Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATA BATIN ARYA (Part 6) - Benda Pusaka

Masih di liburan kelulusan ini, aku juga berniat mengunjungi rumah Pakde Nardi, beliau adalah kakak pertama dari ayahku. Sudah lama sekali aku nggak ke rumahnya. Nanti, sekalian aku akan menanyakan tentang keanehan yang terjadi padaku. Kata ayah, pakdeku ini juga tahu hal-hal mistis dan alam gaib. 


Rumah Pakde agak jauh dari rumahku, yaitu berada di kabupaten sebelah. Dengan bersepeda, pagi jam 9 aku berangkat ke rumah pakde. Sengaja kupilih waktu pagi karena hawa belum terlalu panas.  Setelah satu jam lebih menggenjot sepeda, akhirnya sampai juga di depan rumah pakde. 

Baru sampai di pagar rumah itu, sudah kulihat satu sosok berwujud pemuda gagah berbaju dan celana panjang hitam, memakai ikat kepala dan juga sabuk kain yang kesemuanya berwarna hitam. Penampilannya mengingatkanku pada pendekar-pendekar silat jaman dulu. Saat aku masuk ke halaman, makhluk itu mengangguk padaku. Tanpa menghiraukannya, aku langsung menuju pintu depan, lalu kuucapkan salam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam." Terdengar jawaban dari dalam. Sesaat kemudian tampak pakde keluar dari rumah. "Wehh 
... kamu tho, Ndra, sudah lama nggak kesini, mari masuk...."

"Iya, Pakde." 

Pakde tampak menatapku dengan pandangan aneh, seperti sedang memikirkan sesuatu, untunglah cuma sesaat, lalu beliaupun berjalan menuju salah satu kursi di ruang tamu. Akupun mengikutinya dan duduk di kursi depannya.

"Gimana kabarmu? Ayah ibumu sehat-sehat saja, kan?" tanya pakde.

"Iya, alhamdulillah kami semua sehat Pakde. Anu…,"

Omonganku terhenti karena melihat satu sosok perempuan melayang di tengah ruang tamu, dia terus saja menuju pojok rumah dan berdiri di sana. Perempuan itu memakai kain jarik dari mata kaki sampai pinggang, sedangkan atasan berupa kemben yang menutup sampai atas dada, bahunya terbuka memperlihatkan kulit yang sangat halus dan kuning langsat.

Pada rambutnya terdapat rangkaian bunga melati, dan pada lehernya tergantung sebuah untaian kalung emas. Perempuan itu cuma berdiri diam di pojokan sambil menatap kami, entah apa yang dilakukannya. Tapi dia juga sempat tersenyum padaku, tanpa sadar aku ikut tersenyum dengan canggung. Ternyata pakde menyadari ini dan ikut menengok ke pojok.

"Loh? Kamu, bisa melihat dia, tho, Ndra?" tanya pakde terkejut.

"He he he. Iya, pakde…," jawabku langsung mengaku.

"Oalah... dugaanku tepat, tadi waktu pertama melihatmu, pakde sudah merasakan ada sesuatu dalam dirimu... kok ya nggak bilang-bilang... sejak kapan?"

"Nggak tau pakde, sudah lama aku bisa melihat hal-hal aneh…," jawabku

"Tapi, kok, ayahmu nggak pernah cerita ya,  orang tuamu tau nggak?"

"He he, belum ada yang tau, Pakde…," jawabku.

"Gimana sih, orang tua malah nggak dikasih tau."

"Aku takut mereka nggak percaya Pakde, atau malah jadi panik ntar. Makanya aku nggak cerita. Tapi ayah pernah cerita kalau Pakde ini bisa, makanya aku kemari, buat nanya-nanya," ujarku.

Tiba-tiba saja, aku merasakan semacam tekanan hawa sangat kuat yang berubah-ubah dari panas ke dingin, dan aku ingat kalo tekanan semacam ini berasal dari Salma, tapi aku tidak melihat sosoknya dimanapun, apa mungkin dia mengikutiku sampai ke sini? Gitu batinku. Pakde pun tampaknya juga merasakan karena dia juga terlihat diam untuk beberapa saat.

Sosok perempuan penjaga rumah pakde yang berada di pojokan itu langsung melayang ke arah pintu, rupanya dia juga merasakan tekanan itu dan menjadi waspada, hal ini terlihat dari gerakannya yang seperti memasang sikap bertahan, lalu dia terus melayang ke luar rumah.

"Sebentar..," tahan pakde padaku, lalu dia berdiri, berjalan menuju pintu, dan melihat keluar. "Jin perempuan itu mengikutimu, tho, Ndra?" tanya pakde.

"Perempuan yang mana Pakde?" tanyaku berpura-pura.

"Itu, yang di jalan depan rumah," jawab pakde sambil menunjuk ke luar.

Aku berdiri untuk ikut melihat keluar, dan ternyata benar, Salma berada di sini juga, dan akupun jadi heran, gimana ceritanya dia bisa mengikutiku sampai ke sini?

"Eehh... iya, Pakde, he he," jawabku jujur.

Di halaman rumah pakde, kulihat jin perempuan penjaga rumah pakde tampak waspada, menatap tajam penuh intimidasi ke arah Salma. Tampak pula makhluk berwujud pemuda berpakaian ala pendekar tadi juga mengambil sikap menghadang Salma.

Mereka seakan mencegat dan siap menyerang kalau Salma masuk ke halaman. Sebaliknya, Salma malah terlihat santai, dia berdiri mengambang di seberang jalan, sambil senyum-senyum meremehkan, wajar saja, tekanan yang dia keluarkan  jauh lebih kuat dibanding dua jin penjaga rumah pakde itu.

"Jangan-jangan, dia mau berniat jahat sama kamu?" tanya pakde.

"Nggak, kok, Pakde... udah dua kali dia bantu aku mengusir makhluk halus yang mau gangguin aku…," jawabku.

"Sebaiknya kamu hati-hati... jangan gampang percaya sama makhluk kayak gitu…." Nasihat pakde padaku. 

"Iya, Pakde, aku tau kok…," jawabku.

"Dia itu jin yang kuat banget lho, pasti itu jin sudah tua umurnya... aura energinya aja kuat banget gitu...."

"Aura energi itu yang kayak gimana sih Pakde?" tanyaku.

"Jadi, kamu belum tau soal energi...?" 

"Pernah mendengarnya juga sih... tapi belum begitu jelas apa artinya," jawabku.

Pakde tampak diam berpikir. "Gini, kamu bisa ngerasain nggak... kayak ada semacam daya tolak dari makhluk itu? Semacam tekanan yang nggak kelihatan...."

"Iya, bener Pakde... kayak ada dorongan nggak kelihatan gitu, kadang sampe bikin dada sesak gitu…," jawabku.

"Nah, tekanan itulah yang disebut aura energi... bentuknya gaib... jadi, ya, nggak kelihatan."

"Kata Salma, tiap makhluk itu punya energi sendiri... bener, nggak, Pakde...?" tanyaku.

"Eh, Salma itu siapa?"

"Ya jin perempuan yang ngikut itu…," jawabku. 

"Ow, jadi, namanya, Salma…," kata Pakde, "memang, bener, tiap makhluk punya energi sendiri, kuat dan lemahnya energi itu berbeda-beda. Tapi ada yang aneh dari perempuan yang mengikutimu itu, energinya kok berubah-ubah gitu ya?"

"Ya, itu, yang bikin aku bingung Pakde... kadang aku ngerasa kayak dingin banget, kadang malah panas banget...." jawabku.

"Sepertinya dia punya dua aura yang berbeda... panas dan dingin, hitam dan putih…," gumam pakde, "sudah berapa lama dia ikut kamu?"

"Ya, lama juga sih pakde... setahun lebih kayaknya... tapi dia nggak pernah menampakkan diri... cuma mengikuti dari jauh gitu…," jawabku.

"Kenapa bisa begitu? Apa tujuannya?"

"Katanya dia tertarik sama auraku, trus dia ngikut itu buat menjagaku dari gangguan makhluk halus yang jahat…," jawabku.

"Berhati-hatilah.. kadang jin yang mengikuti manusia itu punya maksud yang tidak baik..."

"Sebenarnya, aku juga nggak mau dia ngikut kok Pakde, aku juga sudah bilang sama dia soal itu… tapi dia nekat aja," jawabku.

"Hmmm… benar, kamu jangan sampai terlalu gampang percaya sama dia."

"Iya, Pakde…," jawabku.

"Aku nggak nyangka, kamu bisa diikuti jin yang sangat kuat kayak dia. Terus, gimana ceritanya dia bisa ngikutin kamu gitu?"

"Entahlah, Pakde, suatu malam tau-tau dia datang begitu saja, terus ngomong kalau pengen ikut aku, tapi aku nggak mau," kataku.

"Gitu ya, kita lihat aja nanti, apa omongannya itu bener atau nggak...."

"Aku nggak begitu menggubris omongan makhluk halus kayak gitu Pakde…," jawabku.

"Bagus...! Jangan sampai kamu bergantung pada mereka…," kata Pakde. "Ngomong-ngomong, soal kemampuan mata batinmu, seharusnya orang tuamu tau soal itu...."

"Aku cuma bingung gimana cara menjelaskan pada beliau berdua Pakde…," jawabku, "ntar malah aku dikira anak stres dan di bawa ke psikiater.

"Hahaha… mungkin bener itu. Kalo gitu, nanti biar aku saja yang ngomong ke mereka... biar aku jelasin semuanya... tentu mereka bakal paham...."

"Kalo Pakde berkenan menjelaskan pada beliau berdua, aku malah terima kasih banyak sama Pakde…," jawabku.

Aku nggak menyangka kalau akhirnya kami bisa ngobrol santai, padahal yang kami obrolkan adalah hal gaib, suatu hal yang selama ini kurahasiakan dari siapa pun. Tapi kalo sama pakde, ternyata aku bisa bercerita banyak hal tanpa perlu merahasiakannya lagi. 

Ada perasaan nyaman saat bercerita sama beliau. Seingatku, baru kali ini aku ngobrol sampai lama dengan seseorang. Pakdeku memang orang yang sangat ramah terhadap siapa saja, orangnya humoris dan gampang bergaul akrab dengan orang. Dan kini kami sama-sama tau kalo kami juga memiliki sebuah kemampuan yang sama, aku jadi merasa nggak sendirian lagi.

Aku sudah mendengar penjelasan dari ayah soal kemampuan yang kumiliki. Kata ayah, kemampuan mata batin telah ada dalam keluarga kami secara turun temurun yang berasal dari nenek moyang, tapi aku merasa belum puas dengan jawaban ayah, karena beliau itu juga awam dalam hal gaib.

"Ada hal yang ingin kutanyakan pada Pakde… sebenarnya ini semua dari mana...? Gimana asal muasal dari mata batin ini?" tanyaku.

"Sebenarnya, mata batin ini adalah semacam kemampuan turunan, tiap 2 generasi keluarga kita, pasti ada setidaknya satu anggota keluarga yang dikaruniai kemampuan mata batin. Selalu begitu sejak dulu dan terus turun-temurun. Mbah kakungmu punya kemampuan, jadi tidak menurun ke anaknya, tapi barulah kemudian akan menurun ke cucunya, dan ternyata cucunya yang dituruni kemampuan adalah kamu...."

"Gitu ya, tiap dua generasi… lha, terus  Pakde bisa dapat itu darimana?" tanyaku.

"Sudah sejak muda dulu, pakdemu ini tertarik dengan hal-hal gaib, jadi aku memang sengaja belajar, berkelana ke seluruh penjuru negeri untuk mencari guru. Jadi, kemampuanku ini bukan alami, itulah sebabnya yang kumiliki ini nggak begitu kuat."

"Oo gitu ya, wah... Berarti pakde udah banyak sekali pengalamannya, ya…," pujiku.

"Yang namanya hobi... kemanapun pasti akan didatangi."

"Iya juga sih. Lha, terus, yang Pakde dapatkan itu digunakan untuk keperluan apa? Maksudku, kegunaan dalam hal apa?" tanyaku penasaran.

"Yaa… tentunya ada gunanya, lah.... Tapi sebenarnya aku belajar kayak gitu cuma sekedar hobi, buat menjawab semua rasa penasaran. Tapi kadang ada juga tetangga minta bantuan ke pakde karena diganggu makhluk halus. Ya, pakde, cuma menolong sebisanya aja. Kalau kira-kira nggak kuat ya dilepas aja."

"Owh... kirain cuma biar bisa lihat makhluk halus doank... he he he…," kataku cengengesan.

"Aneh kamu... banyak kegunaan lain yo... terutama buat membantu orang...."

"Iya, sih... mungkin kemampuan ini gunanya emang cuma buat bantuin orang…," jawabku.

"Kalau kamu pengen tau lebih detail soal mata batin dan kegunaannya, tanyalah ke mbah kakung, dia tahu dengan detil soal itu."

"Ooo... Mbah Kakung ya.... Baiklah, nanti kapan-kapan aku akan berkunjung ke rumah Mbah Kung, soalnya rumahnya jauh banget sih…," jawabku, "Pakde tau gimana cara membuangnya?" 

"Wah, kalau untuk kasus kayak kamu, ya, susah. Kalo aku sih gampang, aku kan dulu belajar, kalau ingin membuang ya tinggal buang aja ilmunya, atau melanggar pantangannya, udah hilang sendiri... kalo kamu, kan, bawaan dari lahir...."

"Jadi, Pakde, nggak bisa ya?" kataku kecewa.

"Kalau pakde sih nggak bisa... Mungkin ada orang lain yang bisa, mungkin ustad pondok pesantren."

"Wah, harus mencari ustadz yang bisa donk...." sambungku.

"Sepertinya memang harus begitu. Kamu, yakin, mau menghilangkannya? Nggak ingin mengendalikannya aja...?" tanya pakde.

"Lah, emang bisa dikendalikan?" tanyaku heran.

"Ya bisa, lah... malah kalau sudah bisa mengendalikan, maka akan semakin kuat." 

"Nggak ah, dihilangkan saja…," kataku.

"Ya itu cuma pilihan sih…," kata pakde akhirnya. "Sekarang, ayo ikut aku... ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu."

BERSAMBUNG
close