Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MATA BATIN ARYA (Part 5) - Makhluk Penunggu Sungai

"Gimana? jadi mancing kan kita?" kata Edi yang tau-tau udah nongol di pintu rumahku bersama Jono.

"Jadi, lah... udah disiapin jorannya...?" tanyaku.

"Udah donk... bawa serep juga…," jawab Edi sambil menunjukkan dua joran pancing. Jono pun juga membawa dua joran.

"Oke, aku ngambil joranku dulu... sekalian pamit ke ibu," jawabku.

"Ya udah, buruan…," sahut Jono.


Segera aku masuk lagi ke rumah untuk menyiapkan peralatan pancing. Sore itu kami berencana pergi memancing untuk mengisi liburan kelulusan. Aku sudah lulus SD sekarang, dan akan memasuki jenjang SMP. Selama Liburan itu aku cuma bermain-main saja dengan dua temanku, Edi dan Jono, karena  cuma mereka yang mau jadi temanku. 

Kami sering memancing bersama di sungai batas kotaku, karena memang memancing adalah hobi kami. Entah gimana ceritanya sampai kami bisa punya hobi yang sama. Kampung kami memang tidak terlalu jauh dari sungai besar batas kota, cuma berjarak 10 menit jalan kaki dari rumah. Dan siang ini kami berencana untuk memancing lagi di sungai itu.

"Bu, aku mau mancing di sungai, sama Edi dan Joni, boleh ya?" 

"Pulangnya jangan terlalu sore ya, jangan sampai maghrib. Dan jangan dekat-dekat dengan kedung.… Sudah banyak orang tenggelam di situ, soalnya sungai dibagian itu dalam banget, lagian menurut cerita di situ ada onggo-inggi juga…," pesan ibu.

"Onggo-inggi itu apa bu?" tanyaku. 

"Onggo-inggi adalah hantu sungai, suka menyeret orang ke dalam air hingga tenggelam... terutama anak kecil... ingat pesan ibu, jangan dekat-dekat ke kedung," kata ibuku.

"Iya, Bu...."

Aku tidak tahu apakah perkataan ibu itu cuma untuk menakut-nakuti kami saja, ataukah memang benar-benar ada makhluk semacam itu. Biasanya cara orang tua melarang anaknya adalah dengan menakut-nakutinya. Tapi biar bagaimanapun, yang jelas, pesan ibu harus kuingat-ingat dan harus kuturuti. 

Sambil membawa dua joran pancing, aku  beranjak keluar rumah. Joran kami semua sama, cuma terbuat dari bambu yang diraut sedemikian rupa hingga jadi panjang dan kecil, makin keujung makin mengecil dan lentur. Memang joran itu sangat sederhana, karena kami pikir tidak perlu peralatan pancing yang mahal, yang penting mancingnya itu sendiri.

"Udah siap?" tanya Edi.

"Udah donk," kataku sambil nunjukin joranku. "Ntar nyari umpan di mana?"

"Di tempat biasa aja, di pinggiran kali kan banyak…," jawab Edi.

"Ya udah, yok berangkat…," kataku.

Kami bertiga berangkat ke sungai dengan jalan kaki, karena jaraknya cuma sekitar 500 meter dari rumahku. Sungai itu cukup besar dan merupakan tapal batas wilayah antara kotaku dan kabupaten sebelah. Matahari sudah tidak begitu menyengat lagi, karena memang waktu itu sudah jam 3 sore.

Sesampainya di sungai, kami mencari umpan dulu berupa cacing yang banyak terdapat di pinggiran sungai, di bawah tumpukan daun-daun dan tanah humus. Setelah dirasa sudah dapat cacing cukup banyak, kami pun menyiapkan segala peralatan pancing, dan dimulailah keasyikan memancing itu. 

Tapi sepertinya nasib memang belum beruntung, setelah 1 jam memancing, nggak ada satu ikan pun yang nyangkut. Lama-lama kami dilanda kebosanan juga. Jono bahkan bersandar di bawah pohon sambil merem. Kalo gini terus, lama-lama kami bisa ketiduran juga, karena memang di pinggiran sungai itu banyak pohon besarnya hingga membuat suasana jadi teduh, ditambah lagi angin semilir berhembus.

"Sial bener hari ini, apa ikannya sudah habis ya? masak nggak dapat ikan sama sekali?!" gerutu Edi.

"Mungkin kita aja yang nggak bisa mancing!" timpal Jono.

"Ya mungkin, malah dua-duanya, ikannya habis, dan kita juga nggak bisa mancing, hehe..." kataku cengengesan.

"Kita pindah ke kedung aja yuk, katanya disana banyak ikannya." ajak Edi.

"Nggak mau ah, tadi sudah dipesan ibuku, nggak boleh kesana." jawabku.

"Alaaah, bentar aja kok?! Biar bisa dapet ikan lah..."

Edi sudah beranjak pindah menuju kedung yang dimaksud. Jadi terpaksa aku dan Jono mengikuti. Kedung sungai terletak agak ke hilir, agak jauh juga. Kami harus berjalan kaki kira-kira 10 menit. Di sini banyak pepohonan besar dan rumput-rumput lebat di pinggiran sungai, suasana terasa teduh, tapi malah tampak singup dan angker.

Kami mulai memancing lagi di tempat baru itu. Dan benar saja, baru 5 menit mencemplungkan umpan, sudah ada ikan yang nyangkut di kailnya Edi, lalu berturut-turut aku dan Jono pun juga dapat. Seperti panen saja, ikan terus aja nyangkut di kail kami. Aku sampai heran, kenapa tiba-tiba ikannya pada ngumpul disini? Dari mana semua ikan itu?

"Bener, kan, kataku?! Disini emang banyak ikan!" kata Edi.

"Iya juga sih, tapi aku masih takut, di sini kan airnya dalam banget!" kataku.

"Asal nggak terlalu ke pinggir sungai aja nggak papa lah…," jawab Edi.

"Dapet lagi...!" seru Jono sambil menarik jorannya, dan ikan sebesar lengan sudah menggelepar di ujung senar kailnya.

Kami terus saja asyik memancing, makin banyak ikan yang kami dapat, makin lupa, lah, kami dengan waktu. Sudah lebih dari dua puluh ekor ikan yang rata-rata sebesar telapak tangan telah kami dapatkan. Bahkan aku sendiri lupa dengan pesan ibuku. Dan saat matahari sudah hampir tenggelam, kami baru tersadar.

"Udahan aja yuk... udah mau maghrib ini...." kataku.

"Iya lah,  lagian udah banyak juga ikannya...." sambung Edi.

"Bisa buat makan sekeluarga nih...." sahut Jono.

"Besok kita bisa mancing di sini lagi.. pasti dapat banyak lagi.." kata Edi.

Maka segera kami membereskan peralatan kami dan bersiap pulang.  Sebelum meninggalkan pinggiran sungai, seolah tanpa sadar aku memandang ke arah tengah sungai berarus tenang itu. Dan dalam keremangan itu, tepat di tengah sungai, aku melihat semacam serat ijuk mirip rambut kusut berwarna hitam yang panjang mengambang terbawa arus. Belum lagi aku tahu benda apa itu, tiba-tiba benda itu keluar dari permukaan air, kini jelas terlihat kalo benda kusut hitam itu adalah rambut, dan di bawah rambut itu ternyata ada sebuah kepala!

Aku tidak salah lihat, benda itu benar-benar kepala yang memiliki rambut sangat panjang. Dan yang muncul di permukaan air cuma kepalanya aja, badannya nggak kelihatan. Wajahnya terlihat hitam legam seperti gosong.  Kukira itu adalah jasad orang yang tenggelam. Maka kupertajam pandanganku, dan ternyata mata di wajah gosong itu terbuka membelalak! 

Lalu terdengarlah suara tawa mengekeh yang sangat menakutkan, mulut di kepala itu terbuka lebar, memperlihatkan taring panjang yang menyembul, mata  melotot besar, kulit wajah keriput berkerut-kerut dan gosong hitam seperti bekas terbakar.

Kemudian dari permukaan air disamping kepala itu, terjulurlah sebuah tangan hitam legam. Tangan itu berjari-jari sangat kurus dan panjang, jauh lebih panjang dari jari normal. Di setiap ujung jari itu terdapat kuku-kuku sangat panjang yang berwarna hitam dengan ujung runcing tajam! Tiba-tiba meledaklah suara tawa menggelegar! Tawa laki-laki bersuara besar dan berat.

"Huahahaha, aku sudah memberikan ikan yang banyak pada kalian, sekarang giliran aku minta bayarannya, yaitu nyawa kalian! Hahahaha…," kata kepala itu dengan suara besar dan berat mengerikan.

"Ii-itu... han-hantu... hantu sungai.." kudengar Edi ngomong dengan tergagap.

"Onggo… onggo-inggiiii..!" teriak Jono dengan keras.

Mendadak saja kepala itu melesat cepat di permukaan air dan menuju ke arah kami. Kini tidak cuma satu tangan bercakar saja, tapi dua tangan berjari panjang dan berkuku runcing panjang seakan hendak menerkam ke arah kami! 

Kejadian itu berlangsung dengan sangat cepatnya. Edi dan Jono masih sempat  lari tunggang langgang. Sedangkan akupun. Ikut bangkit dan hendak ikut berlari. Masih sempat kulihat kakiku luput dari cengkeraman tangan bercakar tajam itu. Maka kuteruskan lariku menyusul teman-temanku.

Tapi baru satu langkah, kurasakan seperti ada yang mencengkram pergelangan kakiku dan menahan lariku. Ketika kulihat ke bawah, sebuah benda hitam panjang mirip dengan rambut sedang membelit kakiku.  Sedemikian eratnya belitan rambut itu hingga kakiku terasa seperti diikat dengan kawat besi. Ternyata rambut makhluk itu bisa molor panjang dan seakan berubah menjadi semacam tentakel gurita yang sekeras baja!

Cengkeraman rambut yang seperti tentakel gurita di kakiku terasa semakin menguat. Kujejak-jejakkan kaki berusaha melepaskan diri, tapi tetap tidak bisa lepas. Sementara itu kepala sudah mendekatiku. Kedua temanku sudah tidak kelihatan lagi. Sedikit demi sedikit, rambut yang mirip tentakel itu mulai menarikku ke dalam air. Reflek aku memegang pohon yang ada di pinggir sungai. Sambil berdoa kepada Allah, aku terus bertahan dan terus menjejakkan kakiku.

Sempat terlintas di pikiranku, mungkin ini adalah onggo-inggi yang diceritakan ibu. Kini ternyata kepala itu sudah berada diluar air, wajah hitam gosong berkeriput dengan mulut penuh dengan taring itu keluarkan suara menggeram-geram. Sejauh yang bisa kulihat, makhluk itu cuma terdiri atas kepala, rambut yang panjangnya mungkin lebih dari 2 meter, dan sepasang cakar tajam mengerikan, sedangkan badannya sendiri tidak kelihatan.

Di tengah kepanikan dan ketakutan, aku terus bergulat dengan makhluk itu, beradu tenaga saling tarik menarik. Aku terus memegang kuat-kuat batang pohon itu sambil terus berdoa, tapi saking kuatnya tarikan makhluk itu, perlahan peganganku semakin mengendur dan terlepas sedikit demi sedikit. Mungkin inilah saatnya ajalku tiba. 

Dan saat keputusasaan sudah berada di ujung, kusebut asma Allah berulang kali. Lalu mendadak saja terlintas sebuah wajah sangat putih dan menyeramkan dengan mulut sobek sampai telinga! Tanpa sadar aku pun meneriakkan sebuah nama.

"Salmaaa..!!!!"

Saat itulah tenagaku sudah benar-benar habis, pegangan tanganku pada pohon itu pun terlepas, maka rambut-rambut panjang yang membelit kakiku itu pun menarikku ke dalam air sampai ke batas pinggang. Tapi mendadak saja dari atas kepalaku melesat suatu bayangan hitam yang disertai suatu hembusan angin sangat keras, terdengar juga suara tawa cekikikan melengking-lengking menusuk telinga. Bayangan hitam itu langsung melabrak makhluk jin sungai yang menarikku tadi.

Cengkeraman di kakiku terlepas. Aku langsung berusaha merangkak menjauhi sungai, setelah agak jauh, aku berbalik untuk melihat. Dan dalam keremangan senja itu kulihat dua bayangan hitam berkelebat sangat cepat, saling sambar di atas permukaan air sungai. Mereka seakan sedang bertarung dengan hebatnya!

Aku tertegun menyaksikan pertarungan samar itu, seperti sedang menonton sebuah film silat, tapi dipercepat hingga seratus kali lipat! Dan kemudian kulihat berkas-berkas cahaya biru melesat, cahaya berbentuk sabit itu menghajar salah satu bayangan hitam tadi hingga terbelah menjadi beberapa bagian.

"Grrrauuuuugggrrhhh…!!"

Satu raungan panjang terdengar sangat keras menggidikkan, seperti raungan serak binatang buas. Namun raungan itu cuma sebentar, karena kemudian serpihan bayangan hitam itu meluncur jatuh ke air. Bau daging gosong tercium santar di sungai itu. Dan diatas permukaan air itu masih ada satu sosok bayangan hitam yang mengambang dalam posisi berdiri dengan gagahnya.

Kukenali bayangan itu sebagai Salma yang sedang dalam wujud kuntilanak hitam! Jauh lebih seram daripada saat pertama kali kami bertemu, ditambah kuku jari tangan yang panjang seperti pisau belati. Tenyata Salma benar-benar datang memenuhi panggilanku! Jadi rupanya kilatan-kilatan cahaya biru berbentuk sabit tadi adalah serangan Salma pada makhluk itu.

Kurasakan suatu hawa tekanan yang luar biasa kuat terpancar dari sosoknya Salma, tekanan itu bahkan sampai membuat dadaku terasa sesak, jantungku serasa dipacu kencang, apakah ini yang disebut aura energi? Sepertinya Salma sedang diliputi kemarahan yang teramat sangat.

Salma masih terus mengawasi permukaan air tepat dimana makhluk tadi jatuh, seakan memastikan kalau makhluk itu benar-benar telah musnah. Beberapa menit berlalu, dan perlahan Salma berbalik ke arahku. Wujudnya langsung berubah jadi gadis sangat cantik. Tekanan aura energi dahsyat tadi menghilang seketika. Dan di bibirnya tersungging satu senyuman sangat manis.

"Maafkan aku Arya, aku datang terlambat, karena aku harus mencarimu dulu. Kamu tidak membawa cincin yang dulu kuberi, yaa…," tanya Salma penuh sesal.

"Sudahlah, tidak apa-apa… kamu nggak terlambat kok... Terima kasih sudah menolongku…," kataku sambil mengatur nafas dan berusaha menenangkan detak jantung yang seperti dipacu.

Salma tersenyum. "Aku senang bisa membantumu… sekali lagi aku minta maaf...."

"Aku yang salah, tidak menuruti pesan ibu. Aku mau pulang saja." kataku sambil masih gemetaran.

"Akan kudampingi kamu sampai rumah, untuk memastikan kamu aman." kata Salma.

Kini baru kusadari pergelangan kakiku yang dicengkeram makhluk tadi terasa sangat perih dan panas. Kuelus-elus pergelangan kakiku, tidak ada luka sama sekali, tapi rasa sakit dan panas itu terasa nyata. Salma mendekatiku, melayang dalam posisi bersimpuh, dia ulurkan tangannya dan memegang pergelangan kakiku dengan lembut. 

Tangan itu terasa sedingin es, hingga kakiku seperti ditempeli es batu. Tapi anehnya, hawa dingin itu seakan meresap dan merasuk ke dalam kulit kakiku. Rasa panas di kakiku itupun perlahan mulai mereda dan akhirnya menghilang, meskipun perihnya masih sedikit terasa.

"Terima kasih.." kataku.

Salma mengangguk dan tersenyum. Alam sudah benar-benar gelap gulita, dan dalam kegelapan ini, wajah putih pucatnya masih jelas terlihat olehku.

"Luka dari makhluk halus memang tidak kelihatan secara fisik, karena yang terluka adalah di bagian dalam.." jelas Salma.

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, jadi akupun segera beranjak dari pinggiran sungai itu. Bahkan peralatan pancing dan juga ikan hasil tangkapan tadi pun terlupakan. Salma melayang satu meter di depanku, seakan menjadi penunjuk jalanku, karena suasana sudah gelap gulita dan aku tak bisa melihat apa-apa lagi. 

Tapi anehnya, meskipun pakaian Salma itu hitam-hitam, aku masih bisa melihat sosoknya dengan jelas, jadi ku ikuti saja sosoknya untuk tinggalkan tempat itu. Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih terpaku pada makhluk tadi, aku masih penasaran, sebenarnya dia itu jenis makhluk apa. Maka kutanyakan saja pada Salma.

"Dia adalah jenis jin air, dia selalu tinggal di air.. hingga manusia menamainya sebagai hantu air atau kadang juga disebut onggo-inggi." Jawab Salma.

Ternyata dugaanku soal makhluk itu tepat sekali. "Apakah dia tidak bisa keluar dari air?"

"Tentu saja bisa.." jawab Salma. "Jin bisa berada di mana saja, tapi dia adalah jin air, jadi lebih suka berada di dalam air.. dan saat dia keluar dari air, maka kekuatannya akan jauh berkurang.."

Butuh waktu sebentar bagiku untuk mencerna kata-kata Salma itu, lalu baru kuteruskan pertanyaanku.

"Kenapa dia menyerangku? Menyerang manusia?"

"Makhluk itu adalah pemangsa, dia bisa memangsa apa saja, hewan atau manusia.. dia membunuh dengan menenggelamkan mangsanya di kedalaman air.." jawab Salma.

"Apakah dia memangsa untuk dimakan?" tanyaku.

"Kalau mangsanya adalah hewan, maka yang dihisap adalah saripati darahnya, sedangkan darahnya sendiri masih utuh. Kalo dia memangsa manusia, maka dia akan menghisap energi dari manusia itu, dan jasadnya masih utuh juga.." jawab Salma.

Lagi-lagi sebuah penjelasan yang membuatku jadi bingung, hingga aku harus mencernanya baik-baik sebelum mengerti. Kami terus berlalu meninggalkan sungai itu, menaiki tanggul dan sampai pada jalan pinggiran kampung yang sudah ada lampu penerangannya.

Kubiarkan Salma mendampingiku pulang ke rumah, kini dia melayang di sampingku setinggi satu jengkal di atas tanah. Sampai saat itu badanku masih gemetaran dengan hebat, aku nggak pernah  menyangka ada makhluk semacam itu di dunia, dan dia telah menyerangku secara langsung, baru kali ini aku diserang makhluk halus, tanpa provokasi dan tanpa sebab sama sekali.

"Sebaiknya, kemanapun kamu pergi, sebaiknya cincin itu kamu bawa terus saja, nggak kamu pakai juga nggak apa-apa, asal kamu bawa…," kata Salma.

"Tapi aku nggak mau nantinya jadi bergantung pada cincin ini…," timpalku.

"Aku hargai pendirianmu, memang bergantung itu harus tetap pada Tuhan. Itu cuma untuk berjaga-jaga saja... siapa tau kamu dalam keadaan terjepit seperti tadi.... Karena masih ada aku yang selalu berusaha membantumu.."

"Ya, coba ntar aku bawa aja.." jawabku akhirnya.

Memang cincin pemberian Salma itu jarang sekali aku pakai. Sebenarnya aku nggak mau minta bantuan ke Salma, tapi tadi dengan sangat terpaksa aku harus memanggilnya, karena memang keadaannya sangat berbahaya, dan waktu itu yang terlintas cuma wajah mengerikan dari Salma, jadi kuteriakkan namanya saja.

Melewati jalan aspal kampung, pikiranku berputar antara makhluk tadi, juga tentang Salma. Dia tadi sudah menyebut nama Tuhan, apakah jin itu juga punya Tuhan? Apakah Tuhannya sama dengan Tuhannya manusia? Entahlah.. hal semacam itu terlalu rumit untuk dipikirkan bocah seusiaku.

Salma mengantarku sampai ke depan pintu rumahku, lalu dia menghilang begitu saja. Tubuh terasa lemas sekali, badan kedinginan karena pakaianku sudah basah kuyup karena air sungai. Rasa bersalah pada ibu mulai menghantui, aku sudah mengabaikan pesannya, dan kini aku merasakan sendiri akibatnya. Belum lagi kalo nanti ketahuan pakaianku basah semua, ibu pasti akan ngomel-ngomel memarahi aku. 

Benar-benar suatu pengalaman luar biasa, hampir mati oleh makhluk yang disebut hantu sungai itu. Aku tidak pernah menceritakan soal makhluk itu pada orang tuaku, demikian juga dengan kedua temanku, biarlah menjadi rahasia kami saja.

BERSAMBUNG
close