Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEROR PENGHUNI LAUT MALAM (Part 1) - Tabu Laut Tenggara


JEJAKMISTERI - “Darno ayo cepetan naik... kapal udah mau berangkat” panggil Fahri teman sekamarku di kapal pencari ikan untuk pelayaran kali ini.
Aku mematikan rokokku dan menyusul Fahri menaiki kapal.
“Perlengkapanmu udah dicek?” tanya Fahri padaku.

“Perlengkapan apa to? Kan Cuma pelayaran kayak biasanya..” jawabku dengan sedikit cuek.
Bukannya sombong, aku memang termasuk anak buah kapal senior yang sudah puluhan kali ikut berlayar.

“Bukan gitu.. kapal yang kita naiki ini kayaknya udah agak tua, jadi kayaknya perlu cek-cek safety tools juga” Ucap Fahri.

“Iya.. tenang” aku tak menghiraukan Fahri dan menuju ke kamar untuk menaruh barang.

Tak lama setelahnya suara sirine kapal terdengar, tanda kapal sudah mulai berlayar.
Kami mulai melakukan tugas-tugas kami tanpa disuruh, sudah sewajarnya hal ini dapat kami lakukan karena hampir sebagian awak kapal yang mengikuti pelayaran ini adalah awak senior.

Ada yang memeriksa ruang pendingin, membantu di ruang mesin, atau sepertiku memeriksa peralatan jaring penangkap ikan di geladak kapal.
Sebelum sempat menyelesaikan pekerjaanku, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu awak kapal dengan menggunakan pengeras.

“Kumpul! Semua kumpul! ada briefing dari bos!” Ucap salah seorang anak buah kapal melalui pengeras suara di tengah-tengah pekerjaan kami. Kami segera meninggalkan pekerjaan kami dan berkumpul di geladak.

“Perhatian semuanya! Seperti yang sudah kalian tau, sudah beberapa pelayaran yang kita lalui tidak mendapatkan hasil yang maksimal..” Ucap Bos yang sepertinya sudah bersiap menjelaskan sesuatu.

“Jadi kali ini kita akan berlayar ke arah tenggara. Arah laut yang masih jarang disentuh nelayan lain...“ Laut di tenggara pulau kami memang jarang didatangi nelayan, selain karena medan karangnya yang berat, rumor mengenai hal ghaib disana juga banyak beredar.

“Untuk navigasi saya sudah membawa navigator yang handal, jadi tidak perlu khawatir, fokus dengan tangkapan kalian” Lanjut bos.
Kami semua menyetujui tanpa ada yang berani membantah.

Aku sendiri sebenarnya penasaran dengan kondisi laut di tenggara. Selama pelayaran, aku belum pernah mendapat kesempatan kesana. Semua itu karena memang tidak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis ini.

Hari mulai malam, suhu air sudah mulai rendah, kami bersiap menebarkan jala sesuai petunjuk. Dua orang anak buah kapal turun ke air, mereka membantu memasang posisi jala dari sisi yang berbeda.

Setelah semua siap, mesin kapal pun dimatikan. Setelah menyelesaikan tugasnya kedua anak buah kapal yang terjun kelautpun berenang kembali untuk naik ke kapal.

“Bener, disini banyak ikanya” Ucap mereka yang menyaksikan sendiri keberadaan ikan-ikan di bawah laut yang sudah menjadi target kami.
Mendengarnya kami tersenyum dan menunggu hingga ikan-ikan itu terkurung di Jala yang kami sebar.

Beberapa jam kami menanti hingga benar-benar terlihat jaring mulai terasa berat.

*****

“Tariiik!” Suara salah seorang anak buah kapal terdengar.

Kami segera mengambil posisi untuk mengatur menarik jaring yang telah terisi ikan dan menarik secepat mungkin dibantu dengan sebuah mesin penggulung yang sebenarnya jauh lebih berguna dari tenaga kami.

Sayangnya tak lama tiba-tiba jala kami terasa berat seperti menyangkut pada sesuatu.

“Tarik Darno.. tarik!” Ucap Fahri yang berada di sebelahku

“Nggak bisa.. nyangkut” jawabku.

Kami mencoba memperbaiki jaring, namun tiba-tiba tetesan air hujan mulai membasahi tubuh kami.

“Yah... hujan, masih bisa dapet ikan gak ini...” keluh Fahri padaku.

Hujan turun semakin deras, dan setelahnya tanpa dapat ditebak ombak datang dan melemparkan perahu dengan kencang, kami semua berhamburan memasuki kapal.

Sebagian awak kapal melabuhkan jangkar di tengah laut yang tiba-tiba segera mengganas menyusul derasnya hujan datang. Kami berharap jangkar ini mampu mempertahankan posisi kapal agar tidak terbawa gelombang tanpa arah.

Sayangnya kesialan kami belum selesai, sebuah sambaran petir membakar tiang kapal dan mematikan seluruh listrik yang ada di kapal.

Sebelum masuk ke dalam, sekelebat aku seolah melihat ada sesosok bayangan yang memanjat masuk ke kapal ini dari arah laut.

Aku mengira dia adalah awak kapal yang masih tertinggal di air untuk memperbaiki jaring, namun saat aku ingin keluar untuk membantunya sosok itu sudah tidak ada disana.

Suasana panik saat itu membuatku memutuskan untuk melupakan kejadian itu dan melanjutkan masuk menuju kabin.
Malam ini dilalui tanpa adanya aliran listrik. Beberapa awak kapal yang memang bertugas untuk melakukan perawatan di bagian kelistrikan masih berkutat di ruangan genset.

Hening... Suasana di kapal ini seketika berubah menjadi hening. Hanya suara deburan ombak yang berani mengisi keheningan ini.
Dengan ombak setinggi ini tidak ada yang berani keluar untuk melakukan aktivitas di luar sana.

Kami hanya berharap badai di tempat ini segera berakhir dan kami masih memiliki kesempatan untuk mencari hasil tangkapan.
Aku mencoba untuk tidur dengan kondisi seperti ini. Namun sepertinya kali ini aku membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur.

Di tengah rasa kantukku, samar-samar terdengar suara pintu terbuka perlahan. Dengan setengah sadar aku membuka mata dan memastikan teman sekamarku masih berada di kasurnya.

Awalnya aku ingin membiarkan saja pintu yang terbuka itu dengan rasa kantuk yang telah menguasaiku. Namun gelombang laut membuat pintu itu terus berayun dan membuat suara gaduh.

Aku turun dari kasurku, berjalan perlahan dan menyentuh daun pintu untuk menutupnya. Tetapi sesuatu yang aneh melintas dengan cepat di depan mataku.

Seseorang yang belum pernah kami lihat melintas di depan pintu kamarku dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi sama sekali. Gerakanya tidak seperti sedang berjalan layaknya manusia yang berjalan di kapal dengan guncangan ombak.

Ia seperti melayang...

Rasa kantuku hilang seketika bersamaan dengan rasa takut yang seketika muncul menyelimuti tubuhku.

Aku membutuhkan waktu untuk meyakinkan diri untuk menoleh ke arah lorong kamar memastikan siapa yang melintas di depanku tadi hingga akhirnya aku menoleh ke arah perginya sosok itu.
Tidak ada siapapun yang terlihat disana selain kegelapan yang menyelimuti lorong kabin.

Tapi anehnya semua pintu kamar kabin anak buah kapal terbuka seperti yang terjadi di kamarku tadi.
Mataku tertuju pada sebuah cahaya yang muncul dari sebuah kamar yang ku tahu itu adalah kamar Fahri.

Kemungkinan dia sudah mempersiapkan lampu emergency untuk keadaan seperti ini dan saat itu juga aku memutuskan untuk menghampirinya.

*****

“Jangan...” Terdengar suara seperti seseorang yang menangis tak jauh dari tempatku berada.

“Jangan naik ke atas...”
Aku menoleh ke arah sebuah kamar gelap yang kulewati. Suasananya tidak jauh berbeda dengan kamarku.
Disana terlihat seseorang sedang meringkuk ketakutan di lantai tanpa ada awak kabin lain yang berada di sekitarnya.

Saat aku mencoba mendekat, tiba-tiba pria itu segera berlari ke arah pintu dan membantingnya seolah melarangku untuk mendekat.
Samar-samar masih terdengar suara pria yang menahan pintu itu dari dalam mencoba memperingatkanku.

“Jangan naik ke atas... kita sudah melanggar tabu” ucapnya dengan nada yang ketakutan.

Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud namun kupikir aku akan membicarakan ini dengan Fahri dan segera meninggalkan kamar itu dengan meraba-raba tembok kapal yang memanduku berjalan di kegelapan.

Sekali lagi.. belum jauh aku berjalan dari kamar tadi, aku merasakan ada sesuatu seperti memperhatikanku dari belakang. Aku mencoba tidak memperdulikannya dan terus melanjutkan langkahku.

Sayangnya rasa merinding yang muncul seketika seolah memastikan ada sesuatu yang memperhatikanku di balakang sana.
Dengan gemetar aku memutar tubuhku untuk memastikan sosok itu.

lorong yang tadi siang terlihat biasa saja kini terlihat mengerikan di tengah kegelapan, seolah lorong ini terlihat tidak memiliki ujung.
Jauh dari dalam kegelapan aku melihat sebuah pergerakan yang mendekat.
Manusia? Bukan...

Sesuatu yang berukuran pendek, tidak lebih tinggi dari lututku. Namun benda itu bergerak tanpa ada pengaruh guncangan di kapal ini.
Aku berusaha berpikir bahwa itu adalah tikus atau hewan lain. Atau setidaknya sebuah benda yang bisa bergerak.

Sayangnya prasangkaku musnah bersama kemunculan sesosok makhluk yang mendekat itu.

*****

Kepala...
Sebuah kepala makhluk berambut panjang dengan wajahnya yang pucat muncul dari lantai lorong kabin seolah melayang mendekatiku.

Kepala yang semula hanya terlihat dari hidung hingga rambut perlahan semakin tinggi memamerkan tawanya yang lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinganya.
Seketika tubuhku lemas dan terjatuh. Belum pernah aku melihat hal seperti ini sebelumnya.

Aku mencoba berdiri namun beberapa kali aku terjatuh kehilangan tenaga dan sialnya kepala itu semakin mendekat ke arahku.

“Se...setan! Tolong!”
Aku berusaha mencari pertolongan dari siapapun yang kuharap bisa mendengarkan suaraku namun sepertinya sama sekali tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendengar.
Saat itu juga air mataku menetes menahan setiap kengerian yang menyelimuti tubuhku.

“Pergi! Tolooong! Pergii!” Aku sudah tidak tahu lagi dengan apa yang sudah kuucapkan.
Namun di tengah kesadaranku yang berada diambang-ambang, aku merasakan seseorang menarik tubuhku ke belakang.

Entah apa yang terjadi setelahnya, tiba-tiba aku sudah berada di sebuah kamar dengan sedikit cahaya dengan tangan yang menutup mulutku seolah bermaksud menahanku agar tidak berteriak.

Mereka yang menarikku segera mematikan lampu emergency di kamarnya dan menatap ke arah pintu kamar yang masih terbuka.
Kami menunggu dengan degup jantung yang terus berdetak dengan tidak tenang.

Mulutku tertutup, namun saat itu mataku masih bisa melihat dengan jelas sesosok kepala pucat yang melintas di depan pintu kamar kabin tepat dihadapanku.
Nafasku terengah-engah seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat.

“Ssst... tenang dulu, biar aman dulu”
Terdengar suara seseorang yang kukenal berada diantara orang-orang yang menarikku. Itu adalah suara Fahri.
Mendengar suaranya aku menjadi cukup tenang. Aku mencoba mengatur nafasku dan mencoba mengumpulkan keberanianku.

Melihatku sudah mulai tenang, seseorang yang menahanku melepaskan tanganya dan berjalan mencoba mengintip ke arah luar.
Ia mencoba menutup pintu kamar. Namun entah mengapa pintu itu selalu terbuka dengan sendirinya.

“Kamu ngapain keluar kamar?” Ucap Fahri.

Aku membalikan badan, sudah ada dua orang lain di kamar ini selain Fahri.

“I...ini ada apa sebenarnya Fahri? Makhluk-makhluk itu apa?” Tanyaku.

Fahri menoleh kepada kedua temanya yang sepertinya juga tidak memiliki petunjuk.

“Kami juga nggak tahu Darno, seumur-umur ikut kapal orang belum pernah ada kejadian seperti ini” Jelas Fahri.

“Saya Karto ini teman saya Binsar.. kami kesini karena melihat kamar Fahri ada cahaya” Jelas seseorang yang bernama Karto.

Sepertinya dia yang tadi menyelamatkanku ke kamar ini.

“Terus teman sekamarmu mana Fahri?” Tanyaku.

“Entah, tadi dia bilang mau ke atas mengecek sesuatu.. tapi sudah beberapa jam dia tidak kembali” Jawab Fahri.

Seketika aku teringat perkataan seseorang dari salah satu kamar tadi yang melarangku untuk naik ke atas. Saat itu juga aku merasakan firasat tidak enak dengan teman sekamar Fahri yang naik ke atas.

“Tadi.. di beberapa kamar sebelum kamar ini, ada awak kabin yang nangis dan bilang ke saya jangan naik ke atas..” Ceritaku pada mereka.

“Maksudnya gimana No?”

“Katanya kita sudah melanggar hal tabu...”
Saat itu juga Fahri dan kedua orang lainya saling bertatapan, terlihat raut wajah kekhawatiran terpampang di wajah mereka.

“Fahri, siapin barang-barang yang kemungkinan bisa terpakai.. senter, pisau, tali.. atau apa. Kita cek keadaan yang lain” Ucap Binsar yang terlihat paling berani di antara kami.

Fahri mengangguk dan mulai mempersiapkan tas dan mengambil barang-barang dari lokernya.
Beruntung Fahri masih bisa menemukan satu buah senter lagi sementara lampu emergency bisa kami simpan untuk hal darurat lain.

Dengan sigap kami membantu memasukan barang-barang itu ke dalam tas dan bersiap untuk meninggalkan kamar.
Sesekali suara sambaran petir terdengar memekakan telinga kami.

Derasnya hujan yang turun menimbulkan suara bising yang membuat kami harus sedikit berteriak untuk berbicara satu sama lain.

“Gimana ada orang?” Tanya Binsar.
Karto yang sedang membuka pintu kamar menggeleng dan menunjukan sebuah kamar kosong dengan barang yang sudah berantakan.

“Nggak ada, mungkin dia sudah pergi duluan” Jawab Karto.
Kami melanjutkan perjalanan dan memeriksa satu persatu kamar yang kami lewati.
Tak seperti yang kami duga, kamar-kamar yang kami kira masih dihuni awak kapal ternyata sudah kosong.

Berarti sedari tadi hanya kamar di lorong ujung tempatku dan Fahri istirahatlah yang masih baru menyadari keadaan ini.
Sekilas aku teringat seseorang yang memperingatkanku tadi untuk tidak naik ke atas.

Tetapi sepertinya akan percuma bila aku menjemputnya untuk membawanya ke atas tempat yang ia larang itu.
Dengan hanya bermodalkan sebuah senter kami melanjutkan. semakin lama kami berjalan, semakin banyak hal aneh yang kurasakan.

Salah satu yang paling mengganggu adalah suara tangis seorang wanita yang tersamar oleh suara deburan ombak.
Jelas itu tidak biasa. Tidak ada awak kapal wanita disini.

Entah apa Fahri dan yang lain mendengar hal serupa atau tidak, atau mungkin mereka juga memutuskan untuk pura-pura tidak mendengarkan seperti yang kulakukan.

“Fahri, kalian tunggu di sini sebentar...” Ucap Binsar yang seperti bersiap pergi ke suatu tempat dengan membawa satu-satunya senter.

“Heh.. mau kemana!?” Tanya Fahri.

“Itu.. kamar mandi, sebentar saja.. dari tadi sudah kutahan” Jawab Binsar.

“Bisa-bisanya kamu di waktu begini..” Ucap Karto.

“Aku ikut...” Ucap Fahri.
Aku dan Karto serentak menatap Fahri, dengan adanya dua orang yang bertujuan sama, sepertinya aku dan Karto harus mengalah. Toh sebenarnya itu juga hal yang lumrah.

Bukan tanpa alasan aku memilih untuk menunggu di luar. Di film-film yang kutonton kamar mandi adalah salah satu tempat favorit kemunculan makhluk-makhluk halus yang berniat mengganggu.

Di tengah lamunanku dan Karto suara air kamar mandi terdengar seperti menandakan Binsar dan Fahri sudah menyelesaikan urusannya.
Ternyata Binsar dan Fahri memang tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi dan seperti terburu-buru keluar dari tempat itu.

“Sudah?” Tanyaku.
Fahri mengangguk, namun aku seperti melihat ada yang berbeda dari wajah mereka berdua.

“Kamu nggak papa kan Binsar?” Tanya Karto yang sepertinya juga merasa aneh dengan tingkah laku mereka berdua. Seperti sudah terjadi sesuatu di kamar mandi tadi.

Kami memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh, mungkin saja mereka memang sengaja tidak menceritakan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi lagi.
Kami berjalan perlahan di tengah kegelapan.

Sesekali aku menoleh kebelakang memperhatikan setiap jalan yang kami lalui di tengah kegelapan. Entah setelah selesai dari kamar mandi tadi aku merasakan udara lebih dingin dari biasanya.

Selang beberapa lama kami mendengarkan suara seperti pintu yang tertutup. Bukan suara ringan seperti pintu kamar, melainkan suara pintu yang lebih besar seperti pintu kamar mandi.

Tak lama setelahnya sebelum mencapai tikungan lorong, Karto menarik lenganku dan menahanku untuk mengikuti Fahri dan Binsar.

“Ke...kenapa To?” Tanyaku.

“Ssst... kita mundur dulu” Ucap Karto sambil berbisik.

“Terus Fahri sama Binsar gimana?” Tanyaku berbisik mengikuti nada suara Karto.
Karto memberiku isyarat untuk menoleh ke belakang. Samar-samar dari sana terlihat cahaya senter yang menyorot ke dinding Lorong.

Seketika aku teringat, tadi senter dipegang oleh Binsar. Tapi kenapa sepanjang perjalanan dari kamar mandi tadi Binsar tidak menyalakan senternya.
Aku mulai mengerti maksud Karto dan segera mundur ke belakang tepat ke arah cahaya itu.

“Kalian kemana? Kok ninggalin kita?” Tanya Fahri yang tiba-tiba muncul dari arah belakang kami.
Seketika keringat dingin mengucur deras di tubuhku.

“Emangnya kalian bisa liat jalan tanpa senter?” Lanjut Binsar.

Karto hanya terdiam melihat kemunculan Binsar dan Fahri. Sepertinya ia pun mencoba menahan rasa takutnya sebelum menceritakan apa yang terjadi.

“Bu...bukanya kalian sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi” Tanyaku.
Fahri dan Binsar saling menatap.

“Ini kita baru selesai, susah juga gelap-gelapan di kamar mandi” Jelas Fahri.

“Emang ada apaan?”
Karto yang terlihat pucat mencoba mengatakan apa yang terjadi tadi.

“Tadi kami melihat kalian berdua sudah keluar dari kamar mandi, jadi kami ngikutin.. pas di tikungan lorong kami melihat cahaya senter yang dibawa Binsar dari belakang. Dari situ baru aku sadar ada yang aneh..” Jelas Karto.

Binsar terlihat menelan ludahnya, namun sepertinya ia masih bisa untuk menahan rasa takutnya.

“Ya sudah.. kita lanjutin perjalanan dulu, kita pastiin dulu ke atas.. coba cari Bos atau petugas di atas” Lanjut Binsar yang segera mengambil posisi terdepan dengan senternya.

Aku mempersiapkan nyaliku sebelum akhirnya berjalan mengikuti Binsar yang berjalan di depan kami.
Baru saja berjalan.. belum ada beberapa menit, tiba-tiba Binsar terhenti di tikungan lorong tempat kami tari berhenti.

Wajah Binsar terlihat terpaku menatap sesuatu yang tertutup tikungan lorong dari arah pandanganku.
Apa mungkin mereka masih ada disana?
Wajah Binsar terlihat pucat. Aku dan yang lain segera mempercepat langkahku menghampiri Binsar.

Benar, mereka masih ada di sana..
Berdiri tak bergerak menuju tangga yang berada tidak jauh dari hadapanya.

“I...itu mereka!” Ucapku dengan suara yang gemetar.

Dari belakang wujud mereka hampir tidak ada bedanya dengan Fahri dan Binsar. Namun saat cahaya senter itu menyinarinya, sontak mereka menoleh ke arah kami berempat.

Pucat... Wajahnya sungguh pucat, kayaknya kulit manusia yang sudah terendam berhari-hari di lautan. Hampir seluruh bagian wajahnya menyerupai Binsar dan Fahri namun ada sesuatu yang berbeda.

Aku mencoba memikirkan apa perbedaan dari wajah mereka namun aku belum menyadarinya.
Melihat kejadian itu Aku menarik tubuh Binsar dan yang lain.

“Lari...!” Ucapku.
Aku memandu mereka kembali menuju sebuah kamar dengan pintu yang terbuka di dekat kami. disitu kami menutup pintu rapat-rapat dan kembali mematikan lampu senter.

Entah makhluk itu mengikuti kami atau tidak, tapi sepertinya kami sepakat untuk tidak bersembunyi dalam waktu yang lama.

“Kita nggak bisa begini terus... Kita berempat! Kalau ketemu makhluk begituan lagi, Tabrak aja!” Ucap Binsar dengan logatnya yang khas. Sepertinya dia sudah lupa wajah pucatnya saat tadi melihat wajah makhluk itu.

“Aku takut... tapi aku setuju sama Binsar, kalau begini terus kita bisa terjebak di sini” Lanjut Fahri.
Aku pun sama. Kami berempat, seharusnya kami berani menghadapi apapun yang muncul.

Setelah mempersiapkan nyali, kami kembali keluar. Kali ini masing-masing dari kami menggenggam sesuatu untuk melindungi diri mulai dari pisau lipat dan pipa besi pendek yang kami temukan di tempat kami bersembunyi.

Kami berjalan perlahan menuju tikungan lorong tempat kami berpapasan dengan dua orang yang menyerupai Fahri dan Binsar. Beruntung, Kedua makhluk itu sudah tidak ada disana.

Sebuah tangga kecil terlihat sudah berada di hadapan kami. Di atas lantai adalah ruangan yang setara dengan geladak kapal. Disana merupakan kamar petugas pengawas dan beberapa pihak yang bertanggung jawab dengan pelayaran ini.

Kami bergegas menaiki tangga itu satu persatu hingga mencapai lorong besar yang menunjukan pintu-pintu ruangan yang berhadapan langsung dengan jendela kapal.
Disini aku bisa melihat dengan lebih baik dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela.

Namun kami masih membutuhkan penerangan dari senter yang dibawa oleh Binsar.

“Fahri... disini sepi juga, perasaanku nggak enak” Ucapku.

Fahri tidak menjawab. Diamnya menjelaskan bahwa perasaan yang mereka rasakan tak jauh berbeda dari yang kami rasakan.
Sesekali hantaman ombak menggoyahkan kapal ini sehingga kami harus berpegangan pada sebuah tiang.

“Jadi sekarang kita ke arah mana?” Tanyaku pada yang lainya.

“Mungkin kita coba ke ruang kendali dulu” Jawab Fahri.

Aku setuju. Namun sebelum kami pergi, aku melihat Karto terpaku di depan kaca jendela yang basah dengan derasnya hantaman air hujan.

“Ki...kita jangan keluar” Ucap Karto. Kali ini giliran wajahnya yang terlihat pucat.

Sesuatu pasti sedang terjadi diluar sana. Dengan segera aku menghampiri Karto dan mendekat ke arah kaca jendela yang basah itu.
Tepat saat melihat keluar ke arah geladak melalui kaca jendela ini, saat itu juga aku merasa ragu bisa selamat dari tempat ini.

Berbeda dengan kondisi di dalam sini, di luar terlihat banyak orang yang sedang berdiri di geladak.
Mereka tersebar hampir di setiap sisi kapal.

Bukan... mereka bukan awak kapal. wujudnya benar-benar seperti manusia dan berpakaian layaknya manusia biasa seperti kami.

Namun wajahnya pucat, posisi berdirinya yang tidak terpengaruh oleh goyangan kapal yang sangat kencang membuatku memastikan bahwa mereka bukanlah manusia biasa.

Ah iya... aku ingat sesuatu. Perbedaan dari makhluk yang menyerupai Fahri dan Binsar tadi juga terdapat di makhluk-makhluk itu.

Tidak ada belahan di antara bibir dan hidung makhluk-makhluk itu. Sekilas, perbedaan itulah yang paling jelas diantara mereka dan manusia biasa.
Sayangnya bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan.

Saat ini di tengah gelapnya malam dan derasnya hujan semua makhluk itu sedang menatap ke satu arah yang sama dengan wajah penuh amarah.
Suara petir dan kilatan cahaya memperjelas wujud mereka yang sedang menatap ke arah kami.

“Pe...pergi! Kita pergi!” Ucap Binsar.

“Tapi kemana?” Tanya Fahri yang juga terlihat panik.
Aku tidak bisa berpikir apa ada tempat aman di kapal ini? Setidaknya sampai kita bisa bertahan hingga besok pagi.
“I...itu! Lihat itu!”

Kali ini Karto yang masih ketakutan menunjuk ke satu arah di luar jendela.
Perlahan kami berjalan kembali ke arah jendela dan menatap ke arah yang ditunjukan oleh Karto.

Masih dengan tatapan mengerikan dari makhluk-makhluk itu. Namun bukan itu yang ditunjukan oleh Karto.
Melainkan sesosok jasad yang tergantung terbalik di salah satu tiang kapal dengan tambang yang terikat di kakinya.

Jelas jasad itu tidak mati dengan cara yang wajar. Itu semua terlihat dari tubuhnya yang tergantung terbalik dengan darah segar mengalir dari setiap lubang di wajahnya.

“I...itu bos?” Ucap Fahri yang masih tidak percaya.

Aku mengangguk sementara Binsar yang sebelumnya masih mampu menahan rasa takutnya kini terjatuh lemas seolah satu-satunya harapan kami untuk selamat sudah tergantung disana.

Entah apa yang akan terjadi lagi di malam ini. Yang pasti kami harus bersiap menghadapi makhluk-makhluk itu yang perlahan mendekat menghampiri kami.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close