Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG PENAKLUK JIN (Part 16) - Kisah Nyata


JEJAKMISTERI - Karena dengan jurus tao tidak ada perubahan apa-apa, lek Muhsin pun segera mengubah pengobatan dengan tenaga dalam dan ilmu kejawen, tapi juga tak menghasilkan apa-apa, malah Marjuki bilang katanya permainan sandiwara lek Muhsin untuk menghiburnya teramat membosankan, Marjuki minta diganti lakon yang lain saja, dan disambut ketawa oleh penonton yang menyaksikan, karuan saja membuat lek Muhsin malu bukan kepalang. Dan keringatnya mengalir deras sampai lehernya basah, dan pakaiannya juga basah. Seperti orang yang habis nyangkul di sawah, aku memahami perasaan lek Muhsin.

Kali ini lek Muhsin mengobati dengan rukyah, membaca ayat-ayat Alqur’an, ayat satu digabungkan dengan ayat yang lain, tapi pengobatan rukyah ini rupanya juga tak begitu ada hasilnya, Marjuki malah siat-siut mengantuk, ayat-ayat Alqur’an itu seperti menina bobokannya, melihat gelagat yang tak baik ini, aku segera ikut membantu, seluruh wirid yang biasa ku baca, ku baca dalam hati tiga kali, sambil menahan napas. Serasa hawa aneh mengalir bergeletaran dari pusarku, ku salurkan ke tanganku ku arahkan ke tubuh Marjuki, ku bayangkan tubuh jin yang ada di tubuh Marjuki terlingkupi dan berusaha ku sedot ke tanganku, tiba-tiba tubuh Marjuki yang siat-siut ngantuk itu membuka matanya, liar dan “krimpying..!!, kretekkriet..!!,” Marjuki berdiri tegak, kayu yang dipakai memasungnya sebesar dekapan manusia itu berderak membalik. “Hah, siapa yang mencoba menarikku keluar dari tubuh ini, hrrr..brr…bedebah, belum tau siapa aku?!”

“Aku iki panglimane Nyai Roro kidul, ayo sopo pengen adu ilmu…huahaha…” aku grogi juga mendengar yang masuk ke tubuh Marjuki adalah anak buah ratu pantai selatan, keringatku pun mulai keluar, aku segera meminta tikar kepada pak Soleh, sementara keadaan semakin menegangkan. Sementara lek Muhsin rupanya juga takut, dia mencengkeram lenganku.

“Bagaimana ini yan?’

“Tenang lek, aku akan berusaha… nanti bantu wirid Basmalah sebanyak-banyaknya…” kataku, sambil melihat wajah lek Muhsin yang ketakutan. Setelah pak Soleh datang membawa tikar. Akupun menggelar tikar di tempat yang bersih, mengingat lawan yang berat, aku pun berinisiatif membaca fatihah kepada Nabi dan silsilah tarekat kodiriah nahsabandiah, sampai ke Kyaiku, Kyai Lentik.

Sementara Marjuki masih ketawa sesumbar. Tiba-tiba salah seorang penonton, seorang setengah baya kesurupan, dan maju ke depan ke arah Marjuki yang masih tertawa bergelak.

Mendadak saja tertawa Marjuki berhenti, aku masih membaca wirid, dengan khusuk, tak urung suara orang yang kesurupan itu terdengar di telingaku. Suara itu suara Kyai.

Aku pun membuka mata, nampak orang yang kesurupan itu petentang petenteng, di depan Marjuki yang tertunduk, takut-takut.

“Kau tau siapa aku?” suara Kyai berwibawa.

“Ampunkan saya, saya tau tuan Kyai Lentik…” suara Marjuki dengan nada takut.

“Lalu kalau kau tau siapa aku kenapa tak cepat keluar, apa aku sendiri yang akan mencabutmu, dan menjadikanmu debu..!!” suara Kyai membentak. Tiba-tiba tubuh Marjuki lemas. Dan menggelosor ke tanah. Kyai yang ada di tubuh orang lain itu segera mengusap tubuh Marjuki yang segera sadar. Dan memanggil ayah ibunya. Sementara Kyai mendekatiku dan membisiki telingaku.

“Kalau mau kembali ke pondok, kalau sakit biar sembuh dulu.” lalu orang desa yang kerasukan itu sadar. Lelaki yang sebelumnya dipinjam wadagnya oleh Kyai itu tak mengerti dengan apa yang terjadi.

Hari itu Marjuki benar-benar telah sembuh, dan segera dimandikan, aku dan lek Muhsin pun mohon diri.

Setelah mengalami pengalaman di Bojonegoro, aku pun memutuskan untuk kembali ke pesantren, setelah selang dua hari di rumah aku pun memutuskan kembali kepesantren. Maka aku mempersiapkan segala sesuatunya, karena besok siang aku pergi dengan bus malam jurusan Kampung Rambutan.

Tapi malam harinya tiba-tiba tubuhku terserang demam teramat tinggi, batuk, kepala pening, dada ampeg, perut seneb. Dan nafasku sesak sekali, sampai kalau aku menarik napas akan terdengar suara ngiik, ngiik, suaranya seperti sempritan atau sumur pompa.

Yang jelas aku merasa tersiksa dan seakan aku telah dekat kepada mati.

Bahkan ketika aku bangun dan mau keluar kamar, tubuhku begitu saja terbanting ke belakang, dan tanganku yang mencoba menahani tertindih punggungku sendiri, dan salah urat, makin lengkaplah penderitaanku.

Aku ingat kata-kata Kyai waktu di Bojonegoro, kalau aku sakit, keberangkatan ke pondok ditunda dulu. Rupanya Kyai memperingatkanku. Dan kini, aku tergeletak begitu saja. Tiada daya, Dokter dipanggil untuk mengobatiku, aku disuntik dan diberi obat yang banyak sekali macamnya, tapi tak membuatku sembuh. Tanganku juga dibawa ke dukun pijat tapi, sama saja masih salah urat.

Aku belum pernah mengalami penyakit separah ini, paling-paling biasanya pusing, atau sesak napas, karena terlalu banyak cat yang kuhirup, karena melukis air brush, yah cat yang partikelnya teramat kecil tetap saja masuk ke hidungku, dan melekat di rongga hidung dan rongga mulutku, sehingga kalau meludah akan serwarna dengan cat yang ku semprotkan, dan hidungku kaku karena terlalu banyak cat yang menempel.

Tapi sekarang penyakit ini lain, kalau mau wudhu aja kakiku gemetaran, dan tangan harus berpegangan.

Ketika ibuku menangis di sampingku, ”Bu, jangan menangis….” kataku yang lemah tidur tak berdaya, “Kalau Tuhan memang telah memanggilku, nanti tolong pada Hanni, pintakan maaf, aku tak bisa menikahinya…, katakan pada Diyah, supaya mencari lelaki yang lebih baik dariku….” aku nyerocos tak karuan menyebut semua bekas pacarku, yang telah ku kecewakan, seakan aku ini terlampau banyak dosa, telah menyia-nyiakan banyak wanita, tak mensyukuri atas ketampananku, tak mensyukuri kelebihan-kelebihan yang telah Tuhan berikan padaku.

Kalau Dokter dipanggil berkali-kali tapi tak ada perubahan pada penyakitku, semua makanan yang ku telan, ku muntahkan kembali, lalu siapa lagi yang ku harapkan mengobatiku.

Kalau orang lain sakit, begitu mudahnya aku memberi solusi, tapi ketika aku sendiri yang sakit, ah memang berat kalau kita mengalami sendiri, seperti teman yang sakit gigi, lalu kita melihat, ah sakit gigi gitu saja merengek-rengek, e, setelah kita yang sakit gigi, maka kita mengaduh lebih dari teman kita.

Keadaanku makin kritis, aku sudah sering mengigau, mataku membalik, tinggal kelihatan putihnya saja, ibuku tiap hari menungguiku dengan sabar, mengompresku, tidur di sampingku, ku dengar ayahku marah-marah,

“Ini karena sering bermain dengan jin, jadi dapat balasannya, mungkin anaknya jin yang ia tawan atau bunuh, telah membalasnya.” Yah begitulah ayahku, selalu menyalahkanku, seakan aku berdiri salah, duduk juga salah, bahkan aku mungkin setahun ngomong dengan ayahku bisa dihitung dengan jari, tapi memang harus begitu satu sisi ada yang selalu menyayangiku yaitu ibuku, juga ada yang selalu ada yang menyalahkanku yaitu ayahku, jadi aku ada kendali kadang melaju, kadang juga berhenti, jadi tak manja. Walau ayahku selalu bersikap seperti itu, aku tetap mencintainya, karena tak ada ayah yang ingin anaknya sengsara, jadi maksud ayahku itu demi kebaikanku juga.

Malam telah larut, mungkin saat itu jam dua dini hari, aku mendengar ada suara memanggilku, menyuruhku bangun, dan kubuka mata, kulirik ibuku masih tidur miring di sebelahku. Ah, lalu siapa yang tadi membangunkanku? Aku mau memejamkan mata lagi, terdengar jelas di sampingku.

“Iyan… bangun ngger…!” karena suara itu kudengar di samping kiriku, aku pun membuka mata, dan mencoba menengok orang itu dengan leher yang sakit, ngilu.

Aku heran ada lelaki teramat tua duduk di sampingku, tersenyum, dan senyumnya terasa mendamaikanku. Wajah lelaki itu lembut seperti bayi, dan ada cahaya kuning tipis menyelimuti, sejuk dipandang seperti matahari mau tenggelam. Juga memancarkan wibawa yang menyilaukan, alis orang tua itu tebal melengkung indah, kedua matanya bening lembut memandangku, seakan-akan menembus sampai dasar hatiku.

Hidungnya mancung, seperti hidung orang-orang Arab, kumis dan jenggotnya tebal memutih, namun terawat rapi, ikat kepalanya seperti gambar di wali-wali songo. Berwarna putih juga bajunya berwarna putih.

“Siapakah tuan?” tanyaku.

“Apakah tuan yang akan mencabut nyawaku? Baiklah aku sudah siap.” lalu ku pejamkan mata dan melafadkan dua kalimat sahadah.

“Anak baik…, aku bukan malaikat yang akan mencabut nyawamu…, Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat.” kata lelaki itu lemah lembut.

“Lalu siapakah tuan ini?” tanyaku, kembali membuka mata.

“Ngger, aku Abdul kadir…”

Gemuruh rasa dadaku, takdim, takut, cinta, rindu, semua teraduk dalam dadaku, bagaimana tidak, manusia yang ku cintai ku kagumi akan amaliahnya, kuyakini akan karomahnya, selalu kukirimi fatihah, karena bersyukur atas ilmunya, sekarang ada di depanku, aku mencoba bangun tapi tak kuasa, tubuhku terlampau lemah.

“Sudah ngger…, tak usah bangun, kau sedang sakit, biar aku mencoba menyembuhkanmu,” tangan Syaih diulurkan ke atas tubuhku, aku seperti merasakan hawa damai tiada tara, ku dengar letupan kecil halus, dari dalam tubuhku, dan semua sakitku serasa hilang tak tau entah kemana, tubuhku nikmat, ringan, dan seketika aku bersujud mencium tangannya, menumpahkan cintaku, rinduku…,

“Sudah ngger, sebaiknya engkau jangan memberikan pertolongan di atas kemampuanmu, sempurnakanlah ilmumu, nanti nabi Isa alaihi salam akan mengajarkan ilmu pengobatan padamu, sebagaimana dia mengajarkan kepada Kyaimu.., aku pergi ngger.” terdengar suara salam, dan tangan yang ku pegang telah hilang, meninggalkan bau harum yang tiada tara.

Aku segera menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan menjalankan sholat dua rakaat, kemudian melakukan sujud syukur.

Ibuku terbangun, melihatku sedang sholat, setelah aku selesai, ia bertanya.

“Lho udah sembuh to nang?”

“Alhamdulillah sudah bu.”

“Wah bau apa ini nang kok wangi sekali..? Kamu makai minyak apa nang, kok baunya harum?” kata ibu sambil hidungnya kembang kempis lucu.

“Jangan-jangan, ah tak mungkin, dulu aku juga mencium bau harum seperti ini waktu kakekmu meninggal, tapi kau kulihat sehat, seperti tak sakit lagi?” wajahnya kawatir.

“Ah, ibu jangan berfikir yang aneh-aneh.” Besoknya aku pun kembali ke pesantren, naik bus malam PAHALA KENCANA. Ibuku sebenarnya tak mengijinkanku kembali dulu ke pesantren, tapi aku memaksa, karena rinduku kepada Kyai. Sekarang aku telah berada dalam bus yang melaju tak terlalu cepat, karena hujan mengguyur deras di setiap perjalanan. Penumpang dalam bus tak terlalu banyak mungkin sekitar dua belasan orang, karena bus ini nantinya mengambil penumpang di agen-agen penjualan tiket di setiap perjalanan, aku duduk di tengah sebelah kiri bus. Dan daripada melamun, aku selalu membaca wirid di setiap perjalananku. Bus melaju kadang oleng kanan kiri, ketika rodanya masuk ke jalan yang berlubang dan penuh genangan air hujan, sehingga air di kubangan muncrat menyiram para pejalan kaki atau pengendara motor, pasti terdengar jiancok!, atau jiamput!, sumpahan khas, ah mengapa tak subhanallah. Entahlah…

Di daerah Lasem bus berhenti di agen penjualan tiket, para penjual makanan segera masuk menyerbu, takut pembelinya kedahuluan penjual lain, kulihat pembeli tua melangkah pelan, menawarkan dagangan, ku lihat makanan kesukaanku, yaitu jagung muda yang diparut kemudian diuleg dengan bumbu dikasih telur lalu digoreng, dimakan dengan cabe, huh enak sekali, di daerahku makanan itu namanya pelas.

“Berapa nek?”

“Tiga ribu nak.” ku keluarkan uang tiga ribuan, nenek itu menerimanya dengan jari gemetar.

“Nenek sakit?” tanyaku. Perempuan itu mengangguk. Ku keluarkan uang dua ratusan ribu, lalu ku jejalkan di telapak tangannya, mungkin uangku ini lebih berguna di tangan nenek ini daripada di tanganku, ini adalah uang gajiku melukis di rumah makan. Lumayanlah dua minggu aku mendapat tiga jutaan. Nenek itu terkejut.

Tapi aku segera berkata, ”Sudahlah nek, tak usah terima kasih, sekarang nenek tak usah kerja, nenek pulang, dan uang itu untuk membeli obat, sana nenek turun, terus pulang.” nenek itu menuruti kata-kataku kemudian dia turun, sampai di bawah kulihat dia melihat uang yang kuberikan. Lalu menatapku dari bawah dan air matanya berkaca-kaca. Kulihat dia mengangkat kedua tangannya berdoa. Sementara aku mulai menikmati apa yang kubeli.

Beberapa penumpang naik, dan juga dua penumpang pasangan setengah tua, ku perkirakan umurnya lima puluh tahunan, setelah mencari-cari nomer kursi ternyata yang lelaki duduknya di sebelahku, sementara yang perempuan di kursi dua kursi deretan sebelah kanan arah depan kursiku.

Bus pun melaju, jam butut di tanganku telah menunjukkan pukul setengah lima sore.

Tiba-tiba perempuan istri lelaki di sampingku, bangkit dari kursi dan berjalan ketempat aku duduk. “Nak, bisa enggak kita gantian tempat duduk, biar saya duduk di sebelah suami saya, dan anak duduk di kursi saya.”

“Oh nggak papa bu, silahkan… silahkan.” kataku segera memberesi tas dan barangku. Untuk pindah tempat duduk.

Aku segera pindah tempat duduk yang ditempati perempuan tua itu. Oh rupanya disitu ada penumpangnya, seorang gadis berjilbab, cantik? Entah aku belum melihat wajahnya, aku mengucap permisi lalu duduk, menempatkan tasku, di tempat yang aman.

Nah, saat mengucap permisi itulah gadis itu menengokku dan mempersilahkanku, kulihat wajahnya terkejut melihatku, tapi aku duduk saja.

Terus terang aku orangnya tertutup, walau ada gadis di sampingku cantiknya sundul langit, aku tak akan bertanya, juga tak akan mengganggu. Kecuali ditanya. Walau dalam hati dag-dig-dug, tak karuan, yah namanya tetap juga manusia, ketertarikan lelaki pada wanita, wajar saja, tapi aku bukan tipe lelaki yang petentang-petenteng membawa pedang asmara, lalu kalau ketemu gadis ayu, menusukkan pedang ke dadanya, dan memberikan serangan rayuan yang berbunga-bunga, ah aku hanya pemuda dingin, kadang aku sendiri merasa kedinginan, tapi mungkin karena rambutku panjang anting ada di telinga, jadi orang lebih mengira aku ini anak nakal. Untuk beberapa saat kami terdiam, sampai gadis itu bertanya padaku.

“Mau ke mana mas?” pertanyaan yang wajar, tak wajar kalau dia bertanya mau makan apa mas? Sebab ini dalam bus bukan dalam warung.

“Mau ke Jakarta.” jawabku juga wajar, kalau ku jawab ke Surabaya, tentu aku makin jauh, sebab bis ini menuju ke barat. Kulihat gadis itu, ah pasti waktu mau bertanya padaku tadi dia berusaha mati-matian membasahi bibirnya. Sebab kulihat bibirnya basah sekali, seperti dikasih madu. Rasanya pasti…. ah setan, menggoda saja.

“Mbak sendiri mau kemana?” tanyaku sambil melihat hidung mungilnya yang seperti cabe merah besar.

“Sama mau ke Jakarta…”

“Oo, kalau begitu bisa sama-sama dong….!” kataku, ah kenapa dialognya tak bermutu begini, tapi diteruskan juga.

“Boleh kenalan mas? Nama saya Rosalia…” cewek itu mengulurkan jemarinya yang lentik halus. Oh Tuhan maafkan aku, sebenarnya aku tak boleh menyentuh tangannya, tapi kalau aku tak menyentuhnya, aku rugi nantinya.

“Iyan.., Febrian.”

“Ah, tak salah dugaanku, pasti mas… orangnya, bener-bener tak nyangka.” tiba-tiba gadis ini girang bukan main, dan tanganku, ditariknya ditempel ke pipinya yang putih kemerahan, aku buru-buru menarik tanganku, takutnya digigit.

“Ah, mbak pasti salah orang.” kataku takut, jangan-jangan maniak sex, wah kalau diperkosa, aku bisa tak perjaka lagi.

“Tak mungkin salah, aku begitu lama menyanjungmu, begitu merindumu, memujamu, tak akan pernah salah mengenali dirimu…” dia mengatakan bersemangat sampai air liurnya muncrat kemana-mana, apa mungkin dia ngiler ya ngelihat aku?

“Dulu aku berpikir apakah engkau itu benar-benar nyata? Ternyata engkau benar-benar nyata.” tangannya yang halus membelai pundakku. Ah sial aku jadi merinding, mengapa jadi serumit ini.

“Bener mbak ini salah orang, nanti mbak menyesal..!”

“Bagaimana aku akan salah orang, fotomu aja selalu ku bawa.” katanya sambil membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah majalah, dan kliping tulisan dan fotoku.

Aduh… aduh… rupanya ini penggemarku, yang begitu memujaku, memang dulu aku aktif menulis di berbagai majalah. Tapi itu sudah lama aku fakum, kenapa penggemarnya masih ada? Kulihat foto yang ditunjukkanku, dari pertama aku menulis di majalah Jawa penyebar semangat, sampai majalah Anita, dan majalah Alkisah. Ah benar-benar deh aku tak nyangka akan ada yang mengidolakan aku.

“Benar kan ini mas Ian…?” tanyanya, matanya yang seperti artis Jeklin itu menyelidik. Dan aku mengangguk. Aku tak kuasa ketika lenganku tiba-tiba direngkuh dalam pelukannya.

“Mas, aku telah mencoba menjadi gadis idamanmu, aku yang sebelumnya tak berjilbab, sekarang telah berjilbab, lihatlah mas. Apakah aku kelihatan cantik, aku siap menjadi pacarmu bahkan istrimu.” wah aku bertemu dengan penggemar yang tak bisa membedakan dunia fiksi dan dunia nyata, ah aku harus bisa lepas dan melepaskan dia dari dunia hayalnya. Ah semakin sulit aja.

“Mas, em… aku boleh ya minta ciumnya…” wah semakin ngawur aja, kalau aku tinggalkan gadis ini, ah betapa tak bertanggung jawabnya aku atas cerita fiktif yang ku buat. Aku berusaha menenangkan diri.

“Eh, gini ya dek Rosa, soal cium itu nanti mudah dech. Waktu kita kan masih panjang, jadi baiknya kita ngobrol dulu, jadi pasangan kan harus mengenal lebih jauh calon pasangannya?” kataku mencoba setenang mungkin.

“Dek Ros, asli orang Jakarta ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, sambil mencari akal untuk keluar dari krisis multidimensi, ah dibesar-besarkan aja.

“Iya mas, aku dari Cipinang Muara.” katanya kemudian menggelayut, merebahkan kepalanya di pundakku, ah bisa gawat nih, suara dadaku makin bergeladukan saja.

“Trus tadinya dek Ros ini dari mana?” tanyaku mencoba mengusir keinginan mengambil kesempatan dalam kesempitan.

“Ih, mas Ian ini, kayak tak tau saja, kan dalam novel itu wanita pujaan mas, mondok di pesantren, jadi saya ya jelas dari pondok pesantren, dari nama pondok, desanya, kotanya dah aku cocokin semua, aku akan menjadi gadis yang mas Ian inginkan.” wah sudah sejauh itu? Waduh makin kacau aja. Ruwet…., ruwet…., walau bus ini ber-AC keringat tak urung membasahi punggungku. AC dalam bus hanya mengeringkan keringat yang ada di wajahku. Tapi tak mengeringkan keringat di dalam bajuku.

Sementara gadis di sampingku yang masih memeluk tangan kananku dan kepalanya rebah di pundakku, tertidur. Ah aku mungkin tak bisa menyelesaikan masalah ini, biarlah aku berserah, pada penyelesaian Tuhan. Maka akupun membaca wirid dan mencoba tidur.

Aku berharap setelah tidur gadis ini tak ada, atau masalah ini hanya mimpi saja, bagiku terlampau sulit untuk mencari jalan keluarnya. Aku benar-benar tak menyangka hanya karena cerita fiktif, bisa menimbulkan masalah sebegini peliknya.

Setelah wirid dan hatiku tenang maka akupun tertidur.

Malam mulai merambat, dan gadis di sampingku masih lelap dalam tidurnya, lagu Setasiun Balapan mengalun dari speaker mendayu-mendayu, disusul lagu Sri Minggat, lagu Jawa itu kadang membuatku sedikit tertawa, tapi aku segera memejamkan mata lagi. Ingin sedapat mungkin berlari dari kenyataan ini, sampai besok saja sampai aku terlepas dari gadis di sampingku ini.

Ah kenapa begitu susahnya, dadaku terasa sesak akan himpitan, aku segera memenuhi illalloh…, ku ulang-ulang untuk mencari pegangan atas kegelapan yang mulai membutakan mata hati, ya Alloh lindungi aku dari kenistaan nafsu, dan segala macam tipu dayanya.

Aku telah tertidur lagi dengan lelap. Sampai kurasakan ada tangan menepuk pundak kiriku.

Tepukan itu kurasakan keras, jadi tak mungkin aku bermimpi.

Aku tengak tengok, semua penumpang tertidur, lalu siapa yang menepuk pundakku? Ku menengok ke kanan kiri ingin tau bus ini sampai di mana, dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat ke sebelah kiri bus.

Bus ini sedang membelok ke kiri, dan di sebelah kiri ada warung tepi jalan yang kayu gentengnya menjorok ke jalan, sehingga kalau bus terus membelok tak diragukan lagi kaca kirinya akan menghantam kayu warung itu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close