejam.

"Kang...!"

Lagi, Ilham memanggil Kolis sembari menyentuh bahunya yang basah keringat. Sesaat Kolis pun mengangkat kepalanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh tempat yang tampak gelap.

"Aku tau ngerti gon iki nang impenku, Mas. Ngeri, ngeri banget!" (Aku pernah tau tempat ini dalam mimpiku, Mas. Ngeri, ngeri sekali!) sahut Kolis lirih dan bergetar.

"Opo seng mbok delok seko gon iki, Kang? opo bedone masalah ngerine karo gon-gon liane?" (Apa yang kamu lihat dari tempat ini, Kang? apa bedanya masalah kengerian dari tempat-tempat lainya?) tanya Ilham sedikit penasaran.

"Gon iki akeh sukmo ketahan. Panggonan iki akeh geteh kececer Mas! pager-pager sak bangunane di gawe seko tugelan tangan, sikel lan sirah!"

(Tempat ini banyak sukma tertahan. Tempat ini banyak darah tercecer Mas! Pagar-pagar dan bangunannya di buat dari potongan tangan, kaki dan kepala!) jawab Kolis dengan emosi dan rasa takut tertahan.

"Opo bener gambaran seng mbok delok ngunu kui, Kang?"

(Apa benar gambaran yang kamu lihat seperti itu, Kang?) sahut Ilham cepat setelah sebentar terkesiap mendengar penjelasan Kolis.

Kolis sendiri hanya diam. Ia memilih turun dari sepeda motor, menatapi sekeliling tempat bercahaya remang seolah tengah menghafal sudut persudut lokasi kebun yang luas memanjang bersingkup pohon-pohon jati.

"Opo sebelah kunu ono pabrik, Mas?" (Apa sebelah sana ada pabrik, Mas?) Kini Kolis yang balik bertanya seperti tersulut sebuah ingatan.

"Ono, Kang. Neng aku gak eroh pabrik opo" (Ada, Kang. Tapi Aku tidak tau pabrik apa) jawab Ilham masih bersuara pelan dan terselimuti rasa penasaran.

"Berarti bener, Mas" (Bararti bener, Mas) timpal Kolis.

Belum sempat Ilham yang terlihat ingin kembali menyahut, tersentak dan terbungkam sama halnya dengan Kolis. Manakala suara gemuruh bersahut derap langkah-langkah kaki bersentuhan dedaunan kering, sangat jelas terdengar tak jauh dari tempat keduanya berhenti.

Semakin lama, suara berucap kalimat aneh, semakin mendekat. Aroma wangi bunga kamboja pun menyebar dan menusuk hidung saat sekumpulan bayangan hitam berjalan beriringan sembari memanggul sebuah keranda.

Kolis yang berjarak lebih dekat, segera beringsut mundur ke tempat Ilham. Wajah keduanya memucat ketika sadar sekumpulan bayangan hitam memutari mereka.

"Jungut jimpet... Jungut jimpet... Jungut jimpet....!"

Berulang-ulang kalimat serentak dari mereka riuh menyusup gendang telinga Ilham dan Kolis. Meski tak mengerti makna kalimat itu, namun tiap-tiap kata itu terucap, aliran darah keduanya seperti terhenti.

"Ojo delok mripate, Kang!" (Jangan lihat matanya, Kang!) Seru Ilham tiba-tiba.

Ia segera melompat turun dari sepeda motornya dan menghampiri Kolis.

"Iki seng di omongke lugut Nyowo!" (Ini yang di bilang Lugut Nyowo!) sambung Ilham yang tersadar akan keadaan saat itu.

"Ayo, Kang. Saiki dewe kudu mlaku. Ojo di gatekne demit-demit seng gaweane njemput sukmo tumbale Rahmi. Awakmu kudu cepet njupuk lemah telung kuburan nang gon kene! ojo ngasi dewe kedisian!"

(Ayo Kang. Sekarang kita harus berjalan. Jangan di anggap setan-setan yang kerjaannya jemput sukma tumbalnya Rahmi. Kamu harus cepat ambil tanah tiga kuburan di tempat ini! Jangan sampai kita keduluan!)

Kembali Ilham berucap seraya menarik Kolis yang masih diam gemetar. Sepanjang keduanya melangkah, tak hanya sosok-sosok bayangan hitam yang memikul sebuah keranda terus mengikuti, tetapi di barengi jeritan memilukan saling bersahutan.

Tak terhitung lagi langkah kaki Kolis dan Ilham. Mereka seolah berjalan tak memijak, terus menatap ke depan, di keremangan suasana kebun jati berhawa dingin sinung.

Getaran hebat benar-benar di rasakan Kolis saat tersuguh pemandangan mengerikan di hadapannya, tepat di depan sebuah pintu kayu melengkung dengan bangunan tembok memutar setinggi dada.

"Awakmu kudu kuat, Kang! Nang njero kono lemah kuburan seng kudu mbok jupuk! Aku gor iso ngeterke seko kene" (Kamu harus kuat, Kang! Di dalam sana tanah kuburan yang harus kamu ambil! Aku cuma bisa mengantar sampai sini) ucap Ilham setelah mundur dua langkah menjauh dari pintu.

Sedang Kolis masih terpaku dalam ketakutan. Matanya tak lepas menatapi tembok dengan jejeran puluhan kepala, kaki serta potongan tangan. Bukan hanya itu, lelehan darah kental dari potongan-potongan tubuh yang menimbulkan aroma amis menyengat, semakin membuat kaki Kolis berat untuk melangkah

"Cepet, Kang! Mlebuo!" (Cepat, Kang! masuklah!) Kali ini Kolis tersentak mendengar seruan sedikit keras dari Ilham. Ia sebentar menoleh, kemudian menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa tekad dan keberaniannya sebelum melangkah.

"Tolong uculi... Tolong uculi... Tolong uculi...." (Tolong lepaskan... Tolong lepaskan... Tolong lepaskan....) Suara memelas dari potongan-potongan kepala kembali membuat jantung Kolis seakan berhenti. Sesekali matanya melirik, melihat darah mengalir dari bola-bola mata dengan wajah meringis menahan rasa sakit teramat sangat. Namun Kolis tetap meneruskan langkah, menunduk dan mengeraskan kepalan tangan.

Sampai persis di depan pintu kayu melengkung, Kolis berhenti sejenak demi mendengar sebuah bisikan lirih namun tegas yang tiba-tiba menyusup telinganya.

"Ojo ninguk memburi nek wes mlebu!" (Jangan menoleh kebelakang kalau sudah masuk!)

Walau terkejut, tetapi Kolis menuruti suara tua yang belum dirinya kenal. Apalagi saat itu ia merasakan betul jika dari belakang tubuhnya seperti di sapu hembusan-hembusan nafas puluhan sosok.

Hampir saja tangan Kolis tak mampu mendorong daun pintu berukir dari kayu jati tua. Bukan sebab berat, tetapi karena getaran hebat mendera sekujur tangannya. Pelan dan tanpa menimbulkan suara sedikitpun, akhirnya Kolis berhasil membuka pintu.

Hening, bahkan sangat hening di rasa Kolis ketika memasuki area makam. Tetapi semakin ia mendekat ke arah makam yang terletak paling ujung, hawa lembab begitu melekat.

Setiba di tengah, atau sekitar 15 meter dari sebuah makam berpayung dan bersampingan dengan dua buah makam panjang, Kolis jatuh tersimpuh.
Tangis ketakutan pun tak lagi mampu Kolis bendung mendapati di depannya, di sebuah pohon yang berada di sebelah nisan dua kuburan panjang, tergantung sesosok tubuh lelaki tua berblangkon dengan sebuah kain hitam. Matanya melotot, lidahnya menjulur, bersama kedua kakinya yang mengejang-ngejang.

Terseok dalam linangan air mata, Kolis tetap berusaha maju mendekat ke arah tiga buah makam yang dirinya yakin adalah milik Rohmadi, Mbah Sali dan sang Istri. Dari tiga makam itulah Kolis ingin mengakhiri kengerian dalam hidupnya meski telah berkali-kali mentalnya harus di uji.

"Srakkkk... Sraakkkk...."

Terus dan terus Kolis menyeret tubuhnya. Wajahnya tertunduk, nafasnya sesak tersengal terbaui aroma kembang kamboja dan kapur barus menyengat.

Sampai di ujung dua makam terpanjang di antara makam-makam lainnya, Kolis berhenti. Menengadahkan kepalanya pelan, sembari tangannya meraih kijing batu penyekat antar makam.

"Bunggul Kenir... Bunggul Kenir..."

Terpaku senyap Kolis saat matanya beradu dengan dua bola mata putih rata dari sesosok wanita tua tengah terduduk terapit dua kayu balok di kedua kakinya.
Mulut wanita itu terus bergumam kalimat yang tak di mengerti Kolis. Meski tersusup rasa takut luar biasa, namun ada setitik rasa iba melihat sosok wanita tua itu. Dari rambut putihnya yang menggumpal tertempel darah serta acak-acakan dan rontok, juga dari wajah keriputnya yang menggambarkan penderitaan.

"Mbah Aku njalok lemah e" (Mbah Saya minta tanahnya)

Lirih ucapan yang akhirnya mampu Kolis ucapkan setelah sosok wanita itu terdiam beberapa saat.

Namun belum sempat tangannya mengambil sejumput tanah, tiba-tiba sebuah jeritan melengking menghentak tempat itu.

Jeritan menyayat yang berasal dari sosok wanita tua itu, beberapa saat lamanya terdengar, kemudian berganti lenguhan lirih seperti ratapan. Kolis yang semula menundukan wajah, kembali menengadah. Terpaksa harus menatapi lelehan darah di sekujur wajah keriput wanita tua itu.

Bau amis pun seketika menyeruak, manakala darah itu mengalir ke arahnya. Tetapi aneh, darah itu tak sedikitpun membasahi kulit Kolis meski mengalir melewati tempatnya bersimpuh.

Melihat keanehan itu Kolis segera bergeser seraya tangannya meraup segenggam tanah di atas dua makam panjang yang tak ia kenal. Dan kemudian ia mendekati makam berpayung di sebelahnya.

Walau hanya berjarak setengah meteran, tetapi hawa lain sangat terasa ketika Kolis tepat berada di samping makam dengan nisan di payungi kain membulat dan bertuliskan sebuah nama "ROHMADI".

Sebentar Kolis memperhatikan seluruh sisi Makam, sebelum tangannya mengambil tanah dan memasukan ke dalam kain hitam yang telah ia siapkan.
Namun sebelum ia membalikan tubuh ingin beranjak, tetiba Kolis diam seperti patung.

Di rasakan olehnya seluruh tulang-tulang dan ototnya tak berfungsi seperti lumpuh.

Selagi berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki dan tangan, sapuan angin mengibas wajah Kolis.

Membuat tubuhnya sedikit tergelak ke sisi kanan dengan posisi wajah tepat menghadap ke arah nisan.

Saat itu juga sebuah bayangan menggambar jelas di depan Kolis. Dimana ia melihat bayangan beberapa sosok tengah duduk menghadap sebujur tubuh seorang laki-laki.

Sosok yang paling Kolis kenal ialah seorang wanita bertapi kain jarik dengan bersanggul. Tetapi kali ini wajahnya terlihat sangat ayu, anggun dan kencang.
Sedang dua sosok lainnya adalah seorang lelaki tua berblangkon dan wanita tua berkebaya kembangan.

Ketiganya terlihat begitu serius melihat ke arah tubuh lelaki muda yang terlentang dengan hanya memakai kain sarung tanpa penutup bagian atas. Wajahnya pucat pasi, mata melotot ke atas, mencerminkan sesuatu tengah di alaminya.

"Wes wayah e tetalen iki tak wiwiti mlaku seko bojoku dewe, Mbah. Monggo Njenengan serahke kaleh njunjungan" (Sudah saatnya perjanjian ini saya mulai dari Suamiku sendiri, Mbah. Silahkan Njenengan serahkan pada Njunjungan)

Terdengar suara lembut sosok wanita bersanggul, memulai percakapan pada lelaki tua berblangkon setelah beberapa saat saling menghening.

"Iki pancen wes dadi syarate. Wes gak iso di tarek meneh, laku iki yo bakal dadi dalan anyar urepmu. Ojo pisan-pisan pengen megat tanpo ijol"

(Ini memang sudah jadi syaratnya. Sudah tidak bisa di tarik kembali, ritual ini juga akan menjadi jalan baru hidupmu. Jangan sekali-kali ingin memutus tanpa pengganti) sahut lelaki tua yang duduk bersila di samping persis kepala lelaki muda yang terbujur.

Suasana kembali hening. Ketiga sosok itu serentak terkhusuk diam menunduk, saat sebuah Gong berganti auman menggema. Tak lama sekelebat bayangan hitam berukuran dua kali tubuh manusia tetiba saja muncul dan berdiri tegak di hadapan mereka. Matanya merah menyala, selaras dengan dua tanduk di atas kepalanya.

Tawanya menggelegar manakala sosok lelaki tua mengangguk lkan kepala memberi hormat yang kemudian di ikuti dua wanita di sampingnya.

"Sampun kulo siapke cenayang kangge talene Rahmi. Sakniki kulo serahke, sak marine kulo pun mboten gadah urusan" (Sudah saya siapkan Cenayang untuk ikatan Rahmi. Sekarang saya serahkan, setelahnya saya sudah tidak punya urusan) ucap lelaki tua masih dengan tertunduk.

Tak ada jawaban dari sosok tinggi besar. Hanya tangannya yang berbulu lebat maju membelai kepala wanita bersanggul. Tepat di saat itu terdengar rintihan dari lelaki yang terbaring. Sedikit demi sedikit tubuhnya bergerak terutama pada bagian kaki.

Tetapi tiap ia menggerakkan salah satu kakinya, dari kain sarung yang hanya menutup anggota tubuh bawah, mengalir darah merah bercampur nanah.

Kilatan seketika mendera tempat itu, pohon di area sekitar luar gubuk yang tergambar di mata Kolis menggugurkan dedaunan sesaat sebelum pekikan melolong keras kala sosok hitam tinggi besar mengaum dan mengangkat tubuh lelaki tak berdaya.

Selang beberapa puluh detik, makhluk bertanduk merah kembali menghempaskan tubuh lelaki muda. Namun sudah dalam keadaan tak utuh. Ceceran darah dan beberapa isi dalam perut berserak, mengotori liman hitam yang semula menjadi alas.

Suasana sebentar tenang, wujud menyeramkan sosok hitam pun memudar, berubah menjadi lelaki muda bermahkota. Tak lama, sang wanita muda bersanggul bangkit mengikuti uluran tangan sosok lelaki bak Raja.

Sedetik, semenit waktu berlalu bersamaan satu persatu tertanggalnya pakaian wanita bersanggul. Dua wujud berbeda alam saling bergumul disaksikan langsung oleh sosok lelaki berblangkon dan wanita tua berkebaya. Tetapi keduanya hanya tertunduk dengan sesekali melirik.

Umbaran syahwat setan itu berlangsung cukup lama. Pada akhirnya, terhenti saat sosok lelaki bermahkota menghilang. Meninggalkan sang wanita bersanggul yang tersenyum, menyeringai, menikmati pergumulan sebagai wadah tujuannya.

Ketika sang wanita yang tak lain adalah Rahmi akan beranjak pergi, dirinya di hentikan oleh lelaki tua. Beberapa kalimat sempat di bisikan ke telinga Rahmi, yang spontan membuat wajah ayu Rahmi merah menahan amarah.

Tetapi segera tereda suasana kala itu oleh sosok wanita berkebaya. Entah ucapan apa yang terlontar, hingga membuat lelaki tua diam serta membiarkan Rahmi pergi.
Belum sampai sepuluh meter Rahmi beranjak, ia membalikan badan. Menatap nyalang seraya berucap lantang pada lelaki tua.

"Sak durunge sampeyan mati, tak tepati janjiku, Mbah! Tak bagei separone opo seng tak nduweni. Nanging kudu iso mbok cekel opo seng dadi rahasiaku!" (Sebelum kamu mati, saya tepati janjiku, Mbah! Saya berikan separuh apa yang saya miliki. Tetapi harus bisa kamu pegang apa yang menjadi rahasiaku!) ucap Rahmi tegas.

"Aku seng mbukakke, aku seng ndadekne, sak pantese njalok opo seng kudu tok wehne. Koe kudu iling, seng iso gawe koe kebuntel balak yo aku, Seng ngerti dinone yo gor aku. Dadi ojo sembrono gawe aku nesu!" (Aku yang membukakan, Aku yang menjadikan, sepantasnya meminta apa yang harus kamu berikan. Kamu harus ingat, yang bisa membuat kamu terjamah kesialan ya Aku, yang tau harinya ya cuma Aku. Jadi jangan sembarangan buat Saya marah!) sahut lelaki tua tak kalah kerasnya.

"Aku wes gak seneng karo omonganmu, Mbah! Masio kabeh tok ngerteni, patimu saiki gampang kanggoku!"

(Aku sudah tidak suka dengan ucapanmu, Mbah! Meskipun semua kamu tau, kematianmu sekarang mudah bagiku!) timpal Rahmi kembali.

"Lancang!"

Baru saja sosok lelaki tua berblangkon berteriak marah dan hendak mendekat ke arah Rahmi, tiba-tiba saja satu kilatan merah menghadangnya.

Tiga tarikan nafas kemudian, seutas tali kain hitam bekas liman yang terkotori darah melilit kuat lehernya. Lelaki itu meronta, nafasnya tersengal, mata melotot seperti ingin mencuat keluar saat ujung kain terikat ke atas pohon besar di sudut gubuk.

Berkali-kali sosok wanita berkebaya mencoba menolong, namun dari hal itu justru membuat sosok Rahmi marah. Ia kemudian melangkah cepat, menghampiri wanita tua yang sedang mengangkat kaki lelaki tua tengah tergantung.

Seringai tajam tersungging kejam keluar dari bibir Rahmi saat tangannya menghantamkan potongan kayu sebesar tangan orang dewasa tepat di kepala wanita tua. Jeritan melolong seketika menggema di tempat itu.

Kucuran darah langsung membanjiri lantai papan gubuk, tetapi hal itu tak menghentikan Rahmi.

Sampai sang wanita terkapar tanpa daya, Rahmi beringsut pergi. Namun bukan meninggalkannya, melainkan ia mengambil sebuah kayu balok, sarana awal dirinya melakukan ritual.

"Koe ora mati wengi iki. Neng kancani mayite tuwek an iki nang kene! Tenango, ra bakal ono seng ngerti panggonan iki. Ra bakal ono seng iso nemokno rogomu. Ojo susah mikiri anakmu, bakal tak urusi, tak uripi gantine perkoro iki"

(Kamu tidak akan mati malam ini. Tapi temani mayat tua bangka ini di sini! Tenanglah, tidak akan ada yang tau tempat ini. Tak akan ada yang bisa menemukan ragamu. Jangan khawatir memikirkan anakmu, akan saya urus, Saya hidupi sebagai gantinya masalah ini)

Sambil berucap, tangan Rahmi mengikat kedua kaki wanita berkebaya, dengan kayu balok berselang tutup. Rintihan memelas, permohonan ampun, sama sekali tak di gubris Rahmi. Setelah selesai mengunci dua buah kayu di kaki wanita itu, Rahmi menyeret dan meletakkan tepat di samping tubuh lelaki tua yang tergantung tanpa nyawa.

"Ko nek wes wancine, utowo telong dino seko wengi iki, tak gawekne gon bareng nang kene"

(Nanti kalau sudah saatnya, atau tiga hari dari malam ini, Saya buatkan tempat bersama disini) ucap Rahmi selesai meletakan tubuh wanita tua.

Rahmi pun segera membalikan badan dan melangkah. Sebelum jauh meninggalkan, satu ucapan dari sosok wanita tua lagi-lagi menghentikan langkah kakinya.

"Titenono! Bakal ono seng mbales angkoromu iki mbisok. Ilingo wengi iki, nang TANGGAL TELULAS!!!"
(Ingatlah! Akan ada yang membalas keangkara murkaanmu ini kelak. Ingat malam ini, di TANGGAL TIGA BELAS!!!) lirih dan tersendat suara wanita tua yang tengah sekarat.

Namun dari ucapannya sejenak merubah raut wajah ayu Rahmi.

"Ra keno dinengne, susulen lananganmu!" (Tidak bisa di diamkan, susul saja lelakimu!) seru Rahmi yang kembali mendekat.

Tak lama suara gemratak dari benturan kayu dengan kepala wanita itu terdengar. Kemudian di susul lengkingan keras, bersamaan teriakan dari bibir Kolis yang tak kuat lagi melihat kejadian itu.

Kolis segera menyeka keringat di wajah. Ia sadar jika itu adalah gambaran kematian dari tiga sosok yang ia ambil tanah pemakamannya. Ia segera membalikan tubuh, menyeret paksa kakinya yang terasa berat untuk berlari.

Kolis benar-benar seperti mati rasa. Dadanya bergemuruh hebat, mulutnya tak henti berteriak, entah terdengar keras atau pelan ia tak bisa memastikan. Ia hanya berusaha sekuat dan secepat mungkin agar bisa keluar dari area makam.

Tempat dimana telah di penuhi sosok-sosok mengerikan yang melambai padanya. Kolis tak mau lagi melihat sosok lelaki tua yang tergantung di atas pohon, tak ingin lagi melihat wanita tua terbelok kayu, tak sanggup lagi mendengar teriakan meminta tolong dari puluhan kepala yang tertanam di tembok bangunan yang mengitari area makam. Ia terus berlari, pelan atau cepat ia tak tau, tetapi baginya yang di rasa saat itu, ada dorongan begitu kencang menghempas tubuhnya hingga terhenyak di semak belukar daun-daun jati kering.

"Mas! Mas Ilham!?"

Tak ada jawaban, suasana begitu sunyi kala Kolis tersadar. Nyalinya yang masih ciut semakin menipis saat tau hanya gelap di sekelilingnya.

Perlahan ia paksa tubuh lelahnya berdiri, dengan menggapai-gapai Kolis berusaha melangkah dalam kegoyahan.

Hanya suara gemrasak akibat tapak kaki yang menyentuh dedaunan kering menemani satu dua langkahnya. Tak ada semilir angin, bahkan sangat di rasa begitu hampa tempat yang dirinya kira adalah tempat awal ia dan Ilham datangi, namun keyakinan itu memudar seiring tak di jumpainya Ilham, juga tanda sebagian tempat yang ia hafal saat masuk.

Kabut-kabut tipis akhirnya dapat Kolis lihat manakala ia keluar dari rerimbunan semak kebon Jati.

Sebuah pagar bambu dengan lampu teplok terlihat tak jauh di depan sedikit membangkitkan harapannya.

Ayunan langkahnya pun semakin cepat menyusuri jalan tanah rata. Tak perduli lagi kabut menghalangi dan beberapa suara kicauan burung hantu yang berputar di atas kepalanya.

Hampir ratusan langkah telah Kolis lalui, tetapi belum juga ia sampai di tempat yang bercahaya kerlipan lampu. Rasa lelah kembali mendera, di samping merasai keanehan dan ketidakberesan tempat itu. Membuat Kolis berhenti mengatur ritme nafas sembari memulihkan pikiran akal sehatnya.

Sebuah batu besar di sisi kiri jalan menjadi tempat ia menyandarkan tubuh. Pandanganya lurus ke arah cahaya mengerlip, mencoba mengukur jarak antara dirinya.

Dekat, sangat dekat dan jelas terlihat. Mulai dari pagar dari anyaman bambu, gubuk beratap anyaman rumbia, hingga tempat dimana lampu minyak menempel.

Kolis meyakini jika itu adalah sebuah rumah gubuk. Ia juga berpikir jika di tempat itu ada yang menghuni.

Berpikir hal itu, niat dan tekadnya kembali bergelora. Segera ia bangkit menuju tempat yang menjadi harapan barunya.

Kali ini Kolis tak lagi merasa aneh. Sebab dalam hitungan puluhan saja dirinya sampai di sebuah persimpangan tiga dengan posisi sebuah rumah gubuk tepat di sudut simpang kiri bagian depan.

Namun baru akan menuju rumah berdinding anyaman bambu, tiba-tiba saja dari sisi kanan telinga Kolis mendengar derap riuh langkah serta obrolan ramai layaknya sebuah pasar.

Terkejut dan bingung batin Kolis. Ia terpaku di tengah persimpangan seolah tengah mempertimbangkan tempat yang akan ia hampiri. Selagi kebimbangan bertarung dalam benak, sebuah suara menyusup di telingannya.

"Mlakuo nengen! Neng ojo mbok gatekno opo wae seng mbok temoni, tetepo ngetut dalan. Ojo mandek opo meneh sampek mampir!" (Berjalanlah ke kanan! Tapi jangan kamu perhatikan apa saja yang kamu temui, tetap ikuti jalan. Jangan berhenti apalagi sampai mampir!)

Berpikir sejenak, akhirnya Kolis memilih mengikuti bisikan yang menuntunnya. Sebentar saja ia sampai di sebuah tempat, dimana terdapat suara riuh.
Bukan sebuah pasar yang ia lihat, melainkan keramaian layaknya pesta hajatan yang di gelar dengan hiburan pertunjukan kuda lumping.

Suara kenong dan gamelan berirama sangat jelas mengalun. Ramai pedagang dan pengunjung juga tergambar. Namun, berbeda ketika ia berpapasan dengan beberapa sosok.

Aroma tubuh mereka berbau wangi kembang serta kulit tubuh mereka pucat kriput. Tak ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Lelaki tua maupun muda, serta para wanita sama memakai sebuah ikat kepala hitam mengglambir.

Sesampai Kolis di tengah-tengah kerumunan, alunan gamelan kenong berirama cepat dan semakin cepat. Hal itu membuat Kolis terhenti dalam gagapan mencekam. Sorak sorai pengunjung pun begitu gempita. Mereka serentak berucap kalimat yang aneh berulang hingga beberapa kali.

Tepat pada kalimat ketiga belas yang sempat Kolis hitung dalam batin, suara gamelan berhenti bersamaan riuhnya suara pengunjung.

Sunyi dan begitu hening. Hanya kabut tipis bertebaran terlihat di antara sela-sela tubuh pengunjung. Hal itu semakin membuat Kolis terpaku, tetapi tak sampai lima tarikan nafas Kolis segera berjalan cepat mengingat suatu pesan yang ia dengar.

Kolis pun setengah berlari mendapati tubuhnya yang tanpa sengaja bersentuhan dengan salah satu pengunjung, namun hanya menerpa angin belaka.

Ia tersadar jika saat itu dirinya bukanlah berada di alam manusia.

Puluhan, bahkan ratusan meter ia berlari tanpa menoleh dan memperhatikan sekeliling. Sampai di sebuah jalan besar nan lebar, barulah Kolis menyudahi gerak cepat kakinya.

Sebetar ia berjongkok, mengatur deru nafas serta degup jantung. Setelah di rasa cukup Kolis kembali melangkah.

Jalan besar, lebar, berpagar rumah-rumah lawas di sisi kanan kiri, berhias patung sosok wanita bak Ratu, semuanya membuat Kolis terbengong.

Terlintas dalam memori ingatannya, suasana tempat itu pernah dirinya lihat, pernah ia lewati namun dalam batas antara mimpi dan sadar. Tapi kini, sangat-sangat nyata ia alami.

"Mlayuo Mlayuo!" (Larilah! Larilah!)

Bagai tersengat listrik tubuh Kolis mendengar seruan tegas tanpa wujud. Ia sadar suara itu tak main-main, sehingga dirinya segera berlari kencang tanpa tau apa yang memburunya.

Namun aneh, seakan baru puluhan meter ia sampai di sebuah pintu gerbang besar, tinggi menjulang.

Kepanikan seketika menyusup pikirannya. Tak tau lagi arah yang harus ia ambil, sementara sekelilingnya seolah tertutupi oleh pagar-pagar tinggi dari kayu bersusun rapat.

Lutut Kolis pun goyah tersimpuh. Air matanya kembali mengalir, menandakan keputusasaan.

Tak lagi ia dengar suara membisik dan mengarahkan. Ia kecewa dan menyesal telah menuruti suara yang tak dirinya tau wujud aslinya. Hal itu benar-benar membuatnya marah, takut, dan pupus. Hingga kepalanya terangkat dan berteriak kuat meluapkan hilangnya sebuah harapan.

"Geteh Penileh! Koe kudu iso metu seko kene! Bebaske sukmone wong tuomu, leluhurmu, lan wong-wong seng dadi budak pajune Batur Waris! Pedoten taline... Pedoten taline...!"

(Geteh Penileh! Kamu harus bisa keluar dari sini! Bebaskan sukmanya orang tuamu, leluhurmu, dan orang-orang yang jadi budak terpilih Iblis penerus! Putuskan talinya... Putuskan talinya...!)

Bukan lagi membisik, bukan lagi pelan, suara yang sama Kolis dengar kini membahana seantero tempatnya tersimpuh.

Kolis pun menghentikan sesenggukan, mengedarkan bola matanya yang berkaca, mencari wujud pemilik suara.

Tetapi hanya kabut berkejaran tertangkap matanya. Rasa sesal dan amarahnya berganti bimbang namun membersit harapan.

"Sinten Sampeyan!?" (Siapa Kamu!?) Terbata seruan yang keluar dari tenggorokan Kolis kala tak lagi sanggup membendung keingintauannya.

"Menyato, gupak i kayu palang kui go getehmu. Mengko bakal ngerti sopo Aku. Cepet! Ojo ketututan Rengise Rojo Gotro!" (Bangunlah, olesi kayu palang itu dengan darahmu. Nanti akan tau siapa Saya. Cepat! Jangan tersusul nafas gaibnya Rojo Gotro!)

Seperti terlecut, tubuh Kolis bangkit. Kakinya mengeras seolah terkumpul kekuatan. Tanpa berpikir panjang, ia melepas ikat pinggang yang terlilit di celana. Sudut ikat pinggang sedikit runcing akhirnya mengoyak ujung jarinya hingga mengeluarkan darah segar.

Buru-buru ia tempelkan ujung jari yang berdarah pada kayu menyilang di tengah-tengah pintu gerbang. Beberapa detik kemudian, sapuan angin tipis mengumpulkan kabut-kabut sampai menyamarkan dan menutup pintu gerbang beserta pagar kayu.

Kolis hanya termangu menyaksikan kejadian yang ada di hadapannya. Lalu ia pun terlonjak manakala hilangnya kabut menggumpal, terganti satu tempat yang dirinya tau adalah gapuro awal dirinya masuk bersama Ilham.

"Mas Ilham, Mas...." panggil Kolis tanpa ragu.

"Le, koncomu turu sedelok. Ra kuat keno gondo sirepe panggonan iki. Tunggunen sedelok neh" (Nak, temanmu tidur sebentar. Tidak kuat terkena Gondo Sirepnya tempat ini. Tunggulah sebentar lagi.)

"Mbah Damiri!" seru Kolis terkejut, melihat satu sosok yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

"Aku mek iso mbantu koe seko kene. Bar iki enek seng luweh abot bakal tok adepi. Kudu yakin yo, Le"

(Saya hanya bisa membantu sampai sini. Setelah ini ada yang lebih berat akan Kamu hadapi. Harus yakin ya, Nak) sahut sosok tua berblangkon yang di yakini Kolis adalah sosok Mbah Damiri.

"Opo mampu aku, Mbah?" (Apa mampu saya, Mbah?) ujar Kolis lemah.

"Mampu Le. Demi lemah seng mbok idak iki, lemah seng dadi pestine leluhurmu tau kemucap, yen turunane bakal iso mbebasne" (Mampu, Nak. Demi tanah yang kamu pijak ini, tanah yang jadi saksinya leluhurmu pernah berucap, jika keturunannya akan bisa membebaskan)

"Sampeyan kenal leluhurku, Mbah?" tanya Kolis.

"Nang kenelah awal angkoro iki kedaden. Mergo nggon iki akeh nyowo ilang dadi tumbal. Nang nggon kene iki puluan Sukmo do kekurung dadi budake iblis, termasuk sukmone Sasongko, Mirat, leluhurmu"

(Di sinilah awal angkara murka ini terjadi. Karena tempat inilah banyak nyawa hilang jadi tumbal. Di tempat ini juga puluhan sukma terkurung jadi budaknya iblis, termasuk sukmanya Sasongko, leluhurmu)

"Aku iso metu seko gubengan angkorone Rahmi, mergo leluhurmu. Supoyo aku iso nyekseni kobonge jenggolo Rojo Gotro seng di bangun seko akeh nyowo. Saiki, wes wayah e pati obong. Koe karo adimu seng dadi obore"

(Aku bisa keluar dari lingkaran angkaranya Rahmi, karena leluhurmu. Supaya Aku bisa menyaksikan terbakarnya Jenggala istana Rojo Gotro yang di bangun dari banyak tumbal nyawa. Sekarang sudah saatnya hangus terbakar. Kamu dan Adikmu yang jadi api sulutnya) ucap sosok Mbah Damiri.

Kolis yang mendengar, diam terhenyak. Tak menyangka jika dirinya telah dipilih oleh leluhurnya sendiri, untuk menghentikan persekutuan keluarga Rahmi Murti yang kini telah di teruskan oleh Ratri.

"Sampeyan opo gak salah, Mbah?" (Sampeyan apa gak salah, Mbah?) tanya Kolis seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri.

"Moso urepku bareng karo Sasongko, Mirat, Broto, lan Rohmadi seng mbok jikok lemah kuburane. Rogoku wes ancor dadi lemah, tapi sukmo ragangku rung iso mapan kerono sumpahku. Mugio Koe iso, Le. Supoyo Sukmoku iso bali ngadep marang gustiku" (Masa hidupku bersama dengan Sasongko, Broto, dan Rohmadi yang kamu ambil tanah makamnya. Ragaku sudah hancur jadi tanah, tapi Sukma halusku belum bisa tenang karena sumpahku. Semoga Kamu bisa, Nak. Supaya Sukmaku bisa pulang menghadap kepada Tuhanku) jawab sosok Mbah Damiri dengan isyarat bahasa.

"Sak durunge Koe dep-depan karo Cenayang lan Abdi-Abdine Rojo Gotro, mengko bakal di terangno gamblang nang Mbah Waris. Dadi tinggal siapno batinmu, Le" (Sebelum Kamu berhadapan dengan Cenayang dan Abdi-Abdinya Rojo Gotro, nanti akan di terangkan semuanya secara gamblang oleh Mbah Waris. Jadi tinggal siapkan batinmu, Nak)

"Wengi iki tutupane, pedot orane seko awakmu rong wengi neh, mergo wengi Telulas ikulah dadi pestine Rojo Gotro nyambung talen nyowo.

Adikmu mugio iso selamet ra ke susur getih ireng, sak durunge tok obong talenane Ratri kesambung nang Jasmoro" (Malam ini tutupannya, putus tidaknya dari kamu dua malam lagi, karena malam Tiga Belas itulah jadi waktu tepatnya Rojo Gotro menyambung persekutuan nyawa.

Adikmu semoga bisa selamat tidak meminum darah hitam, sebelum kamu membakar syarat pertalian Ratri tersambung pada Jasmoro)

"Mlakuo lurus. Koncomu wes tangi, nunggu awakmu. Aku pamit, Le" (Berjalanlah lurus. Temanmu sudah bangun, menunggu kamu. Saya pamit, Nak)

Perlahan, sosok Qorin Kematren Mbah Damiri mengabur dan hilang terhempas kabut setelah mengakhiri ucapannya. Meninggalkan Kolis sendiri yang masih mematung penuh kegusaran.

Tak lama Kolis pun beranjak teringat akan Ilham yang di katakan sosok Mbah Damiri telah terbangun dan tengah menunggunya.

Siutan angin dini hari terasa begitu dingin menusuk kala Kolis keluar dari lahan berpagar yang menyimpan banyak kengerian.

Liukan burung-burung membayang hitam di atas kepala, dengan mengeluarkan suara nyiutan melengking, mengiringi langkah keberhasilan Kolis malam itu.

Tetapi bukanlah sebuah akhir, namun awal dari kengerian selanjutnya yang bahkan belum pernah ia alami dan lihat sebelumnya.

Meski selama perjalanannya Kolis selalu terdampingi, toh batinnya tetap saja berteriak ketakutan, penuh rasa cemas terselubung putus asa.

"Mas, awakmu rapopo?" (Mas, kamu tidak apa-apa?) tanya Kolis pada sosok Ilham yang duduk dengan wajah sayu.

"Kang, wes rampung sampeyan?" (Kang, sudah selesai Sampeyan?) sahut Ilham terkaget, tak menyadari kehadiran Kolis.

"Uwes, Mas. Awakmu rapopo?" (Sudah, Mas. Kamu tidak apa-apa?) jawab Kolis mengulang pertanyaannya.

"Ora, Kang. Aku gak kuat kenek sirepe gon iki, mulo keturon. Syukur Sampeyan selamet lan iso ngrampungke" (Tidak, Kang. Saya gak kuat terkena sirep tempat ini, makanya ketiduran. Syukur Sampeyan selamat dan bisa menyelesaikan) ucap Ilham sembari bangkit.

"Ayo muleh, kari siji meneh gon seng kudu tak ampiri" (Ayo pulang, tinggal satu lagi tempat yang harus di datangi) ajak Kolis, melihat kondisi Ilham sudah tersadar penuh.

Keduanya akhirnya meninggalkan tempat dimana pertama kali menjadi biang persekutuan Iblis yang telah memakan banyak nyawa. Perlahan tapi pasti, laju kendaraan yang di kemudikan Ilham sampai di kampung mereka sendiri.

Sebelum masuk ke tengah perkampungan, tepatnya di pinggiran Desa yang di kelilingi area persawahan, Ilham menghentikan kendaraannya. Anggukan pelan kepala Ilham, menjadi awal langkah Kolis menyusuri jalan gelap tak lebih lebar dari tiga meter, menuju pemakaman desa tempatnya tinggal.

Anyep menyusup seluruh tubuh Kolis, saat kakinya sudah menapak tanah kuburan. Kilatan dari beberapa nisan keramik yang memantul dari beberapa kuburan, serta sahutan gaung burung hantu, menjadi kecemasan tersendiri dalam benaknya.

Kali ini bukan hanya rasa takut, tetapi juga ada perasaan aneh mengernyit dalam dada. Hal itu semakin kuat menggoncang jiwanya, manakala sebuah gundukan tanah bernisan kayu terlihat membayang di depan.

Walau suasana gelap, masih segar dalam ingatan Kolis jika gundukan tanah berjarak tak lebih sepuluh meter pernah ia datangi. Gundukan dimana di dalamnya terkubur tubuh tua milik Bapaknya, Mbah Soko.

"Pak, Aku ora tegel nyawang lorone sampeyan!" (Pak, Saya tidak tega melihat sakitnya Sampeyan!) gumam Kolis menghentikan langkah dan menunduk.

Lama Kolis terdiam dalam isak lirih berderai air mata. Ia melukiskan saat-saat akhir sang Bapak, sama seperti korban lainnya.

Membayangkan itu semakin deras titik bening mengalir, bahkan tangannya gemetar seolah lemah tak bertenaga untuk meraup segenggam tanah di atas kuburan sang Bapak.

Namun sebelum suasana jiwa Kolis semakin terguncang, lagi-lagi suara membisik menguatkan batinnya.

"Luweh sengsoro nek ora mbok rampungke!" (Lebih sengsara kalau tidak kamu selesaikan!)

Kolis segera menutup matanya dan bersimpuh di samping makam Mbah Soko. Tangannya yang masih gemetar segera mengulur untuk mengambil segenggam tanah gembur berwarna merah.

Tak ada kejadian apapun, tak ada gangguan apapun sampai ia memasukan tanah ke dalam kantong hitam ketujuh yang ia siapkan. Namun saat akan bangkit, baru Kolis merasakan keanehan.

Wajah Kolis seketika meringis, menahan berat sesuatu yang menekan tubuhnya. Berkali-kali ia mencoba bangkit, tetapi hal itu justru membuat tubuhnya tertekan semakin kuat.

"Pak, aku arep muleh. Arep tak rampungke opo seng dadi pesenmu. Tulungono aku, Pak!"

(Pak, Aku mau pulang. Mau saya selesaikan apa yang jadi pesanmu. Tolong aku, Pak!) ucap Kolis mengeram.

Setelah mengucap hal itu, sedikit longgar di rasakan tubuhnya. Tetapi tak lama, suara bentakan di susul jeritan keras menggema, menghujam kencang rongga telinga Kolis.

Sakit dan terasa panas seluruh tubuh Kolis saat itu. Tak hanya itu, jiwanya langsung terguncang saat tau suara jeritan melengking adalah milik Bapaknya.

Tergambar jelas di hadapan Kolis saat itu tubuh Bapaknya berlumur darah. Baju putih lusuh yang biasa Bapaknya kenakan, telah berubah merah darah tertempel potongan-potongan kecil daging serta kulit tubuhnya sendiri yang terkoyak.

Sekali lagi lengkingan keras menyayat keluar dari bibir Bapaknya dan sangat memilukan bagi Kolis, kala sebuah tangan berbulu, berkuku tajam menghujam ke bagian perut tua Bapaknya. Beberapa saat lamanya tangan dengan kuku tajam itu tenggelam di dalam perut, mengaduk berputar, sebelum di sentak kuat keluar bersama keluarnya seluruh isi perut milik Mbah Soko.

Tak ada jeritan, hanya bola mata Mbah Soko yang melotot tajam. Mengerjap-ngerjap kuat, sekuat sengalan nafas yang begitu terlihat berat.

"Iki dadine nek nglawan aku. Wani arep ngrubah ginaris turunmu, ora segampang kui! Biyen Bapakmu yo karep ngrubah ngene, tapi nasipe podo. Saiki tok baleni, ora bakal iso!" (Ini jadinya kalau melawan Aku. Berani mau merubah nasib keturunanmu, tidak semudah itu! dulu Bapakmu sama ingin merubah seperti ini, tapi nasibnya sama. Sekarang Kamu ulangi, tidak akan bisa!)

Dalam tangis pilu, Kolis terhenyak mendengar satu suara berucap sinis. Ia pun menatap tajam satu sosok wanita berkemben yang muncul bersamaan robohnya tubuh renta Mbah Soko.

Wanita itu berjalan memutari tubuh Mbah Soko yang tercabik tetapi masih ada nafas tersengal pelan.

Bola mata Mbah Soko masih mengerjap, tetapi sudah tak mampu mengerling. Mencerminkan rasa sakit luar biasa menghadapi sekarat yang di ciptakan sosok wanita tak asing di mata Kolis.

Di saat nafas akhir, bibir Mbah Soko terlihat bergetar pelan. Walau matanya tetap melotot ke atas, tetapi ia seperti tau jika sosok wanita berkemben dan bersanggul masih berjalan mengelilingi tubuhnya.

"Bar iki Koe sak turunmu bakal entek! Kepupus tandes, sak tandese lemah seng mbok idak!" (Setelah ini Kamu dan seluruh keturunanmu akan habis! Tertanam dalam, sedalam tanah yang kamu injak!)

Lirih namun penuh syarat makna mengancam suara terakhir yang Kolis dengar dari bibir Bapaknya. Tetapi hal itu justru membuat amarah sang wanita bergemuruh. Senyum sinisnya berubah geraman kuat, bibirnya bergerak cepat seperti membaca sesuatu yang kemudian satu auman keras menyambut.

"Ngene iki seng mbok karepke tandes jeru!" (Seperti ini yang kamu harapkan tertanam dalam!)

"Krakkkk... Krakkkk... Krakkkk...."

Tiga kali sangat jelas suara gemratak terdengar Kolis saat sebuah kaki hitam berbulu menginjak kuat kepala Bapaknya sampai masuk ke dalam tanah.

Kolis tak kuasa lagi menahan amarah, ia pun berteriak keras, sekencang-kencannya. Namun itu tak merubah apa-apa. Tak terdengar, tak membuat nyawa sang Bapak tertolong, justru tubuh Kolis yang tiba-tiba bergetar sebelum tiba-tiba terlempar jauh.

"Wes Kang, wes rampung. Tenang... Tenang...!" (Sudah Kang, sudah selesai. Tenang... Tenang...!)

"Bapak... Bapakku piye, Mas!?"

Sedikit sibuk dan kewalahan Ilham menenangkan Kolis yang masih terguncang meski telah jauh dari tanah makam.

Beberapa kali ia harus terpental ketika Kolis memberontak sambil berteriak kencang. Kejadian itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya satu tepakan tangan di sertai tiupan di telinga melimbungkan tubuhnya.

Kolis terkulai lemah. Matanya nanar menatap seraut wajah tua yang baru saja muncul dan berdiri di sampingnya. Bibirnya bergerak pelan seolah ingin berucap sesuatu, tetapi belum sampai suara itu keluar, Kolis merasakan dunia begitu gelap serta udara sangat begitu dingin.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close