Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATA BATIN ARYA (Part 7) - Benda Pusaka (Lanjutan)

Pakde Nardi mengajakku ke suatu ruangan di dalam rumahnya. Di dalam ruangan itu kulihat berbagai macam senjata kuno. Mulai dari aneka macam keris, besar dan kecil, ada juga macam-macam tombak. Di tengah ruangan ada meja kecil, dan diatas meja itu tersusun rapi banyak sekali sekali jenis akik aneka warna. Di sudut kanan ruangan tampak peti-peti kecil yang kesemuanya berbentuk bagus banget, entah apa isi dari  peti itu.


Bisa kurasakan kalau semua benda itu mengeluarkan tekanan sendiri-sendiri, tekanan yang disebut pakde sebagai aura energi. Setiap benda itu memiliki kekuatan tekanan yang berbeda-beda. Entah bagaimana ceritanya kok bisa berbeda-beda seperti itu.

Mungkinkah semua ini yang disebut benda-benda pusaka? Apakah di dalam benda-benda ini ada jin nya? entahlah, saat ini aku nggak mau melihatnya. Aku harus konsentrasi dulu kalau pengen melihat jin yang berada di dalam suatu benda, makanya saat ini aku malas melihatnya.

Pakde melangkah menuju ke lemari di sudut kiri ruangan, membukanya, lalu mengambil sesuatu dari dalam lemari itu. Dia berbalik ke arahku, ternyata yang diambilnya adalah 2 bungkusan kain putih dan meletakkannya di atas meja. Bungkusan pertama berisi keris sangat kecil, cuma seukuran jari telunjuk, tak bergagang, berwarna kuning emas, mungkin memang terbuat dari emas. Ada ukiran-ukiran halus dan indah di sepanjang badan keris itu.

Bungkusan kedua berisi logam kuning berbentuk kerucut dengan bagian bawah melebar ke bawah. Panjangnya sekitar 10 cm. Di tengah bagian bawah itu ada semacam pegangan. Benda ini tipis sekali, dan ada ukiran-ukirannya juga.

Aku malah heran, dari mana saja pakde mendapat benda-benda ini, terlihat banyak sekali jenisnya. Mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk bisa mengumpulkan dan mengoleksi benda pusaka sebanyak ini, luar biasa sekali ketekunan dan kesabaran pakde.

"Yang mirip keris kecil ini namanya cundrik, sedangkan yang lancip kerucut ini namanya gunungan wayang.." kata pakde sambil memegang dua benda itu.

"Benda apa itu pakde?" Tanyaku bingung.

"Dua benda ini termasuk benda pusaka juga. Aku mau memberikan ini ke kamu. Pilihlah, yang mana yang kamu suka, dua-duanya juga boleh," kata pakde padaku.

"Pakde mau memberikan ini padaku? Tapi aku nggak ngerti kegunaannya kok…," kataku.

"Ya, cuma untuk pegangan, semacam koleksi... Kamu mau nggak?" tanya pakde.

"Makasih banyak Pakde, tapi aku nggak begitu suka menyimpan benda-benda semacam itu," jawabku.

Pakde tampak heran, "beneran kamu nggak mau?"

"Nggak pakde, beneran kok... makasih banyak."

"Ya, sudah, kalau gitu." Pakde membungkus kembali dua benda itu. "Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, datanglah ke sini...."

"Iya, Pakde, sekali lagi, makasih banyak," jawabku.

Ternyata ngobrol soal benda-benda pusaka itu sangat mengasyikkan, hingga tanpa terasa hari beranjak siang. Pakde mengajakku pindah dari ruangan itu ke ruang makan. Dan akhirnya aku pun ikut makan siang bersama bude juga. Selesai makan, pakde mengajakku ke ruang penyimpanan benda pusaka koleksinya lagi.

Kami berdua menuju ke ruang penyimpanan lagi. Lalu pakde langsung membuka salah satu lemari di ruangan itu dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain putih, meletakkannya di meja dan membukanya. Ternyata isinya adalah sebentuk keris bereluk tujuh yang panjangnya sekitar 30 cm. 

Keris itu berwarna keemasan, ada hiasan ukiran-ukiran indah di sepanjang badan keris itu. Gagangnya berwarna krem, mungkin terbuat dari gading atau tulang.  Pada pangkalnya, di dekat gagang, ada 2 butir batu kecil berwarna hijau, menempel di pangkal keris. Sedangkan gagangnya berwarna kuning krem, mungkin terbuat dari gading gajah.

"Waahh... bagus sekali, kerisnya Pakde, ini beli ya...?" tanyaku penuh kagum.

"Buat apa beli? Keris ini kudapat di dekat sungai sana."

"Gimana Pakde bisa mendapatkannya?" tanyaku penasaran. "Apa harus menyelam, gitu? Keris sebagus itu kok bisa ada di sungai...?"

"Enggak, lah... ngapain menyelam kalo bisa menariknya," kata Pakde. "Awalnya keris ini berbentuk gaib, jadi nggak ada yang bisa melihatnya.."

"Bisa gitu ya... trus, gimana cara nariknya?" tanyaku makin tertarik.

"Ya pakai energi dan kekuatan batin donk. Kamu sih, tak ajari nggak mau. Biar ngerti…."

"Hehe... aku cuma penasaran aja gimana cara nariknya gitu…," kataku, "cuma pake energi gitu ya...."

"Ya, nggak lah, nggak semudah itu. Setiap benda pusaka yang tidak ada pemiliknya, maka akan dijaga oleh 1 atau 2 jin yang kuat. Kalau ingin mendapat pusaka itu, ya harus mengalahkan jin itu  dulu...."

"Waah... jadi Pakde harus berantem dengan jin dulu?" tanyaku. 

"Iya, emang harus gitu."

"Wuiihh... seru donk…," kataku kagum.

"Seru apanya... salah-salah nyawa bisa melayang kok!"

"Ow gitu... bahaya juga ternyata…," kataku, "terus benda semacam ini mau digunakan buat apa Pakde...?"

"Sebenarnya, Pakde ini cuma mengoleksi. Tapi kadang ada orang-orang datang dan membelinya. Katanya untuk pegangan."

"Lha, apa mahal Pakde?"

"Ya, jelas mahal, dapetinnya aja susah. Jutaan sampai milyaran, tergantung bendanya."

"Wah.. Pakde bisa kaya donk," kataku dengan polosnya.

"Halah... kaya apanya, benda antik seperti ini susah jualnya yo... cuma orang yang bener-bener suka aja yang mau membelinya. Lagian Pakde nggak mau menggantungkan hidup dari benda-benda ini, Pakde kan punya usaha lain...."

"Iya juga sih…," kataku, "nggak bisa buat jadi sumber rejeki."

Pakde menyodorkan keris itu padaku, "coba kamu lihat, ada apa di dalam keris ini."

Kucoba lakukan apa yang diminta pakde, aku tidak tau apa yang kulakukan, cuma berkonsentrasi penuh pada keris. Lalu mulai tampak gambaran bayangan samar, seekor harimau yang besar sekali berwarna loreng kuning-hitam. Harimau itu mengaum dahsyat hingga membuatku terkejut sampai terlonjak ke belakang, dan gambaran harimau di dalam kepalaku  pun menghilang.

"Harimau loreng ya…," kataku.

"Iya, memang benar... kamu hebat ternyata."

"Hebat apanya... aku nggak tau apa yang kulakukan kok…," kataku. 

"Apalagi, itu cuma iseng saja sudah bisa melihat."

"Lha, itu ada 2 batu kecil nempel gunanya untuk apa Pakde?" kataku sambil menunjuk ke dua buah batu hijau yang menempel di pangkal badan keris. "Apa emang sudah dari dulunya ada batu itu?"

"Ooo.,, ini to, ini aku yang memberi. Ini namanya tindik atau suntikan. Kutempelin batu ini biar kerisnya nggak nakal," jawab pakde.

"He he he... keris bisa nakal juga to." Aku tertawa geli.

"Wooo, bisa lah, ada beberapa pusaka yang jin nya sangat liar, sampe susah dijinakkan.. Dan kalau disimpan di dalam lemari, maka malam harinya pasti bikin gaduh, bergerak-gerak sendiri mendobrak-dobrak pintu lemari. Kayak keris ini juga gitu., makanya di kasih tindik biar nggak bikin gaduh. Jadi fungsinya kayak semacam penyegel gitu." Pakde membungkus kembali keris itu dengan kain putih tadi. "Ntar kapan-kapan aku ajak kamu menarik benda pusaka, biar kamu tahu."

"Kayaknya seru itu…," kataku.

"Sebenarnya kalau kamu sih gampang dapetin benda-benda kayak gini, tinggal nyuruh temenmu si Salma itu buat ngambil, langsung kamu dapetin."

"Nggak ah Pakde, aku nggak mau minta bantuan ke dia, lagian aku nggak tertarik dengan benda-benda semacam ini, buat apa coba…," kataku.

"Benda-benda ini sangat mahal lho. Seperti akik ungu itu." kata pakde sambil menunjuk ke deretan cincin di meja, di situ memang ada sebuah cincin batu akik berwarna ungu. "Itu harganya nyampe jutaan."

"Wuiihh... nyampe jutaan ternyata…," kataku takjub, "ada yang lebih mahal nggak?"

"Kalau yang termahal, Pakde tidak punya, benda itu susah didapat, karena sangat langka. Sebuah batu berwarna merah terang, kecil sekali, cuma seukuran kedelai. Tapi meski kecil, harganya bisa mencapai milyaran. Namanya mirah delima."

Bener-bener heran, bisa-bisanya ada orang mau membeli batu sebesar kedelai dengan harga milyaran. Lantas, siapa, ya, yang sudah mematok harga sampai segitu? Sungguh suatu harga yang tidak masuk akal, begitu pemikiran polos seorang bocah sepertiku.

Bicara soal batu mulia, aku jadi teringat cincin pemberian Salma, cincin itu juga bermata batu merah terang, apakah itu yang disebut mirah delima? Kalau aku nunjukin cincin itu ke pakde, bisa-bisa heboh sendiri dia. Akhirnya aku memutuskan untuk merahasiakannya saja. 

Tapi mungkin pakde juga sudah bisa merasakan aura dari cincin mirah delima yang kubawa itu, karena cuma dengan melihatku saja, pakde sudah tahu kalau ada yang berbeda dalam diriku. Kami keluar dari ruang pusaka itu dan duduk lagi di kursi ruang tamu.

"Sebenarnya benda-benda semacam itu harus ada kecocokan sama pemiliknya.." kata pakde.

"Maksudnya gimana pakde?"

"Yaa jin didalam benda itu harus cocok dengan orang yang memegangnya.." sambung pakde.

"Oo jadi kayak semacam cocok auranya gitu ya..?"

"Iya semacam itu.." jawab pakde.

"Kalau misal nggak cocok, gimana pakde? Apa yang terjadi?"

"Pusaka itu akan menghilang dengan sendirinya dari tempat penyimpanan.. Bahkan bisa juga sampai mempengaruhi pemiliknya untuk berbuat jahat.. atau mungkin pusaka itu akan terus mengganggu kehidupan pemiliknya.." jawab pakde.

"Wah.. serem juga ya.. Lalu, gimana cara mengatasinya?" tanyaku.

"Dengan mengalahkan jin di dalam pusaka itu. Tapi cara ini cuma buat orang yang memiliki kemampuan.. Cara kedua adalah memasang tindik batu mulia seperti yang kamu lihat di keris tadi.." kata pakde.

"Wah.. susah juga, cuma mau memiliki pusaka aja sampai segitunya.." kataku.

"Tapi kadang ada pusaka yang dengan sukarela akan mengikuti manusia karena dianggap cocok.." kata pakde.

"Gimana tuh ngikutinnya?" tanyaku.

"Pusaka itu akan datang sendiri sebagai suatu cahaya yang jatuh dari langit, dan jatuh tepat di depan orang yang ingin diikutinya.. Biasanya orang itu juga memiliki kemampuan, seperti kamu itu.." kata pakde.

"Berarti ada kemungkinan nantinya aku akan didatangi pusaka semacam itu pakde..?" tanyaku.

"Jelas bisa sekali, ada kemungkinan besar untuk itu.. Apakah selama ini kamu belum pernah melihat suatu larikan cahaya yang jatuh di depanmu?" tanya pakde.

"Belum sih pakde.. kalo cuma cahaya-cahaya lewat di udara gitu aku sering lihat, tapi yang jatuh di depanku belum pernah ada.." jawabku.

"Kalau cahaya di atas gitu, itu cuma kiriman ilmu gaib, atau jin yang sedang lewat saja.."

"Nggak ngerti pakde.." jawabku bingung.

Pakde cuma ketawa ngakak saja mendengar jawabanku. Belum sehari berkunjung ke rumah pakde, tapi sudah menambah banyak sekali pengetahuan. Tentang asal-usul mata batin ini, tentang aura energi, dan juga tentang berbagai macam benda pusaka. Semua itu terasa menarik buatku yang belum pernah mendengar soal itu.

BERSAMBUNG
close