Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEROR PENGHUNI LAUT MALAM (Part 2 END) - Jasad di Dalam Tong


JEJAKMISTERI - Makhluk yang menyerupai manusia, tanpa garis belahan diantara bibir dan hidungnya. Aku pernah mendengar cerita mengenai makhluk-makhluk ini di beberapa tempat seperti di pedalaman hutan sekitar danau.

Bagi mereka yang memilik “kemampuan” konon mereka bisa melihat bahwa makhluk ini memiliki peradaban sendiri.

Tapi ini di tengah laut, Jauh dari tempat-tempat yang sering di ceritakan itu.

“Sekarang kita harus gimana?” Tanya Fahri yang masih bingung dengan keadaan ini.

“Ki..kita ga nyoba nolongin bos, siapa tahu dia masih bisa di tolong” Ucap Karto.

“Gila kamu ya! Itu sama saja kita nyemplung ke kolam buaya! Buaya masih bisa dibunuh pake senjata.. nah makhluk-makhluk itu gimana?” Bantah Binsar.

“Sudah, Kita pergi dulu.. kita cek awak kapal yang lain” Aku segera menarik tubuh mereka menuju lorong lagi setidaknya kami berusaha menjauh dari makhluk-makhluk itu.

Di ujung dari lorong ini adalah ruangan genset, kami memutuskan untuk menghampiri mekanik yang sedang membetulkan genset kapal.
Suasana lorong begitu sepi, tidak terdengar suara awak kapal lain.

“Binsar, Karto ada kenalan kalian yang tugas di lantai ini?” Tanyaku.

Binsar dan Karto menggeleng.
“Aku dan Karto awak cabutan, sisanya sepertinya awak tetap kapal ini” Jawab Binsar.

Rupanya mereka juga sama seperti aku dan Fahri hanya awak buah kapal tambahan yang biasa dipekerjakan untuk pelayaran dalam jangka waktu lama.

Ruangan genset terletak di ujung lorong ini berbeda dengan di bawah, lorong ini memiliki lampu emergency yang menyala redup dari ujung ruangan genset itu.

Kami berjalan perlahan, keberadaan sedikit cahaya yang menerangi lorong memberikan sedikit keberanian kepada kami untuk menuju tempat itu.

Sesekali aku menoleh ke arap ruangan-ruangan yang kami lewati dan mengintip melalui jendela kaca, berharap ada orang lain yang bisa membantu kami. Namun sayangnya tidak ada seorangpun yang bisa kutemukan.

“Harusnya ada lebih dari lima puluh orang kan di kapal ini? Kenapa tidak ada yang terlihat lagi ya?” Tanya Fahri.

Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Fahri, terutama setelah kami melihat kondisi bos yang sudah tak bernyawa di luar sana.

“Aku hanya berharap mereka masih hidup seperti kita” ucapku yang dibalas dengan tatapan mereka bertiga.
Memang itulah kekhawatiran kami saat ini, sepanjang perjalanan tadi kami tidak menemukan seorangpun manusia yang berpapasan dengan kami.

“Itu ruanganya, yang ada lampu warna merah” Jelas Karto. Fahri berjalan maju mendekat dan memegang gagang pintu yang terbuat dari besi itu.

“Hati-hati Fahri, diintip dulu.” Ucapku.

Fahri membuka sedikit pintu ruangan genset. Walau sudah sehati-hati mungkin namun suara engsel pintu yang sudah berkarat tetap menimbulkan suara.

“Halo!! Ada Orang?” Teriak Binsar.

Kami berpencar ke ruangan yang cukup luas itu. Rupanya ruangan ini juga bersebelahan dan menyambung dengan gudang peralatan.

“Bang... darurat bang, ada orang disini?” Teriak Binsar lagi. Namun tidak ada satupun suara yang menjawab teriakanya.

Fahri menemukan lampu emergency dan berinisiatif menyalakanya. Seketika rungan menjadi lebih terang dan kami dapat melihat dengan lebih baik.

Dengan cahaya yang cukup jelas, tiba-tiba mataku tertuju pada kumpulan tong-tong besar yang terbuat dari bahan besi kaleng di sudut ruangan. Tong-tong itu hampir memakan seperempat dari ruangan ini.

“Fahri! Darno! Kesini!” Ucap Binsar dengan nada suara yang sedikit bergetar.

Aku dan Fahri segera berlari menghampirinya. Binsar menunjuk ke salah satu celah antar mesin dan menyorotkan senternya.
Seketika aku terjatuh saat melihat sosok yang ditunjukan oleh cahaya senter Binsar.

Jasad seorang laki-laki yang masih berpakaian seragam mekanik, lengkap dengan sarung tangan karet dan sepatu bootnya terlihat seolah sedang bersembunyi di celah mesin itu.

Namun bukan itu saja yang mengerikan. Kami bisa memastikan ia sudah mati karena di wajahnya sudah tiadak ada lagi bola mata dan digantikan dengan aliran darah di pipinya yang sudah mengering.

“di...dia sudah mati?” Tanya Karto yang menyusul kami memperhatikan jasad itu.

“Sudah, sekarang kita jangan pikirkan yang lain.. yang penting bagaimana cara kita bisa selamat”
Binsar mencoba menguatkan kami yang semakin ketakutan setelah melihat hal ini.

Suara ombak menderu menemani kami yang masih belum bisa memastikan apa yang harus kami lakukan setelah ini.
Binsar membongkar barang-barang di sekitar gudang dan memisahkan beberapa benda seperti suar, senter, dan benda-benda yang mungkin saja kami butuhkan.

“Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa makhluk-makhuk ini bisa mengincar kapal ini?” Ucapku yang terduduk lelah di salah satu sudut ruangan ini.

“Sudah, aku tidak peduli... yang penting bagaimana cara kita bisa selamat dan tidak mati seperti mereka.” Jawab Karto.

Ucapan Karto tidak ada yang salah, namun tetap saja aku masih merasa penasaran.
Di tengah lamunanku aku melihat sebuah buku yang cukup tebal. Seingatku itu buku yang sering dibawa oleh bos. Dengan segera aku berdiri dan mengambilnya.

Itu adalah sebuah catatan pelayaran singkat yang sudah dijalani oleh bos selama ini. Aku membacanya hingga mencapai lembar yang menunjukan tanggal kemarin.
Di halaman itu terselip sebuah kertas bergambar peta lautan. Sebuah catatan kaki tertulis di bawah gambar peta itu.

*******
Note:
Buang Tong-tong itu di tiga tempat yang berbeda
Seketika aku melihat peta itu kembali dan melihat beberapa tempat sudah ditandai dengan tanda silang. Ketiga tempat itu masih berada di sekitar laut tenggara.

“Fahri, binsar, Karto.. coba liat ini” Panggilku.
Mereka menghampiriku dan segera memperhatikan buku catatan yang kutunjukan.

“Rupanya Bos ada tujuan lain ke laut ini.” Jelasku.

“Memangnya isi tong itu apa? Limbah?” Tanya Karto.

“Nggak tahu, nggak tertulis disini” Balasku lagi.

Tak berselang lama tiba-tiba sebuah ombak besar kembali menghantam kapal ini dan menjatuhkan kami bertiga. Tak hanya itu, sebuah tong besar yang sebelumnya berada di atas tong lainya terjatuh hingga tutupnya terbuka.

Mendengar suara yang keras itu, spontan Binsar mengarahkan senternya ke tong itu.

“t...tangan! Itu tangan!” Teriak Karto saat melihat tangan muncul dari tong itu.

“Mayat? Tong itu berisi mayat!!”
Mendengar ucapan karto kami bergegas menghampiri tong itu dan memperhatikan isinya.

Benar kata Karto, tong ini berisi jasad seseorang. Ini bukan jasad biasa, sebagian tubuh jasad ini dicor dengan semen di dalam tong ini hingga tidak bisa bergerak.
Terlihat juga bekas siksaan di tubuh mayat yang mati dengan mengenaskan itu.

Aku memperhatikan catatan tadi dan menyadari, lokasi pertama adalah tempat kami menebarkan jala tadi.

“Bos brengsek!!!” Teriak Binsar sambil melampiaskan kekesalan dengan menendang barang-barang di sekitarnya.
Wajah panik kembali muncul di wajah kami semua.

“Aku tau wajah jasad itu, dia orang penting yang sering muncul di berita televisi” Ucap Fahri dengan wajahnya yang pucat.
Ini perbuatan yang keji. Rupanya kapal ini juga membawa tugas lain untuk membuang jasad di dalam tong ini ke laut.
Mereka sengaja memilih laut tenggara yang memang dihindari oleh para nelayan.

“Jadi ini alasan kapal ini di kutuk, kita bukan cuma melanggar tabu, tapi juga sudah bertindak kelewatan” Ucap Karto.
Aku terduduk lemas mengetahui kenyataan ini.

Fahri dan yang lainyapun terlihat gelisah sambil memeriksa tong lain yang kemungkinan memiliki isi yang sama.
Melihat semua ini aku sedikit berdoa berharap semua jasad ini bisa mendapatkan ketenangan walaupun mereka mati dengan cara yang mengenaskan.

Di tengah kepanikan itu kami mendengar suara ramai dari luar ruangan. Suara itu seperti suara manusia yang mengikuti suara lebah yang berdengung.
Suara itu terus bersahut-sahutan dan semakin lama terdengar semakin mendekat.

Aku tidak mampu lagi membayangkan apa yang berada di luar. Bila memang mengincar kami, bisa saja makhluk itu sudah ada di luar.

“Kita harus keluar dari kapal ini..” Fahri mengajak kami berdiri dan mencoba berjalan ke arah pintu.

“Badainya masih besar Fahri, setidaknya kita bertahan sampai besok pagi” Bantah Binsar.

“Awalnya itu rencanaku, tapi dengan semua kenyataan ini tidak ada kepastian kita bisa selamat sampai besok.” Jelas Fahri.

“Aku orang laut.. lebih memilih mati karena ombak laut dari pada dibunuh setan-setan itu” Entah seketika ucapan Fahri itu membuat kami berpikir hal yang serupa.

Benar ucapanya, sudah ratusan badai kami hadapi dan kami bisa bertahan hingga sekarang. Dibanding harus berhadapan dengan setan-setan itu aku lebih memilih berhadapan dengan badai ini.

Saat itu juga Binsar mengambil benda-benda yang sudah ia kumpulkan dan menghampiri kami menuju pintu.

“Sekoci harusnya ada di geladak belakang, kita bisa kesana lewat ruangan yang tidak jauh dari sini disana ada tangga” Ucap Binsar yang sepertinya tergerak dengan ucapan Fahri.

Setelah siap kami membuka pintu ruangan dan kembali menghadapi lorong yang disinari dengan cahaya remang-remang itu.
Sayangnya sekarang lorong itu sudah tidak sama seperti yang kami lewati tadi.

Di hadapan kami bersliweran makhluk yang melintas dari satu ruangan-ke ruangan lain yang seolah berjalan namun sebenarnya mereka melayang dan menembus dinding-dinding ruangan itu.

Wajah mereka terlihat datar dengan warna kulitnya yang pucat. Namun setidaknya wajah mereka tidak menunjukan rasa amarah seperti yang terlihat di geladak tadi.

“gimana lanjut?” bisiku pada mereka.
Fahri mengangguk. Saat itu juga Binsar mengambil posisi di depan dan berjalan menuju salah satu ruangan. Itu adalah dapur kapal, aku memang ingat tempat ini memiliki tangga menuju ke atas.

Perlahan kami mendekat ke arah pintu ruangan itu sambil berhati-hati berharap makhluk-makhluk yang bersliweran di lorong tidak menyadari keberadaan kami. Aku mengintip melalui kaca dapur kapal untuk memastikan keamanan ruangan itu.

Sialnya, tiba-tiba muncul wajah yang menempel mendekat ke arah kaca pintu itu menatapku dengan aneh. Hampir saja aku terjatuh namun fahri menahan tubuhku.

Binsar yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya segera membuka pintu dan terdengar suara tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu.
Jasad lagi..
Fahri memastikan denyut nadi dari tubuh yang terjatuh di belakang pintu itu dan menggeleng memberikan isyarat kepada kami.

Rupanya wajah yang menempel di pintu itu adalah anak buah kapal yang bernasib sama dengan petugas di ruangan genset tadi, tapi setidaknya dia meninggal dengan tubuh yang utuh. Sekali lagi kami mendoakan jasad-jasad ini agar setidaknya mereka tenang di alam sana.

Sebuah tangga kecil terlihat di sudut ruangan. Binsar memimpin kami menaiki tangga itu hingga tiba di salah satu bagian di geladak kapal yang sedikit lebih tinggi.

Hujan yang deras seketika membasahi tubuh kami. Sesekali suara petir menggelegar seolah terdengar tepat di sebelah kami.

“Itu disana!” tunjuk binsar.

Kami melihat ke sisi belakang kapal. Terlihat sekoci tergntung disana. Dari beberapa sekoci yang seharusnya ada disana, masih ada dua yang tergantung.

“Sepertinya sudah ada yang pergi lebih dulu dari kita” Ucapan binsar itu semakin menguatkan tekad kami untuk meninggalkan kapal ini.

Sebelum menuju sekoci, aku menoleh memeriksa ke sekitar kapal sementara yang lain masih sedikit bersembunyi. Dan memang kekhawatiran kami benar-benar terjadi.

Makhluk-makhluk pucat itu masih menguasai geladak kapal dan sesekali berpindah tanpa kami tau tujuan mereka.

“Mereka masih disana, di dekat sekoci juga ada..” Jelasku.

Kami berpikir keras untuk menghindari mereka dan bisa menurunkan sekoci namun tidak ada satupun ide yang kami temukan.

“Harus ada umpan agar kita bisa menurunkan sekoci itu..” Ucapku.

“Tidak ada umpan-umpanan, kita berempat harus kembali hidup-hidup!” Ucap Binsar membantah ucapanku.
Ucapan Binsar itu seketika membuatku merasa bersalah dan mengurunkan niatku. Tak lama setelahnya terdengar suara langkah kaki yang berjalan terseok-seok melalui tangga keluar.

Aku mengingat warna baju orang yang berlari itu. Itu adalah pria yang tadi melarangku pergi ke atas.
Dia mencoba berlari sekuat tenaga dan sesekali terjatuh. Mataku mencoba mengikuti ke arah mana pria itu berlari yang ternyata ke jasad Bos yang tergantung dengan mengenaskan.

Wajah pria itu terlihat hampir putus asa namun terus memberanikan dirinya.

“Kalian turunkan sekoci, aku coba jemput dia..” Perintahku pada mereka bertiga.

“Jangan gila darno!“ Bantah Fahri.

“Dia orang yang melarangku ke atas tadi, mungkin dia punya rencana” Ucapku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
Tanpa mempedulikan pendapat mereka aku mengejar pria itu dan mengarah ke jasad bos yang tergantung.

Fahri, Binsar, dan Karto bersiap mengambil posisi menurunkan sekoci yang sebenernya mampu menampung lebih dari sepuluh orang itu.

“Kesini! Kita pergi!” Teriaku pada pria itu namun ia hanya menoleh dan kembali ke tujuanya sementara semua setan itu sudah mulai menatap ke arahku.

Di tengah hujan yang masih turun dengan deras pria itu memanjat tiang dan menggunakan sebilah pisau untuk memotong tali yang menggantung jasad bos.
Tak lama kemudian jasad itu terjatuh di lantai geladak dengan darah yang masih mengalir bercampur dengan air hujan.

Pria itu berlari menghampiriku berlari dengan tersengal-sengal sementara setan-setan itu memperhatikan jasad yang terjatuh itu.

“Lari!” Perintahnya.
Aku membantunya menopang tubuh pria itu yang sepertinya sudah kelelahan.

Sekali saat aku menoleh terlihat di makhluk-makhluk itu seketika berkumpul mengerubungi jasad bos yang sudah mengenaskan.
Mereka menatap dengan penuh amarah, menggenggam hampir setiap bagian tubuhnya dan mencabik-cabik dengan kuku mereka yang tajam.

“Mereka sedang apa?” tanyaku.

“Sudah, nanti saya jelaskan.. yang penting kira selamat dulu” Ucapnya.
Aku setuju dan segera berlari menuju sekoci yang sudah diturunkan.

Dengan bantuan Binsar dan Fahri kami menaiki sekoci dan melepaskan tali yang menyambungkan sekoci ini dengan perahu.
Saat terpisah dari kapal seketika gelombang besar menghantam sekoci ini menjauh dari perahu. Kami sekuat tenaga berpegangan agar tidak terlempar ke lautan.

Saat itulah keanehan mulai terjadi. Gelombang yang menghantam sekoci seketika mereda. Namun jauh dari pandangan tadi badai dan gelombang laut masih menerjang Kapal besar yang kami tinggalkan.

Dari jauh Kapal itu terlihat seolah bukan lagi kapal yang dimiliki manusia. Puluhan bahkan mungkin ratusan makhluk berwajah pucat berdiri memenuhi seluruh kapal dan memandang ke arah kami. Saat itu juga aku merasakan keputusan kami sudah tepat untuk meninggalkan kapal itu.

“Apa Masih ada orang lain di perahu itu?” Tanyaku.
Pria itu menggeleng.

“Kalaupun ada, mungkin mereka tidak bisa selamat lagi” Jawabnya.

“Saya Ilham.. awak kapal juga seperti kalian, sebelum kalian ke atas saya sudah naik duluan dan melihat setan-setan itu menaiki kapal.”

Kami memperhatikan cerita seseorang yang mengaku bernama Ilham itu. Lambat laun juga saat sekoci ini menjauh dari kapal hujanpun mulai reda dan ombak semakin tenang.

“Lalu bagaimana bos bisa mati?” Tanya Binsar.

“Sejak awal makhluk itu memang mengincar bos dan awak yang sebelumnya melompat ke laut menebar jala.. Saat bos mati sebagian dari kami berinisiatif menggantung jasad bos agar bisa mengalihkan perhatian makhluk itu dan bersembunyi..”

“Lalu kamu ketakutan memperingatkanku supaya tidak naik ke atas?” Potongku.
Ilham mengangguk.

“Saat mendengar suara kalian pergi aku menyusul ke atas dan melihat semua teman-temanku mati terbunuh. Saat itu juga aku merasa harus meninggalkan kapal dan naik ke atas.” Lanjutnya.

Fahri mencoba ikut campur dalam perbincangan ini. Sepertinya ada yang membuatnya penasaran.

“Ilham.. apa kamu pegawai kapal ini?” tanya Fahri.

“Bukan, saya baru ikut di pelayaran ini” Jawabnya.

Dari jawaban itu kami mengambil kesimpulan, sepertinya yang diincar oleh makhluk itu hanya anak buah kapal tetap yang bekerja langsung di bawah bos itu.
Kami yang lelah sudah tidak ingin berbicara lebih jauh lagi.

Saat ini kami masih harus menyimpan tenaga hingga menemukan daratan atau menemui kapal yang lewat.
Sayangnya ini laut tenggara, sangat jarang ada kapal nelayan yang berlayar kesini.

Mungkin sudah sehari semalam kami terombang abing di laut ini. Beruntung Binsar sudah membawa beberapa logistik dan peralatan di tasnya yang membantu kami untuk mencari ikan sementara air hujan dari badai itu bisa kami kumpulkan untuk air minum.

Setelah cukup lama di tengah kesadaran kami tiba-tiba binsar berdiri, mengambil suar dan menembakkanya ke langit. Rupanya ada kapal patroli yang mendekat ke arah kami.

“I...itu kapal! Kita selamat!” Ucap Binsar.

Petugas laut itu curiga dengan kapal nelayan kami yang tidak kembali dan tidak ada kabar. Beruntung kapal itu adalah kapal milik perusahaan yang besar sehingga keberadaanya masih terpantau.

Saat itu kami memulihkan diri dan memberikan keterangan mengenai kejadian yang kami alami. Mulai dari badai datang hingga soal keberadaan makhluk-makhluk halus itu.

Petugas yang sudah seniorpun menanggapi cerita kami. Salah satu alasan laut tenggara dilarang untuk dilayari salah satunya adalah karna adanya mitos keberadaan “suku asli” yang berada di sisi alam lain lautan tenggara.

Jujur aku merasa kaget karena belum pernah mendengar cerita itu. Hampir semua cerita di kapal kami ceritakan kepada petugas. Namun Aku, Fahri, Karto, dan Binsar sepakat untuk tidak menceritakan mengenai jasad di dalam tong itu demi keselamatan kami.

-TAMAT-

*****
Sebelumnya

close