Jejak Misteri Kisah Nyata TUMBAL PESUGIHAN
"Kringggg.... Kringgg" Tiba-tiba hp bapakku berbunyi, menyela yang sedang asik berbincang dengan bapak.
“Iya de... Ada apa?” tanya bapakku kepada si penelfon itu.
“Ohh ya sudah, saya tunggu dirumah ya” lanjutnya.
Setelah bapak menutup telp itu aku pun bertanya.
“Siapa pak?”
“Mamang mu... Katanya mau kesini”
“Oh... ya sudah kalau begitu pak.... Chandra keluar dulu”
“Ati-ati”
“Iya pak” pungkas ku seraya melangkahkan kaki keluar rumah.
Hari ini matahari bersinar sedikit malu-malu, berbeda dengan angin yang tanpa beban menerpa wajahku. Waktu yang tepat untuk bermain bola bersama kawan-kawan.
Oh iya, perkenalkan aku Chandra Irawan, tukang bercanda dan dermawan hahaha.
Sehari-hari aku hanya bertiga saja dengan Bapak dan Ibu. Biasanya Bapakku membantu Ibu diwarung yang letaknya lumayan agak jauh dari rumah kami. Terkadang aku pun membantunya, jika tak ada hal lain yang harus ku kerjakkan. Namun seperti yang aku katakan, hari ini begitu indah, sayang sekali jika harus terlewatkan begitu saja. Jadi kukumpulkan teman-teman dilapangan berumput yang biasa kami pakai untuk bermain bola.
Setelah puas menghabiskan waktu, aku pun memutuskan untuk pulang. Dari kejauhan terlihat kerumunan orang sedang berkumpul didepan rumahku. Takut sesuatu terjadi pada bapak, aku mempercepat langkah kaki ku, jantung berdebar dengan kencang.
Saat mendekati halaman rumah, tiba-tiba Mang cecep menarik tanganku.
“Chan... Jangan masuk kerumah... kamu langsung aja kerumah mamang.... nginep dirumah mamang ya malam ini” ujar Mang Cecep.
“Emang kenapa Mang?” tanyaku.
“Gini Chan... Tadi kan Mang Dadi ke rumah mu... Terus berantem gitu ama bapakmu” jelasnya
“Berantem gimana Mang?? Bapak ngak kenapa-napa tapi kan Mang?” Aku bertambah panik, bersiap ingin melihat kondisi Bapakku.
“Ehhh sabar atuh kasep”,tarik Mang Cecep “Bapak mah ngak kenapa-napa.... Tadi tengkar mulut aja sama bapakmu...” imbuh Mang Cecep sambil menggandengku menuju rumah nya.
“Sebenarnya ada apa sih Mang?” tanyaku penasaran.
“Tadi Bapak mu cerita ke Mamang... Kata nya Mang Dadi mengajak Bapak untuk pesugihan... Dan tumbal pesugihan itu harus anak kandung”
“Haaa??? Apa Mang Dadi sudah gila?” ujarku tak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan Mang Cecep.
Memang sudah menjadi rahasia umum di kampungnya, kalau Mang Dadi suka dengan pesugihan atau hal-hal seperti itu. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa sampai seperti itu.
“Itu dia Chan... Bapakmu jadi mengkelap.... Bapakmu udah coba nasehati Mamang mu itu, tapi sepertinya Mamang mu tetep kekeh”
“Sekarang Mang Dadi masih dirumah Mang?”
“Udah pulang pas tetangga pada dateng.... Mamang aja kaget denger suara bapak mu marah-marah” Mang Cecep menjelaskan panjang lebar kejadian tadi siang dan kenapa aku harus menginap ditempatnya sambil membawakan segelas minuman untuk ku.
Ada sedikit penyesalan yang tertinggal di hati ku, seandainya saja aku tadi dirumah. Tapi ya syukurlah Bapakku tidak kenapa-kenapa. Dengan perasaan gelisah, akhirnya malam itu pun aku tidur di tempat Mang Cecep.
****
Satu minggu setelah pertengkaran Bapak dan Mamang, kami kembali mendapatkan telpon dari salah seorang kerabat kami. Telpon yang mengabarkan berita duka. Melati, anak Mang Dadi yang pertama, meninggal dunia. Aku bersama Bapak dan Ibu pun langsung kerumah Mang Dadi.
Diperjalan menuju rumah Mang Dadi, tersirat sejuta tanya dibenakku. Terlebih saat Bapak bercerita, kalau baru dua hari yang lalu bapak bertemu dengan Melati yang sedang bermain dengan teman-temannya. Kenapa tiba-tiba? Apakah ini ada hubungannya dengan pertengkaran minggu lalu? Benarkah Melati, sepupuku yang baru 10 tahun itu sudah menjadi tumbal? ku tepis semua itu, tak ingin berprasangka buruk pada Mamang. Tak mungkinlah ia setega itu, hanya untuk kenikmatan duniawi ia mengorbankan putrinya.
Sesampainya kami dirumah Mang Dadi, jenazah Melati akan dimandikan. Ibu ku pun langsung bergegas untuk membantu prosesi pemandian jenazah. Sedang aku dan Bapak menemui Mang Dadi dan Istrinya yang berada didalam rumah.
“Di... Ini kenapa Melati bisa sampe begini Di??” tanya Bapak ke Mang Dadi.
“Melati udah hampir seminggu ini sakit Kang” Jawab Mang Dadi.
“Sakit apa Melati?” tanya Bapak seakan tak mempercayai keterangan Mang Dadi.
“Belum sempat dibawa ke dokter” kilah Mang Dadi sambil tertunduk lesu.
Aku pun mencoba untuk menahan bapak untuk bertanya atau memojokkan Mang Dadi. Walaupun aku tahu Bapak tidak dapat menerima alasan Mang Dadi, tapi aku tak ingin Bapak dan Mamang bertengkar lagi.
Saat ini, ruangan ini cukup diisi dengan lantunan ayat-ayat Al-Quran para pelayat, yang diiringi isak tangis saudara-saudaraku dan jeritan pilu seorang ibu yang harus tiba-tiba kehilangan putri nya. Aku tak ingin ruangan ini ditambah suara riuh pertengkaran Bapak dan Mamang.
Setelah beberapa menit, Melati selesai dimandikan. Sepupuku yang belum menatap sampai kesudut dunia, kini harus menutup matanya. Selamanya. Melati dibaringkan diatas sebuah tikar yang telah dilapisi dengan kain putih yang telah di taburi wewangian. Tangan kanannya sudah mendekap rapat tangan kirinya. Kapas dan wewangian pun sudah ditambahkan. Melati telah siap menggunakan pakaian terakhirnya. Ikatan demi ikatan.....
“Argghhhh HAHAHAHA”
tiba-tiba Ustad Aki, Ustad yang bertugas mengkafani Melati berteriak dan tertawa terbahak-bahak. Semua yang berada disana terperanjat melihatnya. Suasana menjadi hening seketika.
“JIWA INI TIDAK CUKUP HAHAHAHA..... TAMBAHHH LAGI DADII... ” ceracau Ustad Aki.
Disaat semua orang terperanjat dalam kagetnya, Bapak yang melihat ini menghampiri Ustad Aki.
“Siapa kau?? Apa Maksudmu?” tanya bapak.
Memang kebetulan Bapakku juga pernah mempelajari kebatinan, sehingga dia mengerti tentang hal-hal yang bersangkutan dengan ghaib seperti ini.
“AKU?? AKU ADALAH JIN YANG DIPELIHARANYA” jawab mahluk yang memasuki tubuh Ustad Aki sambil menunjuk Mang Dadi
“Apa maksudmu dengan jiwa ini tidak cukup?” tanya Bapak.
“ANAK YANG DI TUMBAL KAN INI TIDAK CUKUP UNTUKKU”, sambil menunjuk jenazah Melati “AKU INGIN TUMBAL YANG LAIN DADI HAHAHA”.
Bapak yang mendengar semua itu tak dapat lagi membendung emosi nya.
Setelah berdebat dan mengeluarkan jin itu dari tubuh Ustad Aki yang langsung jatuh pingsan, Bapak menghampiri Mang Dadi. Ditariknya baju Mang Dadi dan seketika itu juga mendarat sebuah pukulan di wajah Mang Dadi.
“Bajingan kau Dadi” umpat Bapak.
Dicengkramnya lagi kerah Mang Dadi yang sudah tersungkur “Kau apakan ponakanku?!! Kenapa bukan kau saja yang mati!!!” kata bapak hendak memukul Mang Dadi lagi, karena sebelumnya aku berhasil menahan tangannya.
“Sampai kapanpun.... Aku takkan terima ponakanku kau giniin brengsek!!” lanjut bapak.
Kesadaran para tetangga pun sepertinya sudah kembali, mereka pun membantuku untuk memisahkan Bapak dan Mang Dadi. Mereka memegangi Mang Dadi, sedang Aku dan Ibu membawa Bapak keluar rumah. Namun bapak langsung mengajak kami pulang. Bapak benar-benar tidak terima atas apa yang sudah dilakukan Mang Dadi terhadap Melati.
Diperjalanan pulang pun, sesekali Bapak menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Terlihat jelas guratan-guratan kesedihan dan kekecewaan yang teramat sangat diwajahnya yang telah menua.
“Sabar pak... Sabar” ucap Ibu mencoba menenangkan Bapak.
“Kok tegaaa bu.... Melati itu anaknya bu”
Bapak menahan air matanya yang bercampur dengan murkanya.
“Iya pakkkk... ibu ngerti maksud bapak”
“Sudah gila bajingan itu... Demi kenikmatan dunia, anak pun rela dikorbankannya”
“Sudah pak... sudah.... Semua juga sudah kehendak Allah.... Mungkin memang sudah takdir Melati pak” ucap ibu yang masih berusaha menenangkan Bapak.
Aku hanya melihat dan mendengarkan mereka berdua dalam diam, tak tahu harus berbuat atau berkata apa untuk menenangkan Bapak.
****
Beberapa hari sejak kematian Melati, Bapak nampak sedikit berbeda dari biasa nya. Aku sering melihat Bapak melamun diteras sambil menghela nafas. Terkadang Bapak terlihat khawatir, tapi aku tak tahu apa yang dikhawatirkannya. Bapak pun menjadi sulit tidur.
"Pak... Belum tidur?" tanya ku pada bapak yang sedang menonton tv. Kulihat jam dinding, sudah pukul 2.15 pagi
"Kamu sendiri kok belum tidur?" tanya bapak tanpa mengalihkan pandangannya dari acara reality show yang sedang ditontonnya.
"Kebangun... Mo kencing pak" Jawabku sambil melangkah kan kakiku kekamar mandi.
Saat menuju kamar mandi, hidungku mengendus wewaningan yang langsung membuat bulu romaku berdiri tegak. Dikamar mandi, wangi itu semakin santer tercium, membuat semakin merinding dan mempercepat acara buang air kecil.
"Pak... Pakk... Bapak nyium bau menyan ama bau dupa ngak pak??"
"Ngak... Udah tidur lagi sana"
"Tapi pak... Bau kemenyannya kuat sekali loh pak" aku bersikukuh.
"Sudah ngak apa-apa... Mendingan tidur lagi sana"
Aku pun mengalah dan kembali ke kamar. Mencoba memejamkan mata dan membaca doa-doa yang kuhafal, berharap dapat menghilangkan rasa takut. Entah sampai berapa lama. Saat aku buka mata, matahari sudah memasukkan sinarnya melalui celah tirai jendela kamar.
Dengan badan masih lemas, aku memulai rutinitas hari ini. Satu persatu aku kerjakan, hingga tak terasa Rembulan sudah siap menggantikan tugas Sang Mentari. Ku bersihkan tubuh yang penuh debu jalanan ini terlebih dahulu, lalu mengisi perut yang sudah keroncongan. Jam menunjukkan sudah jam 7 lewat.
Setelah selesai makan, kuhampiri orang tua ku yang sedang ngobrol sambil menonton TV. Memang kami jarang makan bersama, namun kami selalu menyempatkan diri untuk berbincang bersama sebelum tidur.
"Nonton apa Pak Bu? Kok kesel begitu?" tanyaku
"Yaa mau nonton apa lagi chan... Ya Bapak mah ngikutin ibu mu aja"
"Ini loh... Dasar ya emang laki-laki tak tau untung... Istri sudah cantik..." Ibu menjelaskan panjang lebar tentang sinetron yang sedang di tonton nya.
"Awas kamu ya chan kalau nanti kaya gitu... Ibu ulek-ulek loh kamu" lanjutnya sembari menasehatiku.
"Iya buuu iyaaa" duhhh susah memang kalau wanita sudah nonton sinetron ini. Tak bisa diganggu-gugat, tak bisa dibantah, seolah-olah jeritan hati sang tokoh utama adalah jeritan hati mereka sendiri.
"Chan... Kamu nyium ngak?" tanya Bapak. Wangi itu tercium lagi.
"Iya pak..." Wangi menyan itu, dari semilir semilir menjadi semakin kuat. Seperti menyan itu dibakar diruang tamu ini.
"Gak beres ini" Bapak beranjak dari duduknya dan mulai menyisiri dari mana bau itu berasal. Mulai dari kamar mandi sampai dapur, namun tak ditemukan. Aku pun mengikuti Bapak untuk membantu mencari.
Aku dan Bapak mencari kesetiap sudut rumah, sampai akhirnya kami kehalaman belakang rumah. Tempat kami biasa menjemur pakaian dan menanam beberapa pohon buah.
"Pakk... Ini disini pak" teriak ku pada Bapak ketika kutemukan sebuah nampan berisi bunga tujuh rupa dengan nasi tumpeng lengkap, yang diatas krucutnya sudah ditancapkan tiga dupa yang terbakar, beserta cawan berarang yang mengeluarkan bau kemenyan dibelakang sebuah pohon rambutan.
"Apa-apaan ini" Bapak mendatangiku dan terlihat kaget dengan apa yang kutemukan. Namun tak pakai lama. Diambilnya segenggam nasi kuning itu, lantas diinjak-injaknya nampan sajen itu sampai berantakan dan dilemparkan semua keselokkan yang berada tak jauh dari pohon rambutan itu.
Bapak langsung buru-buru masuk kedalam rumah dengan sekepal nasi kuning yang ambilnya. Bapak duduk diruang tamu sambil komat-kamit dan memandangi kepalan tangan nya yang berisi nasi. Aku dan ibu yang memang tidak mengerti hal seperti itu, hanya bisa duduk terdiam memandangi Bapak.
****
Setelah ku ambil nasi kuning itu, kuinjak-injak nampan berisi sajen itu dan aku lemparkan keselokan, aku pun bergegas masuk kedalam rumah. Akan aku cari tahu siapa orang yang kuang ajar menaruh sajen ini di rumahku.
Aku matikan TV yang masih menyala, terlihat dia sedikit kaget karena tiba-tiba terganggu kesenangannya. Namun aku yakin istriku pasti mengerti.
Ku pejamkan mata dan membaca doa. Bermunajat kepada Allah SWT agar di izinkan untuk berbicara dengan gaibnya. Tak lama terasa hembusan angin di sekitar, tepat di hadapanku sudah ada sosok makhluk kecil yang mengerikan. Tinggi sebetis, mata melotot dengan gigi runcing nya mencuat keluar, membuatnya terlihat sangat mengerikan.
"Assalamualaikum... Siapa kau?" tanyaku.
Namun dia hanya mengabaikan salamku dan hanya terkekeh mengerikan. Beberapa kali aku tanyakan namun dia tetap tak menjawab dan hanya terkekeh. Liurnya selalu menetes setiap kali dia terkekeh. Membuat muak melihatnya.
Kuraih tangan nya dan ku cekik dia sembari aku berdoa. Dia berteriak kesakitan sambil meminta untuk berhenti membaca doa.
"Jawab !! Siapa kauuu!! Dan siapa yang mengirim mu??" tanyaku lagi
"DADI... DADI YANG MENGIRIMKU UNTUK MENCELAKAI MU" katanya.
"Kenapa dia ingin mencelakai ku!!"
"DIA TAK TERIMA DIPERMALUKAN OLEHMU"
"Kapan aku mempermalukannya!"
"SAAT PEMAKAMAN MELATI"
Seketika itu juga tubuhku lemas mendengarnya. Apa yang salah dengan iparku ini. Dia yang sudah menumbalkan keponakanku, mengapa dia yang dendam padaku. Harusnya aku yang dendam pada nya atas apa yang telah dia perbuat pada Melati.
"Dengarkan aku kau Jin Jahanam... Jangan pernah kembali kerumahku jika tak ingin kau kumusnahkan"
"TAKKAN MAMPU MAHLUK HINA SEPERTIMU MENGHANCURKAN AKU"
Kembali kucengkram lehernya dan kubacakan doa, dia kembali berteriak kesakitan dan mengiba padaku meminta ampun
"Atas izin Allah, tak ada yang tak mungkin... Sekarang pergilah dan jangan kembali" ucapku pada nya. Dan seketika itu juga dia langsung menghilang dari hadapanku.
Kubuka mataku, terlihat istri dan anak ku sedang duduk memandangiku. Yakin sekali, kalau saat ini, isi kepala mereka sedang bertanya-tanya.
****
Aku dan Ibu hanya duduk terdiam memandangi Bapak. Menit demi menit terlewati, rasa nya lama sekali menunggu Bapak membuka matanya. Pikiranku sudah dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Salah satunya tentang siapa yang tega berbuat ini pada keluargaku.
Kekhawatiran jelas terukir memenuhi wajah ibu.
“Bagaimana Pak?” tanya Ibu saat Bapak membuka matanya. “Siapa yang ngelakuinnya?” lanjut Ibu.
“Dadi Bu.... dia dendam sama Bapak, Bu” ujar Bapak menghela napas.
“Dendam gimana Pak? Memang Bapak sudah berbuat apa ke Mamang?” aku kaget mendengar apa yang diucapkan Bapak.
“Dia merasa Bapak mempermalukannya didepan warga, waktu Melati meninggal... Dia juga tidak terima dengan kata-kata Bapak yang menyalahkannya atas kematian Melati... Makanya dia jadi dendam dan ingin mencelakai Bapak” jelas Bapak.
“Terus kita harus bagaimana Pak?” tanya Ibu yang khawatir.
“Ya mau bagaimana lagi Bu... Kita berserah sama yang diatas Bu.... Allah pasti melindungi kita”
“Tapi Pak... Kalau nanti terjadi apa-apa sama Bapak atau keluarga kita bagaimana Pak?” Aku pun sama khawatirnya dengan Ibu.
“Tenang saja Chan... Sementara ini kita perkuat doa saja... Bapak akan mencari jalan keluar, bagaimana baiknya menyelesaikan ini” Sekali lagi Bapak menghela napas “Nanti Bapak akan coba berbicara dengan keluarga yang lain”.
Hari demi hari berganti. Sejak kejadian itu, rumahku tak pernah setenang dulu. Ada saja kejadian gaib yang mengganggu rumahku. Bapak pun semakin terlihat kelelahan. Bagaimana Bapak tidak kelelahan, tiap malam bapak harus berperang sendirian melawan mahluk-mahluk gaib yang silih berganti datang menyambangi rumah. Bahkan dalam tidurnya pun ia disambangi mahluk-mahluk itu. Beberapa kali aku dapati Bapak sampai harus pencak-silat dalam tidurnya.
Apa yang terjadi didalam keluargaku, sudah terdengar oleh keluarga besar Bapak. Namun tak ada yang dapat mengambil tindakkan nyata terhadap Mang Dadi. Memang kami semua tidak bisa membuktikan bahwa semua ini ulah Mang Dadi. Keluarga besar Bapak pun lebih memilih untuk mengasingkan keluarga Mang Dadi secara tidak langsung. Tak ada satupun dikeluarga besar Bapak yang mengajak keluarga Mang Dadi berbicara.
Walau sudah diasingkan oleh keluarga besar, Mang Dadi tetap tidak menghentikan aksinya untuk meneror keluargaku. Setelah tak berhasil dengan Bapak, kini ia menyasar ke Ibu. Ibuku pun jatuh sakit.
Aku dan Bapak berencana membawa Ibu untuk tinggal sementara dirumah nenek. Sampai di rumah Nenek, kami tidak hanya disambut oleh saudara kami yang tinggal dengan Nenek. Namun juga disambut dengan suara menggelegar Nenekku. Nenek kesurupan.
Bapak pun langsung menghampiri Nenek yang sedang dipegangi oleh Mamang yang lain.
“DIA DAPAT MENGENYANGKANKU” ucapnya saat aku memasuki ruang tamu. “JIWANYA AKAN MENGENYANGKANKU HAHAHAHA” lanjutnya sambil menunjuk ke arahku.
Mendengar itu dari mulut Nenek, aku langsung diam mematung.
“Siapa kamu??? Mau apalagi dengan keluarga ku??” ucap Bapak.
“AKU ADALAH UTUSAN YANG AKAN MENGHABISI KELUARGA MU”
“Siapa yang mengutusmu?? Dadi??”
“BENAR... AKU YANG AKAN MENUNTASKAN DENDAMNYA PADA MU” ucapanya, membuat keluarga Bapak yang ada disana menahan napas. Tak ada satupun yang berani buka suara. Sampai Bapak mengeluarkan mahluk itu dari tubuh Nenek.
Karena kejadian ini, kami pun membatalkan niat kami untuk menitipkan Ibu dirumah nenek untuk sementara waktu. Bapak berfikir kalau ibu lebih aman jika berada didekatnya.
Apa yang terjadi dengan Nenekku sebenarnya membuat keluarga besar Bapak semakin murka dengan Mang Dadi. Namun lagi-lagi mereka tidak dapat berbuat banyak. Kalian tahu sendiri sulitnya berurusan dengan mahluk tak kasat mata, yang keberadaanya sulit untuk dibuktikan. Jadi selain mendiamkan dan menjauhi keluarga Mang Dadi, tak ada hal lain yang dapat mereka perbuat.
Beberapa hari setelah kejadian di rumah nenek, Bapak dan Ibu berangkat keluar kota selama dua hari. Entah untuk keperluan apa. Yang jelas hanya ada aku sendiri dirumah. Karena kejadian yang menimpa keluargaku, aku merasa tak enak sendirian dirumah, maka aku memilih menghabiskan waktu diluar rumah. Berkumpul dengan teman-teman serta lebih memilih bermalam di rumah Mang Cecep. Baru benar-benar pulang kerumah setelah Bapak dan Ibu kembali dari luar kota.
“Pak... Kemaren pas Chandra mau pulang ambil baju, Chandra ketemu Mang Dadi...” ujar ku pada Bapak. Memang aku selalu menceritakan semua yang terjadi dirumah jika Bapak dan Ibu pergi keluar kota. Termasuk saat aku bertemu dengan Mang Dadi
“Terus Chandra dikasih uang Pak sama Mang Dadi"
“Terus kamu ambil uang nya?”
“Iya pak” jawabku polos. Karena memang saat mengambil uang itu, aku tak berfikir macam-macam.
“Ya ampunnnn Channn... Kenapa kamu ambil uang itu?” Bapak terlihat terkejut dengan jawabanku. “Sekarang uangnya masih ada??”
“Chandra taruh dilemari kemarin pak, tapi tadi Chandra liat lagi udah ngak ada pak” Bapak terlihat lemas mendengar jawabanku.
Melihat gelagat Bapak yang seperti itu, membuat perasaanku pun menjadi tidak karuan. Apa aku sudah berbuat salah? Uang apa yang dikasih Mang Dadi? Ada apa sebenarnya?
Jawaban atas pertanyaan itu pun terjawab beberapa hari kemudian.
“Pakkkk.... Bapakkkkk” teriak ibuku dari kamar.
Aku dan Bapak yang sedang di dapur langsung menyeruak ke kamar
“Kenapa bu??” tanya Bapak panik melihat Ibuku tersipuh dipinggir tempat tidurnya.
“Kaki Ibu Pakkk... Kaki Ibuuuu” Ibu terbatah “Ibu ngak bisa ngerasain kaki Ibu Pakkkk” lanjut Ibuku sambil menangis.
Bapak menggendong Ibu dan mendudukkan nya disamping ranjang. Kemudian menyibak kain yang digunakan Ibu dan mencoba menggerakan kaki Ibu. Diangkatnya kaki Ibu dan dilepaskan, dengan harapan Ibu dapat menahan kakinya. Namun kaki Ibu hanya jatuh terkulai.
Bapak yang melihat ini pun terduduk lemas. Begitu juga dengan ku. Aku hanya bisa merangkul Ibu yang masih menangis dan berusaha menenangkannya. Menenangkan Ibuku yang beberapa menit lalu masih menyiapkan hidangan di meja makan untuk kami makan malam. Menenangkan Ibu ku tiba-tiba saja tidak bisa berjalan. Ibu yang sebelumnya sehat wa alfiat tiba-tiba menjadi lumpuh.
Bapak beranjak keluar kamar dengan kepala tertunduk. Beberapa saat kemudian, kudengar dia sedang berbicara. Aku pun keluar menghampirinya. Kulihat dia sudah menutup telponnya. Aku pun memberanikan diri bertanya sama Bapak,
"apakah yang terjadi dengan Ibu ada hubungannya dengan uang yang aku terima dari Mang Dadi", namun Bapak tak mau menjawab pertanyaan ku.
Bapak hanya memintaku untuk banyak-banyak berdoa, serta bersiap-siap untuk membawa Ibu ke Pondok Pesantren Mang Ichal. Mang Ichal adalah sepupu Bapak yang tinggal di kota Bogor dan memang sudah lama menjadi salah satu pembimbing di Pondok Pesantren yang ada di Bogor.
Setelah tiba di pondok Mang Ichal, Bapak pun langsung menceritakan semua kejadian yang kami alami dari awal sampai akhir tanpa kurang satu pun. Mang Ichal hanya mendengarkan sambil manggut-manggut tanpa menyela cerita Bapak. Setelah Bapak selesai bercerita, Mang Ichal pamit untuk Wudhu dan mendirikan sholat 2 Rakaat. Selesai sholat Mang Ichal kembali ketempat kami menunggu.
“Ini Teh... Diminum airnya... Sisahkan sedikit ya” ucapnya pada Ibu seraya memberikan botol air yang dibawanya.
Ibuku meminum air itu beberapa tegukan dan menyisakannya seperti yang Mang Ichal instruksikan. Setelah itu Mang Ichal menuang sedikit air di telapak tangannya dan menyipratkan nya ke kedua kaki Ibuku. Sambil memejamkan mata, mulut Mang Ichal berkomat-kamit membacakan doa dan tangannya memijat kaki Ibu ku. Sesekali terdengar Mang Ichal mengerang sambil mengucap “Astaghfirullahaladzim” atau “Allah Hu Akbar”.
Hal ini berlangsung hampir sejam. Sampai tiba-tiba saja Mang Ichal menyeburkan darah merah dari mulutnya.
Bapak yang melihat Mang Ichal muntah darah menjadi panik. Saat ingin membantunya, Bapak ditahan oleh seorang santri, yang memang dari awal kami datang selalu mendampingi Mang Ichal. Tak lama kemudian, Mang Ichal membuka matanya dan tersenyum pada Bapak.
“Kang... Kakang tidak apa-apa? Kenapa sampai muntah darah kang?” Bapak langsung memberondong Mang Ichal dengan pertanyaan.
Mang Ichal pun menceritakan apa yang terjadi di alam astral pada Bapak. Aku pun turut mendengarkan apa yang diucapkan Mang Ichal dan sesekali bergidik ngeri, walaupun tak paham semua yang Mang Ichal ucapkan.
“Besok kita ulangin lagi ya”, ucapnya pada Bapak. “Sekarang kalian istirahat saja dulu”.
Hal ini berulang hingga hari ke tiga. Hari dimana Mang Ichal berkata pada Bapak bahwa Jin-Jin yang dikirim Mang Dadi untuk mencelakakan ibu sudah binasa, hanya satu yang melarikan diri.
Saat ini kondisi ibu memang jauh lebih baik. Belum bisa jalan sendiri, melainkan harus di papah. Berbeda dengan sebelumnya, ibu sama sekali tidak bisa menggerakan kakinya. Saat ini tinggal pemulihan saja.
"Sekarang Insyallah istri mu sudah aman dari gangguan Jin. Tapi aku khawatir jika nanti kalian pulang, Dadi akan berulah lagi. Sepertinya mereka akan menyambutmu disana" ujar Mang Ichal saat kami akan pulang "Jika terjadi sesuatu lagi sama istri mu, segera hubungi aku".
"Iya Kang... Saya juga merasa seperti itu. Terimakasih banyak Kang bantuannya. Doakan kami ya Kang" Bapak berpamitan dengan Mang Ichal dan santri nya.
Malam itu, perjalanan kami pulang dipenuhi aura ketegangan. Terutama Bapak, terpancar dengan jelas sekali ketegangan itu dari setiap sudut tubuhnya. Sepanjang perjalanan ini, tak ada obrolan seperti biasa diantara kami.
Sesampainya di rumah. Bapak turun untuk membuka pagar. Dari dalam mobil aku melihat Bapak seperti sedang berbicara sendiri saat membuka pagar.
"Saya siapin... Kopi dan susu"
Kalimat itu yang terdengar saat Bapak hendak masuk lagi ke mobil.
Aku papah ibu masuk kedalam rumah dan langsung kekamar nya, agar ibu dapat langsung beristirahat. Aku pun merebahkan diriku disampingnya. Aku pandangi wajah ibu yang terlihat lelah. Kupeluk ibu, seperti waktu aku kecil dulu ketika tidur disampingnya. Tanpa terasa aku pun terlelap.
Lagi-lagi aku terbangun karena ingin kekamar mandi. Saat keluar dari kamar Ibu dan Bapak, aku melihat gelas berisi Kopi dan Susu disalah satu sudut ruangan.
"Kopi sama susu buat apaan itu pak?" Tanya ku pada Bapak yang sedang duduk diruang tamu.
"Lanjutkan saja tidur mu, besok kita kerumah nenek". Aku pun masuk kekamarku tanpa bertanya apa-apa lagi pada Bapak. Mungkin ada hubungannya dengan apa yang aku dengar tadi.
Seperti yang sudah direncakan Bapak. Kami pun pergi kerumah Nenek. Tapi setibanya disana, lagi-lagi kami disambut oleh Nenek yang kesurupan. Jin dalam tubuh Nenek berkata kalau dia merubah sasarnya, dari Bapak ke Aku dan sekarang ke Ibu. Menurut dia, Ibu lah yang paling 'mudah'.
Bapak yang sudah habis kesabarnya, memutuskan untuk langsung berduel dengan Jin suruhan Mang Dadi dan pasukkannya. Keluarga Bapak yang mendengar ini tentu saja khawatir dengan Bapak dan mencoba untuk menenangkannya. Tapi sepertinya Bapak sudah bertekad untuk menuntaskan semua nya malam ini juga.
"Wahhh benar-benar bawa pasukan banyak" ucap Bapak sambil menatap halaman kosong saat kami tiba di rumah.
"Chan... Kamu dan Ibu tunggu didalam. Jangan keluar sampai Bapak suruh"
"Tapi pakkk... " Ibu khawatir
"Insyallah Bu... Doakan saja Bapak dari dalam"
Aku pun membawa Ibu kedalam dan hanya bisa melihat Bapak dari jendela ruang tamu. Bapak mengambil kuda-kuda seperti orang sedang pencak silat. Sesekali Bapak seperti seseorang yang sedang menebas-nebaskan pedang. Jika ada yang melihat Bapak sekarang, mungkin mereka akan berfikir kalau Bapak sedang latihan pencak silat. Atau parah nya, menganggap Bapak ku gila karena memukul, menendang dan menebas udara.
"Bu... Bapak berdarah" ucapku panik saat melihat Bapak menyemburkan darah dari mulutnya dan jatuh tersungkur sambil memegang perut nya.
"Jangan keluar Chann" ucap Ibu sambil menahan aku yang sudah memegang gagang pintu.
Aku kembali memandangi Bapak lewat jendela. Bapak masih memegangi perut dengan tangan kiri sambil mengibas-ngibaskan dengan tangan kanan. Sejam sudah Bapak melakukan itu, sampai Bapak berjalan tertatih kepintu. Buru-buru aku buka pintu dan memapah Bapak.
Aku ambilkan air minum untuk Bapak, agar Bapak lebih tenang.
"Bagaimana pak??? Bapak tadi kenapa sampai muntah darah gitu pak?" tanya Ibu cemas
"Bapak tertusuk tadi Bu" jawab Bapak setelah meneguk air yang aku bawa.
"Tertusuk bagaimana pak?"
"Sudah Bu.... Tak usah dibahas lagi... Yang penting sekarang ini kita sudah aman... Sudah Bapak hancurkan semua..." Bapak menceritakan pada Aku dan Ibu garis besar kejadian tadi. Termasuk satu Jin berumur ribuan tahun yang berhasil melarikan diri. Bapak berkata kalau saat ini tak akan ada lagi gaib-gaib yang akan mengganggu.
Seminggu sesudah kejadian itu, kondisi Ibu perlahan membaik. Tak ada lagi gangguan-gangguan gaib dikeluargaku. Semua berjalan tenang sampai seorang keluarga Bapak mengabarkan kalau Mang Dadi meninggal dunia.
Saat Istri Mang Dadi ingin membangunkan Mang Dadi dikamar yang biasa dipergunakan untuk ritual, dia malah menemukan suaminya sudah tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Mata Mang Dadi mendelik, jari-jari tangannya menekuk mencakar kaku. Lehernya membiru seperti bekas cekikan dengan darah mengucur dari lubang-lubang tubuhnya.
============ Note =============
Niat hati ingin keluar dari kegelapan, namun dengan cara salah dan tergesah. Mengikat janji dengan api, tanpa tahu ia yang akan menjadi arang. Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk mengakhiri cerita kali ini.
Namun sebelum saya mengakhirnya, izinkan saya meminta kesediaan para pembaca untuk mengirimkan Alfatiha untuk Ayah Chandra Irawan yang sudah berpulang kepada Sang pencipta.
Dan juga saya mohon maaf tidak dapat menceritakan tentang pertarungan dari sudut pandang alm. Ayah Chandra.
Terimakasih untuk Narsum Chandra Irawan dan semua yang sudah membaca, sampai jumpa dicerita selanjutnya.
BACA JUGA : Memasuki Kota Gaib Pantai Selatan
KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~