Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 9)


JEJAKMISTERI - "Kabeh syarat wes cukup, wektune yo gari sisok wengi, tak jalok awakmu siap segalane" (Semua syarat sudah cukup, waktunya juga tinggal besok malam, Saya minta Kamu siap segalanya)

Lamat dan lirih, suara obrolan terdengar di telinga Kolis. Samar-samar matanya pun melihat dua sosok tengah duduk di samping tubuhnya yang terasa lemah dan ngilu.

"Mbah, Mas..." ucap Kolis pelan setelah jelas jika dua orang di sampingnya adalah Ilham dan Mbah Waris.

"Wes sadar awakmu, Kang? Ojo di pekso tangi disek" (Sudah sadar Kamu, Kang? jangan di paksa bangun dulu) sahut Ilham sambil bergegas mendekat ke arah Kolis.

"Tenango Lis. Awakmu wes asil le golek syarat, wes cukup. Aku yakin sak jangkah meneh opo seng di tunggu poro leluhur puluhan taun bakal kewujud, kabeh kui mergo perjuanganmu" (Tenanglah Lis. Kamu sudah berhasil mencari syarat, sudah cukup. Saya yakin selangkah lagi apa yang di tunggu para leluhur puluhan tahun akan terwujud, semua itu karena perjuanganmu)

"Aku bakal mbaleske lorone wong tuoku, Mbah!" (Saya akan membalaskan sakitnya orang tuaku, Mbah!) jawab Kolis dengan raut berubah.

Mendengar ucapan penuh amarah dan dendam dari Kolis, Mbah Waris menghela nafas. Dadanya ikut bergemuruh seperti ikut terhanyut akan kilasan masa lalu seperti yang tergambar dalam pikiran Kolis.

Namun sekali lagi Mbah Waris menarik nafas berat, lalu mendekat ke arah tempat Kolis terbaring.

"Ojo tok gedekne geni seng murup nang atimu, Lis. Aku ngerti batinmu melu ngrasakne lorone Bapakmu, tapi kui iso ndadekne ciloko awakmu dewe nek sampek kegowo nang tugas akhirmu.

Pupusen disek, seng penting awakmu pulih, mergo sesuk bengi waktune awakmu dadi obor" (Jangan Kamu besarkan api yang menyala di hatimu, Lis. Saya tau batinmu ikut merasakan sakitnya Bapakmu, tapi itu malah bisa menjadikan celaka dirimu sendiri kalau sampai kebawa dalam tugas terakhirmu. Hilangkan dulu, yang penting kamu pulih, karena besok malam waktunya kamu jadi obor) ucap Mbah Waris menenangkan amarah Kolis.

"Aku siap mati, Mbah. Asal keluargane Rahmi murti ora ndadekne Nduk Komala Abdine Iblis sungu geni" (Saya siap mati, Mbah. Asalkan keluarga Rahmi Murti tidak menjadikan Nduk Komala Abdinya Iblis bertanduk api) sahut Kolis penuh keyakinan.

"Sesuk bengi perkoro kui, Lis. Selametke adikmu. Selametke nyowo-nyowo liane" (Besok malam perkara itu, Lis. Selamatkan Adikmu. Selamatkan nyawa-nyawa lainnya)

"Ilham, mengko totonen padusan kanggo ritual wengi iki. Saiki istirahato, aku tak muleh" (Ilham, nanti susunkan pemandian untuk ritual malam ini. Sekarang istirahatlah, Saya pulang dulu) ucap Mbah Waris seraya bangkit dan berlalu meninggalkan Ilham serta Kolis yang masih terbaring.

Sejenak keheningan menyelimuti rumah pondokan tempat biasa keduanya beristirahat. Kolis yang baru sadar jika hari saat itu terang atau telah siang, berusaha mendudukan tubuhnya. Setelah tertatih dan atas bantuan Ilham, Kolis pun terduduk menyandar.

Matanya lekat menatap Ilham yang di rasanya berubah. Ia menangkap ada kecemasan luar biasa menyirat di wajah Ilham. Entah kekawatiran apa yang di sembunyikan Ilham, Kolis hanya mampu menerka-nerka tanpa tau pastinya.

Tak ada perbincangan antara Kolis dan Ilham siang itu. Setelah membantu Kolis menyandarkan tubuhnya, Ilham memilih masuk ke dalam kamar satu-satunya di rumah pondok itu. Membuat Kolis yang sempat ingin bertanya urung dan memilih diam dalam sendiri.

Sampai matahari hampir terbenam, Kolis masih sendiri dan tak melihat sosok Ilham keluar dari kamar. Tetapi ketika gelap mulai menjalar seluruh alam sekitar, Ilham muncul dari arah depan dengan menenteng bekal dari tempat Mbah Waris.

Tentu saja kemunculan Ilham dari tempat Mbah Waris membuat Kolis terkejut heran. Ia berpikir keras kapan Ilham keluar dari kamar. Sebab dalam batinnya, Kolis merasa sedari masuk ke dalam, Ilham tak terlihat keluar.

"Wes penak urung awak e, Kang?" (Sudah enakan belum badanmu, Kang?) tanya Ilham membuka percakapan sambil mengeluarkan bekal makanan yang ia bawa.

"Uwes, Mas" (Sudah, Mas) jawab Kolis singkat.

"Yo syukur, Kang. Iki di pangan Kang, delok neh Bapak teko, gek arep mulai ritual padusan" (Ya syukur, Kang. Ini di makan Kang, sebentar lagi Bapak datang, akan mulai ritual mandi suci) sahut Ilham sambil menyodorkan makanan pada Kolis.

"Padusan ge opo iku, Mas?" (Mandi suci buat apa itu, Mas?) tanya Kolis setelah menerima sepiring nasi beserta lauk dari tangan Ilham.

"Kanggo sampeyan ben iso mlebu nang jenggolone Rahmi lan iso melu acara tetalene Komala karo Jasmoro tanpo keweruhan nek gowo syarat pitung obor pati" (Untuk sampeyan supaya bisa masuk di tempat ritualnya Rahmi dan bisa ikut acara pernikahan batinnya Komala dengan Jasmoro tanpa di ketahui kalau membawa syarat tujuh obor kematian) jawab Ilham yang sempat membuat Kolis tertegun.

"Opo sesuk awakmu gak melu, Mas?" (Apa besok kamu tak ikut, Mas?) tanya Kolis.

"Gak, Kang. Sesuk aku karo Bapak mbantu seko njobo" (Tidak, Kang. Besok Saya dengan Bapak membantu dari luar)

"Sampeyan yo wes krungu dewe, nek sesuk iku tetep ono Tumbal Terakhire. Yo mbuh Aku, opo Bapak seng dadi geteh julure, penting urusan iki iso rampung" (Sampeyan ya sudah dengar sendiri, kalau besok itu tetap ada Tumbal Terakhirnya. Entah Saya, apa Bapak, yang jadi darah penutupnya, terpenting masalah ini bisa selesai) jawab Ilham.

Satu suapan nasi tak sempat masuk ke dalam mulut Kolis ketika dengan gamblang cerita Ilham ia dengar. Matanya membinar seperti tak percaya dan tak terima dengan ucapan itu.

Ia pun meletakan piring nasi yang masih separuh di karpet, lalu mendekat ke arah Ilham yang diam sedikit menunduk.

"Ojo, Mas. Ojo enek tumbal terakhir! Aku moh neruske lakon iki nek awakmu opo Mbah Waris seng dadi tumbal"

(Jangan, Mas. Jangan ada tumbal terakhir! Saya tidak mau meneruskan ritual ini kalau Kamu atau Mbah Waris yang jadi tumbal) Sedikit bergetar suara Kolis kali ini. Walau sudah mengetahui adanya penumbalan akhir, tetapi ia tak mengira jika tumbal itu antara Ilham atau Mbah Waris.

"Pasten kui ra keno di rubah, Lis. Awakmu yo ora iso mundur!" (Syarat pasti itu tak bisa di rubah, Lis. Kamu juga tidak bisa mundur!)

Suara tua dari arah depan tetiba mengejutkan Kolis dan Ilham. Sosok Mbah Waris yang baru saja berucap, kemudian masuk serta duduk di hadapan keduanya.

Sorot mata lelaki tua berumur 70an itu mengkilat, menatapi Kolis dan Ilham bergantian. Raut wajah keriputnya tak sedikitpun menggurat rasa takut ataupun cemas, meski tau bakal menjadi pilihan Tumbal Terakhir.

"Aku wes siap dadi geteh julur! Aku pingin melu nebus kesalahane wong tuoku, leluhurku. Mulo mbisuk nek aku seng mati, kuburke gon sebelahe Mbok Sun lan Mbah Sali"

(Saya sudah siap jadi darah penutup! Saya ingin ikut menebus kesalahan orang tuaku, leluhurku. Maka kelak kalau Aku yang mati, kuburkan di sebelah Mbok Sun dan Mbah Sali) ujar Mbah Waris tegas, membuat Ilham dan Kolis tertunduk.

"Sejatine seng ngritualke Rahmi karo Rojo Gotro biyen iku wong tuoku. Tapi sak wise Rahmi dadi, malah ingkar karo janjine. Akhire wong tuoku ngamuk lan pingin medot, sayang ora mampu, malah keluargaku entek di dadekne tumbal patri. Kari aku dewe seng slamet tekan saiki, iku mergo di bantu Mbah Damiri"

(Sebenarnya yang meritualkan Rahmi dengan Rojo Gotro dulu itu orang tuaku. Tapi setelah Rahmi jadi, ia mengingkari janjinya. Akhirnya orang tuaku marah dan ingin memutus, sayang sudah tidak mampu, bahkan keluargaku habis di jadikan tumbal pelengkap. Tinggal Saya sendiri yang selamat sampai sekarang, itu karena di bantu Mbah Damiri)

"Leluhurmu biyen yo salah sijine abdi dalem nang jenggolone Rahmi, tapi kerono kepekso mergo Broto, kakang kandunge Rahmi seng awale di bantu oleh omah Warisan, dadi tumbal. Seng selamet turune leluhurmu Bapak karo lelekmu Latip"

(Leluhurmu dulu juga salah satunya Abdi dalam di istana gaibnya Rahmi, tapi karena terpaksa karena Broto, kakak kandung Rahmi yang awalnya di bantu mendapatkan rumah Warisan, jadi tumbal. Yang selamat dari keturunan leluhurmu Bapak dengan Pamanmu Latip) Sambung Mbah Waris, sedikit menceritakan masa lalu dengan alur sepengetahuannya.

"Saiki siap-siapo. Delok neh awakmu adus" (Sekarang bersiaplah. Sebentar lagi kamu mandi) ucap Mbah Waris memberi perintah dan mengakhiri cerita singkatnya.

Kolis pun tak membantah, meski puluhan ragam pertanyaan mengelebat di kepalanya dan sempat berharap ingin terjawab oleh cerita dari Mbah Waris. Namun, ia lebih menuruti perintah dari lelaki tua yang telah banyak membantunya selama ini.

Dua buah gentong berjejer berisi air pertama Kolis lihat saat ia berada di belakang. Entah sejak kapan telah di siapkan, yang jelas baginya saat itu tubuhnya mulai merinding kuat. Tak hanya sebuah kain putih tersampir di sisi salah satu gentong, tampak menyertai tujuh tangkup daun pisang tertutup kain pada bagian atas, menebar aroma wangi bunga begitu lekat, menyimpulkan jika ritual padus yang akan Kolis jalani bukan hal sembarangan.

"Cepoten kabeh gombalanmu" (Lepas semua pakaianmu)

Suara perintah Mbah Waris dari belakang tak lagi di bantah Kolis. Ia pun segera melucuti semua pakaian yang menempel tanpa menyisakan sehelai pun.

Dingin, sangat dingin menusuk kala guyuran air jernih dari salah satu gentong membasuh tubuh Kolis. Beberapa saat lamanya Ia tersiksa dengan gigilan, sampai gayung terakhir mengguyur.

"Ngadeko, mlebuo nang gentong kunu. Nek urung tak kongkon, ojo pisan-pisan ngalih" (Bangunlah, masuk ke gentong itu. Kalau belum saya suruh, jangan sekali-sekali beranjak) seru Mbah Waris setelah mengguyurkan air terakhir dari gentong di sisi kiri Kolis.

Kolis yang awal dalam posisi berjongkok, tanpa mengiyakan segera masuk ke dalam gentong seukuran tubuhnya meringkuk. Rasa mual tetiba menerjang perutnya, mendapati dalam air telah tercampur bermacam kembang.

Semakin lama rasa mualnya semakin menyeruak, hal itu di barengi kondisi air yang terasa memanas. Hampir saja Kolis tak mampu membendung rasa tak nyaman akan bau wangi dan amis yang ada dalam gentong tempatnya meringkuk berendam.

Ia tertolong tiga tepukan pelan di bagian belakang kepalanya. Namun hal itu sempat membuatnya merasai sekelilingnya seolah berputar, dan baru tersadar penuh ketika kakinya menginjak tanah basah samping gentong.

"Iki enggonen, turuo nang kamar seng wes di toto Ilham" (Ini pakailah, tidur di kamar yang sudah di siapkan Ilham)

Kolis terdiam sembari memandang Mbah Waris. Bukan pada sosok Mbah Waris pandangan mata Kolis, tetapi pada kain putih yang di sodorkannya.

Kolis tau jika kain itu adalah kain yang biasa ia temui sebagai pembungkus mayat atau biasa masyarakat menyebut MORI. Bahkan yang membuatnya tercekat tampak kain itu seperti bekas pakai.

Dari hal itu sudah sangat membuat jiwa Kolis gelisah, apalagi tetiba bau wangi ber aroma bunga dan kapur barus sangat tajam, juga bersumber dari kain itu.

"Kulo nganggo niki, Mbah?" (Saya memakai ini, Mbah?) tanya Kolis tergagap.

"Ritual Dadar Mayit kudu tok lewati, Lis. Iki dadi syarat akhir seng kudu mbok lakoni, mergo seng bakal mbok adepi sisok kui mayit-mayit bedo sukmo bedo rogo" (Ritual Dadar Mayit harus kamu lewati, Lis.

Ini jadi syarat akhir yang harus kamu lakukan karena yang akan di hadapi besok itu mayat-mayat beda sukma beda raga) jawab Mbah Kolis datar.

Meski kurang paham, Kolis akhirnya menerima kain mori yang ternyata memang sudah bekas.

Ia pun membalut sekedarnya, sebelum masuk ke dalam rumah pondok mengikuti di belakang Mbah Waris.

Sesampainya di ambang pintu kamar, aroma dupa langsung menusuk hidung Kolis. Di dalam, ia melihat sosok Ilham yang berdiri menunduk di sudut sisi kanan dengan kedua tangan menyangga sebuah cawan bulat terbuat dari tanah lempung. Kepulan asap tampak mengepul tebal dari cawan yang di pegang Ilham, di iringi kepulan asap tipis dari tujuh buah dupa yang tergeletak berjejer lurus di lantai kamar.

Dari semua dupa yang berjejer dan telah terbakar, di tiap sampingnya terdapat aneka macam kembang terbungkus daun pisang persegi dengan kancing potongan sapu lidi. Tak hanya itu, tepat di tengah antara jejeran dupa, sebuah kain hitam terhampar setinggi dan selebar ukuran tubuh manusia dewasa, berbantal tanah bertuliskan aksara jawa kuno.

"Turuo kunu, Lis. Ojo wedi, iki mek syarat. Penting ojo gatekne opo wae seng ketok mripat utowo seng ono gon kamar iki sak durunge sengenge njedul"

(Tidurlah di situ, Lis. Jangan takut, ini cuma syarat. Penting jangan tanggapi apapun yang terlihat mata atau yang muncul di dalam kamar ini sebelum matahari terbit) ucap Mbah Waris lirih membisik, seolah tau raut gelisah dan ketakutan menggurat hebat di wajah Kolis.

"Sampun cekap sedoyo!" (Sudah cukup semua) seru Ilham tiba-tiba sebelum Kolis menjawab bisikan Mbah Waris.

Kolis hanya menurut, melangkah pelan masuk ke dalam kamar tanpa bicara sepatah kata, walau dalam batinnya terjadi gunjangan hebat.

Hal ini sangat di rasakan berbeda olehnya. Kalau bertemu makhluk mengerikan ia masih mampu bertahan meski ketakutan, tetapi kali ini ia harus melakukan sebuah ritual layaknya seonggok mayat, tentu bukanlah satu hal main-main atau tanpa bahaya.

Apalagi, ia sempat mendengar bisikan Mbah Waris, yang temakna ada resiko besar di dalamnya.

"Tenang o, Lis. Awakmu ko di jogo Ilham" (Tenanglah, Lis. Kamu nanti di jaga Ilham) ucap Mbah Waris seolah tau pikiran Kolis.

Beberapa saat kemudian Kolis membaringkan tubuhnya di atas hamparan kain hitam atas perintah Mbah Waris. Beberapa kali nafasnya seperti terhenti ketika balutan kain putih di tubuhnya di rapikan sama persis dengan cara mengkafani mayat.

Yang membedakan hanyalah kapas putih tak menempel, tetapi di ganti taburan kembang di atas tubuhnya.

Selesai merapikan semua, Ilham segera mengambil cawan berisi kepulan asap kemenyan. Lalu meletakkannya tepat di atas kepala Kolis yang seketika membuat nafasnya semakin sesak.

"Ojo polah, ojo obah. Sekali sukmomu ketarik, ra bakal iso bali!" (Jangan bergerak, jangan beranjak. Sekali sukmamu tertarik, tidak akan bisa kembali!) seru Mbah Waris sembari mengencangkan tali-tali kecil yang mengikat tangan dan Kaki Kolis.

Tak lama, Mbah Waris pun menunduk. Mensedekapkan kedua tangan dan memejamkan mata.

Hampir satu menit bibir tuanya bergerak cepat, secepat hawa anyep menyusup pori-pori kulit Kolis. Setelahnya, sapuan angin lembut di rasa merayapi sekujur tubuh Kolis, membuatnya sejenak merasai ketenangan.

"Ilham, iling-ilingo! Ojo sampek kebul-kebul iki mandek!" (Ilham, ingat-ingat! jangan sampai asap-asap ini berhenti!) ucap Mbah Waris sambil bangkit dari duduknya di samping tubuh Kolis, setelah merampungkan membaca mantra.

Anggukan kepala Ilham sudah cukup bagi Mbah Waris meninggalkan kamar yang telah berhawa lembab. Di mana terdapat tubuh Kolis terbaring layaknya mayat tertabur kembang serta kepulan asap dupa dan kemenyan sebagai tanda di mulainya ritual DADAR MAYIT.

Sepeninggalan Mbah Waris dan Ilham, suasana dalam kamar seketika berubah. Awal Kolis masih begitu merasai ketenangan, namun tak lama ia merasakan aneh pada bagian-bagian tubuhnya.

Semakin lama Kolis benar-benar merasakan rasa itu, semakin nyata. Dimana sesuatu lembab dan berlendir membasahi bagian kaki dan terus naik ke atas.

Sampai pada bagian dada, barulah Kolis tau apa yang tengah menyapu tubuhnya.

Saat mulutnya ingin terbuka, berteriak dan memanggil Ilham yang dirinya tau berada di luar kamar, tetapi mulutnya terkunci.

Tubuh Kolis sendiri begitu kaku, seluruh anggota tubuhnya tak mampu ia gerakkan.

Hanya bola matanya yang bergerak cepat, memperhatikan tujuh pocong kecil tengah menjilati tubuhnya.

Lidah panjang berlendir dari sosok pocong-pocong itu terus menyapu kain Mori dan menembus ke kulit Kolis. Memberikan rasa dingin, namun terasa mengeras di permukaan kulit.

Tetesan-tetesan lendir membercak pada kain Mori, meninggalkan bau amis dan arus, ketika tujuh pocong kecil selesai sampai wajah Kolis dan menghilang begitu saja.

Sejenak Kolis merasa lega. Namun tak berapa lama, ia kembali tercekat manakala tubuhnya terasa terhimpit sesuatu dari sisi kanan kiri.

Sempat berusaha ingin bangkit, tapi tertahan oleh pesan Mbah Waris yang tetiba melintas dalam pikirannya. Membuatnya pasrah dengan keadaannya saat itu.

Lirih melenguh bersamaan suara dari sisi kanan dan kiri menembus gendang pendengarannya.

Meski ia belum tau wujud makhluk yang ikut terbaring di sampingnya, tapi Kolis tau dan yakin dari suara dan aromanya, jika mereka berwujud menakutkan.

"Kawahmu, kawah sengir, Le. Legine kambu seko lor karo kidul. Meluo aku, yo Le?"

(Kawahmu, kawah madu, Nak. Manisnya tercium dari utara dan selatan. Ikut lah saya, ya Nak?)

Ketakutan benar-benar membekap kuat dalam diri Kolis kala bisikan suara wanita tua terus menyusup kedua telinganya.

Sesekali ia melirikan bola mata, namun hanya terlihat juntaian rambut hitam berbau kembang kenanga.

"Kawah Sengir... Kawah Sengir... Kawah Sengir...."
Kali ini tak hanya membisik pada dua telinga Kolis. Suara itu bergemuruh memenuhi ruang kamar dan mengucap kalimat yang sama.

Terus dan terus riuh suara menyebut Kawah Sangir menggema, sedang Kolis terdiam kaku.

"Brakkkk...."

Gebrakan keras akhirnya mengakhiri gemuruh suara wanita di dalam kamar. Entah apa yang terjadi, bagi Kolis yang sempat terkejut tanpa gerak, gebrakan layaknya pintu di dobrak mampu menolongnya dari ketegangan akan suara wanita-wanita tua tanpa tau wujudnya.

"Mas! Mas Kolis...."

Terhenyak tegang Kolis mendengar sapaan lembut seorang wanita dari arah pintu.

"Mas Kolis, ayo muleh, Mas. Aku kangen" (Mas Kolis, ayo pulang, Mas. Aku kangen) ucap kembali suara wanita muda terdengar semakin mendekat ke arah Kolis.

"Lina!?"

Seolah tak percaya Kolis bergumam dalam hati.

Ia sadar jika tidak mungkin Lina, Istrinya yang berada jauh tetiba muncul. Namun ketika tepat bola matanya menatap ke arah depan, dengan jelas melihat sesosok wanita muda berambut sebahu berdiri menyunggingkan senyum.

"Mas, Aku kangen banget. Nopo Sampeyan nang kene? Ayo muleh!" (Mas, Aku kangen sekali. Kenapa Kamu disini? ayo pulang!)

"Lina! Awakmu bener Lina?" (Lina, kamu benar Lina?) seru Kolis lirih masih tak mempercayai akan kehadiran sosok mirip Istrinya.

"Iyo, Mas. Aku Lina, bojomu" (Iya, Mas. Aku Lina, Istrimu) jawab sosok Lina, sembari lebih mendekat.

Kolis benar-benar terbingungkan oleh suasana saat itu. Apalagi ketika sosok Lina duduk di sisi kirinya, sangat jelas tidak ada satupun yang berbeda dari Istrinya.

Hal itu membuat rasa bingung dan bimbangnya sedikit memupus dan mulai percaya sosok wanita di sampingnya adalah benar Istrinya.

Tetapi kala wajah sosok Lina mendekat seperti ingin mencium, Kolis tetiba merasa aneh, terutama pada aroma wangi yang menyeruak dari tubuh Lina.

"Opo gak kangen karo aku, Mas?" (Apa tidak kangen sama Saya, Mas?) ujar sosok Lina ketika lebih mendekat namun Kolis memalingkan wajah.

"Koe uduk Bojoku!" (Kamu bukan Istriku!) sahut Kolis geram namun bersuara pelan.

"Mas, Aku Bojomu! Adoh-adoh aku rene, mergo kangen awakmu, Mas"

(Mas, Aku Istrimu! jauh-jauh aku kesini, karena kangen kamu, Mas) ujar kembali sosok Lina.

Perlahan Kolis kembali memalingkan wajah, menatap lekat wajah ayu yang hanya berjarak sejengkal.

Sampai akhirnya nafas mereka pun beradu. Melambungkan jiwa Kolis yang masih dalam balutan dan ikatan kain Mori.

Beberapa puluh detik suasana itu berlangsung. Kemudian, sosok Lina pun mengangkat wajahnya dan berdiri.

Kolis yang telah merasa yakin dan mulai terbawa suasana, berusaha ikut bangkit. Tetapi tali-tali kecil potongan dari kain Mori yang mengikat tangan dan kakinya sangatlah kuat.

Wajah Kolis yang masih dalam usaha bangkit pun seketika terpias oleh sosok Lina yang perlahan melepaskan satu persatu pakaian di tubuhnya. Hal itu semakin menggunjang jiwa Kolis dan membuatnya semakin kuat untuk berontak.

"Dek, tolong uculi taline" (Dek, tolong lepaskan talinya) gumam Kolis yang tak berhasil melepas ikatan sendiri.

"Iyo, Mas" (Iya, Mas) sahut Lina yang telah melepaskan semua pakaiannya.

Wajah semringah terpancar jelas pada Kolis ketika sosok Lina mendekat ingin membantunya melepas tali dari tangannya. Namun baru saja menyentuh, jeritan melengking keluar dari tenggorokannya bersama tubuh telanjangnya terpental ke belakang.

"Dek!?" seru Kolis bingung.

Tak ada sahutan, suasana sejenak kembali sunyi sebelum satu geraman marah menggetarkan seantero ruang kamar.

"Eeengggggghhhh"

Untuk ketiga kalinya suara geraman itu menggema, barulah membuat Kolis tersadar jika sosok ayu menyerupai Istrinya sebuah gangguan semata.

Buaian lembut yang sebentar ia rasakan pun seketika berubah rasa ngeri, takut dan jijik saat sosok menyerupai Istrinya mendekat dengan wujud berbeda.

Tak hanya sebahu, rambut sosok itu panjang menyapu lantai. Wajah kencangnya berubah hitam di penuhi koreng menglupas.

Bahkan bibir yang sempat menyentuh bibir Kolis, tak ubahnya potongan daging terpanggang.

"Kawah Sengir! Koe kudu dadi Langesku. Koe kudu melu aku!"

(Kawah Sengir! Kamu harus jadi pemujaku. Kamu harus ikut Aku!) ucap sosok tua dengan melotot, memperlihatkan dua bola matanya yang putih rata membulat.

Nafas Kolis tersengal, antara ngeri dan jijik. Ia pun berpaling, tetapi wajah sosok wanita tua itu sudah kembali berada tepat di hadapannya.

"Ayo, baleni meneh! Kawah Sengirmu kudu kecucup aku! Kudu!" (Ayo, ulangi lagi! Kawah Sengirmu harus terminum Aku! Harus!)

Kolis pasrah saat wajah itu semakin mendekat sedangkan lehernya terkunci tak mampu membalik.
Dengusan nafas amis bercampur apek mulai menerjang hidung Kolis kala bibir hitan kemerahan tanpa kulit hampir menyentuh mulutnya.

Namun sedetik kemudian, lagi-lagi sosok mengerikan itu terpekik dan mundur.

"Koe pancen dudu jatahku! Kawah Sengirmu wes kebuntel" (Kamu memang bukan milikku! Kawah Sengirmu sudah terbungkus)

Setelah berucap, ssok itu melayang mengitari tubuh Kolis beberapa kali. Lalu menghilang bersama asap hitam tipis keluar menembus atap genting berlumut.

Suasana kamar kembali hening dan sunyi sampai beberapa saat lamanya. Membuat Kolis sedikit bernafas lega dan meredakan ketegangan.

Puluhan menit, ratusan detik suasana tak berubah. Ketenangan menuntun Kolis untuk sejenak memejamkan mata. Tapi baru sebentar, matanya kembali terbuka oleh suara berasal dari lantai kamar.

"Dugg... Duggg... Duggg...."

Tak hanya sekali, suara layaknya kaki menghentak lantai terus dan terus. Bahkan bukan hanya satu sisi atau satu sumber, suara itu terdengar dari dua sisi kanan kiri tubuhnya dan seperti ramai.

Rasa penasaran akhirnya membuat Kolis memiringkan wajah ke sisi kiri. Wajahnya spontan mempias terkejut melihat tiga sosok terbungkus sama dengan dirinya ikut berbaring. Pemandangan yang sama juga tampak di sisi kanan, tiga sosok berbalut kain putih lusuh terbaring sembari mengangkat kaki-kaki mereka yang terikat kain kecil, menghentakannya ke lantai menimbulkan suara bergedebug.

Kolis lagi-lagi hanya diam tercekat. Meski tak melakukan apapun pada dirinya, tetapi terbaring dengan di apit Enam sosok Pocong, tetap saja membuat jiwa takutnya hadir.

Lebih Tiga puluhan menit enam sosok Pocong dewasa itu terbaring dan terus menghentak lantai. Sampai satu geraman pelan menghentikannya.

Enam sosok Pocong itu kemudian bangkit terduduk. Lalu serentak berdiri melompat, melangkahi tubuh Kolis bergantian.

Pekikan tertahan terlihat dari mulut Kolis, manakala Pocong-pocong berwajah putih pucat dengan bola mata membulat hitam bergantian melompati tubuhnya.

Entah berapa kali ke enam Pocong itu silih berganti melompat, sampai membuat Kolis merasakan ruang kamar bergetar dan berputar. Matanya nanar, tubuhnya berpeluh hebat walau terasa dingin, dan tak berapa lama semua di rasa gelap oleh Kolis.

***

"Tangi Lis... Tangi...." (Bangun Lis... Bangun....)

Seruan memanggil mengakhiri pejaman mata Kolis. Percikan air pada wajahnya, sesaat kemudian mengawali kesadarannya.

Terang dan sedikit hangat di rasa Kolis. Lalu melepaskan nafas panjang, saat tau pagi telah menyongsong.

"Wes rampung kabeh ritualmu, Lis" (Sudah selesai semua ritualmu, Lis)

"Opo Aku berhasil, Mbah?" (Apa saya berhasil, Mbah?) tanya Kolis pada Mbah Waris setelah melepas ikatan dan mendudukan tubuh lemahnya.

"Kanggo iki wes cukup, neng seng paling abot mengko bengi" (Untuk ini sudah cukup, tapi yang paling berat nanti malam) jawab Mbah Waris.

"Wes kadung, Mbah. Abot ra abot kudu tak rampungke"

(Sudah terlanjur, Mbah. Berat tidak berat harus Saya selesaikan) sahut Kolis mantap di balik wajah sayunya.

"Mengko sore awakmu di terke Ilham. Tak jalok ojo sampek goyah, ojo getun karo seng bakal kedaden.

Supoyo iso dadi pengiling-ngiling anak turunmu lan wong-wong seng ngerti perkoro iki"

(Nanti sore kamu di antar Ilham. Saya minta jangan sampai goyah, jangan sesali dengan yang bakal terjadi. Supaya bisa jadi pengingat anak keturunanmu dan orang-orang yang tau masalah ini)

"Menungso karo Iblis iku di takdirke dadi musuh, neng ono menungso gelem kepanggon bareng, dadine balak gede"

(Manusia dengan Iblis itu di takdirkan jadi musuh, tapi ada Manusia mau bersekutu, melahirkan musibah besar) ujar Mbah Waris seraya menyodorkan segelas air berwarna putih kebiruan.

Tanpa bertanya Kolis menerima serta meneguk habis meski di rasa berbeda rasa air yang di sodorkan Mbah Waris. Tetapi setelahnya, ia merasakan tubuhnya segar bahkan ringan.

Satu ulas senyum tersimpul dari bibir Mbah Kolis yang belum pernah sekali pun Kolis melihat sebelumnya.

Tak hanya itu saja yang membuat Kolis merasa ada hal berbeda. Dirinya juga menangkap ke anehan pada diri Ilham yang tengah menatapnya dengan pandangan sayu.

Wajahnya pucat, bola matanya menyiratkan seperti berharap, tetapi tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Sampai Mbah Waris keluar dan pulang, Ilham masih dalam diam. Meski semua kebutuhan Kolis dirinya siapkan, namun tak ada ucapan apapun.

Sore merayap, menampilkan langit memerah. Pancaran terik matahari yang menyisakan rasa hangat, menjadi penghantar perjalanan Kolis di temani Ilham ke rumah Mbah Waris.

Sesampainya, Kolis dan Ilham di sambut wajah tua menegang Mbah Waris.

Tak ada obrolan, ketiganya terhanyut pikiran masing-masing sampai tiba waktunya bersantap.

Suasana lain sangat di rasakan terutama oleh Kolis sehabis bersantap dan surup telah memijak. Hawa panas tak biasa, sangat di rasakan tubuhnya.

Beberapa kali dirinya mencoba mengusir satu pikiran yang tetiba bersarang dalam otak, memaknai akan suasana yang diarasa panas itu.

Batinnya pun mencoba meyakinkan dirinya, bila pikiran itu hanyalah sekelebat kekawatiran belaka.

Namun semakin ia tekan, semakin benaknya tersusupi perasaan seolah membisik jika hawa itu adalah hawa KEMATIAN.

"Budalo saiki. Guwak roso wedimu, welasmu! Wengi iki mek loro pilihanmu, mati kepaten, opo mateni!"

(Berangkatlah sekarang. Buang rasa takutmu, belas kasihanmu! Malam ini cuma dua pilihan, mati dalam kematian, atau mematikan!)

Suara perintah Mbah Waris memecah keheningan. Membuyarkan lamunan Kolis, berganti rasa tegang akan maksud dari ucapan Mbah Kolis.

Berbeda dengan Ilham. Meski mulutnya terdiam, tetapi bola matanya memerah, mencerminkan emosi berbalur kesedihan.

"Iki bakal dadi gamanmu, ojo sekali pun tok buka sak durunge acara ijab batine Komala karo Jasmoro. Guwak en nang soko papat jenggolone Ratri, pas wektu ritual di wiwiti"

(Ini akan menjadi senjatamu, jangan sekalipun kamu buka sebelum acara ijab batinnya Komala dan Jasmoro. Buang di tiang empat Jenggolo Ratri, tepat saat upacara di mulai)

Anggukan pelan mengakhiri pertemuan Kolis dan Mbah Waris malam itu. Tak ada lagi percakapan, sampai Ilham dan Kolis berangkat setelah menerima sebuah bungkusan kain hitam yang di rasa tangan Kolis berisi sesuatu yang lembut.

Sapuan angin lembut berjeda, mengiringi Ilham dan Kolis menembus kabut malam. Kesunyian yang biasa menyelimuti suasana kampung, menjadi saksi kepergian dua sosok yang akan menuju sebuah tempat.

Dimana, di tempat itu bakal terjadi suatu pesta besar. Pesta yang membawa satu kenangan mengerikan, membekas dalam-dalam pada setiap orang yang menyaksikan seumur hidupnya.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close