Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINDEN PENGABDI SETAN (Part 4) - Langgar Watubumi

Danan dan Cahyo menghampiri tempat bernama Langgar Watubumi untuk mencari pusaka yang dimaksud oleh sena, namun yang mereka temukan bukan hanya itu... seorang teman lama..


JEJAKMISTERI - Mas Sena menceritakan mengenai keberadaan pusaka yang mampu menangkal kutukan dari sinden-sinden pengabdi setan yang telah memakan banyak korban itu.

“Kalau memang ada pusaka seperti itu, kenapa kamu membiarkan ayahmu Ki Joyo Talun dan kelompoknya mati?” Tanya Jatmiko heran. Pertanyaan yang sama yang juga sebenarnya ingin kutanyakan.

“Kejadian itu terjadi begitu cepat, kami tidak pernah menyangka kutukan itu akan bangkit kembali. Dan lagi, bahkan bapakpun belum mampu menarik pusaka itu dari tempat penyimpananya” Jelas Mas Sena.

Penjelasan Mas Sena cukup masuk akal. Seandainya pusaka sudah di tanganya, mungkin sejak awal dia sudah membawa pusaka itu ke desa Jatmiko untuk menghentikan kutukan sinden itu.

“Pusaka macam apa itu Mas Sena? Bisa kami lihat sekarang?” Tanya Cahyo.

Mas Sena meninggalkan kami sejenak untuk mengambil sesuatu.
Sebuah kotak kayu dibawa ke hadapan kami. Mas Sena membuka tutupnya dan menunjukan keberadaan sebuah kain batik yang sudah usang.

“Ini pusakanya?” tanyaku.

“Bukan Mas Danan, kata bapak.. ini satu-satunya petunjuk untuk membawa kita ke tempat pusaka itu berada”
Ternyata memang tidak mudah untuk mendapatkan pusaka itu. Aku memperhatikan lembaran kain batik ditunjukkan oleh Mas Sena.

Pola kembang yang berulang seolah membentuk alunan nada. Namun pola di celahnya terlihat berbeda dari batik pada umumnya.

“Ini sungai?” ucap Jatmiko.

“Mungkin, setidaknya itu menurut bapak” jawabnya.

“Aku juga menduga begitu dan pola di sebelahnya ini... candi?” tanyaku pada Mas Sena.

Mas Sena membuka lembaran batik itu dengan lebih lebar. Ia menunjuk ke beberapa titik.

Tempat ini adalah tempat semedi bapak dan leluhur sebelumnya. Walaupun kami sudah pernah kesana tapi tidak ada satupun dari leluhur bapak yang bisa menemukan pusaka itu.

Cahyo mendekat bergabung dengan perbincangan kami. Dia melihat dengan serius setiap motif yang ada di lembaran kain batik itu.

“Aku ngerti..” ucap Cahyo dengan wajahnya serius.
Aku menoleh pada Cahyo, jarang sekali dia bisa memecahkan teka-teki seperti ini.

“Ini motif cakram, ada dua...” ucapnya.

“Terus menurut mas Cahyo, apa maksud dari motif itu?” Tanya Mas Sena.

“Artinya kita harus naik si mbah buat sampai tempat itu. Dua cakram berarti dua roda… ngebahas motorku ini” Ucapnya dengan lagak sok pintar.

Aku segera merebut sarungnya dan melemparkan kembali ke arahnya.

“Ngasal!” ucapku.

“Lho siapa tau kan... lagian daripada pusing mikirin disini, paling bener kita langsung cari petunjuk disana” Ucap Cahyo.

“Nah kalau ini omongamu bener...” balasku.

Kamipun bersiap untuk menuju tempat yang ditunjukkan oleh kain batik itu. Mas Jatmiko kami minta untuk membantu menginformasikan tentang kejadian ini ke warga desa, sementara orang padepokan membantu mengurus pemakaman pak Baskoro.

“Oh iya, ada satu lagi masalah...” ucap Mas Sena tiba-tiba.

“Menurut bapak, tempat itu dijaga oleh sosok makhluk yang sudah sangat tua... bahkan wujudnya sudah sangat sulit dikenali”

Aku dan Cahyo saling menatap, kami memutuskan untuk menentukan apa yang akan kami lakukan untuk menghadapi makhluk itu saat nanti sudah bertemu denganya.

***
Suara gemericik aliran sungai menemani perjalanan kami menuju tempat yang ditunjukkan di kain batik itu.

Motor vespa tua Cahyo terhenti di salah satu tanjakan di tengah hutan yang sudah tidak mampu lagi dilewati oleh kendaraan roda dua.

“Nah... sekarang tunjukkin kesaktian si mbah yang kamu bangga-banggain itu” ucapku.

“Assem.. sakti ya ada batasnya juga, kalau sampe si mbah bisa naik ke atas itu namanya melanggar kodrat” Balas Cahyo.

“Bisa aja kamu nyari alasan“ ucapku sambil memukul helmnya.

Mas Sena memarkir motornya di tempat yang sama dan kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

“Langgar Watubumi.. leluhur kami menyebut tempat itu dengan nama itu” cerita Mas Sena.

“Memangnya Dalang ada kewajiban untuk semedi di tempat seperti ini Nan?” Tanya Cahyo.

“Nggak juga, semedi di rumah juga bisa. Tapi semakin dekat dengan alam, mereka akan semakin mengerti maksud dari keseimbangan yang tersirat di lakon pewayangan...” Balasku.

“Ucapan mas Danan benar, lagipula tidak harus dalang yang semedi disini. Hanya sedikit leluhur saya yang menjadi dalang dan sisanya tetap sering ke tempat ini untuk meminta petunjuk kepada Yang Maha Pencipta” Cerita Mas Sena.

Kami mulai memasuki jalur hutan yang lebat. Mas Sena sudah bersiap dengan peralatan untuk menembus hutan. Mulai dari parang untuk menebas ranting dan senter kepala untuk memperjelas penerangan.

Semakin ke dalam, semakin banyak dedaunan menutupi langit. Hanya sedikit cahaya yang berhasil menembus ke kedalaman hutan ini. Bahkan jalur untuk berjalanpun sudah tidak berbentuk.

“Mas Sena, kita di jalur yang benar?” Tanya Cahyo.

“Nggak tahu..”

Sontak aku dan mas Cahyo berhenti dan menatap kearah Mas Sena.

“Berarti dari tadi kita tersesat?” tanya kami sambil menatap dengan kesal ke arah Mas Sena.

“Hihi... bisa jadi” jawabnya santai.

“Tapi eyang pernah bilang, hutan ini hanya mengarah ke satu tempat. Tinggal mana yang lebih kuat, kesiapan mental kalian, atau panjangnya perjalanan menuju ke langgar watubumi” Jelasnya.

Aku mencoba mempercayai ucapan Mas Sena. Sepertinya Cahyopun juga mengerti maksud dari petunjuk itu. Sayangnya, semakin dalam jalur yang kami lalui semakin gelap hingga kami harus menyalakan penerangan untuk menemukan tempat yang tepat untuk memijakkan kaki.

“Mati... jangan biarkan aku mati...” Samar-samar aku mendengar seperti suara bisikan yang tersamar oleh gesekan daun. Dari reaksinya, Aku menduga Cahyo dan Mas Sena juga mendengarnya.

“Aku tidak mau mati...” Suara itu terdengar dari sekeliling tempat kami berada saat ini.

“Demit alas?” tanyaku pada Cahyo.

“Nggak, bukan... ada bau manusia dari keberadaan mereka” balas Cahyo.

“Mas Cahyo bisa nyium bau setan?” tanya Mas Sena bingung.

“Kalau setanya bawa makanan bisa” balasku.
Seketika sarung kumal Cahyo mendarat tepat di wajahku.

“Lho kok protes? Emang salah?” tanyaku.

“Ya nggak sih, tapi jangan kenceng-kenceng ngomongnya”
Mas Sena sedikit tertawa melihat tingkah kami. Memang kami berusaha membawa perjalanan ini agar terasa lebih santai.

Terlebih suara tadi sudah merubah suasana hutan ini semakin mencekam. Suara tadi semakin dekat, dan bukan hanya suara dari satu makhluk. Seperti sosok makhluk-makhluk yang tersiksa oleh sesuatu.

“B...Bapak!”
Tiba-tiba Mas Sena berteriak saat melihat dari mana asal suara itu.

Kepala...
Hanya kepala yang bergelimpangan di tengah hutan. Tidak hanya kepala sosok yang disebut bapak oleh Mas Sena. Tapi juga ada banyak kepala lain yang tersebar disana.

“Bapak? Maksud Mas Sena, dia Ki Joyo Talun?” Tanyaku.

Mas Sena segera berlari menghampiri ayahnya itu.

“Bapak? Benar ini bapak?” ucap Mas Sena dengan wajah yang semakin terlihat cemas.

“Bapak tidak mau mati.. tolong bapak nang...” ucapnya merintih dengan kulit wajah yang mulai menghitam namun air mata tetap mengalir dari rongga matanya.

Mas Sena yang panik segera berdiri memastikan kepala siapa saja yang ada disana.

“I...ini, kepala dari anggota kelompok wayangnya bapak...” ucap Mas Sena.

“Bukan...” ucap Cahyo.

“Mungkin mereka kepala korban sinden setan itu...” Kami berdua menoleh kearah Cahyo. Ucapanya bisa jadi benar. Namun bagaimana kepala-kepala ini bisa terus hidup tanpa badan?

Dan bagaimana kepala ini bisa berada disini? Apa ada seseorang membongkar makam mereka?
Akupun membaca sebuah mantra untuk memastikan apakah sosok yang kami lihat ini merupakan ilusi, atau kepala-kepala ini hanyalah bagian dari roh mereka.

Sayangnya yang kami lihat saat ini benar apa adanya.

“Dendam sinden itu belum terpuaskan dengan hanya membunuh mereka” ucap Mas Sena dengan geram.

“Sinden-sinden itu ingin menyiksa mereka selama yang mereka bisa”

Mas Sena mulai menitikkan air mata. Walaupun ia tahu kenyataan bahwa ayahnya bersalah, ia tetap pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya sebelum gelap mata.

Suara rintihan terdengar saling bersahutan. Suaranya terdengar begitu pilu layaknya sebuah penyesalan yang tidak bisa terbayarkan. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menatap kegelapan hutan dan menanti hewan atau serangga hutan menggerogoti mereka.

“Apa ayahmu bisa diajak bicara?” tanyaku.
Mas Sena menggeleng.

“Sepertinya ulat sudah menggerogoti otaknya, ia tidak bisa berkata apapun selain merintih menyatakan kesakitanya” balas Mas Sena dengan sedih.

“Sudah Sena, berdiri! Kita selesaikan ini semua... sekarang perjuangan kita bukan hanya untuk melindungi mereka yang masih hidup, tapi juga untuk mereka yang sudah mati” ucap Cahyo berusaha menguatkan Sena.

Mas Sena berdiri dan mengusap air matanya. Ia menguatkan dirinya untuk meninggalkan kepala ayahnya disana dan melangkah kembali mencari pusaka yang bisa menghentikan semua tragedi ini.

“Putra sakti mandraguna.. Anta... Sena”

Mas Sena terhenti mendengar ucapan ayahnya itu, mungkin ia teringat akan kisah asal nama yang diberikan ayahnya itu, namun ia tidak menoleh. Tanganya tergenggam erat menguatkan tekadnya dan kembali melangkah.

Sena orang yang kuat... setelah ini kami harus mencari tahu bagaimana kepala-kepala mereka bisa berada di tempat ini. Saat ini hanya doa yang bisa kami hantarkan kepada seluruh jasad yang ada disini. Semoga mereka bisa segera terlepas dari kutukan sinden-sinden itu.

***

Suara gemericik air terdengar kembali dengan lebih jelas. Akhirnya hutan ini membentuk sebuah jalan yang mengarah ke suatu tempat.
Kamipun mempercepat langkah hingga tiba pada tempat yang didominasi oleh pasir dan bebatuan.

Terlihat beberapa tempat berbentuk seperti candi batu sederhana menyatu dengan aliran anak sungai.

“Di sini tempatnya?” tanyaku.
Mas Sena mengangguk sambil menoleh ke beberapa arah mencari kemungkinan dimana pusaka itu berada.

“Ada ruangan di bawah candi itu, air itu mengalir ke suatu tempat” ucap Cahyo.

Benar, tapi celah itu cukup kecil. Akan jadi masalah bila kami gagal keluar dari tempat itu.

“Nggak, terlalu beresiko kalau kita kesana” ucapku.

Kamipun mengecek beberapa tempat, termasuk ruangan semedi yang sering digunakan oleh leluhur Sena. Namun tidak ada satupun petunjuk.

“Nan, bukanya kamu bisa ilmu penarikan pusaka?” tanya Cahyo.

“Nggak, mutihin pusaka aku bisa. Kalau narik pusaka aku nggak bisa” Jawabku.

Mendengar jawabanku Cahyo segera mendekat ke celah kecil yang dialiri aliran sungai itu.

“Cuma ini kan satu-satunya yang belum kita coba?” ucap Cahyo yang segera merayap masuk kedalam celah itu.

“Cahyo! Jangan nekad kamu!” ucapku mencoba menahanya. Namun terlambat, Cahyo sudah masuk kesana.
Tepat setelah Cahyo masuk tiba-tiba langit menjadi gelap tertutup awan hitam. Sesuatu di tempat itu pasti berhubungan dengan semua ini.

“Cahyo! Sudah.. cukup! Keluar sekarang” teriakku, namun tidak ada balasan dari Cahyo.
Langit menghitam, suara gemuruh terdengar bersahutan. Namun bukan itu yang menjadi masalah. Dari salah satu sudut hutan terlihat sosok mendekat ke arah kami.

“Cahyo keluar! Ada yang mendekat!” ucapku.

Masih tidak ada jawaban.
Makhluk itu setinggi dua meter namun bentuk tubuhnya bungkuk dengan bulu menutupi sekujur tubuhnya. Ia berjalan mendekati kami dengan perlahan.

Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, namun satu yang aku tahu dengan pasti. Ia Marah...

“Jangan-jangan itu makhluk yang diceritakan leluhurku” ucap Sena.

Dari wujud dan auranya aku merasakan makhluk ini hidup ratusan tahun hingga berwujud seperti ini.

Dia bukan makhluk sembarangan.
Akupun mulai bersiap untuk menarik kerisku. Namun sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar suara dari celah candi.

“Danan! Kesini! Aman!” Ucap Cahyo.
Sena mengecek ke dalam, dan memastikan bahwa Cahyo benar aman disana.

Daripada harus menghadapi makhluk itu di tempat ini. Aku memilih untuk menyusul Cahyo dengan kemungkinan menemukan pusaka itu...

Benar ucapan Cahyo, celah itu hanya pintu masuk menuju sebuah jalur sungai di bawah candi.

Tempat yang begitu gelap dan semakin sulit untuk bernafas.

“Disana Nan...” ucap Cahyo.
Ia menunjuk ke sebuah celah seperti ruangan yang tertutup rapat oleh batu yang bertumpuk.

“Harus menggunakan alat berat untuk menggeser bebatuan ini” ucap Sena bingung.

“Coba saya pastikan dulu mas” Balasku.

Aku meminta Cahyo menjaga tubuhku sementara aku menarik Keris Ragasukma dari tubuhku dan menggunakan kekuatanya untuk memisahkan rohku dari raga.

Dengan wujud sukma, aku bisa mengecek ke dalam dan memastikan apa memang ada pusaka yang tersembunyi disana.
Dan benar saja, sebuah benda menyerupai sebuah seruling tersimpan dengan baik di tempat itu tanpa tersentuh oleh apapun.

“Ada.. ada seruling tua disana” ucapku tepat setelah kembali ke tubuh.

“Bisa jadi suara seruling itu bisa menetralkan nyanyian sinden itu. Tapi bagaimana cara kita masuk kesana?” ucap Mas Sena.

Cahyopun mengerti dan mengikat sarungnya ke pinggang.

“Minggir sebentar..” perintahnya, kamipun menurutinya walau Mas Sena terlihat binggung.

“Wanasura!!!” teriak Cahyo.
Seketika kekuatan besar menyelimuti lengan kananya.

Sebuah pukulan ditujukan kearah bebatuan itu hingga sebuah celah terbuka dengan lubang yang cukup untuk kami masuki.
Tanpa menunggu lama kami segera masuk ke celah itu. Namun Mas Sena masih tak bergerak di luar.

“Ada apa Mas Sena?” tanyaku.

“N...nggak, kalian ini sebenarnya siapa? Ilmu-ilmu tadi bukan ilmu yang bisa dimiliki manusia biasa” ucap Mas Sena.

Akupun menatap pada Cahyo mencari cara untuk menjelaskan semua dengan mudah.

“Kami cuma manusia yang diberikan ‘titipan’ oleh yang maha pencipta” jawab Cahyo sambil segera masuk ke dalam dan mencoba mengambil seruling itu.

Tepat saat seruling itu ada di tanganya Cahyo terjatuh lemas.

Namun sepertinya ia bisa mengendalikan tubuhnya dan segera kembali berdiri.

“Benar, ada kekuatan aneh di dalamnya...” ucap Cahyo.
Ia mencoba meniup seruling itu beberapa kali namun tidak terjadi apa-apa.

“Lha kamu niupnya begitu, aku yang denger juga pengen kabur jul..” ucapku.

“Uassemm.. nih, coba kamu kalau bisa” balas Cahyo.

“Biar saya saja” ucap Sena.
Ia mengambil seruling itu dan memainkan sebuah tembang jawa dengan merdu. Kali ini suasana berubah berbeda hawa dingin bertiup di sekitar kami.

Namun kami merasakan kegelisahan, entah itu berasal dari mana.

“…perasaan yang aneh, tapi mungkin saja ini berhasil” ucapku.

Sena memandang seruling itu, dia terlihat sedikit ragu. Namun tidak dapat kami pungkiri seruling itu memiliki kekuatan yang tidak biasa.

“Kita keluar sekarang... kita cari tahu diluar” ucap Cahyo.

“T..tapi di luar ada...”

“Tenang, biar diurusin sama Cahyo..” ucapku memotong perkataan Sena.

“Heh.. ada apaan di luar?” tanya Cahyo.

“Nggak, tadi ada burung beo berisik... Mas Sena sampai kesal” balasku.

Kamipun berhasil keluar dengan selamat, namun langit di luar masih gelap dengan suara gemuruh yang menghiasinya.
Aku dan Sena mencari keberadaan makhluk tadi, namun kami lega saat sosok makhluk itu tidak lagi terlihat di dekat kami.

Sena memainkan sebuah lagu dengan seruling itu. Ia ingin mengetahui sebesar apa kemampuan yang dimiliki oleh pusaka itu.
Kami tidak dapat membantah besarnya kekuatan dari serulling itu, walau kami harus mencari tahu cara menggunakanya.

Tapi anehnya, tepat saat Sena menghentikan permainanya... hewan-hewan hutan seperti merasa cemas.
Sekumpulan gagak terbang membentuk lingkaran di langit yang tertutup awan hitam.
Sesuatu mendekat ke arah kami namun kami tidak bisa menemukan wujudnya.

Kami mulai panik dengan keadaan yang tidak bisa kami baca itu hingga sesuatu yang tidak kami sangka terjadi.
Mas Sena terjatuh..
Ia berusaha menahan sesuatu, entah menahan sakit atau menahan sesuatu yang mencoba merasukinya.

Sesekali Sena terbatuk dengan darah keluar dari mulutnya.
Aku segera mencoba mendekatinya dan membaca sebuah doa untuk menahan ilmu yang menyakiti tubuh Sena.

“Danan.. hati-hati, masih ada lagi yang mendekat” ucap Cahyo.

Entah muncul dari mana, tiba-tiba tubuh Sena sudah dikelilingi oleh ular. Akupun membopong tubuhnya untuk menjauhkanya dari sekumpulan ular itu.
Cahyo menatap ke satu arah. Aku tahu disana sudah ada sesuatu yang menanti kami. Seekor ular hitam dengan mahkota di kepalanya.

Saat semakin mendekat ular itu berubah menjadi sosok wanita tua dengan rambut putih menjuntai hingga ke tanah.

“khekhekhe... wis atusan tahun, akhire ono sing mangan umpan” (sudah ratusan tahun, akhirnya ada yang memakan umpan) ucap makhluk itu.

Cahyo memanggil kekuatan wanasura dan menerjang makhluk itu sebelum ia mendekat ke arah Sena. Namun aneh, semua seranganya tidak berhasil menyentuh makhluk itu. Sedangkan makhluk itu terus mendekat ke arah Sena.

Tak berhenti sampai disitu, tiba-tiba terdengar suara auman dari dalam hutan. Asal suara itupun langsung kami ketahui berasal dari sosok makhluk setinggi dua meter yang berlari ke arah kami.

“Jangan turunkan Sena, biar aku coba menghadapi mereka” Ucap Cahyo.

Aku tidak yakin, kekuatan makhluk itu saja membuatku merasa gentar. Cahyo akan dalam bahaya jika menghadapi mereka.

“Getih... getih cah nom isih sing paling tak senengi” (darah.. darah anak muda masih yang paling aku suka)

Tiba-tiba sosok nenek jelmaan ular itu sudah ada di belakangku menggigit lengan Sena.
Aku mencoba menendangnya, namun seranganku hanya menembus tubuhnya.

Akhirnya aku hanya bisa berlari mencoba menghindar sejauh mungkin, tapi dalam waktu sekejap nenek itu sudah kembali berada di belakangku.
Cahyo yang menghadapi makhluk besar itu terlihat aneh.

Beberapa kali ia memanggil kekuatan Wanasura, namun sosok kera pelindung hutan Wanamarta itu tidak muncul. Hal ini jarang terjadi sebelumnya..
Sosok makhluk itu mendekat, aku mencoba menghampiri Cahyo sambil menggendong Sena.

Tidak mungkin Cahyo menghadapi makhluk itu tanpa kekuatan wanasura.

“Kamu gendong Sena, biar aku yang mencoba menghadapi makhluk itu..” balasku.

Belum sempat kami berpindah posisi, tiba-tiba makhluk besar itu berbelok ke arah seruling pusaka yang dijatuhkan oleh Sena.

Kami tidak menduga makluk itu mengincar seruling pusaka itu. Sayangya kami tidak sempat mengejarnya hingga akhirnya benda itu hancur hanya dengan satu injakan.

“Danan..pusakanya!” ucap Cahyo yang kebingungan.
Akupun semakin panik. Tapi saat itu juga Mas Sena tersadar.

Semua kutukan yang membuatnya terluka menghilang. Nenek siluman ular itupun tak bisa lagi menyentuh Mas Sena dan menghilang perlahan.

“a...apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sena.

“Entah, sepertinya seruling pusaka itu yang menyebabkan kejadian tadi” jawabku.

Cahyo tak berhenti menatap makhluk besar yang berada di hadapanya.

“Kita saling kenal?” Tanya Cahyo tiba-tiba.

“Maksudmu apa Cahyo?” tanyaku pada Cahyo.

“Wanasura bukan takut, tapi wanasura mengenal makhluk ini..” Jelas Cahyo.

Makhluk itu mendekat kearah kami. Sebuah lengan kecil muncul dari perutnya dan menyibakkan sebuah kain besar. Seketika sosok raksasa itu menghilang dan berganti dengan sosok makhluk tua dengan bulu di sekujur tubuhnya.

Banyak bekas luka di tubuh makhluk itu, mulai dari yang kecil hingga yang besar tak tertutup oleh bulunya. Entah berapa pertarungan yang sudah ia lewati. Ia berjalan dengan lemah ke arah kami.

“Mungkin bagimu kita tidak bertemu selama beberapa tahun, tapi buatku kita tidak bertemu selama ribuan tahun” ucap makhluk itu.

“Seruling itu pusaka yang menyimpak kekuatan gelap, siapapun yang membangkitkan kekuatanya akan menjadi mangsa bangsa siluman yang tinggal di dimensi lain hutan ini” Jelasnya.

Aku mengerti, makhluk ini bermaksud menolong kami. Sosok besar dan kekuatan yang mengintimidasinya itu ternyata hanya sebuah penyamaran.

Aku melihat ke arah Cahyo, matanya terlihat seperti berkaca-kaca. Namun sosok makhluk itu malah berjalan ke arah candi yang kami masuki tadi. Ia memilih-milih dua buah batu berbentuk bundar dan membawanya ke arah kami.
Ia menepukkan kedua batu itu dengan keras.

Seharusnya suara batu yang berbenturan hanya bersuara sesaat. Namun tidak dengan batu itu, benda itu mengeluarkan suara gema yang dapat terdengar perlahan dalam waktu lama walau dengan suara yang kecil.

“Ini yang kalian butuhkan, gemanya mampu menghentikan pengaruh kutukan yang dihantarkan oleh suara.
Ketenangan air yang sudah mengalir ratusan tahun melalui batu itu menyimpan kekuatan alam yang murni hingga bisa menghasilkan kekuatan itu” Jelasnya.

“T...tunggu, pusaka yang kami cari adalah batu ini?” tanya Mas Sena.

“Batu itu bukan pusaka, semua batu disini mempunyai kemampuan yang sama. Hanya saja dengan bentuk bundar seperti itu suara yang dihasilkan akan menggema lebih lama” Jelas makhluk itu.

“Jadi ini maksud bentuk dua buah bentuk cakram di kain itu?”Ucap Mas Sena.

“Tuh Panjul, gambar itu bukan bahas motormu...” aku mencoba meledek.
Cahyo tidak merespon ledekanku. Ia masih terus menatap makhluk itu dengan ekspresi yang aneh.

“Cahyo, ada apa? Kamu benar kenal dia?” tanyaku.

“Licik! Dia makhluk terlicik dan terpintar yang pernah kukenal.. telik sandi dari kawanan kera hutan wanamarta. Giridaru..” ucap Cahyo.

“Apa kera wanamarta berumur ribuan tahun?” tanyaku pada mereka.

Makhluk bernama Giridaru itu mendekat.

“Aku sudah mati, menjaga pusaka itu mencelakai makhluk lain adalah tugas terakhirku. Yang kalian lihat saat ini hanya sisa sukmaku” Ucapnya.

“Wanasura masih ada disini, Kliwon ada di rumah.. tapi rohnya terhubung dengan wanasura” ucap Cahyo sambil menunjuk dadanya.

“Hahaha... kliwon lagi tiduran di atap rumah, senyumnya tidak berubah. Sampaikan salamku pada saudaramu ya wanasura” ucap Giridaru sambil menyentuh dada Cahyo.
Saat ini aku merasakan perasaan yang meluap-luap dari Wanasura yang berada di tubuh Cahyo.

Seperti ada ikatan antara mereka dan makhluk bernama Giridaru ini.

“Jadi kalian memang sudah ditakdirkan..” ucap Giridaru yang berganti mendekat ke arahku.

“Maksud tuan Giridaru apa?” tanyaku mencoba sopan.

“Widarpa leluhurmu, dia sudah tenang kan?” Giridaru kembali bertanya.

“I..iya, bagaimana anda bisa kenal eyang widarpa” tanyaku bingung.

“Aku hidup bersamanya di hutan saat ia kecil hingga akhirnya ia memutuskan keluar dari hutan dan setia kepada rajanya” jelasnya.

“J..jangan-jangan, bocah gondrong yang bertarung bersama kita di hutan itu... Eyang Widarpa?!” tanya Cahyo kaget.

Giridaru tersenyum lebar tanpa berkata sedikitpun.

“T...tunggu, kamu pernah ketemu eyang waktu kecil?” Tanyaku bingung.

Cahyopun bercerita kejadian saat ia mendapatkan kekuatanya. Ia tersesat di alas wetan dan terlempar ke hutan dimana ia bertemu Giridaru dan bocah berambut panjang. Ia sudah menduga sendang itu melemparkanya ke tempat yang berselisih waktu begitu jauh.

Sena yang mendengar cerita Cahyopun setengah tidak percaya.

“Sejauh itu takdir kita sudah dipersiapkan?” ucapku.

“Takdir yang kalian jalani masih panjang, dan tugasku kalian yang akan meneruskan... Aku pamit” ucap Giridaru.

“Secepat ini?” protes Cahyo.

“Malah seharusnya tidak ada pertemuan ini kan?” Balas Giridaru.

“Tidak ada kata-kata terakhir untukku?” Giridaru setengah berpikir..

“Jangan biarin kliwon lapar, dia galak kalau lapar..” ucapnya.

“Dan untuk keturunan sahabatku widarpa, berbagai kisah tentangnya akan muncul sedikit-sedikit di mimpimu.. semoga itu bisa membantumu menghadapi setiap kesulitanmu” Itu adalah ucapan terakhirnya sebelum menghilang.

Aku memang tidak mengetahui dengan jelas siapa Giridaru itu. Tapi aku bisa merasakan perasaan yang dialami Cahyo saat bertemu denganya.

“Maaf ya Mas Sena, kita jadi harus menunggu lama” ucap Cahyo.
Mas Sena menggeleng.

“Jadi cerita di pewayangan itu benar-benar terjadi?” tanya Sena.

Aku dan Cahyo saling bertatapan dan tertawa.

“Mungkin saja, mungkin terjadi di masa lalu.. atau terjadi di alam lain. Yang pasti pasti ada suatu hal yang membuat semua cerita di pewayangan itu bisa sehidup itu” Jawabku.

Kamipun kembali meninggalkan Langgar Watubumi tanpa membawa pusaka apapun, dan hanya membawa sepasang batu.
Iya batu...
Sebuah benda dari alam yang tidak pernah kami sangka akan menjadi jalan keluar kami menghadapi Sinden-sinden pengabdi setan yang mengancam nyawa warga desa.

Kini tinggal kami mencari rencana dan memohon keikhlasan Yang Maha Kuasa untuk menghadapi sosok makhluk-makhluk yang menjebak manusia dalam kesesatan. Sosok cantik yang bila dilihat dengan nafsu... Namun sosok menjijikkan bila dilihat dengan hati..

Suaranya tidak lagi membawa keindahan, tapi membawa sebuah dendam yang menghantarkan pendengarnya kearah kematian. Sosok makhluk terkutuk sinden-sinden pengabdi setan..
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Cuplikan (Part 5) - Joko Garu
Dengan berbekal batu yang dapat menangkal kutukan Danan dan Cahyo menghadapi sinden-sinden yang datang mengutuk desa lagi..

Mereka harus bertarung melawan Joko Garu yang konon selalu melindungi sinden yang mengabdi pada setan..

Namun ternyata ada kisah kelam dibalik sosok yang ia lawan. Apakah itu akan menjadi jalan keluar permasalahan ini?
close