Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 10) - Teror Mayat Hidup


JEJAKMISTERI - "Eh, sampeyan..." Pak Bambang memicingkan matanya, saat sosok berbaju putih didepannya berbalik dan menurunkan tangannya. Meski samar, ia bisa mengenali sosok itu. Perempuan berkacamata dengan rambut panjang yang terikat rapi ke belakang. Bu Ratih.

"Sampeyan ndak papa Pak?" perempuan itu melangkah mendekat ke arah Pak Bambang yang masih mengacungkan senjatanya dengan tangan gemetar. "Tolong, turunkan senjata sampeyan."

"Stop! Jangan mendekat!" seru Pak Bambang sambil mundur perlahan. Matanya memang mengenali sosok itu. Tapi setengah kesadarannya mengatakan, sosok di depannya itu bukanlah Bu Ratih. Perempuan mana yang malam malam keluyuran di tempat seperti ini? Sangat mustahil! Bisa saja sosok itu adalah jelmaan pocong yang tadi nyaris mencelakainya.

"Pak, ini saya, Ratih! Apa sampeyan..."

"Cih! Kaupikir bisa semudah itu menipuku hah?! Dasar setan jelek! Diam disitu dan angkat tanganmu! Atau kutembak!" desis Pak Bambang sambil terus melangkah mundur. Bu Ratih diam dan kembali mengangkat kedua tangannya.

"Dasar hantu pembohong! Kau pikir mudah untuk menipuku?! Perempuan mana yang keluyuran di tempat seperti ini malam malam!" dengus Pak Bambang lagi.

"Saya kebetulan lewat Pak, tadi habis menghadiri acara pengajian di rumah Pak Jarwo bersama suami saya."

"Bohong lagi! Mana suamimu?!"

"Ada di..., awaasss Pak...!"

Terlambat! Seruan Bu Ratih yang mencoba memperingatkan Pak Bambang yang terus melangkah mundur itu terlambat. Laki laki yang terlalu fokus pada sosok Bu Ratih itu, sampai tak sempat memperhatikan suasana di sekelilingnya. Alhasil, saat ia melangkah mundur, kakinya melanggar sesuatu yang tergeletak di tengah jalan. Tak ayal, laki laki itu kehilangan keseimbangannya dan kembali jatuh terjengkang kebelakang. Beruntung, kali ini pantat laki laki itu mendarat diatas benda yang lunak dan empuk.

"Pak, jangan dilihat," Bu Ratih kembali mengingatkan. Namun perempuan itu belum berani mendekat, karena pistol Pak Bambang masih teracung ke arahnya.

"Diam! Tetap disitu dan jangan bergerak!" seru Pak Bambang sambil berusaha mengenali benda lunak yang didudukinya itu. Sebelah tangannya meraba raba benda itu. Sementara sebwlah tangannya lagi tetap menodongkan pistol ke arah Bu Ratih. Ini seperti...,seperti sesuatu yang terbungkus kain, dengan ikatan di salah satu ujungnya, batin Pak Bambang sambil terus meraba raba.

Tangan Pak Bambang terus meraba, sementara kedua matanya tetap mengawasi Bu Ratih. "Ini, seperti..., wajah manusia. Sepasang mata, lalu hidung, mulut, dan, eh...."

Pak Bambang mengalihkan pandangannya pada benda yang dirabanya itu, bersamaan dengan datangnya sebuah sepeda motor dari arah selatan yang menuruni jalanan menuju ke arahnya. Sorot lampu motor itu menyorot tepat ke arah Pak Bambang, memperjelas pengelihatan laki laki itu akan benda apa sebenarnya yang telah ia diduduki.

Pak Bambang tercekat. Wajahnya memucat. Sejenak ia terpaku tak bergerak menatap sosok yang tengah ia duduki itu, yang ternyata adalah sosok pocong Lik Diman.

"Huaaaa...!!! Pocooonngggg...!!!" sedetik kemudian laki-laki itu berteriak lantang, lalu melompat berdiri dan berlari kearah Bu Ratih yang masih berdiri di tepi jalan. Tanpa malu-malu lagi laki-laki itu berlindung dibelakang tubuh perempuan itu. Bahkan tanpa sadar ia mencengkeram lengan Bu Ratih, sambil mengintip sosok pocong yang tergeletak di tengah jalan itu dari sela bahu Bu Ratih.

"Itu hanya mayat Pak! Kenapa harus takut?" ujar Bu Ratih sambil berusaha menahan tawanya.

"Ma..., ma..yat?" desis Pak Bambang dengan suara gemetar.

"Iya, mayat," Bu Ratih mendekat ke arah sosok mayat yang terbungkus kain kafan kumal berlepotan tanah itu. Pak Bambang mengikutinya dari belakang. Sementara sepeda motor yang barusan datang itu kini berhenti tepat di dekat sosok mayat itu, hingga mereka bisa melihat dengan jelas mayat siapa sebenarnya yang terlantar di jalanan sepi itu dengan bantuan lampu sepeda motor.

"Lho, ini kan mayat Lik Diman?" si pengendara motor, seorang laki-laki setengah baya, turun dari atas jok motornya sambil menggendong seorang anak perempuan yang tertidur pulas dalam dekapannya.

"Benar Mas, ini mayat Lik Diman," ujar Bu Ratih sambil berjongkok dan mengamati mayat itu. "Tapi kenapa bisa berada disini? Bukankah kemarin lusa sudah dikuburkan?"

"Benarkah itu hanya sesosok mayat?" suara Pak Bambang masih terdengar gemetar.

"Seperti yang sampeyan lihat Pak, ini beneran mayat," jawab Bu Ratih tanpa menoleh.

"Bukan hantu pocong atau mayat hidup?"

"Mayat hidup?" laki-laki pengendara motor itu tertawa tertahan, hingga membuat anak yang tertidur dalam gendongannya itu menggeliat. Cepat cepat laki laki itu menghentikan tawanya dan menepuk nepuk pantat sang anak hingga kembali terlelap.

"Kenapa tertawa?!" Pak Bambang menatap tak senang pada laki laki setengah baya itu.

"Gimana ndak tertawa. Sampeyan ini seorang komandan polisi, tapi masih takut sama segala macam hantu pocong dan mayat hidup segala," ujar laki-laki setengah baya itu.

"Sampeyan ndak ngerasain sih gimana tadi saya nyaris celaka gara-gara hantu pocong ini. Lagian sampeyan ini siapa to? Berani-beraninya meledek saya!" dengus Pak Bambang.

"Ah, iya, kita belum berkenalan. Saya Slamet, suami Ratih."

"Hah?!" kini Pak Bambang yang nyaris tak bisa menahan tawa. Laki-laki bernama Slamet ini, lebih pantas kalau mengaku sebagai bapaknya Bu Ratih daripada mengaku sebagai suaminya.

"Coba hubungi Pak Bayan Mas," Bu Ratih menyela. Pak Slamet segera mengeluarkan ponselnya. Namun niat itu segera ia urungkan, saat dari utara nampak beberapa warga yang berbondong bondong menuju ke arah mereka. Sepertinya para petugas ronda.

"Lho, ada apa ini? Kenapa..." Pak Bayan yang ternyata ikut dalam rombongan itu tak melanjutkan kata-katanya, saat melihat sosok mayat Lik Diman yang tergeletak di tengah jalan. "Apa-apaan ini?! Kenapa mayat Diman bisa berada disini?!"

"Ah, syukurlah sampeyan datang Pak," Bu Ratih berdiri dan mendekati Bayan tua itu.

"Tadi kudengar letusan senjata, makanya saya langsung mengajak para peronda kesini. Ada apa sebenarnya ini Bu? Kenapa mayat Diman bisa berada disini?" tanya Pak Bayan lagi heran.

"Saya juga belum begitu mengerti Pak. Tapi ada baiknya Pak Bayan segera mengecek ke pemakaman sana. Saya yakin, mayat ini tidak bisa dengan sendirinya keluar dari lubang kubur dan keluyuran sampai kemari. Dan tolong juga, sekalian ini mayat Lik Diman dibawa juga untuk dimakamkan kembali."

Ucapan Bu Ratih langsung disambut dengan bisik-bisik para peronda yang sepertinya enggan untuk melaksanakan perintah guru perempuan itu. Siapa juga yang mau mengangkut mayat yang sudah setengah membusuk dan keluar dari kuburnya secara misterius begitu.

Bu Ratih yang tanggap dengan keengganan para petugas ronda itu lalu menoleh ke arah Pak Bambang. "Pak komandan ndak keberaran kan kalau membantu membawa mayat ini ke pemakaman?"

"Eh, saya Bu?" wajah Pak Bambang kembali memucat.

"Jangan bilang kalau sampeyan masih takut sama mayat!" sindir Pak Slamet setengah meledek.

"Bukannya saya takut, tapi motor saya mogok, dan..."

"Ya sudah, Min," Pak Bayan memanggil salah satu peronda. "Kau ajak salah satu temanmu untuk meminjam gerobak di rumah Kang Bejo! Kita angkut saja mayat ini pakai gerobak. Ndak sempet kalau harus nyari peti mati lagi."

Si Min yang mendapat perintah tak kuasa menolak perintah Pak Bayan yang terkenal galak itu. Ia segera kembali ke desa untuk meminjam gerobak.

"Sampeyan juga ikut kan Bu?" tanya Pak Bayan kepada Bu Ratih. "Saya takut nanti di pemakaman..."

"Maaf Pak Bayan. Saya ini perempuan, dan saya punya anak dan suami yang harus saya urus. Tapi jangan khawatir. Biar saya hubungi Wak Dul, biar nanti beliau yang menyusul ke pemakaman," jawab Bu Ratih.

Sebuah jawaban yang nantinya akan disesali oleh guru perempuan itu. Karena kemunculan mayat Lik Diman yang menggegerkan warga itu ternyata hanyalah awal. Awal dari teror yang akan melanda desa Kedhung Jati malam ini.

*****

"Kamu serius Dik?" Pak Slamet menatap sang istri yang masih berdiri terpaku menatap kepergian para warga yang membawa mayat Lik Diman ke pemakaman. "Wak Dul sudah terlalu sepuh lho. Tugas seperti ini sepertinya terlalu berat buat beliau. Apa tidak sebaiknya..."

"Aku paham Mas. Tapi aku tak punya pilihan. Lagipula masih ada Ramadhan. Aku yakin anak itu tak akan tinggal diam kalau tau Wak Dul akan 'bekerja'," sela Bu Ratih sambil berbalik dan mendekat ke arah sang Suami yang tengah menggendong Ratri sang anak. Dibelainya lembut rambut gadis kecil itu, lalu dengan lembut pula dikecupnya dahi sang anak dengan penuh kasih.

"Ratri, malam ini sama bapak dulu ya, ibu masih ada kerjaan yang harus diselesaikan," bisik perempuan itu pelan.

"Apa sebenarnya yang sedang kau rencanakan Dik?" lagi lagi Pak Slamet menatap sang istri.

"Makhluk itu Mas," desah Bu Ratih. "Makhluk yang tadi merasuki mayat Lik Diman, berhasil kabur. Aku takut ia mengusik ketenteraman warga desa malam ini. Karena itulah aku menyerahkan urusan di pemakaman kepada Wak Dul, karena aku berencana untuk mengejar makhluk itu."

"Makhluk? Makhluk apa maksudmu?" tanya Pak Slamet tak mengerti.

"Apa Mas pikir mayat Lik Diman bisa sampai kesini dengan sendirinya? Ada yang membawanya Mas. Dan bahkan tadi sempat hampir mencelakai Pak Bambang kalau saja kita tidak kebetulan datang. Dan yang aku rasakan saat bentrok dengannya tadi, aku yakin makhluk itu sangat berbahaya."

"Jadi?"

Bu Ratih menghela nafas sejenak. Berat rasanya kalau ia harus membiarkan sang suami beserta sang anak sendirian, sementara suasana desa sedang tidak aman. Tapi desa ini lebih membutuhkan dirinya. Mau tidak mau, siap atau tidak, ia harus bertindak, sebelum keadaan semakin memburuk.

"Tolong malam ini sampeyan jaga Ratri ya Mas. Aku akan mencoba menghentikan makhluk makhluk itu. Dan kalau terjadi sesuatu, sampeyan tau kan apa yang harus dilakukan?" ujar Bu Ratih akhirnya, dengan suara pelan.

Kini giliran Pak Slamet yang menghela nafas panjang. Ia sadar, besar resikonya memiliki istri seperti Ratih. Dan meski sedikit banyak ia tau akan kemampuan sang istri, tetap saja rasa khawatir selalu ada setiap sang istri menghadapi masalah masalah yang seperti ini.

"Kamu yakin ndak mau Mas temani?"

"Bukan tak mau Mas. Tapi siapa yang akan menjaga Ratri Mas?"

"Kita bisa titipkan kepada Wak Karni atau bapak. Jujur, Mas ndak tega kalau kamu pergi sendirian."

"Ratri anak kita Mas. Kita yang berkewajiban untuk menjaganya. Lagipula, percayalah, aku bisa menjaga diri kok. Mas ndak perlu khawatir."

"Ya sudah kalau begitu," ujar Pak Slamet akhirnya. "Tapi janji ya, jaga diri baik baik. Jangan nekat, dan pastikan kamu pulang dengan selamat."

"Ya. Aku berjanji Mas," perempuan itu tersenyum lembut ke arah sang suami yang kini telah naik kembali keatas jok motornya. "Ingat, lakukan yang perlu dilakukan jika terjadi sesuatu hal yang buruk Mas."

Pak Slamet mengangguk pelan, lalu pelan pelan juga laki laki itu menjalankan motornya menaiki jalan tanjakan yang menuju ke arah desa, meninggalkan Bu Ratih yang masih berdiri menatapnya sampai bayangannya menghilang diatas tanjakan.

Perempuan itu kembali menghela nafas, lalu memejamkan kedua mata beningnya. Selintas angin sepoi berhembus menerpa wajahnya, menggoyangkan anak rambutnya yang menjuntai di dahi. Tarikan nafasnya terdengar teratur, seiring dengan kedua bahunya yang turun naik berirama. Indera pendengarannya menyaring kesunyian yang menyelimuti suasana di sekitarnya. Hingga beberapa detik kemudian, kedua mara itu kembali terbuka. Tak ada lagi sinar kelembutan. Sepasang bola mata itu kini berubah menjadi berkilat tajam. Dan seulas senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Ketemu!" desis perempuan itu sambil melompat keatas sepeda motor Pak Bambang yang masih ditinggalkan di tempat itu. Mesin motor yang tadinya mogok itu menyala dengan sangat mudah, hanya dengan sekali selah. Dan dengan sekali sentak, kendaraan itu lalu melesat ke arah utara, meraung menaiki tanjakan terjal menuju ke arah desa.

****

Sementara itu di waktu yang sama namun tempat yang berbeda.

Kang Mardi terlihat resah di kamarnya. Malam telah larut. Namun rasa kantuk yang ditunggunya tak kunjung tiba. Rasa perih di lambungnya akibat sore tadi tak sempat diisi membuatnya tak kunjung bisa tidur. Diliriknya sang istri yang semenjak tadi telah mendengkur disisinya. Segan rasanya untuk membangunkan perempuan itu sekedar untuk minta tolong menyeduhkan kopi. Tentu ia juga lelah setelah seharian bekerja di ladang.

"Ah, gara gara kucing sialan! Aku jadi kelaparan seperti ini," gerutu laki laki itu sambil beranjak dari atas ranjang dan keluar dari dalam bilik kamarnya. Ya. Gara gara ikan asin jatah makan malamnya digondol kucing, sore tadi ia tak jadi makan. Dan itu juga akibat dari keteledorannya sendiri. Menaruh makanan sembarangan di atas meja tanpa penutup, hanya untuk mengambil minum yang lupa disiapkan oleh sang istri yang sibuk menyuapi anak semata wayang mereka.

"Sial! Ini kopi kenapa pake acara habis segala sih?!" gerutu laki laki itu saat geratakan mengacak acak lemari dapur.

"Ah, mending aku ke poskamling aja. Siapa tau masih ada sisa kopi dari para peronda. Syukur syukur bisa dapat singkong bakar buat pengganjal perut," gumam laki laki itu sambil beranjak keluar dari dapur.

Namun langkah laki laki itu terhenti saat sampai di depan pintu ruang tamu. Ia teringat kejadian kemarin malam, saat pulang dari poskamling dan bertemu dengan hantu Lik Diman di tengah jalan. Bagaimana kalau ternyata hantu itu masih berkeliaran?

Berpikir begitu, Kang Mardi lalu mengambil golok yang tersimpan di sudut ruangan, lalu menyelipkan di pinggangnya. Tak lupa juga lampu senter yang batteraynya telah ia ganti dengan yang baru.

"Setan atau bukan, kalau berani macam macam, akan kutebas batang lehernya," gumam laki laki itu sambil membuka pintu dan melangkah keluar.

Hawa dingin segera menyambutnya, membuat bulu kuduknya tanpa sadar berdiri meremang. Tak seperti biasanya, angin bertiup sedikit lebih kencang malam ini. Langit juga nampak gelap, tanpa seekor bintangpun yang tampak. Sepertinya mau hujan. Tapi tak apalah. Toh poskamling tak begitu jauh juga dari rumahnya. Andaipun hujan ia bisa tidur disana nanti. Berdesak desakan dengan para peronda tentu lebih hangat daripada tidur di rumah memeluk sang istri yang kurus kerempeng itu.

Berpikir begitu, Kang Mardi lalu mengunci pintu dan melangkah pelan menyusuri jalanan yang gelap dan sepi itu. Cahaya senter di tangannya menerangi langkahnya. Juga sebatang rokok tingwe yang terselip di sela jemarinya, bisa sedikit mengurangi rasa dingin yang menggigit sampai ke tulang.

"Dor!" suara letusan terdengar dari kejauhan, mengagetkan laki laki itu.

"Wedhus! siapa yang malam malam begini main petasan?!" gerutu laki laki itu sambil kembali berjalan.

"Dor!" kembali suara letusan itu terdengar. Kang Mardi menghentikan langkahnya, lalu memasang telinga baik baik.

"Sepertinya bukan petasan, tapi..., seperti suara tembakan," gumam laki laki itu. "Dan asalnya, seperti dari Tegal Salahan. Apa jangan jangan ...., hiiiiiii...!!!" Kang Mardi semakin mempercepat langkahnya. Sesekali ia mengusap tengkuknya yang semakin merinding.

Ingin cepat cepat sampai di poskamling, membuat laki laki itu tak memperhatikan lagi suasana di sekelilingnya. Ia berjalan sambil menunduk, memperhatikan setiap jengkal jalanan yang dilaluinya. Hingga tanpa sadar saat melewati sebuah tikungan jalan, nyaris saja ia bertubrukan dengan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.

"Wedhus! jalan ndak pake mata! Ngaget ngagetin saja kam..." Kang Mardi tercekat, tak sanggup melanjutkan omelannya, saat sorot senter yang dibawanya menyorot sesuatu yang ditenteng oleh orang itu. Sebuah kepala bersimbah darah dengan mata melotot dan mulut meringis yang menampakkan gigi geliginya yang juga memerah oleh darah. Kang Mardi terpaku dengan tubuh gemetar. Jelas ia mengenali wajah dari kepala yang ditenteng itu. Wajah Pak Jarwo yang kemarin mati bunuh diri dengan cara menggorok lehernya sendiri.

Pelan pelan senter di tangan Kang Mardi terangkat, menyinari bagian atas dari tubuh yang berdiri di hadapannya itu. Benar saja. Tak ada kepala yang bertengger di bagian atas tubuh itu. Hanya sepotong leher buntung yang terus mengucurkan darah dan membasahi kain kafan yang membungkus tubuhnya.

"A...., a..., ap...?!" Kang Mardi tergagap. Kedua lututnya bergetar hebat, saat sosok itu mengangkat kepala yang ditentengnya dan mendekatkannya ke wajah Kang Mardi. Bau amis bercampur busuk menyeruak, mengaduk aduk isi perutnya yang sebenarnya kosong tak berisi.

"Gelem ndhas ora Lik?" (mau kepala nggak Lik) mulut di kepala yang ditenteng itu bergerak gerak, menggumamkan kata-kata bernada serak.

"Whuaaaa...!!! Setaaannnn...!!!" sontak Kang Mardi lari tunggang langgang, menerjang sosok hantu Pak Jarwo yang berdiri di hadapannya itu hingga jatuh terhumbalang.

Kang Mardi terus berlari, sambil berteriak teriak bagai orang kesetanan. Sialnya, tak ada seorangpun yang keluar untuk menolongnya. Bahkan saat sampai di poskamlingpun, tempat itu terlihat sepi. Hanya ada satu orang yang nampak duduk ongkang ongkang diatas lincak.

"Hossshhh...!!! Hossshhh...!!! As*! Kenapa malah Klanthung yang ada disini? Kemana para peronda?" sungut Kang Mardi saat mengetahui bahwa orang yang duduk di poskamling itu adalah Si Klanthung.

"Ngopo e Kang, bengi bengi kok playon koyo tas digacar dhemit ngono?" (kenapa Kang? Malam malam kok lari larian kayak habis dikejar setan gitu?") tegur laki laki setengah sinting itu sambil terkekeh.

"Dhemit dhengkulmu itu!" sentak Kang Mardi sambil menyambar teko diatas lincak dan menenggak isinya. Peduli setan kalau teko itu bekas minum si Klanthung. Ia sudah kehausan setengah mati akibat berlari tadi. "Kemana yang pada ronda he?"

"Lagi ngejar dhemit ke Tegal Salahan Kang, hehehe..." jawab Klanthung sekenanya, sambil masih terkekeh.

"Dhemit! Dhemit! Sekali lagi ngomong dhemit tak tonyo gundhulmu!" sungut Kang Mardi kesal.

"Lha memang lagi musim dhemit lho Kang," ujar Klanthung lagi. "Coba sampeyan lihat ke atas sana, tuh, di langit banyak dhemit berterbangan kayak laron. Dan, kalau aku jadi sampeyan Kang, aku bakalan lari lagi dari sini."

"Lha ngapain harus lari?"

"Lha coba saja sampeyan lihat, siapa yang berdiri di belakang sampeyan itu."

Kang Mardi yang penasaran beneran menoleh ke belakang. Dan betapa terkejutnya laki laki itu saat mendapati hantu Pak Jarwo ternyata telah berdiri di belakangnya, sambil menyorongkan kepala yang ditentengnya tepat ke arah mukannya.

"Gelem ndhas ora Lik?" (mau kepala ndak Lik?) mulut meringis bersimbah darah itu bergerak gerak menggumamkan kata kata bernada serak, membuat Kang Mardi kembali melompat dan berlari secepat maling dikejar anjing.

"Whuaaaa...!!!"

"Syiuuuuttt...!!!"

"Bhuuggghhh...!!!"

Namun kali ini pelarian Kang Mardi tak berjalan mulus. Sosok hantu Pak Jarwo itu melemparkan kepala yang ditentengnya hingga mendarat tepat di kepala Kang Mardi.

"Praakkk...!!!" Dua kepala beradu dengan sangat keras, membuat Kang Mardi jatuh tersungkur dan... Pingsan!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close