PORTAL GAIB DI PEMANDIAN AIR PANAS
~•°•~DITABRAK AMBULAN~•°•~
JejakMisteri - Sejak tadi, Wildan dan Hendra sedang fokus bermain game mobile. Mereka seperti ada di dunianya masing-masing. Teriak-teriak tidak jelas sambil menatap layar gadgetnya.
“Mandi Yuk!” ajakku.
“Hah?” sahut Wildan kebingungan.
“Malem-malem ngajak mandi, stres ni anak,” balas Hendra.
“Tau tuh,” sambung Wildan.
“Yeeee.. maksud gw bukan gitu,” elakku.
“Trus?”
“Tadi gw liat di google, ada pemandian air panas yang buka 24 jam. Daripada malam minggu di kosan doang, mending jalan-jalan yuk kesana! Sekalian makan sate maranggi.”
“Bertiga doang?” tanya Wildan.
“Ya emang sama siapa lagi.”
“Ah, curiga gw, pasti ada apa-apa,” ucap Hendra.
Hendra ini mirip denganku, dia pun memiliki beberapa penjaga dan bisa berkomunikasi dengan ‘mereka’.
“Curiga kenapa?” tanyaku.
“Ini dari tadi Mang Genta ketawa-tawa mulu.”
Mang Genta, salah satu penjaga Hendra. Wujudnya seperti jawara tanah sunda zaman dulu. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Kemana-mana selalu membawa parang yang diikat di pinggangnya.
“Dia bilang apa?” tanyaku.
“Sana pergi, ada yang mau kenalan, katanya sih begitu.”
“Sekarang tergantung Si Wildan nih, mau gak dia? Soalnya kan dia yang punya mobil,” ucapku sambil melirik ke arah Wildan.
“Mau gak, Dan?” tanya Hendra.
“Bebas lah, lagian gw gak bakal liat ini.”
Seperti biasa, Wildan selalu duduk di kursi kemudi. Soalnya diantara kami, dia yang paling tidak sensitif. Jadi kecil kemungkinan dia melihat sesuatu di tengah jalan. Apalagi ini jalur undangan, pasti akan ada kejadian unik.
“Siap?” tanya Wildan yang sudah menyalakan mobil.
“Gas lah.”
Sudah hampir tengah malam, jalanan tidak begitu ramai. Mobil pun bisa melaju kencang melalui sebuah jalan besar di sekitar perkebunan teh.
“Dra, lu liat gak?” tanyaku pada Hendra yang duduk di kursi tengah.
“Hooh, rame ya,” balasnya.
“Rame apaan?” tanya Wildan penasaran.
“Kaya prajurit kerajaan lagi berdiri di pinggir jalan,” jelas Hendra.
“Bukan itu, Hen.”
“Apaan emang, Mir?”
“Coba lu liat di kaca belakang.”
“Gak usah nakut-nakutin, Mir. Ini gw lagi nyetir, panik dikit nyemplung ke jurang,” ucap Wildan.
“Lu nyetir aja, Dan Jangan denger omongan gw sama Hendra.”
Perlahan-lahan, Hendra menengok ke belakang.
“Astagfirullah...” Saking terkejutnya, Hendra sampai berusaha pindah ke kursi depan.
“Apaan sih, Dra. Bahaya tau,” protes Wildan.
“Asli serem, Mir.”
Aku hanya bisa tersenyum, sambil menggali informasi. Apa maksud dari makhluk yang ada di belakang mobil kami itu.
“Yeeee, Si Amir malah diem doang, tanggung jawab lu,” ucap Hendra sambil menepuk pundakku.
“Dan, kalau ada warung, berenti sebentar ya,” pintaku.
“Warung beneran kan? Bukan jadi-jadian.”
“Ya beneran lah.”
Mobil pun berhenti di sebuah warung jagung bakar di pinggir jalan.
“Ngilang dia, Mir,” ucap Hendra.
“Huuh.”
“Ini berdua daritadi apaan sih?” protes Wildan.
“Ah, lu gak liat sih, Dan.”
“Apaan?”
“Tadi ada Ambulan ngikutin kita dari belakang, tapi gak ada supirnya. Terus di atas mobilnya ada yang lagi duduk gede banget,” jelas Hendra.
“Gede banget?”
“Pocong merah, Dan,” balasku.
“Anjrit, yang putih aja serem apalagi merah.”
“Lu baru pertama liat itu, Hen?” tanyaku.
“Iya, asli dah serem banget.”
“Santai aja dulu di sini, terutama lu, Dan Jangan dipikirin dan takut, soalnya lu kan yang nyetir.”
“Kalian juga, ngapain diomongin, kan sekarang gw jadi tau.”
Setelah istirahat 15 menit, kami pun kembali ke mobil.
“Mir, gw duduk di depan dah,” pinta Hendra.
“Yakin?”
“Jangan ah! Dua orang penakut di depan, bahaya lah,” ucap Wildan.
Hendra pun pasrah, kembali duduk di kursi tengah. Dia masih ketakutan, bisa dilihat dari posisi duduknya yang condong ke depan, mendekati kursiku.
“Aman ya, Mir?” bisiknya.
“Belum.”
Dengan cepat, Hendra kembali menengok ke belakang.
“Udah gak ada, Mir.”
“Kata siapa? Tuh!” balasku sambil mengarahkan pandangan ke depan.
“Astagfirullah...” Lagi-lagi Hendra terkejut setelah melihat pemandangan di depan mobil. Kali ini dia tidak kuat, lalu menutup matanya.
“Dan, lu santai aja ya.”
“Ada apa sih, Mir?”
“Pokoknya, banyak-banyak baca doa aja dalem hati.”
Ambulan tadi sudah ada di depan mobil kami. Hanya saja arahnya berlawanan. Semakin lama semakin mendekat. Sedangkan pocong merah itu masih duduk di atasnya, menatapku dengan senyuman menawan.
Wus..!
Angin berhembus kencang, melalui kaca depan mobil. Tubuhku merasakan benturan halus, yang membuat bulu kuduk meremang.
Dug!
Terdengar suara benda jatuh di atas mobil.
“Astagfirullah...,” ucap Hendra lalu komat-kamit membaca doa.
“Merinding gw, asli dah,” ucap Wildan.
“Dah buruan tancap gas!”
Tidak lama kemudian, kami pun tiba di area pemandian air panas. Daritadi Hendra hanya diam saja dan lebih banyak menutup matanya.
“Dah sampe, Dra,” ucapku.
“Alhamdulillah,” balasnya lalu membuka mata.
“Jelasin lah, Mir. Tadi kenapa?” tanya Wildan.
“Tadi kita ditabrak Ambulan itu,” balasku
“Hah?”
“Bukan cuman ditabrak aja. Si Pocong Merah tadi juga ikut, duduk di atas mobil kita. Gw bisa liat kakinya yang ngejuntai sampai jok tengah. Di samping Hendra,” jelasku.
“Pantesan, daritadi Si Hendra merem.”
“Itu apaan, Mir?” tanya Hendra sambil menunjuk ke salah satu pohon besar di dekat parkiran.
“Portal Gaib.”
“Asli rame banget di sini.”
“Cuekin aja. Yuk buruan masuk ke dalem!” ajakku.
~•°•~SANG RATU~•°•~
“Portal Gaib apaan sih, Mir?” tanya Wildan. Ternyata dia mendengar ucapanku barusan.
“Semacam pintu untuk masuk ke alam ‘mereka’. Lebih simpelnya, fungsinya mirip pintu Doraemon.” jelasku.
“Jadi bentuknya kaya Pintu Doraemon?”
“Fungsi woi, bukan bentuknya. Kalau bentuknya kaya lubang hitam, biasanya kecil. Cuman yang disini lebih gede. Ntah tumben-tumbenan.”
“Owh begitu... baru tau gw. Untung gak bisa liat,” ucap Wildan diiringi tawa.
“Sebenernya lu ada yang jaga, Dan. Cuman lu nolak terus,” ucapku.
“Hah? Masa sih, bentuknya apaan?”
“Cewe cantik bajunya kuning.”
“Sekarang ikut?”
“Ada tuh, di atas pohon kelapa,” balasku sambil menunjuk pohon kelapa. Wildan dan Hendra langsung melihat ke atas pohon kelapa.
“Wanjrit, baru liat gw yang begituan. Cantik asli, Dan,” ucap Hendra tersenyum.
“Argh, curiga gw. Apaan sih?”
“Itu Kuntilanak Kuning, Mir?” tanya Hendra.
“Iya, cantik kan? Beda sama yang putih.”
“Tuhkan.. masa penjaga gw Kunti.”
Tak terasa, kami sudah sampai di depan pintu masuk pemandian air panas. Tiba-tiba, Hendra menghentikan langkahnya. Aku dan Wildan pun keheranan.
“Napa lu, Dra?” tanyaku.
“Yakin masuk?”
“Udah di depan muka, masa gak masuk,” balasku.
“Tapi...”
“Kenapa sih?” tanya Wildan.
“Ini Mang Genta, gak bisa masuk.”
“Eh masa?”
Aku pun mulai fokus, melihat area pintu masuk. Ternyata ada portal lain yang terbuka, tepat di dekat pintu masuk. Hanya saja yang ini berbeda dengan yang di parkiran.
Portalnya lebih besar dan ‘mereka’ yang hilir mudik lebih banyak yang auranya positif. Selain itu, ada seperti pagar tak kasat mata, yang melindungi area pemandian.
“Mang Genta kan termasuk positif, kenapa gak boleh masuk?” tanyaku dalam hati.
“Selain anggota kerajaan, dilarang masuk,” balas Si Hitam (Macan Kumbang).
“Oalah, ini berarti undangan dari kerajaan ya? Kenapa gak ngomong daritadi,” balasku.
“Biar ada kejutan.”
“Jadi gimana, Mir?” tanya Hendra.
“Masuk aja gak apa-apa, biar Mang Genta temenin penjaganya Wildan di pohon kelapa,” balasku lalu tertawa.
“Ih, ngomongin itu lagi,” ucap Wildan sambil berjalan mendahului kami masuk ke dalam. Sedangkan Hendra masih nampak ragu melangkah.
“Bentar deh, Mir. Lu belum bilang alasannya Mang Genta gak bisa masuk.”
“Intinya cuman anggota kerajaan aja yang bisa masuk, gitu.”
“Oh.. jadi Si Item itu anggota kerajaan juga?” Aku hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian berlalu masuk ke dalam.
Wildan sudah berdiri menunggu kami di pinggir kolam.
“Sekarang udah jam setengah dua malem, tapi masih lumayan banyak aja yang berendem,” ucap Wildan ketika aku menghampirinya. Aku pun hanya bisa tersenyum tipis. Yap.. yang dilihat Wildan sebagian besar bukanlah manusia.
Hendra pun datang menghampiriku, walaupun masih terlihat keraguan di wajahnya.
“Mir, ini orang semua?” bisiknya. Aku pun menggelengkan kepala.
Singkat cerita kami pun akhirnya berendam, memilih tempat yang agak sepi. Di depan kami ada seorang bapak sedang berendam. Sekitar 10 menit kemudian, dia beranjak dari tempatnya, ke luar dari kolam.
Ketika sedang berjalan di pinggir kolam, dia menatapku lalu tersenyum. Aku pun membalasnya, lalu memperhatikan gerak-geriknya
“Oh bukan manusia,” ucapku dalam hati, ketika melihatnya melangkah melawati permukaan air, menuju pintu masuk.
“Liat tuh, jam segini ada cewe hamil yang berendem,” ucap Wildan menunjuk area kolam di depan kami. Aku dan Hendra hanya saling lirik, tidak menjawab ucapannya.
Sama dengan bapak tadi, wanita itu pun bukanlah manusia. Ketika selesai berendam, dia menghilang di balik rimbunnya pepohonan di samping kolam.
“Mir, udah belum? Lama amat, bisa mateng gw,” bisik Hendra.
“Wildan aja santai tuh, dia lagi liatin ‘cewe cantik’ di kolam sebrang,” balasku.
“Kok dia bisa masuk?”
“Entah lah.”
“Dia datang,” bisik Si Hitam. Aku mengamati setiap sudut area pemandian, namun tidak ada sesuatu yang datang.
“Di sana, di pintu masuk,” ucapnya.
Dari pintu masuk aku melihat ada cahaya putih perlahan-lahan mendekat. Lambat laun, cahaya itu berbentuk seperti manusia.
Seorang wanita, baru saja memasuki area pemandian. Gaunnya panjang berwarna biru polos. Wajahnya nampak ayu, khas wanita tanah sunda. Rambutnya panjang sampai lutut.
Dia juga mengenakan ikat pinggang dan mahkota emas. Di tangan kanan dan kirinya, ada sebuah selendang biru yang tergantung dan menjuntai hingga ke tanah.
“Ratu sudah datang,” ucap Si Hitam. Aku melihat ekspresi Hendra, sepertinya dia tidak melihat kehadirannya.
Namun.. ada sesuatu yang menggangguku. Sosok yang daritadi berjalan di samping Sang Ratu.
Sepertinya aku mengenalnya.
Bukankah itu...?
~•°•~SOSOK DIBALIK POCONG MERAH~•°•~
Aku terus memperhatikan sosok yang ada di samping Sang Ratu. Seekor macan besar berkulit loreng. Tentu saja aku sangat mengenalnya dengan baik.
“Belang? Ngapain di sini?” tanyaku.
“Saya lagi menjalani tugas, menjaga Sang Ratu,” balasnya.
“Jadi Sang Ratu ini...?”
“Iya,” balasnya.
Belum sempat aku selesaikan pertanyaan, dia sudah menjawabnya duluan. Seperti tau kemana arah pertanyaanku.
Belang, salah satu sosok penjaga yang ada di rumahku. Awalnya aku mengira dia penjaga utama ibu. Namun kehadiran Sang Ratu membuatku mengerti, bahwa ada sosok lain di atasnya.
“Dia salah satu penasehat saya,” ucap Sang Ratu.
Sang Ratu memberikan sedikit gambaran, tentang bagaimana wujud asli Si Belang padasaat dia masih hidup.
Seorang Kakek yang membawa tongkat kayu, sedang berjalan memasuki istana. Dia sempat berbincang-bincang sebentar dengan Sang Ratu, lalu berjalan ke luar Istana. Dia berjalan, masuk ke dalam hutan, menuju sebuah goa. Di dalam goa, dia duduk bersila, melanjutkan pertapaannya.
“Itu tugas saya, berdoa dan bertapa untuk menjaga kerjaaan dari mara bahaya,” ucap Si Belang.
“Saya mengundang kamu ke sini hanya untuk memperkenalkan diri,” ucap Sang Ratu.
“Jadi... portal dan pagar gaib ini, Ratu yang buat?” tanyaku. Sang Ratu hanya menggangguk pelan.
“Tidak hanya saya, ada sosok lain yang ingin berkenalan denganmu,” ucap Sang Ratu.
“Siapa?”
“Dia sudah bertemu denganmu sebelumnya.”
“Bertemu denganku sebelumnya?”
“Nanti, biar dia saja yang menjelaskan maksud dari tindakannya itu,” balas Sang Ratu.
“Sekarang, saya harus kembali ke Kerajaan. Jaga baik-baik ibumu, jangan sampai ada makhluk jahat yang mendekatinya,” sambung Sang Ratu seraya membalikan badan, berjalan menuju portal gaib. Diikuti Si Belang yang berjalan di belakangnya.
Dalam seketika, portal dan pagar gaib di dekat area pemandian pun menghilang. Aku pun membuka mata, melihat area pemandian yang lebih sepi.
“Udah belum, Mir? Daritadi gw panggil gak nyaut,” tanya Hendra.
“Hah? Kapan lu manggil?” tanyaku.
“Tadi lu anteng bener, nutup mata. Gw kira ketiduran.”
“Udah, cuman sebentar aja kok tadi.”
“Loh? Kok gw gak liat apa-apa.”
“Kan untuk anggota kerajaan aja, Hen.”
“Beuh, songongnya berasa pangeran aja. Pangeran Kodok iya.”
“Tuh Pangeran Kodok, yang lagi liatin Si Kuning,” balasku sambil menunjuk Wildan yang masih melirik-lirik manja wanita di kolam depan.
“Iya daritadi gak kedip-kedip itu anak, padahal kalau tau itu siapa, pasti bakal buru-buru minta pulang.” Ucapan Hendra itu membuat kami berdua tertawa kencang.
“Ada apaan ketawa-ketawa?” tanya Wildan menoleh ke arah kami dengan wajah bingung.
“Eh udah sadar dia,” ejek Hendra.
“Apaan?”
“Udah puas belum liatin ‘Ayang’ berendem?” tanyaku.
“Belum, asli cantik, Mir. Baliknya bentar lagi ya,” balas Wildan.
“Orangnya aja udah gak ada,” balasku.
Wildan pun menoleh ke tempat wanita tadi berendam. “Loh kok ngilang? Kemana dia?”
“Dah yuk balik aja, laper gw kebanyakan berendem,” ucap Hendra.
“Hayu lah, lagian cewe tadinya juga udah gak ada,” balas Wildan.
Kami pun ke luar kolam, mengganti baju, lalu berjalan ke luar area pemandian.
“Mir, lu gak ngasih tau tentang cewe tadi ke Wildan?” bisik Hendra.
“Ntar aja di kosan. Kalau sekarang, lu mau dia ninggalin kita di sini,” balasku.
“Oh sip-sip.”
“Lu berdua lagi ngomongin apa sih?” tanya Wildan.
“Enggak,” balasku dan Hendra kompak.
Sampailah kita di parkiran, kondisinya masih sama saja. Ramai dengan makhluk-makhluk gaib beraneka ragam dan bentuk.
“Mir, itu kok belum nutup? Bukannya kata lu Ratu dah pulang?” tanya Hendra.
“Oh... yang di pohon itu gak ada hubungan sama Ratu. Kan wilayah sini tuh pegunungan, jadi masih wajar kalau ada portal gaib yang terbuka. Skip aja, gak perlu diliat terus,” jelasku.
“Owh.. BTW, Mang Genta kemana nih? Kok gak keliatan?” tanya Hendra.
“Lagi jalan-jalan kali atau pulang duluan. Coba panggil aja, takutnya malah pacaran sama Si Kuning, kasian Wildan,” balasku.
“Hah? Apa, Mir? Manggil gw?” tanya Wildan yang sedang membuka pintu mobil.
“Salah denger lu.”
Kami pun akhirnya pergi dari tempat pemandian air panas. Tentunya untuk mencari tempat makan yang enak. Makanan kesukaan kami bertiga yaitu Sate Maranggi.
“Mir, tadi Ratu ngomong apa aja?” tanya Hendra.
“Dia cuman ‘Say Hello’ abis itu cerita dikit terus pulang.”
“Begitu doang?”
“Huuh.”
“Emang cerita apa?” tanya Wildan sambil menyetir mobil.
“Nanti aja deh gw ceritain di kosan. Sekarang konsen dulu, cari tukang Sate Maranggi yang masih buka,” balasku.
Ternyata tidak jauh dari tempat pemandian air panas, ada pedagang Sate Maranggi yang masih buka.
“Mir, itu manusia kan?” tanya Hendra.
“Iya, masa Setan,” balasku.
“Tau nih, Si Hendra mulai halu,” ejek Wildan.
Mobil berhenti tepat di depan warung Sate Maranggi itu. Hanya ada gerobak sate, dengan beberapa meja dan bangku kayu. Setelah memesan 50 tusuk sate, kami pun langsung duduk.
“Gila tukang satenya greget bener,” ucap Wildan.
“Kenapa emang?” tanyaku.
“Jualan sendirian, terus sekelilingnya pohon gede-gede plus hutan. Gw sih ogah, serem banget,” jelas Wildan.
“Namanya juga usaha, kalau takut ya gak dapet duit,” balasku.
Aku melirik ke arah Hendra. Entah kenapa sejak tadi dia menundukan kepala dan komat-kamit tidak jelas.
“Temen lu kenapa tuh, Dan?” Secara tidak langsung aku menyuruh Wildan mengecek Hendra yang duduk di dekatnya.
“Napa lu, Hen?” tanya Wildan.
“Itu... itu..,” balasnya masih dengan kepala menunduk.
“Itu apa?” tanyaku.
“Di atas pohon, Mir.”
Aku menengok ke atas pohon, “Gak ada apa-apa ah.”
“Masa lu gak liat sih?”
“Mana sih?”
“Itu.” Hendra menunjuk pohon besar yang ada di belakangku.
Oh.. pantas dia sangat ketakutan. Ternyata Si Pocong Merah itu sedang duduk di sana. Matanya yang merah menyala itu terus menyorot ke arah kami.
“Usir, Mir,” pinta Hendra.
“Apaan sih? Gw gak liat apa-apa,” ucap Wildan.
“Si Pocong Merah, WILDAN BARATA. Itu lagi nangkring di atas pohon belakang Si Amir,” balas Hendra dengan suara meninggi.
“Hiiii... usir, Mir. Ngapain sih tu Pocong ngikutin kita mulu,” pinta Wildan.
Aku pun mencoba berkomunikasi dengan sosok menakutkan itu. Bagaimana tidak menakutkan? Selain matanya yang merah menyala, kainnya yang berwarna merah darah, wajahnya pun hanya menyisakan tengkorak berwarna hitam.
“Mau apa kamu mengikuti kami terus?” tanyaku marah.
“Maaf... saya hanya diperintahkan untuk menjagamu selama di pegunungan ini,” balasnya.
“Siapa yang menuruhmu? Ratu?”
“Bukan.”
“Lantas, siapa? Jawab dengan jujur, atau...,” ancamku.
“Salah satu penjagamu.”
“Hah?”
Aku semakin bingung dengan jawabannya, entah dia berbohong atau tidak. Satu-satunya cara untuk mengetahui kebenarannya adalah bertanya ke Si Hitam, yang daritadi sedang berguling-guling di tanah.
“Hitam,” panggilku.
“Ya, Mir?”
“Kamu yang manggil Pocong Merah itu?”
“Tidak.”
“Kamu tau ini kerjaan siapa? Gak mungkin Si Belang kan?”
“Bukan dia juga.”
“Hmm... berarti kamu udah tau siapa.” Si Hitam pun tertawa.
“Tuhkan, ini pasti kerjaan Si Kingkong.”
“Saya tidak bilang begitu.”
“Dari tingkahmu sudah terlihat jelas.” Dia pun kembali tertawa.
“Saya adalah syarat yang diberikan penjagamu itu, agar dia mengizinkanmu untuk menemui Ratu di sini,” ucap Si Pocong Merah.
“Syarat yang aneh, emang dasar Si Kingkong gak ada kerjaan,” keluhku.
“Apa kamu tidak melihatnya?”
“Lihat apa?”
“Baiklah saya tunjukan.”
Dia menunjukan sebuah gambaran yang menakutkan. Dimana banyak ‘makhluk lain’ sedang berkumpul menunggu waktu yang tepat untuk menyerangku.
“Darimana mereka berasal?” tanyaku.
“Dari pegunungan ini, ketika portal terbuka, semua ‘makhluk’ buangan ini akan keluar, tugasnya untuk mengganggu manusia seperti kalian. Kedatanganmu ke sini, sudah diketahui oleh pemimpin mereka. Jika lengah, maka kamu bisa celaka.”
“Tapi kamu pun hampir membuat kami celaka, liat temanku sudah pucat dan gemetaran.”
“Itu bukan salah saya, tapi ide penjagamu dan penjaganya.”
“Mang Genta? Berarti dia sudah tau. Pantas kabur duluan.”
Pocong Merah itu pun tertawa. Suara tawa yang membuat Hendra semakin gemetaran.
“Kenapa harus Pocong Merah?” tanyaku.
“Saya adalah tanda kematian. Jika saya ada di sekitarmu, maka ‘makhluk’ seperti mereka tidak akan berani mendekat.”
“Selain itu, ini ujian bagimu dan dia. Kelak akan banyak lagi ‘makhluk’ yang lebih menyeramkan dariku,” sambungnya.
“Hmm.. berarti ini bukan wujud aslimu,” tebakku.
Pocong Merah itupun tertawa, lagi-lagi membuat Hendra ketakutan.
“Saya akan memperlihatkannya nanti,” balasnya lalu menghilang.
“Udah, Dra. Dia udah pergi,” ucapku. Hendra pun langsung celingak-celinguk mengecek keberadaan Pocong Merah itu.
“Beneran gak akan balik lagi? tanyanya. Aku tidak bisa menjawabnya, hanya bisa membalas dengan senyum.
Beberapa menit kemudian, 50 tusuk sate maranggi sudah tersedia di atas meja kayu. Kami pun makan dengan lahap.
Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan semuanya. Setelah menyeruput segelas teh panas dan membayar makanan, kami pun kembali ke mobil.
“Ini beneran kan, Pocong itu gak bakal muncul lagi?” tanya Hendra.
“Ya... liat aja nanti,” balasku sambil menggaruk kepala.
Mobil pun mulai melaju, menyusuri jalan pegunungan. Aku masih belum merasakan kehadiran Pocong Merah itu.
“Disini kan?” tanya Wildan, ketika mobil sudah mulai masuk ke jalan di sekitar perkebunan teh.
“Iya, semoga tuh ambulan plus Pocong gak muncul lagi,” balas Hendra.
“Si Amir daritadi diem doang,” ucap Wildan sambil menyenggolku dengan tangan kirinya.
“Hah?”
“Jangan ngelamun, Mir! Bukannya liatin itu ambulan sama Pocong Merah ada gak?” ucap Hendra.
“Hmm.. sejauh ini sih gak ada,” balasku.
“Gaslah, Dan. Buruan!” Hendra meminta Wildan untuk mempercepat laju mobil.
“Santai aja, jalanan gelap gini, bahaya ngebut-ngebut. Intinya gak usah takut begitu, ntar malah muncul dia,” balasku.
“Argh.. tuhkan, doa lu jelek sih, Mir,” ucap Hendra sambil menunduk dan menutup mata.
Aku kembali melihat sekitar, ternyata Hendra sudah lebih dulu mengetahui kehadiran Pocong Merah itu. Dia sedang berdiri di pinggir jalan, sambil memiringkan badannya. Matanya yang merah menyala itu terlihat jelas dikegelapan malam.
“Ada beneran, Mir?” tanya Wildan.
“Lu jangan panik, dibawa santai aja.”
“Ada dimana, Mir?”
“Gak usah kepo, fokus liatin jalan aja.”
Pocong Merah itu tetap berdiri di sana, sampai mobil kami melewatinya. Bau anyir dan busuk menyeruak ke dalam mobil.
“Hue!” Hendra menutup hidungnya menahan muntah.
“Gw merinding banget ini, Mir,” ucap Wildan.
“Santai, lanjut aja terus.” Aku berusaha tetap tenang.
Dari kaca spion depan, aku melihat Pocong Merah itu sudah duduk di kursi belakang. Pantas, baunya tidak juga hilang.
“Apa maumu?” tanyaku dalam hati.
“Katanya kamu mau melihat wujud asli saya,” balasnya.
“Tapi.. tidak begini juga, kasian temanku.” Dia pun kembali tertawa cekikikan.
“Lu denger gak tadi, Mir? Ada suara ketawa,” ucap Wildan.
“Gak ah, dibilang jangan takut, ntar jadi halu,” balasku.
“Buruan, Dan! Gw gak tahan ini mau muntah,” ucap Hendra yang masih menunduk.
“Ini gw juga udah buru-buru, daritadi merinding disko.”
Mobil sudah mulai menuruni bukit, memasuki daerah perkampungan. Bau anyir dan busuk itu tiba-tiba menghilang. Aku kembali melihat kaca spion depan. Pocong Merah itu sudah hilang.
Dug!
Terdengar suara benda jatuh ke atas mobil.
“Apaan itu, Mir?” tanya Wildan.
“Tugas saya sudah selesai, salam untuk penjagamu,” ucap Pocong Merah itu, yang kini sudah berubah menjadi seekor monyet besar berbulu lebat dengan mata merah.
“Baiklah, terimakasih,” balasku, lalu Sosok itu pun menghilang.
“Udah pergi dia. Bangun, Hen! Ini anak, takut apa tidur,” ucapku.
“Gak kuat gw, Mir. Bau banget asli. Emang tadi dia masuk mobil? Soalnya punggung gw kaya dingin gitu,” balas Hendra yang sudah membuka matanya.
“Huuh, duduk di belakang lu.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Maksud dia apa sih, Mir?” tanya Hendra.
“Jangan dibahas sekarang, kalau dia balik lagi gimana? Entar aja di kosan,” ucapku menakut-nakuti Hendra.
“Eh... iya ntar aja.”
Kurang dari satu jam, mobil kami sudah sampai di kosan. Sejak tadi, tidak ada percakapan penting. Setelah memarkirkan mobil, kami semua pun buru-buru turun, menuju toilet.
Di dalam kosan, aku melihat Si Kingkong sedang bermain-main dengan kucing.
“Gimana perjalanannya, Mir?” tanya Si Kingkong yang lagi mengejar-ngejar kucing.
“Gak usah pura-pura gak tau!” Aku berlalu, lari menuju kamar mandi.
Setelah selesai dengan urusan masing-masing, kami kembali kumpul di ruangan TV. Aku harus menceritakan semua kejadian malam ini, sambil menunggu adzan subuh.
“Jadi... Mang Genta udah tau?” ucap Hendra agak marah.
“Iya,” balasku.
“Pantesan daritadi gak berani muncul, dipanggil-panggil juga gak datang.”
“Mending omelin dia!” ucapku sambil menunjuk Si Kingkong yang masih bermain-main di koridor.
“Gak berani gw, Mir. Ntar gw malah dikerjain makin parah.” Si Kingkong pun tertawa mendengar ucapan Hendra.
“Tuhkan dia denger,” sambung Hendra.
“Payah, baru dikerjai anak buah saya sudah ketakutan,” ejek Si Kingkong sambil berlari-lari di koridor.
“Kamu juga, Mir. Masa tidak bisa melihat wujud aslinya. Ih... memalukan!” sambungnya.
“Tuhkan gw juga kena,” keluhku lalu tertawa. Hendra pun ikut tertawa.
“Mulai dah, pada ketawa sendiri, gw gak diajak-ajak,” ucap Wildan.
“Lu pengen tau, Dan?” tawarku.
“Iya, Mir.”
“Lu inget cewe cantik di pemandian?”
“Pastilah, cantik gitu.” Hendra tidak kuat menahan tawanya.
“Napa sih lu, Hen?” ucap Wildan kesal.
“Dia itu Kuntilanak Kuning, WILDAN BARATA. Astaga lu polos bener,” jelas Hendra lalu kembali tertawa.
“Bah... parah lu berdua gak ngasih tau. Pantesan....”
“Pantesan dia tiba-tiba ngilang?” tanyaku.
“Hooh.” Aku dan Hendra kembali tertawa ngakak.
Adzan subuh berkumandang. Kami pun membubarkan diri. Kembali ke kamar, untuk bersiap-siap sholat berjamaah di masjid dekat kosan.
~SEKIAN~