Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETRA GANDAMAYIT (Part 8 END)

Mas Jagad terlihat kesulitan melawan Gondokolo dengan sebagian tenaganya yang terkuras karena memindahkan kami.
“Mas Jagad, Mundur!!” teriak Dirga yang sadar pertarunganya sama sekali tidak seimbang.
Sayangnya, Gondokolo sudah melemparkan bola api hitam ke arah Jagad.


JEJAKMISTERI - Ia menahan dengan salah satu wujud keris Dirga, namun tidak berhasil. Seketika sebagian lenganya terbakar oleh api itu.
Pak Waja terjatuh dalam wujud rangdanya. Bola api di langit bersiap menghantamnya dan menciptakan sebuah ledakan besar.

Pak Waja berhasil menghindar namun lukanya tampak serius.
Entah mengapa seketika posisi berbalik. Dirga berusaha menahan Songgokolo dan Gondokolo seorang diri. Aku tahu dengan jelas itu tidak akan lama.

Buto Lireng Tidak bergerak, kini raksasa itu berada di hadapanku dan Cahyo. Lenganya yang kembali menghitam bersiap menyerang kami. Inilah serangan yang dapat melubangi tubuh Buto Lireng dengan mudah.

“Danan Minggir!” Teriak Cahyo.

Sayangnya ini tidak mudah, lenganya terlalu besar dan cepat. Dalam jarak beberapa meter kepalan pukulan itu hampir menutupi seluruh penglihatanku.
Aku bepikir serangan ini akan menghabisiku, namun tepat sebelum serangan itu mendarat tiba-tiba ada sosok yang menarik tubuhku.

Ia membawaku menghindari serangan itu dengan halusnya dan menghindari setiap aliran energi yang menyelimuti serangan itu.
Aku selamat.. bukan dengan gerakan besar, aku selamat hanya beberapa puluh senti dari kepalan besar itu.

Saat itu juga aku menoleh ke arah sosok yang menyelamatkanku.
“Da...Danan, itu?” tanya Cahyo.

“Iya, Nyai Jambrong!” ucapku memastikan bahwa sosok yang menyelamatkanku adalah nenek tua yang dulu pernah menjadi musuh kami.

“Jangan cepat mati bocah, kalian masih harus memastikan cucuku hidup di dunia yang aman” ucapnya.
Sebuah energi besar membuatku menoleh kearah energi itu. Itu adalah api hitam besar menerjang ke arah Dirga yang berasal dari kedua demit kembar Songgokolo dan Gondokolo.

Dirga berhasil mengalihkan arah bola api itu dengan kerisnya, namun seketika Songgokolo sudah di hadapanya mendaratkan sebuah pukulan yang membuatnya terkapar.

“Dirga!” Teriak Paklek yang segera meninggalkan pertarunganya, namun jarak mereka terlalu jauh.

Sayangya Gondokolo sudah bersiap menghabisi Dirga. Tapi serangan makhluk itu tertahan ketika ada seseorang yang melompat menginjak wajah setan itu dan mengalihkan seranganya.

Dia seorang anak muda yang sepertinya umurnya tidak jauh dari Dirga dengan sarung yang dikalungkan di bahunya.

“Guntur? Kamu Guntur kan?” tanya Dirga.

“Hehe.. maaf telat, repot juga kalo pergi sama nenek-nenek” ucapnya santai.

Dirgapun berusaha berdiri dan mendekat ke arah Guntur.

“Sudah Guntur, terima kasih atas bantuanmu.. sekarang segera cari tempat yang aman. Makhluk ini bukan setan biasa” ucapnya.

“Lha, nggak mau.. udah jauh-jauh sampe sini malah disuruh ngumpet” balasnya.

“Jangan nekad, setan itu nggak bisa dikalahkan seperti demit alas biasa” Larang Dirga.

Soggokolo tidak ingin mendengar perbincangan mereka berdua dan kembali mengantamkan tinjunya.

“Aku mungkin tidak punya pusaka istimewa seperti dirimu, juga tidak punya kekuatan makhluk sakti seperti Wanasura” Ucap Guntur.
Saat itu pukulan Songgokolo hampir mendarat di tubuh Guntur, namun ia menghindar dan mengalihkanya hanya dengan tendanganya yang kurasa juga telah diperkuat dengan ilmu kanuragan.

“Tapi aku punya ilmu bela diri yang diturunkan langsung dari nenek-nenek yang nggak kalah tua dari pusakamu”

lanjut Guntur bersamaan dengan sebuah kerikil mendarat di kepalanya.
“Nenek apa katamu?” Tanya Nyai Jambrong dari jauh yang mendengar ucapan Guntur.

“Eh.. nggak Mbah, maksdudnya nenek pendekar” teriak Guntur sambil mengelus kepalanya yang terkena lemparan kerikil Nyai Jambrong.

“Ngomong macem-macem tak sampluk mulutmu” teriak Nyai Jambrong dari jauh.
Dirga terkagum dengan apa yang dilihatnya. Guntur berhasil menghindari dan mengalihkan semua serangan Songgokolo dan Gondokolo dengan ilmu bela dirinya.

Hampir tidak ada satupun serangan yang mengenainya.
Di satu sisi, Nyai Jambrong juga sama. Ia mengalihkan semua serangan Batara Naga sehingga kami terhindar dari serangan yang bahkan mampu menggetarkan gunung itu.

“Pak Bimo, Aku butuh kekuatanmu” ucap Mbah Jiwo tiba-tiba.

Sepertinya merekalah satu-satunya yang berhasil memenangkan pertarungan di sini. Terlihat dari sosok jogorawu yang kembali berubah menjadi sebuah wayang.

“Sebentar lagi akan datang” ucap Mbah Jiwo.

“Apa maksud Mbah Jiwo?” tanya Paklek yang juga berhasil membuat Pemuda bertopeng hitam itu terkapar.

“Salah satu keahlian seorang penempa pusaka adalah memanggil bahan yang akan ia tempa. Sebentar lagi benda itu akan datang.. 
Aku butuh bantuan pak bimo dan Keris Sukmageni” ucap Mbah Jiwo.

Benar saja, tak beberapa lama terlihat sebuah benda besar dari langit hitam di Jagad segoro demit jatuh menimpa sekumpulan demit yang melawan kami.

“Itu meteor?” Tanya Mbah Widjan.

“Ini batu yang kupanggil dari alam ini. Sekarang tancapkan seluruh pusaka kalian di batu ini!” Perintah Mbah Jiwo.
Tidak ada satupun dari kami yang mengerti apa yang dimaksud oleh Mbah Jiwo, tapi saat itu semua segera melarikan diri dari musuh-musuhnya dan menancapkan pusakanya ke batu meteor itu.
Keris Sukmageni, keris Mbah Widjan, Tombak lembu warok, keris dasasukma, hingga pusaka milik anak buah Mbah Widjan.

Terakhir, Mbah Jiwo membakar semua benda itu dengan korek api pusaka berukiran kuno yang ia bawa. Seketika meteor itu menyala membara mengeluarkan api berwarna putih yang menyala membara.

“Pak Bimo, saat batu ini meledak kendalikan ledakanya seperti mengendalikan geni baraloka” ucap Mbah Jiwo.

“Meledak? Benda itu bisa membunuh kita semua?" tanya Paklek.

"Untuk itu ilmu Paklek diperlukan. Maaf, aku tidak memiliki cara lain” ucap Mbah Jiwo.

Paklekpun berusaha mengerti namun kecemasan tetap terlihat di matanya. sementara yang lain mengulur waktu, Paklek membacakan ajian pemanggil geni baralokanya dan menyatukan apinya dengan batu meteor itu.

Dalam hitungan detik batu itu semakin membara. Seluruh udara di alam ini seolah merasuk kedalamnya dan meledak dengan keras.
Api besar beterbangan menyambar Songgokolo dan Gondokolo. Seketika tubuhnya terbakar dengan cepat menjadi abu.

Api itu juga membakar Nyai Wijul dan berbagai dedemit yang berada di alam itu.
Batara Naga tidak bisa menghindar dengan ukuranya. Berbagai pecahan batu itupun menyerangnya bertubi-tubi hingga membakar tubuhnya dan tumbang.

Hebat, dengan kecepatan ledakan seperti ini tidak ada satupun dari serangan itu yang mengenai manusia.

“Pusaka ini mengenali pemiliknya masing-masing, dengan itu aku lebih mudah mengendalikan ledakannya” jelas Paklek.

Ledakan itu menerjang bertubi-tubi dan menggetarkan tanah ini.

“Tidak bisa! Kita tidak bisa lebih lama di alam ini!” Teriak Jagad tiba-tiba.

“Ledakan ini mengacaukan jalur dimensi tempat ini, kita harus segera kembali..”
Kami melihat seluruh demit tumbang satu-persatu.

Mungkin benar, ini saatnya kami meninggalkan alam ini.
Nyi Sendang Rangu menerima kode dari Mas Jagad dan kembali membuka celah gerbang ke alam kami.

“Pergi! Aku akan menyusul setelah ledakan ini selesai” ucap Paklek.

Guntur membantu Dirga berdiri melintasi gerbang yang menghisap mereka. Satu persatu kami meninggalkan alam ini bersama sosok dedemit yang terbakar.
Nyai Jambrong menghalau seluruh pengikut padepokan ronggomayit sembari membuka jalan pada kami untuk pergi dari alam ini.

Aku dan Cahyo berjalan ke arah gerbang, namun Ki Joyo Talun tidak menggubris kami malah meyeret kakinya menuju azimat wayang durga. Ia benar-benar berniat menghancurkanya.

“Ki! Kita kembali! Sudah tidak ada yang bisa mengendalikan azimat itu!” teriakku.

“Tugasku masih belum selesai!” ucapnya yang sepertinya memang tidak berniat mendengarkan ucapan kami.
Ia berlari menebaskan keris besarnya untuk mengoyak azimat itu, namun gagal.

Sebaliknya Batara Naga yang hampir sekarat justru menangkap Ki Joyo Talun dan melemparnya sejauh mungkin hingga tubuhnya menabrak bukit dan memuntahkan darah dari mulutnya.

“Ki!” Cahyo mengejar Ki Joyo Talun memastikan keadaanya.

“Jangan berani-beraninya kau sentuh Azimat itu!” ucap Batara Naga yang masih berusaha berdiri.

“Danan! Cepat!” teriak Nyi Sendang Rangu yang mempertahankan gerbang itu.
Aku menoleh ke arah sekitar. Hampir semua sudah meninggalkan tempat ini.

Hanya tersisa Paklek yang mempertahankan ledakan ini.

“Panjul! Danan! Tinggalkan tempat ini!” Teriak Paklek yang mulai melepas batu meteor itu yang ledakanya mulai mereda.
Aku menoleh pada Cahyo.

Tatapan matanya terlihat kosong, Sepertinya aku bisa menebak bagaimana kondisi Ki Joyo Talun yang merasuki tubuh Sena.
Tidak mungkin... Sena...

“Paklek, pergilah lebih dulu..” ucapku dengan suara bergetar.

“Biar aku dan Danan yang menuntaskan ini semua” jelas Cahyo dengan wajah yang sangat serius.
Paklek bersiap menghalangi niat kami. Namun saat Cahyo mengangkat tubuh Sena dan membawanya kepada kami, ucapanya terhenti.

Cahyo meletakan tubuh Sena yang sudah hancur tak bernyawa, wajahnya dipenuhi dengan darah yang bahkan terus mengucur walau ia sudah tidak bernyawa.

“Biarkan kami selesaikan semua Paklek. Tidak boleh ada lagi seseorang yang kehilangan nyawa lagi setelah ini” ucapku dengan mata yang berkaca-kaca.
Kini Paklek mengerti apa maksud kami, ia membaca doa, menutup mata Sena dan meletakkanya di tanah.

Belum pernah aku melihat wajah paklek sekesal ini.

“Kalau harus ada yang menuntaskan ini semua, berarti itu adalah kita bertiga” ucap Paklek.
Ia mencabut pusaka dari batu meteor itu dan melemparkanya ke arah gerbang.
Nyi Sendang Rangu memandang kami dan membaca niat kami.

Tidak ada sama sekali senyum di wajahnya.

“Danan! Cahyo! Paklek! Cepat!” Teriak Jagad yang ingin kembali keluar gerbang dimensi itu menjemput kami.
Namun seolah mendukung niat kami, Nyi Sendang Rangu menutup gerbang itu hingga Jagad dan yang lain kembali ke alam kami.

“Kematian kalian akan lebih mengenaskan dari orang bodoh itu” ucap Batara Naga sambil mengambil azimat wayang durga yang besar ukuranya, ternyata sangat pas di genggamanya.
Ia mengibaskanya beberapa kali hingga memanggil sosok siluman ular dari alam ini.

Aku dan Paklek segera menerjang makhluk-makhluk itu bersenjatakan Keris Ragasukma dan Keris Sukmageni.
Kilatan putih dari kerisku dan api hitam dari Keris Sukmageni mewarnai medan pertempuran saat ini.

Hujan deras menetes seolah restu sendang rangu membantu pertarungan kami untuk mempertahankan kesadaran kami.

“Paklek, datang lagi siluman berwujud manusia anjing!” peringatku.
Paklekpun menyadari kedatanganya dan segera menghabisi makhluk itu dengan bilah hitam dari kerisnya.

“Batara Naga di belakangmu!” peringat Paklek.

Pukulan besar mengarah ke arahku dari belakang. Aku mengingat gerakan Nyai Jambrong tadi dan membaca aliran kekuatan pukulan itu dan menghindarinya setipis mungkin.

“Ha..ha..ha...” Terdengar suara tawa lemas Buto Lireng. Suaranya semakin lama semakin mengecil.

“Akhirnya aku bisa melihat aksi duo pendekar sambara lagi.. tidak ada lagi penyesalanku setelah ini”

Suara Mbah Buto Lireng semakin lemah dengan tubuhnya yang sama sekali tidak bisa digerakkan.
Aku mendengar ucapan itu sembari terus bertarung. Air mataku menetes tertutupi dengan derasnya hujan dari Nyi Sendang Rangu.

“Bertahanlah sebentar lagi Mbah Buto” ucapku

Saat melihat jalan sudah terbuka, Cahyo bersama Wanasura dan Wanasudra melompat menerjang Batara Naga yang sudah penuh luka dan menghajarnya sekuat tenaga.

“Danan, jangan lupa kunjungi makam ayahmu di bukit batu.
Ada burung jalak kecil yang akhir-akhir ini sering hinggap di batu nisan ayahmu” gumam Buto Lireng sambil sedikit tersenyum.
Nyi Sendang Rangu mendekati Buto Lireng dan beristirahat di bahu raksasa yang sangat besar itu.

Paklek berusaha tegar sembari memanggil Geni Baraloka untuk membakar satu lagi mata Batara Naga.

“Jurus pamungkas Bimo pendekar sambara pembakar angkara geni baraloka...
Pendekar bimo sambara, sebenarnya aku suka nama jurusmu itu.
Bahkan aku hafal hingga saat ini” ucap Buto Lireng lagi.
Mendengar ucapan itu, seketika ketegaran Paklek terkoyak. Ia mengusap air mata dengan tanganya sembari terus bertarung.

“Mbah Buto, Kalau Rahwana punya kisah cinta sejati, maka kami juga punya kisah legenda raksasa bukit batu pelindung bumi, Buto Lireng”
ucap Cahyo yang sedari tadi menyeka air matanya dengan sarungnya.

“Ada sebuah ilmu yang kurindukan, ilmu andalan ayahmu. Mantra yang mematikan untuk lawanya, namun hembusan anginya membuatku merasa tenang” ucap Buto Lireng.
Aku mengerti ilmu yang ia maksud.

Mungkin tidak ada salahnya aku menggunakan ilmu bapak yang hampir tidak pernah kugunakan itu.
Sebuah mantra kubacakan tepat ketika Batara Naga menyerangku. Layaknya puisi yang tak berhenti mengalun, aku membacakan mantra yang menimbulkan angin besar di sekitar kami.

Gambuh Rumekso…

Pukulan Batara Naga yang sudah mulai melemah terpental dengan angin yang datang dari jurus ini. Sisa anginya berhembus dengan tenang ke arah Buto Lireng dan membuatnya semakin tersenyum.

Api sisa ledakan meteor tadi terbawa terbang bersama dengan angin gambuh rumekso.

“Danan, arahkan ke azimat itu” ucap Paklek.
Benar, api ini berasal dari korek api yang bisa membakar azimat itu.

Akupun mengarahkan api itu ke arah Azimat wayang durga yang digenggam oleh Batara Naga dan membakarnya perlahan.

“Tidak! Kerajaan terkuat di Setra Gandamayit harus bangkit!” Umpat Batara Naga, namun Paklek tetap mempertahankan api itu dengan ilmunya agar tetap menyala.

Cahyo menepuk pundakku seolah memberi isyarat untuk mengakhiri pertempuran ini.
Paklek membakar kami dengan Geni Baraloka untuk memulihkan kekuatan kami walau hanya sediki. Sementara aku dan Cahyo menaiki tubuh Wanasura dan Wanasudra.

Kerisku sudah dipenuhi kilatan cahaya putih sementara Cahyo sudah menggunakan ilmu penguat raga pada dirinya dan kedua kera raksasa sahabatnya itu.

“Hanya kematian yang menunggu kalian di tempat ini!” ucap Batara Naga yang ternyata masih bisa berdiri dan menghadang kami.

Ia menyelimuti lenganya dengan kekuatan hitam mencoba menahan kami, namun sebelum ia sempat menyerang, sukmaku sudah berpisah dengan ragaku dan membelah lengan Batara Naga.

Belum sempat bereaksi, seketika Wanasura sudah melesat menghantamkan seranganya tepat di bagian leher Batara Naga dan melompat ke belakang makhluk itu.
Saat ragaku kembali menarik sukmaku, Wanasudra melemparkan tubuhku ke arah Batara Naga tepat di arah jantungnya.

“Ini serangan terakhir!”
Aku melesat bagaikan kilatan putih menembus jantung Batara Naga hingga berlubang. Di belakang Wanasura dan Cahyo sudah bersiap menangkap tubuhku.
Seketika Batara Naga tidak bergerak. Dan jatuh ke tanah.

Matanya yang sudah terbakar dan berbagai luka ditubuhnya membuatnya benar-benar tak berdaya.

“Setan-Setan dari Setra Gandamayit lainya akan membalas kalian!” ucap Batara Naga yang kesadaranya mulai menghilang bersama tubuhnya yang menghitam seperti arang yang rapuh.

Mengetahui pertarungan telah usai kamipun menghampiri Buto Lireng yang sudah tidak mampu lagi bergerak. Aku tahu ilmu Paklekpun sama sekali tidak mampu untuk menolongnya.

“Kalian tahu kenapa Buto Lireng tidak pernah meninggalkan bukit batu?” ucap Nyi Sendang Rangu.

Kami menggeleng sambil menitikkan air mata.

“Selain karena menyukai tempat itu, Buto Lireng dikutuk bahwa ia akan menghadapi kematianya saat meninggalkan bukit batu..
Saat mengetahui tentang pertarungan ini, ia merasa ini adalah saat paling tepat untuk menggenapi kutukan itu” jelas Nyi Sendang Rangu.

“Saat ini aku tak bisa berhenti tertawa, kenapa kalian malah menangis?
Akhirnya aku bisa memiliki akhir yang indah seperti sahabatku Bisma.. ini adalah hadiah terbesar” ucapnya.
Akupun bersandar pada tubuh Buto Lireng di tengah hujan Nyi Sendang Rangu.

“Istirahatlah mbah, kami akan tetap di sini sampai eyang benar-benar terlelap” ucapku sambil bersender diantara bahu dan leher Buto lireng.
Cahyo, Wanasura dan Wanasudra tertidur lelah di dada Buto Lireng, sementara Paklek menempelkan dahinya di pipi Buto Lireng.

“Terima kasih.. Pendekar sambara,
tidak.. aku salah,
Terima kasih..
Tiga pendekar Jagad Segoro Demit”

Sebuah ucapan terakhir sang raksasa penunggu bukit batu desa kandimaya. Sebuah legenda akan sosok Raksasa yang memilih jalan hidupnya untuk melindungi kami.

*****

Sebuah gempa besar yang berpusat di perbatasan jawa tengah terasa hampir oleh setengah penduduk pulau jawa.

Penyebab gempa masih misterius, namun ada cerita yang menarik.
Kalian percaya dengan adanya sosok lain yang hidup berdampingan dengan manusia? Atau alam lain yang bersanding dengan alam manusia?

Ada yang mempercayai bahwa gempa kemarin disebabkan oleh pertarungan besar antara sosok dedemit yang bangkit dari kerajaan Setra Gandamayit.

Sebuah tempat yang diceritakan di kisah pewayangan sebagai kuburan terangker dan dihuni oleh dedemit yang sudah ada sebelum peradaban manusia.

Kebangkitan mereka digagalkan oleh sekelompok orang yang dititipi kemampuan oleh Yang Maha Pencipta untuk menjaga tanah ini dari makhluk-makhluk itu. Sebuah tugas tanggung jawab yang tidak terkira bebanya.

Gempa yang berhenti menandakan mereka berhasil menggagalkan rencana itu. Sayangnya setelahnya ada beberapa dari mereka yang tidak kembali.
Yang pertama adalah pewaris dan pemilik padepokan Ki Joyo Talun, seorang dalang muda bernama Ki Joyo Sena.

Kini padepokan tersebut telah hancur porak poranda oleh pertarungan itu.
Dan ketiga orang lainya…
Mereka adalah teman-teman yang menolong saya saat kejadian di pabrik gula dulu.

Cahyo, Paklek, dan Danan.. orang-orang hebat yang tidak pernah bisa diam melihat orang lain yang membutuhkan bantuan dari mereka.

*******

Ardian menghela nafas berharap ada yang menemukan sosok ketiga temanya itu. Di belakangnya muncul sosok roh seorang pria mencoba menepuk bahunya.

“Mereka masih hidup, aku bisa merasakanya..”

ucap roh Nandar mencoba menenangkan Ardian.
Ardianpun mengangguk, matanya berkaca-kaca penuh harap untuk bertemu dengan penyelamatnya dulu lagi.

***

(di sebuah desa di jawa barat)

“Mas Jagad benar tidak bisa membuka dimensi itu lagi?” Dirga masih menggerutu sambil mengupas singkong yang baru saja ia panen dari kebunya bersama mas Jagad yang tertidur di kursi kayu panjang di pinggir kebun.

“Yang bisa menghubungkan gerbang Jagad segoro demit hanya makhluk sekuat Nyi Sendang Rangu, itupun aku ragu ia bisa membukanya lagi” jawab mas Jagad.

“Kalau gitu kita harus nyari makhluk sekuat dia untuk bisa menolong mas Danan dan yang lain” Dirga masih belum terima.

“Terbukanya gerbang Jagad segoro demit itu bencana Dirga, kita tidak tahu makhluk apa yang akan muncul dari sana.. lebih baik kita percaya dengan mereka. kalau ada manusia yang bisa lolos dari alam itu, aku yakin itu adalah mereka” Balas mas Jagad.

***

(di kampung Nyai Jambrong)

Sebuah tendangan melesat ke arah seorang nenek tua, hebatnya ia menahan tendangan itu dengan tangan rentanya tanpa kesulitan sedikitpun.

“Sudah hampir seharian kita latihan, kamu masih belum puas?” tanya Nyai Jambrong.

Guntur mundur dan memasang kuda-kudanya lagi.

“Ada banyak makhluk di alam itu eyang, semengerikan itu makhluk-makhluk yang dihadapi sama mas Cahyo” ucap Guntur melanjutkan seranganya lagi yang bisa dengan mudah dihindari oleh Nyai Jambrong.

“Lantas?”

Nyai Jambrong lanjut melompat dan menendang Guntur, kali ini ia bisa menghindar dengan sangat baik. Tidak seperti dulu saat Guntur masih menjadi bulan-bulanan serangan Nyai Jambrong.

“Aku baru merasakan kegunaan ilmu yang eyang ajarkan saat itu. Aku ingin belajar lebih lagi untuk bisa sejajar dengan mereka” balas Guntur.

“Akhirnya matamu terbuka” Nyai Jambrongpun tersenyum

"Aku harus bertambah kuat. Sampai saat mas Cahyo kembali, aku harus bisa menggantikan tugasnya” jawab Guntur sambil terus melanjutkan latihanya.

Terlihat dari sudut kebun, Arum sudah menunggu mereka sambil duduk manis memegang sebuah rantang menanti Guntur dan eyangnya yang pasti akan kelaparan setelah latihan itu.

***

(Di lembah keramat)

“Aku sudah memberikan kabar tentang kejadian kemarin ke teman-teman Radio tengah malam, semoga saja ada kabar dari mereka” ucap Ismi menjelaskan pada Dimas dan Rumi.

“Ya sudah, kita percayakan saja pada mereka..” balas Dimas.

“Mbah, jangan melamun terus. Mereka pasti selamat” hibur Rumi.
Mbah Jiwo menghela nafas menatap langit dan menikmati hembusan angin di teras rumahnya.

“Ternyata memang ada manusia semacam itu.. tidak memikirkan nyawanya sendiri, dan tidak ragu menghadapi bencana sebesar itu” ucap Mbah Jiwo.
Dimas dan Ismi duduk mendekat ke Mbah Jiwo ikut menikmati pemandangan langit dan hembusan angin yang membuat mereka merasa nyaman.

“Tanpa mereka, mungkin kita tidak bisa menikmati pemandangan ini dengan tenang seperti ini ya mbah?” ucap Ismi.

Dimas yang duduk di sebelah Mbah Jiwo sedikit melirik ke arah Ismi.

“Semoga mereka cepat kembali..
Aku mau Paklek juga jadi saksi saat aku ngelamar Ismi nanti” ucap Dimas tiba-tiba.

Seketika Ismi menoleh ke arah Dimas dengan wajahnya yang memerah.

“Mas Dimas serius?” tanya Rumi kaget.

Mbah Jiwo hanya tersenyum melihat tingkah laku cucu-cucunya yang membuatnya sangat bersyukur bisa hidup di umurnya saat ini.

“Serius.. masa bohong? Aku ngambil kopi dulu” balas Dimas yang segera masuk untuk menghindari pertanyaan lain sembari menyembunyikan rasa malu atas ucapanya sendiri.
Di depan hanya tersisa Rumi yang memandang Ismi dengan senyum meledek karena wajah salah tingkahnya yang terpampang jelas.

***

(di Tanah Dewata)

“Waja! Membuka gerbang dimensi itu adalah pelanggaran. Tidak ada satupun balian yang punya hak melakukan itu” Ucap seorang Bapak yang cukup tua yang ditemui Pak Waja.
Wajah Pak Waja terlihat kecewa mendengar pernyataan itu.

“Tapi Wi, alam ini berhutang pada mereka. Aku tahu ilmu bali dan jawa masih berhubungan erat. Hanya Melik setingkat Wi lah yang bisa membantu mereka” pinta Pak Waja.

“Walaupun kamu sudah kuanggap saudara sendiri, aku tetap tidak punya hak untuk melakukan hal itu.
Hanya ada satu buah serat lontar yang memiliki petunjuk akan alam itu, dan aku tidak bisa menyerahkanya padamu” orang itu segera mengenakan kasutnya dan berdiri meninggalkan pendopo pura tempat mereka berdialog.

Mbah Waja terlihat kecewa, entah ia harus mencari petunjuk kemana lagi. Orang tadi adalah kenalanya yang paling mumpuni yang mungkin bisa menolong Danan dan Cahyo.

Namun sebelum meninggalkan tempat pendopo tempat mereka berbincang tadi, Pak Waja tersadar akan sebuah benda yang tertinggal di bekas tempat duduk temanya itu.
Sebuah gulungan serat lontar..
Ia mengambilnya dan aksara jawa kuno tertulis di sana. Ia tahu, itu adalah serat yang membahas tentang alam Jagad Segoro demit.
Pak Wajapun tersenyum dan menoleh ke arah temanya yang masih bersiap menaiki sepedanya.

***

(di Ibukota)

“Iya Mbah, teman-teman kantor Rizal sudah keluar dari rumah sakit. Dokter sampe heran bagaimana caranya mereka bisa selamat” ucap Rizal pada seseorang di teleponya.

“Bagus kalau begitu, jaga dirimu baik-baik ya. Kalau ada apa-apa jangan lupa bilang sama Mbah” ucap Mbah Widjan.

“Iya mbah, nanti saat libur Rizal mau ke sana. Rizal mau belajar lagi biar bisa sehebat Danan” ucap Rizal.

“Iya Mas Rizal! Nanti Panji ceritain kerenya mas Danan waktu ngelawan demit-demit itu. Dia bahkan punya teman sosok penjaga bukit batu dan penunggu sendang! Pokoknya temen mas Rizal keren!" Ucap Panji yang merebut telepon genggam dari tangan Mbah Widjan.

“Iya, tunggu mas ya. Titip jagain mbah” balas rizal.

“Siap mas”
Rizalpun menutup telpon itu dan kembali bersama teman-temanya.

“Belum ada kabar dari Danan?” tanya Fira.
Rizal menggeleng yang dibalas dengan tatapan kecewa dari Rangga dan Dian.

“Tenang aja, di pasti kembali. Gua yang jamin” balas rizal.

“Pede banget lu, udah mulai bisa ngeramal?” tanya Rangga.

“Haha.. nggak lah, ini bukan ramalan. Ini namanya percaya. Dari kejadian kemarin-kemarin dan cerita mbah, aku jadi tahu kalau Danan pasti selamat” balas Rizal.

“Pokoknya kalau Danan kembali kita harus pesta, gua yang traktir” Ucap Fira.

“Tapi kalau sama Danan pestanya bukan di club lho. Tapi di tenda biru pinggir jalan” ucap Dian

“Lha kok gitu?”

“Iya, Pak pandi cerita kalau dia lebih suka makan di tempat begituan daripada di cafe”

“Wah idaman perempuan banget ya. Rajin kerja, jago bela diri, sederhana lagi” ucap Fira.

“Ehmm..“ Rangga tiba-tiba batuk dan segera mengambil gelasnya.

Kami tahu itu batuk yang dibuat-buat untuk menyindir Fira. Semoga saja tidak lama lagi Danan akan ikut bergabung dengan kami di sini menemani perbincangan pelepas lelah kami.

***

(Padepokan Ki Joyo Talun)

“Mbak Naya saya pamit dulu ya” ucap seorang warga yang membantu merapikan bangunan padepokan Ki Joyo Talun.

“Mbak saya pamit juga, mbak nggak masuk? Sudah malam lho” ucap seorang lagi.

“Monggo mas, saya masih mau di sini. Enak udaranya” balas Naya dengan memaksakan senyumnya.
Saat mulai sepi, ia terduduk sendiri menatap rembulan. Padepokan yang sudah menjadi rumah keduanya kini telah hancur. Keberadaan Danan dan Sena sama sekali tidak ia ketahui.

Seketika itu malam itu terasa begitu dingin untuk Naya.

“Kok dadi ngene to mas” (kok jadi begini to mas?) keluhnya pada dinginya malam saat itu.
Naya terus menyeka air matanya dan berusaha untuk tegar.

Iapun menyembunyikan kesedihanya itu dan berdiri bersiap membantu orang-orang yang berada di dalam.
Sebelum sempat masuk, terdengar suara sepeda motor dari seseorang membonceng seorang anak perempuan.

“Mas Jatmiko? Kok tumben?” tanya Naya.

“Iya nih, si Gendis aneh banget. Katanya minta ketemu mbak Naya mau ngajak ke pendopo desa” ucapnya.
Naya menoleh kepada Gendis yang segera turun menggandeng Naya.

“Ayo Mbah Naya, ikut Gendis..”

“Emang ada apa cah ayu?” tanya Naya.

“Ikut aja dulu, ajak temen-temen yang lain juga” paksa gendis.
Naya terlihat bingung mendengar ajakan Gendis.

“Sudah kita ikut apa kata gendis aja sekalian jalan-jalan, anak-anak biar istirahat dulu” ucap Mas Tono yang menghampiri jatmiko.

Mendengar ucapan Mas Tono, Nayapun setuju merekapun meninggalkan pekerjaan mereka dan menggunakan kendaraanya masing-masing untuk mengikuti Jatmiko dan gendis.

Mereka melewati sebuah desa tempat tragedi kematian Nyai Lindri dulu dan memasuki hutan desa yang tembus ke sebuah tempat cukup lapang. Ada sebuah pendopo tua di sana yang berbatasan dengan jurang dengan pemandangan langit malam.

“Di sini ada apa Gendis?” tanya Naya.

Gendis tidak menjawab. Ia seperti berkomunikasi dengan suatu sosok tak kasat mata di dekat tempat itu.
Tak lama setelahnya terlihat kilatan berwarna ungu tepat di dalam pendopo itu.

“I..itu apa Naya?” tanya Jatmiko.

“Nggak, aku nggak tahu..” Naya menggeleng.
Kilatan itu berubah menjadi sebuah lubang seukuran genggaman tangan. Sekilas terlihat ada alam lain di tempat itu. Sayangnya lubang itu kembali menutup bersamaan dengan munculnya sosok jasad yang terbaring di pendopo itu.

"Mas Sena?” ucap Mas Tono yang segera menyadari sosok itu.
Seketika semua anggota padepokan menghampiri tubuh itu dan menangis. Mereka sudah tahu saat di Jagad segoro demit Sena sudah sangat terluka parah, namun mereka masih berharap Sena masih bisa diselamatkan..

“Mas Sena, terus siapa yang akan dalangin anggota wayang kita”

“Siapa lagi yang mau mengurus anak-anak yatim seperti kami dan mendidik hingga seperti ini”

“Aku belum siap ninggalin padepokan”

Berbagai tangisan terdengar di tempat itu.

Nayapun menitikkan air mata tanpa henti. Namun Naya sadar akan sebuah benda yang diikatkan di baju Sena.
beberapa daun kering berukuran besar yang digulung menjadi satu..
Ia mengambil daun itu dan melihat ada tulisan di atasnya.

***

Untuk Naya,

Mohon maaf mas belum bisa menepati janji mas. Sepertinya mas masih harus berjuang sedikit lagi untuk melihat wajah ayu dik Naya lagi.
Dik Naya nggak usah khawatir, di sini ada Cahyo, Paklek yang tak henti-hentinya membuat mas Danan tertawa.

Ada juga Nyi Sendang Rangu yang mulai ketahuan bawelnya setelah cukup lama kami bertualang bersama.
Makanya dik Naya nggak boleh sedih..
Mas Danan dan yang lain pasti akan mencari jalan keluar dari alam ini secepat mungkin.

Pokoknya suatu cara terbaik yang tidak memberi hal buruk ke alam kita.
Kalau boleh, mas titip ibu.. sering-sering telpon dia ya. Mas akan lebih seneng kalau dik Naya mau mampir nemuin ibu. Tolong bilang ke ibu agar tidak usah khawatir.

Anaknya ini sudah sehebat ayahnya.. dan tolong titipkan pesan serupa untuk bulek juga.
Oh iya...
Mas sudah inget,
Waktu itu di desa kandimaya, bapak dan Paklek ngajak aku keliling desa menyembuhkan beberapa warga yang kesurupan.

Saat Paklek dan bapak lagi ngajarin Cahyo, ada seorang anak kecil menangis sendiri di kebun belakang. Itu Naya kan?
Kamu masih inget gak, waktu itu mas Danan metikin bunga cempaka yang ada di depan dan makein itu ke telinga Naya?

Pas mas bilang kamu cantik kalau pake kembang itu kalau tersenyum, tangisan Naya langsung berhenti. Setelah itu Naya ngajak mas Danan nyari kembang lebih banyak sampai mas Danan dimarahain bapak karena pulang kemaleman.

Sekarang utang mas lunas ya..

Kalau Naya tahu, bunga cempaka atau yang sering mas sebut dengan kembang kantil itu berarti sebuah ikatan lho. Mungkin itu juga yang membuat Naya terus mengingat mas. Dan semoga ikatan itu juga menghubungkan kita hingga pertemuan kita nanti.

***

Saat itu air mata menetes di daun kering itu.

“Inget mas Danan.. Inget, Naya inget itu semua” ucap Naya sambil berusaha menahan tangisnya.

“Naya inget semua pertemuan kita sejak kecil. Karena Naya tahu, Tuhan meninggalkan rasa ini pada Naya dengan maksud yang indah.
Naya juga akan berjuang seperti mas Danan, Naya nggak akan cengeng.. Naya tunggu mas Danan sampai Tuhan mempertemukan kita lagi”
Gendis mendekat ke arah Naya dan memeluk Naya. Naya meresponya dengan mengelus kepala gendis dan tersenyum di dalam tangisnya.

Iapun mengusap air matanya dan memanggil teman-temanya.

“Mas Tono, Naya mau ke desa kandimaya” ucapnya tiba-tiba.

“Desa kandimaya? Desanya Ki Daru Baya?” tanya Tono memastikan
Naya mengangguk.

Seluruh teman-teman Sena itu berkumpul mendekati Naya.

“Naya mau belajar sama Nyai Kirana. Suatu saat Naya lebih pintar, Naya akan mengajarkan ilmu yang Naya punya lagi di padepokan ini” ucap Naya.
Saat itu seluruh teman-teman Sena saling menatap dan berbincang satu sama lain.

“Kami ikut Naya! Kami juga ingin belajar banyak dari Ki Daru Baya.. saat sudah memiliki kemampuan yang pantas, kita bangkitkan lagi padepokan Ki Joyo Talun” ucap mereka.

Nayapun tersenyum.

Gelapnya langit malam yang sedari tadi ia rasa suram berbalik menjadi pemandangan yang indah dengan secarik surat dari Danan.

Setra Gandamayit,
Sekarang nama itu tidak lagi mengenai sebuah tempat yang menyeramkan.

Bukan sosok-sosok dedemit yang dibicarakan saat manusia berbicara tentang tempat itu. Kisah sejarah mengerikan tentang Setra Gandamayitpun hanya tersisa di Jagad pewayangan.

Saat ini Setra Gandamayit dipercaya merupakan tempat dimana roh manusia memulai perjalanan ke alam baka untuk menjadi harum (disucikan).
Sayangnya masih banyak yang datang ke tempat itu untuk mencari ilmu, kesaktian, atau melakukan ritual. Keberadaan orang-orang seperti itulah yang akan terus dimanfaatkan oleh jin atau dedemit untuk menyesatkan manusia dari jalan yang seharusnya.

***

(Alam Jagad segoro demit)

“Paklek! Lihat itu! Ada yang bentuknya kayak kuda tapi kepalanya kayak buto!” ucap Cahyo yang melihat padang tandus dari atas pohon kering yang ia panjat.

“Haha.. Paklek jadi ingat tarian Jawa timur yang namanya Turonggo Yakso bentuk kudahnya kayak begitu.. Sudah Jangan aneh-aneh! Cepat turun” perintah Paklek.

“Belum Paklek, belum ketemu yang mirip ama Paklek” balas Cahyo.

Seketika Paklek menendang pohon yang Cahyo naiki dan membuatnya terjatuh dari pohon itu.

“Adududuhh... sakit, kan becanda Paklek” ucap Cahyo.

Aku tak henti-hentinya tertawa melihat tingkah mereka. Nyi Sendang Rangupun terhibur dengan kelakuan mereka berdua.

“Tak kirain kalau sandal Paklek udah habis bakal aman” gerutu Cahyo.

“Makanya jangan berani-berani kamu” ledekku.

Di tengah perbincangan kami tiba-tiba kliwon datang dengan membawakan beberapa buah-buahan yang terlihat hampir kering.

Yah, kami bisa berharap makanan apa dari alam seperti ini. Setidaknya Kliwon cukup hebat bisa menemukan sesuatu yang bisa kami makan untuk bertahan hidup di tempat ini.

“Gerombolan demit itu sudah pergi, ayo kita lanjut” ajak Nyi Sendang Rangu.

Wanasurapun kembali keluar dari tubuh Cahyo dan kliwon seketika kembali ke wujud kera raksasanya. Kami semua menaiki tubuh mereka dan melanjutkan perjalanan.

Entah apa yang akan kami temukan lagi setelah ini.
Apakah jalan kembali menuju alam kami?
Atau malah sebuah petualangan baru di Jagad Segoro Demit..

TAMAT

Terima kasih sudah membaca kisah ini hingga selesai.
close