Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 10 END)


JEJAKMISTERI - "Aku gak iso melu mlebu, Kang" (Saya tak bisa ikut masuk, Kang)

Kolis tertegun mendengar ucapan Ilham, sesampainya di persimpangan jalan Desa. Matanya lurus menatap sebuah rumah besar yang berada di sisi kiri, tak jauh dari tempatnya berhenti bersama Ilham.

"Rame banget, Mas. Opo wes di mulai acarane?(Rame sekali, Mas. Apa sudah di mulai acaranya?) tanya Kolis.

"Opo seng mbok delok, kok iso muni rame, Kang?" (Apa yang kamu lihat, kok bisa bilang ramai, Kang?) jawab Ilham sedikit heran dan balik bertanya.

"Wong rewang karo wong do ndelok Karawitan" (Orang sinoman dan orang melihat hiburan campur sari) jawab Kolis.

"Kui ngunu dudu menungso Kang. Mergo mripatku ora iso ndelok. Yo wes Kang. Sampeyan mlebuo, aku tak njogo seko kene"

(Itu artinya bukan Manusia Kang. Karena mataku tak bisa mrlihat. Ya sudah Kang. Kamu masuklah, Saya jaga dari sini)

Tanpa mengangguk dan menjawab, Kolis mengayunkan kakinya mendekat ke arah rumah besar dengan pagar setinggi dada mengitar.

Keramaian, hiruk pikuk dan hilir mudik sosok-sosok manusia menjadi awal penyambutan kedatangannya. Lebih jauh, alunan gamelan dari halaman depan berpanggung, menyusup lembut di telingannya.

Sebuah tontonan tradisional Karawitan dengan alat musik yang di mainkan Dua Puluhan orang laki-laki berpakaian ala kerajaan, sejenak memukau Kolis.

Hal itu sebentar membuatnya terlupa akan tujuan dan ucapan Ilham. Sebab tontonan itu dirasakannya memberikan daya tarik tersendiri.

Kolis terus melangkah. Matanya tertuju ke depan, tepatnya pada sesosok wanita cantik di atas panggung berkarpet merah yang tengah menari di iringi gamelan berirama.

Tak terasa Kolis sudah jauh berada di dalam kerumunan. Mengabaikan tatapan-tatapan aneh penuh makna dari puluhan sosok di kanan kiri yang menyingkir seakan memberinya jalan, untuk mendekat ke arah panggung megah nan terang, berhias untaian aneka bunga warna-warni.

*****

Sesampainya tepat di depan, atau tinggal berjarak dua meter, sang wanita berhenti berlenggok menandai berakhirnya sebuah lagu khas Jawa yang sering di mainkan dalam acara-acara tertentu.

Sang wanita yang memakai kain batik berkemben dengan rambut bergelung, tiga langkah maju mendekat ke tempat Kolis berdiri. Matanya sayu menatap, seolah ada kilasan sebuah isyarat yang tak bisa ia ungkapkan dengan bibir. Namun tak lama, ia kembali mundur dan menari setelah suara Gong berdengung, mengawali pelog pegon serta tetabuhan lainnya ikut terdengar di mainkan.

"Nduk Kom!" seru Kolis lirih.

Sang wanita terus saja meliukan tubuhnya yang kali ini tariannya terlihat vulgar.

Beberapa kali Kolis harus tertunduk demi tak melihat liukan yang di lakukan sosok wanita sangat mirip sang adik.

Satu tembang berlalu, suasana sebentar hening. Bahkan terlihat seluruh penonton serta para Waranggono tertunduk. Hanya Kolis saat itu masih dalam posisi tegak terheran.

Sampai pada alunan gamelan di tabuh pelan, seluruh sosok di tempat itu sujud bersimpuh, barulah Kolis sadar bila mereka tengah memberi penghormatan pada empat sosok yang baru muncul di atas panggung.

Kolis sendiri begitu terkejut melihat ke empat sosok itu, dimana di antara tiga sosok adalah wanita, dengan salah satu adalah adiknya. Sedangkan sang lelaki tak lain Jasmoro.

Kolis kemudian dua langkah maju, ingin memastikan penglihatannya.

Sepintas baginya tak ada beda antara sosok wanita penari dengan sosok di samping Jasmoro. Hanya pakaian serta dandanan yang membedakan.

"Sampeyan wes hadir, Mas. Munggaho rene" (Kamu sudah hadir, Mas. Naiklah kesini)

Jasmoro, dengan suara lembut di iringi senyum mengulas berwibawa menyapa Kolis.

"Gak ngiro Mbah Waris nepati janjine, bakal nekakne awakmu, ngger..." (Tidak menyangka Mbah Waris menepati janjinya, akan mendatangkanmu, Nak...)

Kali ini Kolis terperanjat, kala sosok wanita anggun di sebelah kiri Jasmoro menyebut nama Mbah Waris. Seketika ia pun berpikir keras. Membayangkan serta mengingat semua yang telah dirinya lakukan atas saran Mbah Waris.

Yang kemudian memunculkan keraguan dalam benak, tentang apa yang akan dirinya lakukan.

"Mreneo Le. Awakmu seng dadi waline Nduk Kom" (Kemarilah, Nak. Kamu yang jadi walinya Nduk Kom)

Perasaan berkecamuk pun mendera jiwa Kolis.

Ia menatap lurus pada sosok Komala. Seolah ingin bertanya dan memastikan sesuatu yang dirinya ragukan.

Tak berapa lama Kolis pun melangkahkan kaki setelah anggukan pelan sosok adiknya, memberi isyarat agar ia menuruti ucapan dua sosok wanita berpakaian sama persis yang berdiri mengapit antara Jasmoro dan Komala.

Setapak demi setapak kaki Kolis menaiki tangga panggung dengan perasaan tak menentu. Jantungnya terpacu ketika mendekat, menyesap aroma wangi kembang, menebar dari tubuh sosok wanita paling tua diantara lainnya.

"Delok neh wektu Glingsir teko. Kabeh wes cukup, kabeh wes kumpul, sanggar jenggolo wes pepak wangine kembang melati kanggo nyambut Junjungan. Jasmoro, Nduk Kom, siapno baktimu" (Sebentar lagi waktu pertengahan malam Tiga Belas datang. Semua sudah cukup, semua sudah kumpul, aula istana sudah penuh harum bunga melati untuk menyambut Junjungan. Jasmoro, Nduk Kom, siapkan bakti kalian)

Dingin dan datar suara wanita lebih muda yang Kolis tau adalah Ratri, ibu kandung dari Jasmoro. Matanya memandang ke atas, menatapi gelap pekat yang tak tertembus.

Tetabuhan karawitan kembali mengalun, mengiring langkah gemulai tiga sosok wanita dan satu lelaki yang di ikuti Kolis. Ingin bertanya, ingin berontak saat itu Kolis, tetapi semuanya seperti terkunci kuat. Ia hanya mampu menuruti tiap-tiap anggukan kepala dari sosok adiknya.

Sedikit jauh letak antara panggung karawitan dan tempat yang di tuju. Beberapa kali melewati taman dengan puluhan sosok tanpa busana, berdiri tegak tak bergeming.

Mereka melihat, namun hanya diam. Tatapan sayu dengan bola mata cekung masuk ke dalam, menyirat kesedihan dan kesengsaraan mendalam.

Sedikit maju melewati taman, Kolis mendapati sebuah jembatan kecil. Sebentar menyebrang, menapak di sebuah tempat lapang bercahaya redup.

Dari sisi kanan kiri, tampak pilar-pilar kayu setinggi dua meteran tertancap kokoh dengan rantai berwarna hitam melingkar.

Sesampai di tengah, mata Kolis melotot, mendapati sebaris pilar terisi sosok-sosok tubuh manusia.

Dari semua sosok, tak ada satupun sosok wanita. Terlihat dari wajah mereka dan tubuh yang tak berbalut kain sehelai pun.

Satu yang membuat Kolis merinding, melihat pada bagian bawah, tepatnya bagian alat vital. Bercakan darah meleleh, menandai tak satupun dari semua sosok yang terikat rantai pada pilar kayu, mempunyai kelamin utuh.

Beberapa lama Kolis menahan gidikan ngeri melewati tempat itu. Sepuluh meteran di depan, Kolis mendapati sebuah gerbang tinggi berdinding warna emas mengkilap. Namun saat masuk ke dalam, pemandangan tampak sangat jauh berbeda.

Selain hawa lembab, bangunan layaknya terowongan tertutup kain merah di semua bagian dinding. Tepat di ujung, terdapat dua sosok bertubuh hitam gelap, menjadi penjaga.

Tujuh anak tangga dari bebatuan harus di lalui Kolis yang terus mengikuti empat sosok di depannya keluar dari gerbang berkain merah. Mereka terus berjalan dan kali ini menyisir jalan selebar dua meteran, dengan sisi kanan kiri terdapat gundukan-gundukan tanah bernisan batu hitam terpahat.

Hawa di tempat itu pun lembab dan anyep. Tetapi bukan hal itu, bukan juga nisan-nisan batu bertutup kain merah yang tetiba membuat Kolis terhenti mematung.

Nafas Kolis terasa sesak dan berat. Tengkuknya dingin membeku, melihat beberapa sosok terpasung di ujung samping kiri, menyandar pada dinding batu-batu bulat bersusun.

Ratapan dari tiga sosok dengan rambut panjang sampai menutup wajah sangat menyayat batin Kolis. Ia sangat kenal dengan suara itu, meski tak dapat melihat jelas wajah mereka yang tertunduk, meneteskan lendir-lendir merah mengental.

"Iku ganjarane wong seng kewanen" (Itu akibat orang yang terlalu berani)

Sinis, suara dari depan Kolis, membuatnya terperanjat kaget. Lebih terkejut, menyadari di depannya hanya ada seorang wanita tua bertapi kain jarik putih hitam.

Kolis selangkah mundur, mengedarkan pandangan mencari sosok Komala dan Jasmoro serta dua wanita yang tadinya ia ikuti.

"Seng mbok golek i do nunggu nang jenggolo. Tugasku gowo koe nang curug sak durunge mulai upacara"

(Yang Kamu cari menunggu di Jenggolo. Tugasku membawamu ke Curug sebelum mulai upacara) ucap wanita tua seperti tau yang tengah di pikirkan Kolis.

Senyum sinis mengembang dari bibir tua hitam milik wanita itu. Memamerkan deretan gigi tak kalah hitam, kontras dengan rambut panjangnya yang memudar. Matanya lebar membulat putih, tanpa alis terbalut kulit keriput.

Meski takut, Kolis hanya pasrah mengikuti langkah sedikit bungkuk sang wanita tua.
Puluhan langkah Kolis terus mengikuti dengan diam.

Sampai sang wanita tua membelok ke arah kiri, barulah membersit keraguan dalam benak Kolis, membuatnya menghentikan langkah.

"Durung wektune koe mlebu kono. Saiki meluo aku kanggo ngresik i rogomu" (Belum waktunya Kamu masuk kesana. Sekarang ikutlah Saya untuk membersihkan ragamu)

Pelan namun tegas suara wanita tua, saat menyadari Kolis berhenti dan menatap ke arah sisi kanan, dimana terlihat sebuah bangunan mewah nan terang di penuhi untaian bunga berwarna putih menggantung melingkar pada tiap-tiap sudut berpilar kayu coklat sebesar pelukan tangan dua orang dewasa.

Sangat jauh perbedaan dengan tempat akan dirinya tuju mengikuti sosok wanita tua, yang hanya bercahaya dari obor-obor terpasang berjarak, menuju ke arah tempat gelap tak tertembus pandangan.

Selangkah maju, kaki Kolis seolah tak berpijak tanah. Semua seperti hampa dan ringan. Namun hal itu tak dapat Kolis tolak. Tubuhnya seakan tertarik oleh satu kekuatan. Memaksanya untuk terus mengikuti di belakang sosok wanita tua berbau kapur barus.

Hanya beberapa menit Kolis kembali menghentikan langkah mengikuti sang wanita. Tak lama, wanita tua itu menjulurkan tangan, menunjuk ke arah depan tanpa menoleh pada Kolis.

"Kono kae Curug e. Rono o...." (Disana itu Curugnya. Kesanalah...) ucap sang wanita.

Sejenak Kolis masih terdiam. Lalu berjalan mengikuti arah yang di tunjuk oleh sang wanita, setelah sang wanita mengulangi perintahnya.

Antara takut dan bingung, Kolis terus menjejakan kaki setapak demi setapak. Menyusuri suasana remang, melewati obor-obor bercahaya tenang.

Memasuki sebuah gapura bambu di apit dua buah obor besar, telinga Kolis mulai tersusupi suara tawa riuh di depan.

Tak berapa jauh, matanya melihat sebuah tempat di terangi obor yang melingkar lebar.

Kilauan memantul dari tengah-tengah tempat itu, meyakinkan Kolis jika Curug itulah yang di maksud oleh sang wanita tua.

Kolis bergegas mendekat, ingin segera menuntaskan satu syarat, membersihkan diri dengan air Curug.

Namun, belum sempat kakinya menyentuh air berwarna hijau jernih, bisikan tegas berulang-ulang, masuk rongga telinganya.

"Ojo njegor, Kang! ombenen banyune nganggo dlamaan!" (Jangan masuk ke dalam air, Kang! Minum airnya dengan telapak tangan!)
Tiga sampai empat kali suara perintah itu terdengar. Membuat kaki Kolis beringsut mundur dan berdiri di tanggul Curug.

Sepintas Kolis berpikir. Ia sangat kenal suara itu. Namun berkali matanya mengedar tak menemukan sosok pemilik suara.

"Nduk Kom...! Nduk Kom...!"

Suasana Curug tetap hening. Tak ada sahutan dari panggilan Kolis. Membuatnya kembali terdiam penuh rasa bimbang.

Semenit berikutnya Kolis memilih untuk turun mendekati air Curug. Dua telapak tangannya mengatup, meraup air dingin Curug dan meneguknya.

Tiga kali raupan, lalu Kolis tutup dengan membasuh wajah. Kemudian naik dan perlahan meninggalkan Curug.

Kebingungan lagi-lagi di rasa Kolis. Jalan awal ia masuk yang tadinya hanya satu arah, tetapi saat akan keluar, tampak beberapa pintu terpampang di hadapannya.

Semua pintu berbentuk sama, penerangan dengan obor besar juga sangat persis. Sedikit pun Kolis tak menemukan perbedaan,bmembuatnya sebentar diam menimbang-nimbang sebelum memilih salah satu arah.

Tiga tarikan nafas, Kolis melangkah mantap. Sepintas melirik sisi kanan kiri, sebelum kakinya mengayun melewati pintu keluar dari Curug yang ia pilih tepat dan lurus di depannya.

Baru keluar Sepuluh jengkal, ia harus tercengang. Mendapati sebuah tempat ramai penuh kesibukan.

Para wanita terdengar tertawa lepas antara satu dengan yang lain. Juga para lelaki hilir mudik bahu membahu, saling membantu mengerjakan beberapa pekerjaan.

Aroma sedap berbagai masakan segera menyegarkan penciuman Kolis. Dirinya pun yakin jika saat itu berada di dapur. Keyakinannya semakin kuat, manakala melihat aneka hidangan yang telah matang, berjejer di atas sebuah meja panjang.

Tanpa sadar tubuh Kolis tergerak maju mendekati sosok-sosok yang sedang bersibuk. Namun aneh, walau hanya berjarak satu siku, mereka hanya diam tak memperdulikan kehadirannya.

Keanehan semakin menjalar, saat beberapa sosok berpapasan dan hanya menatapnya dengan wajah tanpa expresi.

Gidikan ngeri segera menelusup seluruh tubuh Kolis, kala dirinya dengan seksama melihat sosok-sosok itu tak wajar. Terutama pada bagian-bagian tubuh mereka. Tak ada satupun dari sosok-sosok itu berindra lengkap, terutama pada bagian telinga.

Menyadari hal itu, buru-buru Kolis berlalu. Kakinya mengayun cepat, tanpa perduli lagi dengan semua sosok yang diam dan menatapnya.

Sekilas dalam langkah terburu, ia sempat melirik. Dalam pandangannya, semua hidangan yang telah tersaji dan tertutup kain hitam pada bagian atas, adalah dari potongan anggota tubuh manusia.

Cukup jauh Kolis melangkah. Hingga tiba di ujung, tepatnya gapura bersusun batu bata menguncup, Kolis di kejutkan oleh sosok wanita tua yang tadinya mengawal.

Sosok itu menatap tajam. Sorot matanya penuh amarah, membuat tubuh Kolis mulai menggigil.

"Kewanen koe wani mlebu Jeron Jenggolo! untung Koe rene mergo karepe Kanjeng Dewi, ketulung ora dadi panganane Junjungan!"

(Terlalu berani Kamu masuk dalamnya Jenggolo! beruntung Kamu disini karena keinginan Kanjeng Dewi, tertolong tidak menjadi hidangannya Junjungan) sentak sang wanita tua.

"Koe saiki wes di tunggu!" (Kamu sekarang sudah di tunggu!) sambungnya masih dengan suara dingin dan tegas.

Kemudian sosok wanita tua membalikan tubuh. Rambutnya yang panjang tergerai menyentuh tanah berumput, menimbulkan suara gemrasak saat kakinya mulai berjalan.

Kolis yang masih dalam bayang ketakutan perlahan mengikuti dengan menjaga jarak sedikit jauh. Sampai akhirnya tiba tepat di samping tempat yang sempat dirinya lihat mewah nan terang.

"Pisan iki aku ngampuni menungso seng lancang!" (Satu kali ini Saya mengampuni manusia yang lancang!) seru seorang wanita bergelung, tertuju pada Kolis yang baru tiba.

"Munggaho, iki wes wancine!" (Naiklah, ini sudah waktunya!)

Kolis pun menurut. Menaiki tiga tangga menuju dalam aula yang besar, wangi dan terang.

Puluhan orang terlihat duduk berkumpul. Memutari dua sosok di tengah, menghadap pada sebuah cawan berisi air dan taburan aneka bunga.

Diantara puluhan orang, beberapa wajah membuat Kolis terkejut. Salah satunya adalah wajah tua yang sangat dirinya kenal, sangat ia hormati, Mbah Waris.

"Mbah! opo maksudte iki!?" (Mbah! apa maksudnya ini!?)

Tak dapat lagi Kolis menahan keraguannya. Ia kecewa melihat Mbah Waris berada di tempat itu. Namun terlihat Mbah Waris tetap diam dan tenang, meski ucapan Kolis sangat jelas dan tegas.

"Melu lungguho kono, awakmu kui wali nikahe Komala. Ojo gawe ribut nang kene" (Ikut duduklah sana, Kamu itu wali nikahnya Komala. Jangan bikin ribut disini)

Kolis berpaling. Menatap lelaki tua yang berada tepat di sampingnya dan baru saja berucap lirih.

Melihat siratan dari sorot mata dan anggukan kepala lelaki tua itu, Kolis meredakan emosinya.

Meski tak mengerti secara jelas, tetapi anggukan itu dapat Kolis artikan sebagai perintah baginya.

Satu hembusan angin kencang, tetiba masuk dalam aula. Mengibarkan selendang-selendang milik beberapa wanita yang berdiri sedikit jauh dari tempat para lelaki duduk mengitari Komala dan Jasmoro, juga mengibas untaian bunga-bunga putih yang menggantung pada empat pilar.

Sebentar kemudian sebuah tembang macapat terdengar nyaring, di suarakan sosok wanita paling tua, dan berada di depan sebuah patung besar berwujud sesosok lelaki berpakaian Raja.

Pada bagian kaki patung terdapat sebuah cawan berisi cairan kental berwarna merah, beraroma amis menyengat.
Tembang itu terus bergema, iramanya mengalun lembut, membuat sesiapapun yang mendengar akan tertunduk, memyesapi tiap-tiap bait meski terkandung kengerian di dalamnya.

Tak terkecuali Kolis. Kepalanya tertunduk dan perlahan tubuhnya tersimpuh, duduk di antara puluhan lelaki tua yang lebih dulu duduk melingkar.

"Rojo Gotro... Rojo Gotro... Rojo Gotro...."

Pada bait tertentu, sahutan menyebut sebuah nama tak asing di telinga Kolis menggema dari mulut para lelaki tua. Sampai pada teriakan keras dari sang wanita penembang, aula berwarna kuning emas bergetar.

Beberapa detik berlalu, suasana sejenak hening. Semua kepala tertunduk, bersujud memberi hormat.
Tak berapa lama suara Gong mengalun tiga kali berturut-turut membarengi kemunculan sesosok lelaki tegap bertelanjang dada.

Dari situ Kolis tau jika semua yang ada di tempat itu tengah menyambut Sang Junjungan. Sosok yang di sembah, di agungkan oleh keluarga Rahmi Murti.

"Tak tompo talenanmu Nyai..." (Saya terima ikatanmu, Nyai...) Berat penuh wibawa suara sosok tegap berambut lurus sepunggung.

Aroma aneh segera menyeruak seantero tempat itu, ketika sosok lelaki tegap meminum cawan yang terletak di bawah kaki patung. Kemudian sosoknya berdiri tegak, tepat di hadapan patung menyambut kedatangan Komala dan Jasmoro yang telah bangkit, berjalan membungkuk padanya.

Saat keduanya telah di hadapan sosok itu, dua wanita muda berselendang datang membawa dua buah cawan.

Dimana pada tiap-tiap cawan berisi air bertabur bunga. Guyuran demi guyuran membasahi tubuh Komala, tetapi tidak pada Jasmoro. Hal itu sedikit membuat Kolis merasa aneh.

Tetapi belum sempat terjawab keanehan yang dirinya rasa, ia di kejutkan suara gamelan berirama cepat. Tak lama, puluhan wanita berselandang menari berputar mengelilingi tubuh Komala dan Jasmoro serta sosok lelaki tegap, hingga menutup pandangan Kolis.

Degup jantung Kolis terpacu, seakan mengikuti alunan gamelan, menunggu apa yang tengah terjadi pada sang Adik.

Satu pekikan melengking mengakhiri tarian dan suara gamelan. Puluhan wanita penari segera membuka diri, menunjukan sosok Komala yang telah bermahkota.

Tetapi bagi Kolis, di balik wajah sang Adik yang semakin Ayu nan Anggun, ia menangkap kilatan rasa sesal. Sampai pada akhir ritual dan sosok Lelaki tegap menggandeng sosok Komala beserta Jasmoro, sangat jelas ada air mata terlihat di wajah sang Adik.

"Saiki wes kesambung. Koe wes nyekseni, perkoro iki ora keno di wurungke!" (Sekarang sudah tersambung. Kamu sudah menjadi saksi, urusan ini tak bisa di batalkan)

Terperanjat Kolis mendengar suara wanita yang tak lain adalah Ratri, Ibu dari Jasmoro.

Seketika Kolis bangkit, tubuhnya bagai tersengat, darahnya memanas, dan membuat dadanya bergejolak. Namun, kala ia ingin mendekat ke arah sosok Ratri yang bersanding dengan wanita lebih tua sangat mirip, tertahan suara lirih dari sisinya.

"Urung saiki wektune! tetep lungguho" (Belum sekarang waktunya! tetap duduklah)

Kolis menurut, kembali terduduk dengan menahan rasa geram. Tetapi belum sampai tiga tarikan nafas, tiba-tiba Kolis merasakan lantai mengkilat aula itu seolah goyah.

Tak hanya dirinya, semua yang masih berada di tempat itu merasa terkejut.

Dua sosok wanita yang tak lain Ratri dan Rahmi terlihat panik. Wajah keduanya memerah, bola mata melotot, menatap lurus ke arah tempat di belakang patung, dimana sosok lelaki tegap membawa Komala dan Jasmoro.

"Gawe lakon opo bocah iki sampek nggoyangke jenggoloku!" (Buat perkara apa anak ini sampai menggoncangkan jenggoloku!) Seru sosok tua Rahmi, seperti menyadari sesuatu telah terjadi.

Seakan tak berjeda, goncangan yang tetiba berhenti, bersambung jeritan-jeritan melengking dari segala arah. Beberapa sosok wanita berselendang terpental jatuh ke lantai, dan kesemuanya berubah wujud.

Kini bukan sosok wanita cantik berkulit bersih, tetapi wajah busuk penuh luka bolong, dengan rambut hitam menggumpal pekat.

"Iki wes di mulai Komala! cepet, Lis! Guwaken Banyu Lemah pitong larangan!" (Ini sudah di mulai Komala! Cepat, Lis! Taburkan Air Tanah Tujuh Larangan!)

Kolis dengan panik segera bangkit. Berlari pada salah satu pilar sembari mengeluarkan sebuah bungkusan kain hitam yang ia lilitkan pada bagian perut.

"As* Koe, Waris!" (An**ing Kamu, Waris!) Umpat sosok Rahmi pada Mbah Waris.

Ia segera ingin mengejar Kolis, tetapi tertahan oleh pegangan kuat tangan Mbah Waris pada bagian kakinya. Hal itu semakin membuat marah sosok Rahmi dan Ratri. Keduanya yang sama-sama tertahan kedua tangan Mbah Waris pada pergelangan kaki, berusaha menyeret dan tetap ingin menghalangi usaha Kolis.

"Wes gak eman nyowomu, tuek as*!" (Sudah tak sayang nyawamu, orang tua an**ing!) Tak sabar lagi, sosok Rahmi menghentakkan sebelah kakinya, tepat di kepala Mbah Waris.

Satu pekikan meluncur dari rongga tenggorokan lelaki tua itu, ceceran darah keluar dari mulut dan hidung, tetapi tak mengendurkan pegangan tangannya.

Sementara Kolis selesai pada satu pilar, telah berpindah pada pilar lainnya. Dalam batinnya ia marah, melihat Mbah Waris yang berlumur darah demi menahan sosok Ratri dan Rahmi. Apalagi, ketika ia berpindah pada pilar ketiga, yang berada lebih dekat dengan tubuh Mbah Waris, sangat jelas mata Kolis melihat Mbah Waris yang kesakitan melototkan bola mata.

Ingin rasanya ia menolong, namun dirinya harus segera menyelesaikan tugasnya yang tinggal satu pilar.

Di pilar terakhir, tepat pegangan tangan Mbah Waris terlepas dari pergelangan kaki Ratri dan Rahmi. Bersamaan pula tubuh dua sosok wanita itu limbung, dan jatuh terduduk.

"Koe wani ngancurke Jenggoloku! nyowo adikmu ora bakal slamet!" (Kamu berani menghancurkan Jenggoloku! Nyawamu, Adikmu tidak akan selamat!)
Kolis yang telah selesai segera mendekati tubuh Mbah Waris. Sejenak menatap pada sosok Rahmi dan Ratri yang telah berubah menjadi sosok menakutkan.

"Kang, metuo seko kene! Mlayuo...!" (Kang, keluarlah dari sini! larilah...!)

Belum sempat berucap apapun, Kolis di kejutkan seruan dari arah patung.

Komala, sang Adik terlihat jelas tengah terseok. Tubuhnya tak terbungkus apapun, tetapi juga tak utuh.

"Nduk! Nduk...!"

Teriak Kolis, melihat sang adik berlumur darah. Tak hanya tubuhnya yang tersayat dan tercabik, dari perutnya tersembul memburai isi dalam dan seonggok gumpalan merah kehitaman, Saat itu Kolis bangkit ingin menolong. Belum sampai lima langkah, Kolis terjengkang. Tubuhnya oleng dan terbanting oleh guncangan aula yang menderak kuat.

Satu persatu atap aula berguguran. Suara retakan dari empat pilar begitu keras membuat Kolis tertatih keluar.

Sebelum sampai di luar aula, Kolis sempat melihat bagaimana tubuh Komala yang telah terkulai tak berdaya di seret paksa oleh Jasmoro dan menghilang bersamaan runtuhnya aula.

Kolis terdiam dalam tangis, menatapi reruntuhan aula menimbun tubuh-tubuh di dalamnya.

Seketika itu juga suasana di tempat itu gelap, sunyi, yang ada hanya kabut-kabut tipis bersliweran.

Akan tetapi, ketika baru saja kaki Kolis kembali tegak, dari arah belakangnya terdengar suara riuh meminta tolong.

Segera ia membalikan tubuh, mendapati bumbungan merah dan suara gemeratak.

Kolis seketika tersadar, saat itu dirinya berada di halaman belakang rumah mewah milik keluarga Rahmi Murti.

Selangkah Kolis beranjak, ia terkesiap. Sebentar diam, kemudian memalingkan kepala, beradu pandang dengan beberapa sosok yang berada di belakangnya.

Tak hanya wajah mereka yang putih dan sayu, suara rintihan menyayat seakan meminta tolong juga keluar dari mulut mereka.

Antara takut dan iba, Kolis buru-buru melangkah. Mendekat ke arah kerumunan orang yang sedang mencoba memadamkan api.

Tubuh Kolis mematung. Ia seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi, dimana rumah mewah nan megah hunian turun temurun keluarga Murti Rahmi terbakar.

Dalam diamnya Kolis menyadari jika ada keanehan pada kebakaran itu. Api yang begitu besar bisa menyulut rata seluas dan selebar rumah. Meski banyak warga mencoba memadamkan, nyatanya Api semakin berkobar menjilat-jilat.

Tiga puluhan menit dua mobil unit kebakaran tiba di tempat itu. Tetapi tak ada lagi yang bersisa, tak ada lagi yang di padamkan. Semuanya hangus, semuanya hancur. Tembok yang terlihat begitu kuat kokoh berdiri roboh rata dengan tanah.

Yang ada hanya asap-asap tipis mengepul dari beberapa sudut.

Semua barang berharga, mewah, tak satupun yang tersisa. Hanya puing-puing arang tampak memenuhi sekitar, menebar bau hangus dan asap menyesakan.

Entah karena firasat atau ada kekuatan menarik diri Kolis untuk melangkah di sisi kiri bagian bekas rumah. Di susurinya pinggiran tembok yang telah roboh sembari matanya memandang lurus. Mengacuhkan beberapa orang yang di lewatinya, hingga tiba di ujung, atau tepatnya di bagian batas antara halaman belakang dan rumah.

"Mbah...!"

Pekik Kolis, kala melihat dua tubuh terbaring berlumuran darah. Dari salah satu tubuh, sangat jelas jika itu adalah tubuh Lelaki tua yang berada di sampingnya saat acara ritual.

Teriakan Kolis akhirnya mengundang perhatian banyak orang. Sehingga dalam waktu singkat, dua tubuh lelaki tua yang sudah tak bernyawa setengah tertimbun tembok, dapat di ambil.

Seketika ingatan Kolis tertuju pada sosok adiknya.

Setelah ikut membopong mayat dua lelaki tua abdi dalam Ratri, Kolis bergegas kembali ke puing-puing rumah.

Setibanya ia, rintikan hujan menyambut. Semakin masuk ke dalam, hujan semakin deras. Beberapa warga dan petugas yang mencoba mencegah serta mengingatkan, dirinya abaikan.

Dalam lebatnya hujan itulah, mata Kolis melihat sepotong kain. Dirinya ingat betul jika kain berwarna merah bermotif bunga mekar, adalah kain yang di pakai Komala.

Hembusan angin di sertai kilat-kilat bersahutan, tak menyurutkan tekat Kolis. Ia berusaha sekuat tenaga dan bersusah payah mendekat dan menarik kain merah.

Saat dirinya berhasil mangambil, saat itu juga sebuah tangisan lirih terdengar di telinganya.

Hawa dingin yang membalut tubuh kuyupnya, tetiba memanas. Mendapati di depannya, tak lebih berjarak lima meter, satu sosok wanita berdiri tertunduk dalam tangisan.

"Nduk Kom! Nduk... Awakmu ijek urep to....?" (Nduk Kom! Nduk... Kamu masih hidup kan....?) ucap Kolis begitu yakin jika sosok berambut sepunggung yang menutup bagian separo wajahnya adalah sosok Komala.

Sebentar sosok itu menghentikan isak tangisnya. Perlahan wajahnya terangkat, menyibak rambut hitam yang menutupi pada bagian wajah.

Saat itu, dari kilatan-kilatan tak berpetir, Kolis sedikit jelas melihat wajah hancur milik sosok itu.

Dari dua bola matanya, terlihat mengalir darah. Dua bibirnya terkelupas, membuat deretan gigi putihnya terlihat jelas. Melihat sedikit lama, membuat Kolis merinding dan ragu bila sosok itu benar Komala Adiknya.

Saat akan beringsut mundur, tetiba sosok itu kembali menangis terisak.

"Kang, tolong aku, bebaske aku!" (Kang, tolong Saya, bebaskan saya!) ucap pelan memelas sosok wanita yang semakin Kolis yakini adalah Adiknya.

"Nduk... Nduk Kom. Tenango, iki wes rampung, awakmu wes bebas. Ayo muleh...." (Nduk... Nduk Kom. Tenanglah, ini sudah berakhir, Kamu sudah bebas. Ayo pulang....) sahut Kolis bersemangat.

Namun, ucapan Kolis di jawab gelengan kepala sosok Komala. Bahkan isakan tangisnya semakin menyayat, membuat lelehan darah deras mengalir dari bola matanya.

"Aku wes gak iso bali, Kang. Aku pingin bebas seko gon iki. Tolong aku, Kang. Tolong jikok jasadku seng ke kubur nang gon kene. Pindahke seko gon iki, cedakke jasadte Bapak. Ben aku iso lungo bebas" (Saya sudah tidak bisa pulang, Kang. Aku ingin bebas dari tempat ini. Tolong Saya, Kang. Tolong ambil jasadku yang terkubur disini. Pindahkan dari sini, dekatkan dengan jasad Bapak. Supaya Aku bisa pergi bebas)

Setelah berucap, sosok itu tak lagi terlihat di mata Kolis. Yang ada hanya kabut putih dan guyuran air hujan.

Tubuh Kolis kembali menggigil. Antara dingin juga rasa tegang.

Dua tangan Kolis akhirnya mencoba dan berusaha menyibak sisa atap dan tembok yang hangus, untuk memastikan kebenaran ucapan sosok mirip Komala.

Beberapa lama usaha Kolis tak membuahkan hasil, hingga hujan mereda belum juga dirinya menemukan jasad sang Adik.

Beruntung Kolis terbantu beberapa warga yang ikut mencari. Sampai akhirnya, Kolis sendiri lah yang pertama melihat sebujur tubuh Komala, tertindih reruntuhan atap rumah

Setelah berhasil mengangkat dan memindahkannya, raungan tangis Kolis pecah menggema, menyaksikan tubuh sang Adik membiru dan sebagian hitam hangus terbakar.

Rasa lelah, sedih dan marah, menghantar Kolis pada perasaan gelap. Tanah tempatnya berpijak seakan berputar serta hanya hitam... hitam... semakin pekat menghitam.

***

"Mas Ilham!" seru Kolis.

"Ilham sukmone ketarik" (Ilham sukmanya ketarik) ujar Uyut Latip.

"Lek....?" Uyut Latip hanya diam, seolah tau apa yang di khawatirkan Kolis.

"Sukmone iso mbalek, neng gak iso normal meneh. Mulo bocah iki arep tak gowo, bakal tak ramut" (Sukmanya bisa kembali, tapi tak bisa normal lagi. Karena itu anak ini akan Saya bawa, akan saya rawat)

-TAMAT-
close