Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINDEN PENGABDI SETAN (Part 3) - Penyesalan di ujung harap

Mbah Jurip yang seharusnya membantu warga desa malah memilih untuk menjadi pengikut sinden terkutuk itu.. kini ia mengincar Baskoro untuk membalaskan dendam Nyai Lindri.


JEJAKMISTERI - Angin berhembus dengan kencang pada malam itu. Secepat mungkin aku kembali ke desa Gendis untuk memastikan kondisi disana.
Suasana terlalu tenang di sana, sepertinya warga sudah mulai beristirahat.

Hanya satu tempat yang terlihat masih ada aktifitas saat itu, balai desa.
Mungkin warga dan keluarga jenazah masih berjaga disana untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Beruntung, mas Jatmiko masih bisa kami temui disana.

Kami segera mengistirahatkan Pak Pram ayah Gendis di balai desa agar segera mendapatkan perawatan dari mereka yang masih berada di sana.

“P—pak Pram?! Apa yang terjadi?” Tanya Jatmiko yang masih setengah menahan kantuknya.

“Nanti akan kami ceritakan, yang terpenting dimana Mbah Jurip?” Tanyaku.

Mas Jatmiko melihat ke arah sekitar, ia menatap ke sebuah tikar yang sudah kosong dengan bekas seseorang yang menidurinya.

“T—tadi Mbah Jurip di sini!“ Ucap Jatmiko denganwajah yang kebingungan.

“Kita cari nan! Dia pasti merencanakan sesuatu..” Ucap Cahyo.

Jatmiko terlihat bingung melihat kepanikan kami.

Kamipun menceritakan tentang kejadian semalam saat Mbah Jurip menjadi pengikut sinden pengabdi setan itu dan mencoba membunuh Ayah Gendis untuk membuktikan kesetiaanya.

“Maksudnya, sinden yang mengutuk desa ini bukan hanya Nyai Lindri?” Tanya Jatmiko.

“Benar, kejadian Nyai Lindri berhubungan dengan sejarah kelam desa ini. sekarang yang terpenting kita mencari Mbah Jurip dulu sebelum ia mencelakai warga desa” Balasku.

Kami dan beberapa warga yang masih terjaga mengecek setiap rumah di desa, namun keberadaan Mbah Jurip tidak ditemukan. Yang kami bisa saat ini hanyalah meminta warga untuk menutup pintu rapat-rapat dan memberi informasi bila melihat kemunculan Mbah Jurip.
Aku melihat waktu saat ini menunjukkan pukul tiga pagi.

Kamipun memilih untuk istirahat di balai desa sambil berjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Gendispun menemani ayahnya yang juga sedang di rawat di balai desa.

***

Pagi datang, warga sudah disibukkan dengan pemakaman jenazah korban kutukan sinden kemarin.

Aku mencari informasi apakah ada petunjuk mengenai keberadaan Mbah Jurip, namun tak ada satupun warga yang melihatnya.

“Apa mungkin yang diincar oleh Mbah Jurip tidak ada di desa ini?” Ucap Cahyo sambil berpikir.

Ada benarnya ucapan Cahyo, bisa jadi Mbah Jurip merencanakan hal lain.

“Mas Jatmiko, kira-kira apa ada orang lain yang diincar sinden itu selain warga desa?” Tanyaku pada mas Jatmiko.

Mas Jatmiko berpikir sebentar, ia sepertinya teringat akan sesuatu.

“Pak Baskoro... ia melarikan diri dari desa saat dukun-dukunya gagal menahan kutukan Nyai Lindri” Ucap Jatmiko.

“Mas Jatmiko tau pak Baskoro di mana?” Tanyaku.
Jatmiko menggeleng.

“Tidak tahu mas, lagipula biarin aja kalau orang seperti Baskoro mendapat ganjaranya” Ucap Jatmiko dengan wajah yang kesal.

“Nggak begitu mas, sejahat apapun Baskoro dia tetap manusia..“ Ucap Cahyo.

“Dia penyebab ini semua mas! seandainya ia tidak memperlakukan Nyai Lindri dengan seperti itu Kutukan ini tidak akan bangkit” Wajah Jatmiko terlihat geram.

“Kalau Baskoro Mati lalu apa? Apa kutukan ini selesai? Lalu apa yang terjadi dengan roh Baskoro yang tidak tenang?
Bagaimana kalau anggota keluarganya menuntut balas dengan ilmu hitam?” Ucap Cahyo yang mulai kesal dengan jawaban Jatmiko.

Aku mengerti kekesalan Jatmiko dan menahan emosi Cahyo, walaupun sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan oleh Cahyo.

“Mas Jatmiko, kalau sampai Pak Baskoro mati di tangan setan itu, artinya setan itu menang. Keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Percayalah, hukuman dari Yang Maha Kuasa lebih bijak daripada apapun” Ucapku.

Jatmiko masih terlihat kesal, namun sepertinya ia menerima pendapatku.

“Kemungkinan dia ada di desa sebelah, desa tempat sanggar Ki Joyo Talun berada. Dia pasti meminta pertolongan dari dukun-dukun yang pernah bekerja sama dengan Ki Joyo Talun” Ucap Jatmiko yang akhirnya jujur.

Cahyopun segera berdiri mengemasi barang-barangnya.

“Mas, tolong gambarkan kami arah ke desa itu..” ucap Cahyo.

“Saya antar saja mas, saya ambil motor dulu...” Balas mas Jatmiko.

Kami menitipkan Pak Pram dan Gendis kepada warga desa yang ada disana dan menghampiri desa tempat padepokan Ki Joyo Talun berada.

***

Desa Tarujaya..
Sebuah gapura yang cukup besar menyambut kami bertiga saat memasuki desa tujuan kami. sebuah desa yang cukup ramai bila dibandingkan desa Jatmiko tadi.
Sebuah bangunan joglo yang besar terlihat dengan jelas di tengah desa.

Bangunan itu terlihat itu begitu mencolok dengan ukurannya yang paling besar diantara bangunan lainya, sayangnya tempat itu terlihat begitu sepi.

“Apa itu padepokanya Ki Joyo Talun?” Tanyaku pada Jatmiko.

“Iya mas, dia dalang terpandang di tempat ini. entah, setelah kepergianya siapa yang akan meneruskan padepokanya itu” Ucap Jatmiko.

Kamipun berjalan menuju tempat itu sambil sesekali menyapa warga desa yang belalu lalang.

Masih terlihat banyak bendera merah berkibar di beberapa sudut jalan menandakan baru saja ada yang meninggal di desa itu. Yang menyedihkan sepertinya korbannya cukup banyak.

“Total ada berapa orang yang meninggal mas Jatmiko?” tanya Cahyo.

“Ada dua belas orang yang meninggal dalam satu malam. Mereka para anggota pementasan Ki Joyo Talun” ucap Jatmiko.

“Apa ada yang selamat?” tanyaku.

“Ada, nanti kita akan bertemu mereka di padepokan” Balas Jatmiko.

Kami memasuki halaman rumah joglo yang besar dengan ukiran-ukiran kayu mewah menghiasi bangunanya. Cahyo terhenti tepat saat akan memasuki halaman seolah menyadari sesuatu.

“Ada sesuatu yang besar tersembunyi di rumah ini” Ucap Cahyo.

Aku juga menyadarinya, ada mantra yang mengelilingi bangunan ini. Mungkin saja orang-orang pintar dari kelompok Ki Joyo Talun benar-benar bisa melindungi tempat ini.

Tidak hanya itu, akupun melihat sisa-sisa serangan yang residunya masih terlihat dengan jelas di sekitar halaman.

“Kulo nuwun... Permisi” aku mencoba sesopan mungkin memasuki tempat ini berharap ada yang keluar menemui kami.

“Permisi...” ucapku memanggil dengan cukup keras, namun sayangnya tidak ada jawaban sama sekali.

“Apa tidak ada orang di dalam? Mungkin sebaiknya kita tanyakan ke kepala desa..” Ucap Jatmiko.

“Nggak mas, di dalam banyak orang. Mereka sedang mengamati kita” Jawab Cahyo.

Sepertinya Jatmiko bingung dengan jawaban Cahyo, tapi akupun menyadari ada beberapa orang yang mengintip dari balik jendela.
Merasa perlu melakukan sesuatu, Jatmikopun maju menghampiriku dan ikut mengetuk pintu dengan keras.

“Pak Baskoro! Bapak disini kan? Tolong keluar sebentar, ada yang harus kita bahas” Teriak Jatmiko.

Tetap saja tidak ada yang menjawab panggilan Jatmiko. Sebaliknya aku mulai merasa hal aneh saat itu.

Aku merasakan ada sesuatu yang mengelilingi kami namun kami tidak melihat ada makhluk lain di sekitar kami.
Aku dan Cahyo mulai waspada, sampai akhirnya tiba-tiba Jatmiko berteriak dengan menunjuk ke arah langit-langit tepat di atas kami.

“U—Ular mas!” Ucap Jatmiko yang mulai ketakutan.
Seekor ular besar melilit diatas langit-langit rumah dengan kepalanya yang seolah sudah bersiap menerjang ke arah kami.

Jelas kami tahu ular ini bukan ular biasa, seseorang yang mengirimkanya ke tempat ini seperti bertujuan untuk memantau atau menghalangi mereka yang di dalam untuk meninggalkan tempat ini.
Tak menunggu lama Cahyo membacakan sebuah mantra yang selalu membuatku sebal.

Ia mengibas-ngibaskan sarungnya sambil mengucapkan mantra itu.

“Mas.. mending kita jauh-jauh” Ucapku pada Jatimiko.

“Kenapa mas?“
“Udah percaya aja.. Itu ajian andalan Cahyo buat ngelawan makhluk seperti itu” ucapku sambil mencari sesuatu dari tasku.

Ajian itu tidak memiliki kekuatan perusak, namun lebih efisien untuk situasi saat ini.

“Mas... b—bau apa ini?” ucap Jatmiko yang wajahnya sudah berubah menahah bau dari ajianya Cahyo.
Aku tertawa sambil menutup hidungku.

“Itu ajian andalanya Cahyo, cocok buat ngusir hewan buas... baunya berubah-berubah, cocok banget kan sama yang bacain mantranya” Jelasku sambil meledek Cahyo.

“Heh ini namanya ajian pesona khayangan, Cuma yang suci dan berhati baik saja yang bisa tahan dengan ajian ini” balas Cahyo membela diri.

“Pesona khayangan kepalamu, kalau khayangan baunya begini aku tak nungguin di depan aja wis...”

Tapi memang, ajian ini selalu ampuh untuk mengusir hewan buas terutama kiriman seseorang. Tanpa adanya konfrontasi, si pengirim hewan itu tidak mengambil tindakan yang membahayakan kami.

Tidak butuh lama sampai ular besar itu pergi melalui langit-langit bangunan joglo ini hingga menghilang dari pandangan kami.

“Tuh kan ampuh, kamu juga harus belajar Nan...” ucap Cahyo.

“nggak usah, kamu aja..” balasku.

Saat mengetahui ular itu tidak ada lagi di sekitar rumah ini tiba-tiba suara kunci pintu kayu terdengar, dan seseorang keluar menemui kami.

“Mas Jatmiko?” seorang pemuda muncul dengan membukakan pintu.

“Iya Mas Sena, kami mencari Pak Baskoro. Kemungkinan ada seseorang yang berniat mencelakai dia" Ucap Jatmiko.

“Mbah Jurip ya?” balas seseorang yang ternyata bernama Mas Sena itu.
Aku dan Cahyo saling berpandangan, ia sudah tahu tentang Mbah Jurip.

Kami berkesimpulan serangan semalam adalah perbuatan Mbah Jurip yang kesini terlebih dahulu saat kami masih melawan sosok sinden setan itu.
Mas Sena menoleh ke pada kami dan mas Jatmiko segera menjelaskan maksud keberadaan kami ke tempat ini.

“Benar pak Baskoro ada disini, mari masuk dulu...” Ucap Mas Sena.

Kami segera masuk ke dalam pendopo joglo besar itu, isi bangunanya tertata dengan rapi oleh berbagai instrumen gamelan dan peti-peti yang digunakan untu menyimpan wayang.

Dinding-dindingnya pun tak luput dari hiasan yang terbuat dari kulit hewan.
Aroma kemenyan tercium dari berbagai sudut tempat ini. Kami memang sudah tau, sedang ada beberapa orang yang sedang melakukan ritual di rumah ini.

Mas Sena mengantarkan kami ke ruangan yang cukup besar disana. Ada dua orang dengan pakaian menyerupai dukun dan seorang pria berpakaian rapi dengan wajah yang cemas. Aku menduga dia adalah pak Baskoro.

“Mau apa kalian kemari?!” Ucapnya tanpa ada sikap ramah sama sekali.

“Mohon maaf pak, kami kesini untuk membantu pak Baskoro.. Mbah Jurip yang sudah menjadi pengikut sinden itu pasti mengincar pak Baskoro” Jelasku.

“Kalian tidak usah ikut campur! Kedua dukun ini bisa dengan mudah mengalahkan suruhan sinden itu” Ucap Baskoro.

Bukanya menjawab, Cahyo malah berkeliling ke kedua dukun itu dan mengintip tungku yang mereka gunakan untuk membakar kemenyan.

“Yang satu peganganya kucing hutan, yang satu lumayan peganganya gagak siluman... tapi jelas gak mungkin ngalahin Mbah Jurip, apa lagi sinden itu..

Uwis nan, kita tinggal aja. Kita nonton aja” Ucap Cahyo sambil meledek kedua dukun yang mencoba melindungi Baskoro.

Jatmiko terlihat heran dengan tingkah Cahyo. Padahal sebelumnya ia tahu bahwa Cahyo yang bersikeras ingin membantu pak Baskoro.

“Kurang ajar, kalian meremehkan mereka?!” Teriak pak Baskoro tidak terima.

“Bapak yang tidak sadar, kedua dukun itu sudah setengah mati gara-gara serangan semalam. Kalau Cuma mengandalkan mereka, mending saya bantu warga nyiapin keranda jenazah lagi” Ucap Cahyo dengan santai.

“Bocah sombong, apa yang pegangan kamu sampai berani meremehkan mereka” Tantang Pak Baskoro.

Tangan Cahyo mengangkat satu jarinya ke arah atas.

“Gusti Allah..”

***

Kamipun pergi meninggalkan mereka yang terus sibuk melakukan ritualnya. Mas Sena terus menemani kami, sepertinya ia juga memiliki sesuatu untuk diceritakan.

Ternyata Mas Senalah yang seharusnya secara resmi mewarisi padepokan ini, namun karena pengalamanya masih kurang dan masih dalam masa berkabung segala sesuatunya masih dipegang oleh sisa anggota wayang Ki Joyo Talun.

“Terus mas-masnya gimana setelah ini?” Tanya Mas Sena.

“Kita ijin bermalam disini Mas Sena, nanti malam pasti ada serangan lagi. Kita baru turun tangan ketika kedua dukun itu sudah tidak berdaya” Jawabku.

“T—tapi, kalau bisa jangan sampai kedua dukun itu mati mas..” Pinta Mas Sena.

Dia bercerita, kedua dukun itu sebenarnya adalah gambuh yang memang bertugas menjaga pemain yang kadang sering mendapat gangguan. Walau seperti itu, pengalamanya masih di atas orang pintar pada umumnya. Pak Baskoroloah yang memaksa mereka untuk menjadi pelindungnya.

“Mereka sudah seperti saudara saya sendiri, sama seperti anggota yang lain” Ucap Mas Sena.

“Tenang mas, kami mengerti.. akan kami jalankan amanah Mas Sena” Balas Cahyo.

Kami menunggu ruang yang berbeda dengan pak Baskoro.

Mas Sena juga menyambut kami dengan baik walaupun kami tidak saling kenal sebelumnya.

“Mas Sena nggak curiga sama mereka? Jarang-jarang ada orang asing yang disambut dengan baik seperti ini di padepokan ini” Tanya Jatmiko.

“Saya ingat sama motor vespa itu mas..” Ucapnya.

Aku dan Cahyo saling bertatapan, apa Mas Sena pernah bertemu dengan Cahyo sebelumnya?

“Waktu saya kecil, saya pernah dianterin naik motor vespa itu waktu di desa Kandimaya” Ucapnya.
Desa Kandimaya adalah tempat pertama kali aku bertemu dengan Cahyo waktu kecil.

Dulu desa itu adalah desa penghasil dalang dan pemain wayang pada jamanya.
Aku ingat, dulu waktu kecil paklek pamer kepadaku saat menaiki vespa itu. Namun lambat laun aku diberi tahu, bahwa vespa itu adalah milik kepala desa yang dipinjam paklek.

Sampai akhirnya vespa itu diberikan kepada paklek karena sudah sangat membantu desa itu.

“Mas Sena pernah ke desa kandimaya?” Tanyaku yang mulai tertarik dengan ceritanya.

“Iya mas, saya nggak mungkin lupa motor vespa punya kepala desa kandimaya dengan nomor antik begitu.
Dulu bapak belajar wayang sebentar disana sebelum berkeliling dan membangun padepokanya sendiri disini” Jelasnya.

Aku segera mengacak-ngacak rambut Cahyo.

“Ada gunanya juga kamu ngerawat si mbah” Ledeku.

“Wis dibilangin.. benda milik orang hebat pasti punya pengalaman hebat” Jawabnya sambil mengunyah kacang yang disajikan Mas Sena.

Dari ucapanya aku tahu bahwa itu adalah ungkapan kekagumanya pada paklek.

Hari itu kami habiskan dengan saling bercerita tentang cerita wayang yang ia pelajari dari desa kandimaya hingga beberapa adaptasi wayang yang membawa ayahnya Ki Joyo Talun menjadi dalang yang dipandang.

Sayangnya ketenaranya membuatnya menjadi gelap mata, ia memperistri beberapa sinden hingga mengincar istri sahabatnya pak Baskoro.

Nafsu Ki Joyo Talun bertemu dengan keinginan Baskoro untuk memperistri salah seorang penari di sanggar Ki Joyo Talun sehingga mereka merencanakan siasat untuk memenuhi nafsunya.

Baskoro menuduh Nyai Lindri berselingkuh dengan Ki Joyo Talun dan mengusirnya dari rumah agar ia bisa memperistri penari itu dengan bantuan Ki Joyo Talun.

Mas Sena melihat kejadian saat ayahnya berusaha mengajak Nyai Lindri menjadi istrinya mulai dengan rayuan hingga cara kasar. Namun Nyai Lindri tetap pada pendirianya.
Mas Sena tidak tahu dengan jelas apa yang ayahnya perbuat hingga Nyai Lindri memutuskan untuk bunuh diri.

di satu sisi ia mengutuk perbuatan ayahnya, di satu sisi ia merasa harus menyelesaikan apa yang telah diperbuat oleh ayahnya.

“Aku jadi ingat kisah tentang Wibisana, dia memilih jalan yang berbeda dari saudaranya demi kebaikan” Ucapku mencoba menggambarkan apa yang Mas Sena perjuangkan saat ini.

“Terima kasih mas, saya tersanjung” Jawabnya.

“Ceritane piye nan? Kok aku ora ngerti?” (Ceritanya gimana nan? Kok aku nggak tahu) Tanya Cahyo.

Akupun tertawa dan mencoba menceritakan itu pada Cahyo dibantu oleh Mas Sena yang lebih mengingat cerita itu lebih detail dari pada aku.

***

Hari mulai malam, kami sudah merasakan kedua dukun yang menjaga pak Baskoro sudah bersiap dengan semua ilmunya. Kamipun berjaga-jaga menyambut kedatangan Mbah Jurip yang sudah menjadi pengikut sinden pengabdi setan itu.

Mas Sena sudah memperingatkan warga untuk tidak keluar rumah saat matahari terbenam sehingga desa terasa begitu sepi.
Di tengah keheningan, tiba-tiba terdengar dentuman besar dari arah atap rumah. sesuatu seperti beradu dengan pelindung yang dipasang oleh dukun itu.

“Mas, itu suara apa?” Tanya Jatmiko yang penasaran.
Dia mencoba untuk mencari tahu, tapi aku menahanya untuk berdiri.

“Mas Jatmiko dan Mas Sena, mulai saat ini jangan keluar dari rumah sebelum saya ijinkan” Ucapku.

“Memangnya itu apa mas” Tanya Jatmiko.

Cahyo mengintip dari celah gorden dan bersiap mengambil sarungnya.

“Banaspati.. Mbah Jurip benar bukan dukun sembarangan” Jawab Cahyo.

Kamipun memutuskan untuk keluar ruangan dan pintu depan terlihat sudah terbuka lebar dengan kedua dukun yang berdiri disana.

“Pak Baskoro, jangan sekalipun keluar dari bangunan ini” Ucap Salah seorang dukun itu.

Sayangnya ia sendiri sudah terlihat terluka menahan serangan banaspati yang menyerang rumah ini. sesuai rencana awal, kami menunggu hingga pertarungan mereka selesai dulu baru turun tangan.

Aku memperhatikan dari sisi jendela, Mbah Jurip kini penampilanya sangat berbeda. Tubuhnya lebih gagah seolah mendapat kekuatan yang baru.

“Baskoro, lebih baik kamu keluar... dua dukun ini tidak akan mampu mengalahkanku” Ucapnya sambil tertawa sombong.

Ucapan Mbah Jurip benar, itu dapat dipastikan dari kedua dukun yang tidak berani membalas ucapan Mbah Jurip.
Kedua dukun itu membaca mantra dengan masing-masing keris di genggamanya.

Dari keris itu terlihat bayangan sosok makhuk berwujud kucing besar berwarna hitam dan makhluk bersayap menerjang ke ara Mbah Jurip.
Mbah Jurip terlihat waspada, ia juga mengeluarkan kerisnya berusaha membaca dari mana makhluk kiriman kedua dukun itu akan datang, dan tepat saat akan menyerangnya. Sebuah libasan ekor ular besar mementalkan kedua makhluk itu.
Tak cukup sampai di situ, sosok ular itu tiba-tiba muncul di dekat makhluk andalan kedua dukun itu dan memakanya.

Saat itu juga darah bermuncratan dari mulut kedua dukun yang melindungi Baskoro.
Kami bersiap keluar menghampiri kedua dukun itu dan menariknya masuk ke dalam.

“Sudah Mbah Jurip! Mengikuti Sinden itu cuma akan membuatmu sengsara! Kembalilah, kami akan melindungimu” Ucapku.

“Khekehkehe... Dasar bocah! Kalian tidak mengerti apa-apa!” ucapnya sambil tertawa.

“Kami sudah tahu, kamu terpaksa jadi pengikut sinden itu agar tidak dibunuh kan? Sudah mbah.. hentikan sebelum terlambat,” ucapku.

Mbah Jurip malah tersenyum semakin lebar.

“Tidak ada penyesalan dalam keputusanku, Sinden itu memberikan semua yang aku inginkan... termasuk dia..”

Setelah ucapan Mbah Jurip, tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian sinden dengan dandanan yang menawan menghampiri Mbah Jurip.

Parasnya terlihat begitu cantik bak bidadari, hampir tidak ada cacat sedikitpun dari kecantikanya. Kulitnya putih menawan semakin indah dipandang dengan kebaya hijaunya yang tembus pandang.
Ia berjalan dengan anggun dan menggandeng Mbah Jurip seolah patuh melayani Mbah Jurip..

“D—dik Lindri, itu kamu?”
Dari dalam rumah Pak Baskoro terkesima menatap sosok perempuan yang ia kira adalah seseorang yang ia campakkan hingga mengorbankan nyawanya.
Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan.

“Benar... itu, itu Nyai Lindri..” Ucap Jatmiko heran.

Sepertinya ia juga terkesima dengan kecantikan wanita di hadapanya itu.

“Khkehkehekeh...” Mbah Jurip tertawa dan memeluk Nyai Lindri dari belakang.

“Dengan menjadi pengikutnya, wanita cantik ini sekarang menjadi milikku. Ia sepenuhnya menuruti perintahku..” Mbah Jurip dengan bangga memamerkan Nyai Lindri yang sangat patuh kepadanya.

Di hadapan Baskoro yang terkesima dengan penampilan istrinya itu, Mbah Jurip merangkulkan kedua tanganya di pinggang indah Nyai Lindri dan mengecup bibirnya. Aku melihat wajah Pak Baskoro mulai terbakar api cemburu.

Tak hanya itu, Mbah Jurip melepas kasutnya dan memberi isyarat ke Nyai Lindri.
Tanpa ada bantahan Nyai Lindri yang cantik bak bidadari itu segera berlutut dan mencium kaki Mbah Jurip.

“khe..khe..khe... dengan perempuan secantik dan sepatuh ini, kalian pasti tahu apa yang akan kami lakukan untuk menghabiskan malam ini” Ucapnya dengan bangga.

“Hentikan! Kembalikan Istriku!” teriak Baskoro yang berlari keluar, tak tahan dengan api cemburu setelah melihat kecantikan Nyai Lindri.

“Khe...khe..khe... Istri? Guooblokkk! Kamu lupa atas apa yang kamu lakukan padanya?!” Ucap Mbah Jurip.
Seketika aku mulai mengerti apa rencana Mbah Jurip.

“Pak Baskoro! Jangan terpengaruh! Kembali ke dalam!” Ucapku, namun sama sekali tidak dihiraukan olehnya.

Aku membacakan doa untuk menampakan wujud asli dari makhluk yang menyerupai Nyai Lindri itu. Anehnya, itu tidak berhasil. Sebaliknya Nyai Lindri malah menoleh ke arahku dengan senyumanya yang manis.

“Gagal Nan?” Tanya Cahyo.

“I-iya, apa mungkin dia beneran Nyai Lindri..” Ucapku yang masih belum mengerti.

“Nggak mungkin Nan...” Jawab Cahyo, tapi sepertinya ia juga terdengar ragu.

Pak Baskoro yang telah diliputi rasa penyesalanya terus memandangai Nyai Lindri.

“Dek, ini mas Baskoro.. maafin mas ya, kita pulang” Ucap Baskoro memohon.

“Jangan pak, dia bukan Nyai...” aku mencoba menghentikan pak Baskoro, namun dia mendorongku mundur menjauh darinya.

“Mas, berikan apa saja dik.. tapi mas mohon kembali sama mas” sepertinya Pak Baskoro sudah terbawa hawa nafsu atas kecantikan Nyai Lindri.

“Khe..khe..khe... berani-beraninya kau, sudah lindri.. kita pergi aku ingin mendengar suara merdumu di atas ranjang yang bertabur bunga malam ini” Ucap Mbah Jurip yang kutahu tujuanya adalah membakar emosi Baskoro.

Seketika kekesalan Baskoro tidak tertahankan, ia berlari menerjang Mbah Jurip. Aku mencoba menahanya namun tiba-tiba ular peliharaan Mbah Jurip menghalangiku dan Cahyo.

Saat semakin dekat dengan Mbah Jurip tiba-tiba Nyai Lindri berbalik dan menatap wajah Baskoro.

Saat itu juga Baskoro mematung menatap keindahan wajah seseorang yang pernah menjadi istrinya itu.

“D—dik, aku mohon dik.. kembali jadi istriku lagi..” Baskoro memohon.

“Agar apa? Agar kamu bisa menikmati tubuhku yang indah ini lagi?” Ucap Nyai Lindri sambil menurunkan tanganya dari dada hingga kepingangnya.

Baskoro hanya menelan ludah melihat pemandangan memukau itu.

“Agar kamu bisa merasakan lembutnya kulit ini ?” Nyai Lindri mengusapkan tanganya ke pipi Baskoro dan mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan Baskoro. “Dan agar kamu bisa menikmati merahnya bibir ini lagi”

Terlihat Baskoro sudah tidak mampu menahan nafsunya dan mencoba memeluk Nyai Lindri, namun Nyai Lindri mengelak dengan cepat tanpa sempat tersentuh oleh Baskoro.

“Kalau kamu jadi setan, mungkin aku baru mau mempertimbangkan permintaanmu” ucap Nyai Lindri.

“Lindri.. sudah jangan lama-lama, kita lanjutkan permainan kita tadi siang” Ledek Mbah Jurip.

Dengan beberapa serangan, Cahyo bisa mengalahkan dengan mudah ingon berwujud ular yang menghalangi kami dan kami segera menghampiri Baskoro.

Sebelum kami sampai ke sana, sekali lagi Nyai Lindri mendekat ke wajah Baskoro.

“Besok akan aku ceritakan apa saja yang sudah Mbah Jurip lakukan kepadaku”

Wajah Baskoro merah padam, namun Mbah Jurip segera menarik paksa Nyai Lindri dan membacakan sebuah mantra.

Seketika banaspati yang sedaritadi melayang-layang di atas rumah mendekat, dan jatuh di hadapan kami menimbulkan sebuah ledakan.

Beruntung kami berhasil menjaga jarak sehingga tidak ada luka yang berarti. Namun sosok Nyai Lindri dan Mbah Jurip menghilang dari hadapan kami.

Kami mengawasi sekitar rumah setelah kejadian itu, tetapi tidak ada tanda-tanda Mbah Jurip akan kembali sehingga kami memutuskan untuk masuk ke dalam untuk merawat luka-luka kedua dukun yang melindungi Baskoro.

“K—kalian bisa kan? Kalian bisa kan membantuku mendapatkan Nyai Lindri lagi?” Ucap Baskoro memohon pada kami.

“Tidak bisa pak, kami sendiri tidak yakin Nyai Lindri itu manusia atau setan” Jawabku.

“Tidak masalah, saya berikan apapun. Jangan sampai Nyai Lindri dinodai dukun brengsek itu” Ucap Baskoro yang seperti kehilangan akal sehatnya.

Aku dan Cahyo memutuskan untuk membiarkanya dulu hingga tenang sambil mencoba mengobati dua orang dukun yang terluka.

“Dek Lindri... jangan dek.. dek lindri...” berkali kali Baskoro mengucap nama istrinya itu.

Ia terus terlihat gelisah bahkan hingga saat kami memutuskan untuk beristirahat.

Kamipun mencoba menenangkanya dan berjanji akan mencari jalan keluar untuk memastikan siapa sosok wanita yang menyerupai Nyai Lindri itu.

Aku tidak ingat berapa lama kami tertidur sampai akhirnya kami terbangun dengan suara seseorang yang menggedor kamar kami.

Langit masih gelap, namun aku tahu sebentar lagi subuh akan datang.

Seseorang anggota pemain gamelan yang bertugas membersikah pendopo pagi itu berteriak memanggil siapa saja yang bisa ia temukan.

“Mas... Pak Baskoro Mas...” ucapnya.

kami yang terbangun dengan kegaduhan itu segera berlari ke kamar pak Baskoro. Sesuatu yang tidak kami sangka terlihat di hadapan kami.
Pak Baskoro terlihat tergantung di langit-langit dengan seutas tambang yang melilit di lehernya. Sebuah kertas tertinggal di dekatnya.

“Dik Lindri, membayangkanpun aku tidak sanggup bila mengetahui tubuhmu yang indah dinikmati dukun sialan itu. Sesuai ucapanmu, kalau aku jadi setan, kamu akan kembali padaku kan?”

Cahyo yang membaca sehelai surat itu merasa kesal dan melemparnya. Kami kalah di pertarungan ini.

“Goblok.. ini orang pikiranya cuma perempuan? Mau sekuat apapun kita kalau yang kita jagain orang yang otaknya di selangkangan begini tetep juga nggak bakal bisa selamat”

Cahyo terlihat emosi dan memukul dinding kayu kamar itu.

“Sudah Cahyo, dia sudah nggak ada... kita doakan dulu” ucapku mencoba menenangkanya.

Mas Sena dan anggota lainya membantu menurunkan jasad pak Baskoro dan merencanakan pemakaman yang layak untuknya.

Belum sempat matahari terbit, tiba-tiba jendela kayu di ruangan itu terbanting dengan keras. Terdengar suara alunan suara sinden yang menyanyi di bawah gelapnya langit itu.

Itu pemandangan yang mengerikan.

Sinden berwajah mengerikan yang kami lihat di pendopo dekat desa Gendis memimpin beberapa roh wanita dengan dandanan seperti sinden namun sebagian sudah berkeriput dan tak jarang wajahnya sudah menghitam seperti jasad yang sedang berjalan.

Salah satu diantara mereka adalah Nyai Lindri yang datang ke tempat ini semalam. Ia berdiri di sebelah sinden yang memimpin itu.

Mereka berdiri disana dengan tersenyum seolah merayakan kematian Baskoro.

“Nduk, satu dendamu pada laki-laki biadab itu sudah terbalaskan. Kini kita tuntaskan dendam kita pada warga desamu” Ucap salah seorang sinden yang memimpin itu.

Nyai Lindri sedikit menekukan kakinya menunduk memberi hormat pada sinden itu.

Setelahnya mereka memalingkan badan dan pergi dari penglihatan kami.

“M-Mas Danan, bagaimana ini? Kami bisa mati” Ucap Jatmiko ketakutan.

“Tenang mas, kita cari cara untuk menghentikan sinden itu” Ucapku mencoba menenangkan Jatmiko.

“Tapi kita belum tau cara menangkal tembang sinden yang hampir membunuh kita kemarin” Tambah Cahyo yang juga terlihat khawatir.

Mendengar perbincangan kami Mas Sena mendekat.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. ada yang mau saya ceritakan” Ucap Mas Sena.

Kami mengalihkan perhatian pada Mas Sena. Ia mengatakan mungkin ada sesuatu yang bisa membantu kami mengalahkan sinden itu.

“Keluarga kami memiliki pusaka yang mungkin bisa menahan tembang iblis sinden pengabdi setan itu” ucap Mas Sena.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Cuplikan (Part 4) - Langgar Watubumi
Tidak mudah untuk mendapatkan pusaka yang diceritakan oleh sena.
Hanya selembar kain batik dan informasi yang Sena ingat dari ayahnya lah yang menuntun kami menuju tempat dimana pusaka itu berada.

Perjalanan pencarian pusaka ini menemukan Cahyo dengan teman lamanya dan sosok yang berhubungan dengan leluhur Danan.
close