Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEBUR SUKMA (Part 12) - Pusara Pisah


Part 12 - Pusara Pisah

Pak Kusno tampak tidak bisa diam. Berkali-kali dia bolak balik dari amben ke jendela, lalu menyibak gorden dan melihat ke arah luar.

Dilihatnya Mbok Marni sudah tertidur di amben. Sedang Ki Dayat sudah masuk ke dalam kamar. Berulang kali pula Pak Kusno melihat jam tangannya, hampir 3 jam lebih semenjak kepergian Aryo.

“Ckkk ke mana bocah itu” ucap Pak Kusno pelan, saat kembali melihat ke arah luar.

“Pak, istirahat dulu. Mungkin Aryo masih mencari mobil yang bisa kita sewa” ucap Mbok Marni yang terbangun.

Pak Kusno menoleh dan segera berjalan menuju istrinya. “Hatiku tidak tenang Bu. Sejak kemarin aku kepikiran Dinda dan Ahmad” kata Pak Kusno.

“Aku tahu, aku juga begitu, pak. Tapi kamu perlu istirahat. Nanti kalau Aryo sudah pulang pasti akan membangunkan kita” ucap Mbok Marni lembut.

Pak Kusno menurut, dengan hati gundah dia melangkah naik ke atas amben dan segera merebahkan tubuhnya.

“Terus berdoa, Pak. Aku yakin cucu kita bisa melalui semuanya. Dia lebih tangguh dari yang kita kira" kata Mbok Marni mencoba menenangkan suaminya.

Pak Kusno terlihat menghela napas dalam, “Justru aku khawatir jika dia terkecoh dengan tipu muslihat Sengkolo” kata Pak Kusno sambil menatap ke arah langit-langit.

“Maksudmu?” tanya Mbok Marni belum paham.

“Meskipun dia tangguh, kecenderungan untuk menyelematkan orang lain juga besar” kata Pak Kusno.

“Kamu takut kalau Dinda akan menerima tawaran demit itu?” tanya Mbok Marni.

“Iya, aku takut jika pikirannya dimanipulasi” jawab Pak Kusno.

Mbok Marni diam, pikirannya melayang jauh. Mengingat semua kejadian yang dilaluinya beberapa malam lalu saat bersama cucunya itu.

“Tidak, aku tidak percaya kalau Dinda mau menukarkan jiwanya” ucap Mbok Marni menggelengkan kepalanya.

Tak ada perbincangan lagi, Pak Kusno memilih diam dan terus memandang langit-langit. Beberapa kali ia berniat untuk bangkit melihat ke arah luar, namun rasanya percuma, toh kalau Aryo datang pasti suara kendaraannya akan terdengar.

Tepat sebelum subuh, terdengar suara kendaraan yang masuk ke pekarangan rumah.

“Pak, bangun” kata Mbok Marni sambil menggoyangkan badan suaminya.

Pak Kusno menggeliat pelan, tangannya mengusap-usap mata yang masih terasa lengket. Entah pukul berapa bisa terlelap tapi rasanya ia baru beberapa saat memejamkan mata.

“Pak, bangun. Itu Aryo sudah pulang” ulang Mbok Marni saat melihat Pak Kusno kembali terpejam.

“Kus, Kus. Tadi saja buru-buru mau pulang, sekarang justru malas-malasan. Kasihan cucumu di rumah” ucap Ki Dayat yang ternyata juga sudah keluar dari kamarnya.

Seketika pak Kusno tersentak mendengar ucapan Ki Dayat. Matanya terbuka dengan sempurna, “Aku ketiduran, jam berapa ini?” tanya Pak Kusno gelagapan.

“Sudah hampir subuh” jawab Mbok Marni.

Tanpa menjawab, Pak Kusno beranjak menuju ke pintu rumah. Benar saja, saat melihat keluar, Aryo sedang berdiri di samping sebuah mobil.

“Aryo” panggil Pak Kusno.

“Sudah siap Pak? Maaf lama” kata Aryo sambil tersenyum meminta maaf.

Pak Kusno berjalan mendekati Aryo, “Sudah, ayo sekarang kita berangkat” kata Pak Kusno buru-buru.

“Kus, sebentar lagi adzan subuh. Ibadah dulu baru kalian berangkat. Aryo yang akan menyetir nanti” kata Ki Dayat dari arah pintu.

“Lo, saya juga ikut to Mbah?” tanya Aryo kebingungan.

“Aku nggak yakin le, kalau Kusno bisa nyetir mobil dengan baik, naik sepeda saja dia oleng” ucap ki Dayat mencemooh.

“Enak saja, jangankan mobil, balapan bus pun aku masih mampu” balas Pak Kusno tidak terima dengan ejekan temannya itu.

“Sudah, sudah. Ayo sholat subuh dulu, baru kita berangkat” kata Mbok Marni menengahi. Dia yakin jika tidak dihentikan, sampai dzuhur pun adu mulut itu akan terus berlanjut.

Tidak mau membuat istrinya marah, Pak Kusno patuh dan segera berjalan menuju rumah, sedangkan Aryo dan Ki Dayat terkekeh.

“Lucu ya mbah, Pak Kusno itu” kata Aryo.

“Hahaha iyo, titip mereka ya. Antarkan sampai rumah dengan selamat” kata Ki Dayat sambil menepuk lengan Aryo pelan.

***

Saat ini mereka sedang berkumpul di halaman rumah Ki Dayat, bersiap untuk pergi ke rumah Sukmaadji.

“Dayat, matur nuwun wis ngrewangi sakabehane” (Yat, terima kasih sudah membantu semuanya) ucap Pak Kusno.

“Wis, wis. Pesenku, kabeh wis dadi kersane Gusti. Jaga awakmu, titip putuku yo” (Sudah, sudah. Pesan ku, semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Jaga dirimu, titip cucuku ya) ucap ki Dayat sambil memeluk Pak Kusno singkat.

“Pandongane, muga lancar sakabehane” (Doakan, semoga lancar semuanya) kata Pak Kusno.

Ki Dayat tersenyum dan mengangguk, tidak mau menampilkan wajah khawatirnya. Dia yakin perjalanan menuju kediaman Sukmaadji tidak akan semudah itu. Apalagi sekarang Kusno sudah tahu bagaimana cara menghancurkan ikatan yang dibuat oleh Sengkolo.

Segera mereka semua masuk ke dalam mobil. Sesaat setelah Aryo duduk di kursi kemudi tiba-tiba saja hatinya merasa tidak nyaman. Entah karena barang yang dibawa Pak Kusno atau memang akan terjadi sesuatu selama perjalanan.

“Sudah siap?” kata Aryo sambil mengencangkan sabuk pengamannya.

“Bismillah, semoga kita selalu dilindungi dalam perjalanan ini” kata Mbok Marni jok tengah, sementara Pak Kusno hanya menganggukkan kepalanya.

Mesin dinyalakan, kemudian Aryo memundurkan mobil dan mulai berjalan melewati kabut pagi hari menuju kediaman Sukmaadji.

“Berapa jam kira-kira kita sampai sana, Yo?” tanya Pak Kusno.

“7-9 jam Pak dengan kecepatan normal” jawab Aryo.

“Usahakan sebelum ashar kita sudah sampai ya, Yo. Kalau tidak, aku tak yakin bisa menyelesaikan perkara ini” kata Pak Kusno dengan pandangan menerawang jauh.

“Kenapa Pak? bukannya yang terpenting kita sampai sebelum malam hari?” tanya Aryo penasaran.

“Aku khawatir demit itu melakukan sesuatu. Tipu muslihatnya sungguh luar biasa. Jika Dinda menerimanya, percuma kita melakukan semua ini” jawab Pak Kusno sekenanya.

“Pak, sudah. Aku yakin Dinda akan baik-baik saja” kata Mbok Marni menenangkan.

Aryo mengangguk, mengerti maksud Pak Kusno. Segera dia mempercepat laju kendaraan yang mereka tumpangi.

Sudah beberapa jam mereka berkendara. Melalui jalanan, menembus hutan. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya rimbunan pepohonan dan semak belukar yang cukup tinggi.

Suasana tempat itu benar-benar terlihat sangat sepi, bahkan tidak ada satupun kendaraan yang berpapasan dengan mereka.

“Kalau kamu ngantuk, gantian, Yo” kata Pak Kusno saat melihat Aryo sering sekali menguap.

“Iya Pak, kita cari warung kopi seben....” belum sempat Aryo menyelesaikan ucapannya.

Pak Kusno langsung teriak, “Yo. Awas!!!”. Seketika Aryo menginjak pedal rem dengan kuat, suara mobil berdecit, oleng dan berhenti tepat di tengah jalan.

“Astaghfirullah” Mbok Marni terkejut.

“Apa itu tadi, Pak?” tanya Aryo yang tak kalah terkejut.

“Pinggirkan mobilnya” jawab Pak Kusno tegas.

Aryo mengangguk, dengan tangan gemetar dia segera meminggirkan mobil ke bahu jalan. Jantungnya masih berdebar keras, tidak menyangka ia melihat sesuatu yang aneh di pagi hari seperti ini.

Jelas tadi dia melihat ada sesosok makhluk yang berdiri di tengah jalan, badannya sedikit bungkuk dengan kulit berwarna kehijauan.

“Kalian tidak apa-apa?” tanya Pak Kusno memastikan kondisi Mbok Marni dan Aryo.

Keduanya mengangguk, Aryo terlihat jauh lebih pucat dari sebelumnya. Dia tahu, pasti pemuda itu juga melihat sosok Sengkolo yang berdiri tepat di tengah jalan.

“Kita istirahat sebentar” kata Pak Kusno mengeluarkan rokok dan menyulutnya satu batang.

“Tadi itu apa Pak?” tanya Aryo lagi penasaran.

“Sosok yang membuatku babak belur seperti ini” kata Pak Kusno datar.

Aryo menelan ludah, meskipun hidup dengan Ki Dayat, baru kali ini dia melihat sosok demit di depan mata dengan jelas, apalagi di pagi buta seperti ini.

Pak Kusno menoleh ke Aryo, dia melihat kekhawatiran terpeta jelas di wajah pemuda itu. “Setelah ini, aku saja yang nyetir, kamu istirahat di belakang. Setelah sampai batas kota, kita gantian” kata Pak Kusno.

Aryo tidak sanggup menolak, masih teringat sosok yang baru saja ia lihat. Apalagi ia memang kelelahan setelah semalaman mencari mobil untuk bisa membawa mereka pergi ke tempat cucu Pak Kusno berada.

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini Aryo duduk di jok tengah agar bisa beristirahat, sementara Mbok Marni duduk di sebelah Pak Kusno.

“Pak” kata Mbok Marni membuka percakapan.

“Kenapa Bu?” jawab Pak Kusno tanpa menoleh.

Mbok Marni sedikit ragu dengan apa yang ingin ia sampaikan. Dia takut jika suaminya mengetahui apa yang sudah terjadi di rumah Sukmaadji, dia akan bertindak bodoh.

“Bu?” tanya Pak Kusno saat mendapati Mbok Marni justru terdiam.

Terlihat Mbok Marni menghela napas, sebelum berujar “Sebenarnya ada yang belum ku sampaikan padamu”

“Soal?” tanya Pak Kusno masih fokus melihat jalanan.

“Alasan kenapa aku menyusulmu. Sebenarnya saat aku masih di rumah, banyak kejadian yang terjadi. Salah satunya, Ahmad yang tiba-tiba saja bisa berjalan, dan dia melukai Hamdan hingga sekarat” kata Mbok Marni memberanikan diri.

Ciiiitttttt.....

Seketika Pak Kusno menginjak pedal rem, Aryo yang di belakang sedang tertidur, otomatis terbangun, tubuhnya terbentur jok yang ada di depannya.

“Astaghfirullah” Mbok Marni kaget.

Segera Pak Kusno meminggirikan lagi mobil yang dikendarainya. Aryo yang tidak mendengar percakapan awal mereka hanya mengerang kesakitan, ia mengira bahwa ada sosok lain yang menghalangi jalan mereka.

“Maksudnya? Bagaimana Ahmad bisa melukai Hamdan?” tanya Pak Kusno kebingungan.

“Hamdan memang bodoh, dia terlalu ikut campur urusan Sukmaadji. Aku mendengar dari Dinda ternyata mereka berdua yang membuat Ratmi lepas dari ikatan yang sudah dibuat” kata Mbok Marni.

“Ya, aku tahu itu... Ratmi yang memberitahu saat aku mau pergi ke Lembah Pati” tambah Pak Kusno saat melihat raut wajah Mbok Marni kebingungan.

“Ya, waktu itu kami sudah melarangnya untuk keluar kamar di malam hari. Tapi entah apa yang terjadi, saat aku terbangun Dinda sudah tidak ada di sampingku.

Mulanya aku pikir sedang ke kamar mandi, namun ternyata saat aku cek, kamar mandi kosong. Lantas aku memberanikan diri keluar untuk mencarinya” jelas Mbok Marni.

Sesaat Mbok Marni terdiam, mengambil napas dalam-dalam. “Terus?” desak Pak Kusno.

“Waktu aku keluar kamar, aku tahu ada yang tidak beres. Rumah sudah berantakan, barang berserakan di lantai. Selain itu, banyak darah berceceran di lantai. Akhirnya aku melihat satu tubuh tergolek lemah di lantai, yaitu Hamdan” jelas Mbok Marni.

Glek... Aryo menelan ludahnya. Bagaimana bisa ada sosok demit yang melakukan semua itu. Selama ini dia selalu meyakini bahwa demit tidak akan pernah bisa membunuh manusia. Tetapi saat mendengar penuturan Mbok Marni, seketika keyakinannya memudar.

“Lalu bagaimana dengan Dinda?” tanya Pak Kusno sangat khawatir.

“Setelah membawa Hamdan ke kamar dan menguncinya di dalam. Segera aku mencari kekeberadanya, aku pikir anak itu bersembunyi di suatu tempat, namun saat melewati kamar Sukmaadji,-

kudengar suara teriakan dari dalam. Itu adalah suara Dinda, aku mencoba membuka pintunya tapi terkunci. Saat akan mengambil kunci cadangan, Ahmad tiba-tiba saja muncul dari arah kamarnya” jelas Mbok Marni.

Pak Kusno menahan napas, dia bisa membayangkan betapa kacaunya keadaan malam itu. Tapi bagaimana mereka berdua bisa kabur?

“Lalu bagimana kalian bisa selamat?” tanya Pak Kusno penasaran.

“Aku sengaja, berkata dengan nada yang agak kencang. Berusaha memberitahu Dinda jika Ahmad ada di luar kamar dan tiba-tiba saja pintu terbuka,-

Dinda muncul dan menarikku masuk ke dalam kamarnya. Kami ganjal semua pintu dan jendela agar Ahmad tidak bisa masuk ke dalam kamar” kata Mbok Marni.

Pak Kusno memejamkan mata, kepalanya terasa begitu pening. “Bagaimana mungkin kamu tega meninggalkan cucu kita Bu?” tanya Pak Kusno lirih, kini punggungnya sudah bersandar di jok mobil.

“Aku tidak tega Pak, mana mungkin aku bisa meninggalkan darah dagingku sendiri. Tapi Dinda yang memaksa, aku ingat saat kami di dalam kamar, dia melihat Ratmi.-

Entah apa yang mereka bicarakan aku tidak tahu, intinya Dinda mengatakan justru saat ini orang-orang yang ada di sekitarnya yang dalam bahaya. Bukan dirinya” jawab Mbok Marni dengan air mata yang mulai keluar.

Cukup lama mereka bertiga terdiam. Bahkan Aryo yang tidak mengerti apapun, rasa kewaspadaan muncul menyelimuti batinnya.

Dalam kesunyian, sesekali Aryo melihat ke arah luar. Dilihatnya awan hitam bergerak melewati mereka, rintik hujan mulai turun, membasahi kaca mobil.

“Pak, Bu” ucap Aryo mencoba membuka percakapan.

Seperti tersadar dari lamunan, Pak Kusno dan Mbok Marni menoleh ke arah belakang. Mereka sama sekali lupa dengan keberadaan Aryo.

“Kalau memang Pak Kusno tidak bisa konsentrasi, biar saya saja yang menyetir” ucap Aryo hati-hati.

“Sebentar, beri aku waktu untuk menenangkan diri. Aku tidak menyangka kejadiannya sudah sejauh itu” jawab Pak Kusno.

Aryo tidak berani membantah, ia menengok ke arah luar. Kabut mulai terlihat menutupi pandangan, hujan mengguyur deras. Suasana di pemberhentian mereka benar-benar sepi.

Di sela lamunannya, tiba-tiba ada pergerakan di jok mobil depan, seketika Aryo memalingkan pandangannya.

“Kenapa, pak?” tanya Mbok Marni saat mendapati Pak Kusno memajukan badannya dan mengelap kaca mobil.

Pak Kusno tak mengindahkan, dia menyipitkan matanya. Tidak mungkin, pasti itu hanya halusinasinya.

“Sukri” ucap Pak Kusno lirih. Tepat beberapa meter di depannya, dia melihat bocah dengan pakaian kumal itu berdiri menatapnya.

“Sukri?” tanya Mbok Marni.

“Kita harus cepat Bu, perasaanku tidak enak. Aryo, pakai sabuk pengamanmu” ucap Pak Kusno.

Mendengar itu, Aryo kebingungan, siapa Sukri? Namun, dia tak kunjung punya keberanian untuk bertanya kepada dua orang yang ada di depannya. Buru-buru Aryo mengencangkan sabuk pengamannya.

Pak Kusno mulai menghidupkan mesin mobil dan melajukan mobilnya. Tepat saat melewati sosok Sukri, dia melihat bocah laki-laki itu tengah menatap ke arahnya dan menggelengkan kepala.

Perasaan Pak Kusno semakin tidak keruan, terakhir kali dia bertemu dengan dedemit bocah itu, menandakan jika ada bahaya di depannya.

Dengan kecepatan penuh, mobil itu melaju menembus jalanan berkabut yang basah karena hujan. Mbok Marni dan Aryo hanya bisa melafalkan dzikir selama perjalanan, tak menyangka jika laki-laki tua itu bisa mengemudi dengan hebat.

“Pak, saya belum nikah” ucap Aryo merepet.

“Kamu tenang saja, nanti saya carikan jodoh setelah semua ini selesai” jawab Pak Kusno santai.

Aryo kembali menelan ludahnya, sungguh, jika tahu akan seperti ini, lebih baik dia berada di rumah bersama Ki Dayat.

“Pak, pelan-pelan. Astaghfirullah” kata Mbok Marni saat Pak Kusno menambah kecepatan.

“Ingat Pak, kita mau menyelamatkan cucu kita. Jangan sampai kita yang akhirnya masuk rumah sakit” lanjut Mbok Marni ketakutan.

Mendengar ucapan istrinya, Pak Kusno berniat mengurangi kecepatan. Namun belum sempat laki-laki itu melakukannya, tiba-tiba ada sosok yang berlari kencang di depannya.

Pak Kusno yang kaget, seketika menginjak rem dalam-dalam, membuat mobil yang mereka tumpangi hilang kendali.

Duaaarrrr... Brakkk! Terdengar suara benturan yang cukup keras. Mobil yang berisikan Pak Kusno, Mbok Marni dan Aryo menghantam pepohonan di pinggir jalan.

Sesaat setelahnya, Pak Kusno masih bisa melihat sosok yang berdiri di tengah jalan. “Ratmi” kata Pak Kusno terbata, kemudian semuanya menjadi gelap.

***

Sementara itu di kediaman Sukmaadji...

Setelah Dinda memecahkan cermin, dia terduduk di lantai. Meletakkann kepala di antara dada dan lututnya, tangisnya pecah tanpa suara.

Ahmad mendekati anak semata wayangnya itu, hatinya benar-benar hancur. “Nduk” ucapnya pelan sambil membelai lembut punggung Dinda.

“Ayah obati luka kamu dulu ya” ucapnya kemudian beranjak.

Dinda tidak menggubris, sesaat dia memandang Ahmad dan kembali membenamkan kepalanya. Tubuhnya benar-benar terasa lemas, dia tidak punya tenaga untuk berkata apapun.

Terdengar derap langkah kaki, mendekat. Dinda merasakan ada yang menarik tangan kanannya lembut. “Kenapa kamu nekat seperti ini, nduk” kata Ahmad parau.

Dinda masih tidak menjawab, hanya sesekali terlihat menahan napas dan merintih lirih saat Ahmad sedang mengobati lukanya.

“Ini diminum dulu” kata Ahmad sambil menyerahkan segelas air putih.

Dinda mengambil gelas itu, dia langsung meminumnya. Ia terheran, bagaimana mungkin air putih bisa membuat dirinya kembali pulih. Seketika Dinda menggelengkan kepalanya pelan.

“Yah, maafin Dinda” ucap Dinda yang langsung memeluk Ahmad.

Ahmad membalas pelukan anaknya itu. Membiarkannya meluapkan semua rasa sakit yang ada di dalam batinnya.

Setelah tenang, Ahmad segera meminta Dinda untuk kembali ke kamar. Dia sudah menyingkirkan lemari yang menghalangi pintu kamar anaknya.

“Sekarang kamu tidur, biar Ayah yang membereskan semua ini. Kalau perlu obat tidur, biar Ayah ambilkan” kata Ahmad.

Namun Dinda menggeleng, perlahan beranjak dari duduknya. Ia mulai berjalan, saat sampai di ambang pintu, ia menolehkan kepala. Tempat itu benar-benar terlihat kacau.

“Pak Hamdan bagaimana?” tanya Dinda parau.

“Tidak perlu kamu pikirkan, besok kita bawa dia ke rumah sakit. Malam ini tidak perlu memikirkan apapun. Beristirahatlah” kata Ahmad sambil menuntun Dinda yang masih tampak sempoyongan.

“Terimakasih sudah ada untuk Dinda” ucap Dinda saat mereka sudah ada di depan ranjang di kamarnya.

“Kamu satu-satunya milik Ayah, nduk. Justru Ayah yang harusnya berterimakasih ke kamu. Karena sudah hadir di dunia ini” kata Ahmad.

Sesaat Dinda melihat ke arah mata Ayahnya. Seketika hatinya merasa perih, matanya memanas, tenggorokannya terasa sakit sekali.

Tidak mau terihat oleh Ahmad, Dinda segera memalingkan wajahnya. Namun Ahmad menahan, dan kembali memeluknya dengan erat.

“Kamu wanita kuat, Nduk” ucapnya sambil melepaskan pelukannya dan segera berjalan keluar kamar.

Pintu tertutup, Dinda tak lagi meminta Ahmad untuk mengurung diri di kamar. Baginya saat ini percuma saja, sosok demit gila itu bisa melakukan apapun yang semaunya.

Sempoyongan, Dinda menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Seketika rasa nyaman mengalir ke tubuhnya, matanya sungguh berat. Tanpa menunggu lama dia langsung terlelap dalam mimpi...

***

“Nduk, bangun” terdengar suara Mbok Marni membangunkan Dinda.

Dinda menggeliat, “Kenapa Mbok?” tanya Dinda parau sambil mengerjapkan matanya.

“Kok kenapa, buruan bangun sudah ditunggu itu” kata Mbok Marni.

Dinda yang masih belum sadar sepenuhnya kembali menggeliat meregangkan otot-ototnya yang kaku. Kemudian dia melihat ke arah jendela, nampak sinar matahari sudah menembus masuk lewat celah lubang kayu, membuat matanya bisa menangkap debu-debu yang beterbangan.

“Ya sudah, buruan” kata Mbok Marni sambil beranjak dari duduknya.

Terkesiap Dinda membuka matanya lebar-lebar. Kesadarannya datang dengan cepat, seolah menembus tulang tengkoraknya.

“Mbok Marni?” tanya Dinda kaget dan langsung bangun dari tidurnya.

“Ya nduk?” tanya Mbok Marni dari arah pintu.

Dinda menggeleng, memastikan kalau apa yang dia lihat tidak salah. Mata yang masih kabur, lantas ia langsung beranjak, berjalan sempoyongan menuju ke arah neneknya itu.

“Ini beneran Mbok Marni?” tanya Dinda tidak percaya.

“Memang siapa lagi, nduk? Ngelindur kamu?” ucap Mbok Marni mengerutkan dahinya.

Dinda memperhatikan wanita tua itu lebih dekat. Sesaat dia diam, memastikan jika sosok Mbok Marni memang nyata adanya. Setelah yakin, ia langsung mendekapnya dalam pelukan.

“Mbok kapan pulang?” tanya Dinda.

“Kamu ngomong apa, nduk?” kata Mbok Marni kebingungan.

Dinda melepaskan pelukannya, memandang Mbok Marni keheranan. “Iya, kapan Mbok Marni pulang dari Lembah Pati?” tanya Dinda lebih jelas.

Mbok Marni mengerutkan dahinya, lalu mengusap kepala Dinda. “Kamu mimpi apa nduk? Dari kemarin Simbok tidak pergi kemana-mana. Sudah sana mandi, itu ditunggu” kata Mbok Marni yang langsung keluar ruangan.

Dinda bingung dengan jawaban Mbok Marni. Meskipun merasa ada yang aneh, namun dia mencoba untuk mengabaikan itu semua. Lantas dia segera berjalan ke arah kamar mandi.

Hingga saat melewati meja rias, tubuhnya terhenti. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya. Meja rias dan kursi dengan bantalan kain masih ada di tempatnya.

Cermin besar yang menempel pada dinding juga terlihat normal. Saat Dinda tidak menemukan jawaban, dia hanya menggeleng dan kembali melangkah.

Lima belas menit berlalu, sejak tadi Dinda hanya duduk di atas kloset dengan pandangan menerawang. Dia masih berusaha mencari jawaban kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikirannya.

Tok...tok...tok....

Terdengar suara ketukan dari arah pintu. “Nduk, buruan sudah di tunggu” kata Mbok Marni dari arah luar.

Dinda tersentak kaget, lamunannya buyar. “Iya Mbok sebentar” kata Dinda, buru-buru bangkit dan segera menghidupkan air.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, Dinda beranjak. Dia begitu penasaran, karena sejak tadi terdengar banyak suara percakapan dari arah luar kamarnya.

Saat membuka pintu, Dinda tercengang. Di ruang tengah suasana tampak ramai, banyak orang sedang berinteraksi satu sama lain.

Dinda melongongo, terus memperhatikan mereka. Hingga pandangannya menangkap seseorang yang selama ini dia rindukan.

“Adit?” tanya Dinda kaget.

Adit bangkit, senyumnya merekah. “Sudah bangun kebo betina?” ucapnya sambil terkekeh senang.

Dinda menelengkan kepalanya, merasa bingung dengan semua ini. Bagaimana Adit bisa sampai ke tempat ini? Dan apakah semua kejadian kemarin hanya mimpi belaka?

Dinda mulai melangkah pelan, mendekati Adit. “Ini beneran kamu Dit?” tanya Dinda memastikan.

“Kamu kenapa to nduk? Dari tadi tanya ini bener Mbok Marni, ini bener Adit? Kalo ga bener, lalu kami siapa? Dedemit?” Mbok Marni berkelakar.

“Tuh, ngelindur ya kamu” ucap Adit.

Dinda mengucek matanya pelan, mencoba meyakinkan dirinya kalau sosok yang ada di hadapannya adalah nyata. Kemudian saat sudah benar-benar yakin, ia langsung menghambur memeluknya dengan erat.

“Dit, kok bisa sampai sini?” tanya Dinda.

“Ehhh, malu dilihat, ada Mbok Marni dan orang-orang” ucap Adit sambil membelai lembut punggung Dinda.

Dinda segera melepaskan pelukannya. Saat melihat sekitaran, ternyata memang benar orang-orang tengah memperhatikannya dengan tawa di wajah mereka.

“Jawab dulu, bagaimana kamu bisa sampai sini” ulang Dinda penasaran.

“Tuh kan bener Mbok, wanita ini kebanyakan tidur jadi lupa segalanya” kata Adit sambil menengok ke arah Mbok Marni.

“Iya, dengan hari pernikahannya sendiri saja lupa. Mungkin memang kebanyakan tidur” kekeh Mbok Marni.

“Ha? Pernikahan?” tanya Dinda tidak paham.

“Kamu beneran lupa? Kalau kita bakal nikah hari ini?” tanya Adit keheranan.

Belum sempat Dinda menjawab ucapan Adit, terdengar suara percakapan dari arah samping. Sontak Dinda menoleh ke arah sumber suara.

“Ayah? Kenapa pakai kursi roda lagi?” tanya Dinda saat melihat Ahmad tengah duduk di atas kursi roda.

“Hus... nduk, kamu ini kenapa to?” tegur Mbok Marni.

“Loh dari kemarin kan Ayah memang pakai kursi roda Nduk” kata Ahmad menanggapi.

“T—tapi kemarin Ayah sudah bisa berjalan kan?” tanya Dinda.

“Nduk, Ayahmu itu sudah tidak bisa berjalan normal. Kamu kan tahu sendiri penyakit Ahmad tidak bisa disembuhkan” kata Pak Kusno.

“T—tapi?” tanya Dinda.

Dinda mematung, dia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Sudah ayo, aku temenin sarapan. Malah bengong” kata Adit sambil menggandeng tangannya.

Genggaman Adit terasa begitu nyata. Jika ini semua mimpi tidak mungkin Dinda bisa merasakan sentuhan dari laki-laki itu.

“Dit, jangan macem-macem ya. Sabar dulu sampai nanti selesai ijab” goda Pak Kusno.

Adit hanya terkekeh dan kembali menarik tangan Dinda. Sesampainya di dapur segera Adit menarik kursi dan memintanya untuk duduk, sementara dia sibuk menyiapkan sarapan.

“Emang benar ini hari pernikahan kita?” tanya Dinda masih tidak percaya.

“Iya. Setelah sarapan kamu nanti dirias sama mereka, Din” jawab Adit tanpa menolehkan kepalanya.

Meski merasa ada yang janggal, namun akhirnya Dinda hanya menghela napas. Dia berusaha meyakini jika hari ini memang benar acara pernikahannya dengan Adit. Tetapi kenapa perasaannya begitu datar?

Selesai sarapan, Dinda diminta segera kembali ke kamar untuk dirias.

“Ini bajunya ya nduk” kata Mbok Marni dari arah samping ranjang.

Sekilas Dinda melihat ke arah cermin, dilihatnya Mbok Marni sedang menaruh satu set kebaya berwarna kehijauan.

“Iya Mbok” jawab Dinda singkat.

Cukup lama Dinda dirias, setelah selesai ia segera mengenakan pakaian yang sudah disediakan.

Saat bercermin, Dinda sedikit pangling dengan dirinya sendiri. Kini ia melihat sosok wanita cantik yang berdiri menatapnya dengan balutan kebaya dan riasan yang sederhana.

Di bantu penata rias, Dinda mulai berjalan menuju ke arah pintu. Dengung percakapan mulai terdengar jelas di telinganya.

Pintu terbuka, sontak mereka menolehkan kepala menatap ke arah Dinda. Semua terdiam, terpesona melihat kecantikan Dinda. Hingga satu orang laki-laki berdiri, Adit dengan balutan baju beskap senada dengan yang Dinda kenakan, tersenyum lebar ke arahnya.

Dinda dituntun melangkah maju, diminta untuk duduk di bangku yang sudah disediakan. Di sampingnya, Adit tersenyum senang. Namun entah kenapa senyuman itu lebih seperti sebuah seringai mengerikan.

Adit mulai berjabat tangan dengan Ahmad, saat akan mengucapkan janji suci, seketika terdengar jelas suara seorang laki-laki dengan nada tegas di telinga Dinda.

“Nduk” ucap suara laki-laki itu.

Dinda sedikit tersentak, ia mengenali suara itu. Cepat dia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri mencari keberasaan sosok Sukmaadji. Namun bukannya menemukan Sukmaadji, justru dia mendapati orang-orang sedang menatapnya dengan padangan kosong.

Wajah mereka begitu pucat, seperti tubuh yang sudah meninggal selama beberapa jam. Dinda yang panik lantas berpaling ke arah Adit.

Kini laki-laki itu juga sedang menatapnya. Matanya melotot dengan seringai mengerikan. Kaget, Dinda langsung saja berdiri dengan cepat, membuat kursi yang ia duduki jatuh ke belakang.

“Din, kenapa berdiri?” tanya Adit dengan nada datar.

Dinda menggeleng, dia mundur perlahan. Benar dugaannya ada yang tidak beres dengan semua ini. “Nduk, kenapa malah berdiri. Sini nduk duduk lagi” kata Ahmad.

Dinda terus mundur, kepalanya menggeleng dengan kuat. Beberapa kali menepukkan tangannya ke pipi, berharap jika ini mimpi maka dia akan segera terbangun.

Kemudian Dinda tersentak, lirih terdengar suara yang ia takuti. Pelan dia mendengar suara wayangan dari arah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Kini semua orang benar-benar sedang menatapnya. Adit terlihat bangkit dari kursinya, senyumnya masih menyeringai mengerikan.

“Din, duduk sendiri atau harus kupaksa?” kata Adit datar. Dinda yang ketakutan hanya bisa menggerakkan tubuhnya ke belakang hingga punggungnya menyentuh dinding.

Suara wayangan semakin terdengar jelas, selain itu aroma yang selama ini menghantuinya mulai tercium. Aroma bunga mawar menyeruak pekat dari tubuh Adit.

Tubuh Dinda merosot ke lantai. Telapak tangannya menutupi wajah, namun ia masih bisa mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya.

Dinda tersentak, ada yang menyentuh jemarinya, berusaha untuk menarik tangannya dari wajahnya. Entah karena kekuatan sosok itu atau Dinda yang terlalu lemah sehingga dengan mudah dia bisa melepaskan tangannya.

Mata Dinda masih terpejam rapat, dia tidak mau melihat apa yang ada di depannya. Rasa trauma saat melihat jasad Ahmad benar-benar menguasai pikirannya.

“Melek” (Buka mata) ucap suara parau.

Seketika Dinda membuka mata, dia tidak bisa menolak. Ada dorongan entah dari mana yang membuatnya menuruti perkataan Adit.

“Dino iki, aku karo kowe bakal dadi siji salawase, Nduk” (Hari ini, aku dan kamu akan menjadi satu selamanya, Nduk) kata Adit yang badannya tiba-tiba saja mengejang seperti orang sakit ayan.

Dengan lambat, sosok Adit berubah. Kulitnya mengelupas, sisik-sisik berwarna hijau muncul menggantikannya. Rambutnya rontok menyisakan beberapa helai, bibirnya berubah menjadi segaris lurus saja.

Dinda menjerit tertahan. Dengan jarak sedekat ini, sosok Sengkolo kembali menampakkan wajahnya yang mengerikan.

“Din” terdengar suara dari arah samping.

Dinda tak mau menoleh, dia tahu itu suara ayahnya. Jauh lebih baik menatap sosok Sengkolo yang mengerikan ketimbang melihat jasad Ahmad yang digantung lagi.

“Nduk” terdengar suara Mbok Marni dan Pak Kusno, namun kali ini berasal dari sisi lainnya.

Dinda memaksakan matanya untuk terpejam, dia benar-benar tidak mau melihat lagi orang-orang yang dicintainya meninggal dengan cara mengenaskan.

Suara-suara itu terus bermunculan, berdengung saling bersahutan di kepalanya. Tak tahan, akhirnya Dinda membuka mata dan menoleh ke arah kanan.

Benar saja, dia kembali melihat sosok Ahmad yang tergantung persis di ambang pintu. Kemudian ia memalingkan pandangan ke arah depan. Pemandangan yang lebih mengerikan justru terlihat di sana.

Semua orang yang ada di ruangan itu sudah menumpuk jadi satu. Tubuh mereka bertumpuk di tengah ruangan dengan kepala yang menghilang entah ke mana.

Ruang tengah kediaman Sukmaadji berubah, semula penuh dengan seru dan tawa bahagia pernikahan, kini terasa seperti sebuah tempat pembantaian yang mengerikan.

“Din, t-tolong” terdengar suara lirih, Dinda menjerit kencang. Dia melihat kepala Mbok Marni menggelinding pelan menyentuh ujung kakinya dan menangis saat menatapnya.

“Dadi bojoku utawa wong-wong iku bakale mati” (Jadi istriku atau orang-orang itu akan mati) ucap Sengkolo sambil membelai pipi Dinda dan menjilatnya. Ia menghindar dan menjerit sekeras-kerasnya.

Dinda terbangun, sontak dia segera duduk bersandar di ranjang tidurnya. Napasnya memburu, jantungnya berdebar kencang.

“Astaghfirullah” gumam Dinda sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan peluh. Terlebih pada pipinya, Dinda menggosok-gosok bagian itu berulang.

Rasa jijik memenuhi batinnya, namun bayangan kengerian yang ia lihat jauh menguasai hati dan pikirannya.

“Apa memang harus begini?” kata Dinda, dia benar-benar lelah dengan semua ini. Jika memang Sengkolo menginginkan dirinya kenapa dia harus mengganggu dan menyiksa mentalnya seperti ini.

“Kenapa kau tidak segera membunuhku saja!” bentak Dinda keras.

“Khi..khi..khi” terdengar tawa seram di sudut kamar.

Dinda menoleh, sosok Ratmi berdiri di ujung ruangan. Dan kali ini dia terlihat sedang berbahagia.

“Apa lagi yang harus kulakukan?” tanya Dinda pasrah.

“Kusno ora bakal tekan panggonan iki pas malem selasa kliwon. Nyowomu kang dadi taruhane” (Kusno tidak akan sampai di sini tepat malam selasa kliwon. Nyawamu yang jadi taruhannya” kata Ratmi masih terkikik.

Dinda merasa ada yang aneh, ada yang berbeda dengan sosok demit wanita ini.

“Aku wis mecahke pengilon kaya dhawohmu. Menawa iku ra ana gunane aku wis sumeleh” (Aku sudah memecahkan cermin seperti yang kamu suruh. Jika itu tak ada gunanya, aku sudah pasrah) kata Dinda tersenyum kecut.

Dia benar-benar muak dengan semua kejadian yang menimpanya. Akankah lebih baik jika dia menyerahkan diri saja kepada sosok Sengkolo?

“Pecahke pengilon sing ana ning kamar Sukmaadji lan Ahmad, ngengge getih trah e Sukmaadji, wektune dhek manjing maghrib” (Pecahkan cermin yang ada di kamar Sukmaadji dan Ahmad, menggunakan darah keturunan Sukmaadji, waktunya saat Maghrib tiba) ucap Ratmi menjelaskan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close