RUMAH DUKUN
“Ini rumahnya, Yah?" tanyaku.
"Iya," balas Ayah.
JejakMisteri - Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda.
Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku - Hamid.
Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding.
Ngik!
Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk."
Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa.
"Bu, kakak ngeledek!" sahutnya.
"Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu.
"Iya, Bu."
"Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut.
"Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.
"Makanya ayah ajaknya pagi-pagi. Biar malem bisa tidur nyenyak."
Ayah membuka pintu. "Rumahnya adem banget," ucapnya.
"Tapi banyak debunya," sahutku.
"Wajar udah ampir tiga tahun kosong."
"Yuk mulai bersih-bersih. Ibu sama Ayah bersihin lantai satu. Kamu sama Hamid bersihin lantai dua," perintah Ibu.
"Barang-barangnya?"
"Simpen aja dulu di ruang tengah."
"Oke sip. Yuk, Hamidun!"
Aku dan Hamid berjalan ke arah tangga di dekat ruang tengah. Tepat di bawah tangga ada sebuah kamar mandi. Di dekatnya ada ruangan yang cukup besar. Entah itu ruangan apa, soalnya pas aku coba buka ternyata terkunci.
"Hati-hati tangganya licin," ucapku sembari menaiki anak tangga.
"Iya, Kak," sahut Hamid.
Tiba di lantai dua, aku sudah disambut dengan sebuah ruangan, lengkap dengan sofa dan meja kecil. Di dekatnya ada dua pintu kamar.
Aku membuka jendela yang berada tepat di belakang sofa. Agar ada cahaya yang masuk.
Brug!
Terdengar suara benda terjatuh dari salah satu kamar. "Apa itu, Mid?" tanyaku pada Hamid.
"Nggak tau, Kak."
Kubuka pintu kamar pertama, seketika itu tercium bau busuk yang menyengat. "Bau, Kak," ucap Hamid.
"Iya." Kucoba menyalakan lampu, tapi tak bisa. Terpaksa harus masuk ke kamar dan membuka jendela. Kemudian mencari sumber bau busuk itu.
"Kayanya dari bawah kasur," ucapku sembari menyorot bawah kasur dengan lampu ponsel. "Tuhkan bener!" Terlihat ada bangkai kucing.
Heran, kamar yang tertutup rapat dan tidak ada celah untuk hewan masuk. Kok bisa ada bangkai kucing tergeletak di bawah kasur.
"Ambil, Kak!"
"Kamu aja sana!" tolakku.
"Bau."
"Iya! Kakak juga tau."
Kugeser kasur itu, kemudian mengambil kain penutup sofa untuk membungkus bangkai kucing itu. "Mau ke mana, Kak?" tanya Hamid saatku setengah berlali ke luar kamar.
"Mau ngubur kucingnya!" sahutku, lalu menuruni tangga.
"Apa itu, Syad?" tanya Ibu yang sedang membersihkan dapur.
"Bangke kuncing, Bu," sahutku sembari belari ke luar.
"Kubur di depan aja!"
"Iya, Bu!" sahutku..
Kuletakan bangkai itu di lantai teras, lalu menghampiri ayah yang ada di kamar depan. "Ayah, ada cangkul, gak?" tanyaku.
"Buat apaan?"
"Mau ngubur bangkai kucing."
"Coba pinjem tetangga aja."
"Oke."
Aku berlari ke luar. Kemudian pergi ke rumah tentangga yang terdekat. "Permisi, Assalamualaikum," sapaku.
"Walaikumsalam." Seorang wanita paruh baya membalas salamku.
"Maaf, Bu. Boleh saya pinjam cangkul?"
"Adek bukan orang sini? Soalnya ibu baru liat mukanya."
"Iya, Bu. Saya baru pindah ke sini."
"Oh, tinggal di mana?"
"Di rumah ujung, yang deket kebun."
"Rumah Dukun?"
"Rumah Dukun? Maksudnya apa, Bu?" tanyaku, heran.
"Ibu saranin jangan tinggal di sana. Bahaya!"
"Emangnya ada apa, Bu?"
"Pokoknya jangan! Mending cari rumah lain. Daripada nanti keluarga adek kenapa-napa."
"Insya Allah gak bakal kenapa-napa, Bu."
Wajah ibu itu langsung berubah kesal. "Ya udah kalau gak percaya. Cangkul ada di sana!" Ibu itu menujuk ke samping rumah.
Aku heran dengan perubahan sikapnya itu. "Makasih, Bu."
"Sebelum dibalikin tolong dicuci bersih! Jangan sampe ada tanah sedikit pun!" pinta Ibu itu dengan suara agak meninggi.
"Iya, Bu." Aku pun kembali ke rumah. Kemudian langsung menguburkan bangkai kucing itu di dekat pohon mangga.
________
"Ah, pegel banget," gumamku seraya berbaring di atas kasur. Setelah hampir tiga jam membersihkan kamar dan lantai dua.
"Mid, udah selesai belum?" teriakku.
"Belum, Kak," sahutnya dari kamar sebelah.
"Kakak ke bawah dulu, ya?"
"Iya, Kak."
Aku pun bangkit, lalu berjalan ke luar. Terlihat kamar Hamid tertutup rapat. Kemudian turun ke bawah.
"Mau makan, Syad?" tanya Ibu yang sedang duduk di ruang tengah.
"Emang ada makanan?" Aku berbalik tanya.
"Ibu masakin mie."
"Oh, boleh, Bu."
"Coba tanya Hamid, dia mau juga gak. Biar sekalian."
"Baru aja turun, masa suruh naek lagi," gerutuku.
"Hamid kan ada di depan. Lagi cabutin rumput sama ayah."
"Hah? Masa?"
"Iya."
Aku berlari ke depan. Benar saja, Hamid dan ayah sedang mencabut rumput. Lantas, siapa yang tadi menyaut dari kamar Hamid?
Hiii ~ aku langsung merinding.
"Mid, mau mie, gak?" tamyaku.
"Boleh, Kak," sahutnya.
"Oke."
_______
Setelah memakan mie, aku kembali ke kamar. Lelah dan perut yang kenyang merupakan perpaduan yang sangat pas untuk tidur. Hanya dalam hitungan menit, aku pun sudah tertidur.
"Syad... Arsyad." Kurasakan sentuhan di pundak.
Kubuka mata. "Hua!" teriakku saat wajah ayah sudah ada di hadapan. "Ayah ngagetin aja!"
"Abisnya kamu daritadi gak bangun-bangun. Udah magrib. Ayo sholat jamaah di bawah."
"Iya, Yah."
Aku pun bangkit, kemudian turun ke bawah dan ke kamar mandi. Ternyata lampunya masih mati. Terpaksa harus ambil wudhu sambil gelap-gelapan.
"Lampu kamar mandinya masih mati, Yah?" tanyaku sembari menghampiri ayah.
"Iya, udah coba diganti tapi masih mati. Besok ayah panggil tukang listrik."
Kami pun sholat berjamaah. Setelah itu lanjut mengaji. Bagaimanapun rumah ini sudah lama kosong, maka perlu ada pengajian. Supaya nanti malam kami bisa tidur dengan tenang dan tak ada gangguan.
Brug!
Terdengar suara benda terjatuh. "Suara apa itu, Yah?" tanyaku.
"Paling tikus," balas Ayah. "Dah lanjut ngajinya."
Brug!
Suara itu kembali terdengar, kali ini jelas sekali dari ruangan di dekat tangga. "Dari sana kayanya, Yah!" Aku menoleh ke ruangan itu.
"Iya, itu gudang. Belum dibersihin. Soalnya Bos ayah lupa naruh kuncinya di mana," jelas Ayah.
"Oh."
Kami pun lanjut mengaji. Setelah itu, makan malam.
_______
"Aku ke atas dulu," ucapku, lalu berlari ke atas.
Sesampainya di kamar, langsung membaringkan tubuh di atas kasur. Tak lama aku pun tertidur.
Krek! Krek!
Samar terdengar suara gesekan. Kubuka mata, kemudian melirik ke sudut kamar. Terlihat Hamid sedang berdiri menghadap tembok. "Ngapain di kamar kakak, Mid?" tegurku. Namun, Hamid bergeming, tak membalas ucapanku.
Kuambil posisi duduk di ujung kasur. "Mid?" panggilku.
"Iya, Kak," sahutnya.
"Ngapain di sana?"
Hamid membalikan badan. "Ini kak!" Ia menunjukan jemarinya yang berdarah.
"Ya Allah!" Aku berdiri untuk menghampirinya. Namun, baru maju beberapa langkah. Ia malah tertawa kencang. Sontakku berdiri mematung, sembari memandangi wajah Hamid yang terlihat sangat pucat.
"Kak." Hamid berjalan mendekat. Ia mengambil pensil di meja belajar. Entah kenapa tubuhku tak bisa bergerak.
Aku pun merapal doa.
"BERISIK!" sentak Hamid, seraya menghujamkan pensil itu ke perutku.
ARGH! Spontanku memegang perut yang terasa sakit sekali. Pensil itu masih menancap. Kemudian, darah segar terlihat mengalir.
Dulu… awalnya gak tau kalau rumah yang sering saya kunjungi itu ternyata Rumah Dukun. Baru tau pas Mak Eti bilang, 10 tahun kemudian.
Jujur, kalau diliat dari luar sih rumahnya biasa aja. Adem banget. Apalagi posisinya tak jauh dari Masjid, tinggal guling-guling aja nyampe.
Tapi, vibes positif dari masjid tidak membuat suasana di dalem rumahnya jadi positif juga. Nggak sama sekali.
Pertama kali masuk aja udah langsung merinding disko. Eh malahan, pas liat pohon tua di depan rumahnya aja udah berdiri mak bulu romaku ~
Rumah gede, tapi agak gelap kekurangan cahaya. Entah emang sengaja dibikin begitu atau emang salah desain.
Ditambah, sang penghuni rumah teman saya. Ngasih lampu warna kuning, kecil pula. Udah mirip kaya kandang ayam.
Kamar mandinya juga begitu. Udah gelap, lembab banget, lampunya kuning. Pas banget lah kalau untuk syuting pilem horor. Selama datang ke sana, saya aja baru dua kali masuk ke kamar mandi.
Pokoknya berusaha banget, jangan sampe BAB di sana lah. Gak kuat.
Untungnya, saya bukan Amir yang bisa liat begonoan. Sensitif pun kadang-kadang doang, kalau radarnya terlalu kuat.
Cuman ada satu momen, pas lagi sendiri di lantai dua. Itu kamar sebelah yang tak berpenghuni malah dangdutan. Brag-brig-brug.
Untung jendela kamarnya itu menghadap jalan raya. Jadi auto dibuka lebar-lebar. Terus pura-pura ngitungin motor sama mobil yang lewat.
Beruntungnya lagi, cuman itu pengalaman agak-agak di rumah itu. Sisanya cuman merinding doang. Terus berasa kaya Riski Biliar yang jadi pusat perhatian. Dah gitu doang. Cemen emang gak berani nyenggol. Ups!
“Dulu rumah itu tempat dukun terkenal,” ucap Mak Eti yang kebetulan tempat tinggal masa kecilnya gak jauh dari lokasi. “Makanya udah berkali-kali ganti kepemilikan dan dipake usaha pada gagal.”
Pengaruh negatifnya masih kuat, padahal udah puluhan tahun berlalu. Sekarang, bentukan rumahnya udah dirombak, jadi lebih modern.
Kesan bangunan lamanya jadi memudar. Semoga aja kesan horornya juga begitu. Sempet bertanya ke orang yang kerja di sana. Dia ngerasa aman-aman aja, gak ada gangguan.
Berarti julukan Rumah Dukun udah gak pas lagi buat itu rumah. Sekarang lebih cocok dijuluki Rumah Makan.
~~~SEKIAN~~~