Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINDEN PENGABDI SETAN (Part 2) - Pengantar pesan Iblis

Kedatangan Danan Terlambat, Satu warga lagi menjadi korban kutukan ini.
Ayah Gendis yang menemani orang pintar yang mencoba membantupun tidak kembali dari pendopo...


JEJAKMISTERI - Keindahan jalur antarkota selalu memiliki kesan tersendiri yang kadang membuat rindu. Jalan berliku yang memisahkan kedua sisi hutan selalu nyaman untuk di pandang setiap kita melaluinya. Tapi.. tidak kali ini.

“Piye Jul! Gimana?” Tanyaku pada Cahyo yang masih sibuk mengutak-atik motor Vespanya yang baru saja mogok di tengah jalan sepi ini. Padahal sebentar lagi matahari mulai terbenam.

“Tenang nan, Cuma tali gas... sebentar juga beres” Ucap Cahyo santai.

“Dibilangin naik motorku aja, pakai gaya-gayaan sok klasik”

“Lho nggak bisa gitu, ini si mbah harus selesai menelusuri seluruh pulau jawa tahun ini. Kalau nggak kutukanya bisa bangkit” Canda Cahyo.

“Kutukan? Vespa ini udah jadi pusaka...?”

Cahyo berdiri membersihkan tanganya dan mendekatkan wajahnya seolah ingin membisikkan sesuatu padaku.

“Ini pusaka peninggalan sesepuh trah sambara empu pusaka keris sukmageni penjaga pabrik keramat”

Dengan segera pukulanku mendarat di kepalanya yang masih bisa bercanda di kondisi seperti ini.

“Gemblung.. Pakleku itu!” Cahyo hanya tertawa sambil mengambil kain lap dari bagasi motornya untuk membersihkan tanganya.

“Sekarang gimana? Kita nyetop kendaraan aja?” Tanyaku.

“Nggak usah, udah beres kok.. ayo naik lagi”

Aku memperhatikan motor itu dengan seksama, walaupun Cahyo bilang sudah beres tapi aku masih menaruh curiga motor ini akan kambuh lagi pada waktu yang tidak tepat.

***

Saat mulai memasuki daerah pasar kami memutuskan untuk berhenti mengisi perut di sebuah warung makan yang terletak tak jauh dari pasar. Insiden mogoknya Vespa Cahyo membuat kami harus menahan lapar cukup lama.

Kami masing-masing memesan sepiring rawon yang memang menjadi salah satu masakan khas di tempat ini.

“Desanya Jatmiko masih jauh dari sini?” Tanya Cahyo.

“Dari ancer-ancernya masih masih lumayan, bisa lebih satu jam lagi mungkin..” Balasku.

Cahyo melihat jam yang ada di warung makan dan melanjutkan makanya.

“Berarti nggak boleh lama-lama disini nih, bisa-bisa kita sampai sana kemaleman” Ucap Cahyo.

Sebenarnya aku setuju, tapi badanku seolah menolak setelah pegal berjam-jam menaiki vespa milik Cahyo.

“Bentar ya, ini lho pantatku masih gemetar gara-gara perjalanan tadi” Ucapku sambil membenarkan posisi dudukku.

Cahyo hanya tertawa melihat ekspresi mukaku. Aku sendiri heran, bagaimana dia bisa betah menyetir motor tuanya itu selama berjam-jam.

Saat sedang menikmati kopi sebagai penutup, tiba-tiba terdengar suara alunan musik keroncong dari rombongan pengamen yang melewati warung ini. Sesuai dugaan kami, akhirnya mereka berhenti di depan sambil melantunkan tembang jawa yang menurutku cukup merdu.

Permainan gitar dan kentrung mengiringi suara penyanyi wanita yang suaranya sangat sopan melalui telinga kami. suaranya begitu nyaman hingga kami merasa betah menikmatinya. Apalagi walaupun berpenampilan sederhana, wajah sang penyanyi itu tetap terlihat anggun dan mempesona.

Entah berapa lama suasana itu membuatku dan Cahyo terlalu nyaman hingga akhirnya suara telepon genggamku berdering memecah lamunanu dan menampilkan sebuah pesan.

“Hati-hati yo Le, jangan lupakan ibadah. Kali ini entah kenapa ibu mendapat perasaan tidak enak”

Sebuah pesan dikirimkan oleh ibu. Jarang sekali ibu mengirimkan pesan begini. Aku menoleh ke arah jam dinding, dan terlihat jarum pendek sudah hampir menuju pukul sembilan malam.

Saat melihat aku tersadar dari lamunanku, seketika seluruh anggota pengamen itu berjalan meninggalkan warung makan ini.

“Cahyo.. sadar” Ucapku menepuk tubuh Cahyo.
Cahyopun merasa heran, kami terlalu menikmati suara pengamen itu hingga berjam-jam.

“K—kita kena hipnotis?” tanya Cahyo yang masih bingung. Seketika kami membaca doa dan meminum air untuk memulihkan kesadaran kami dan segera keluar. Namun pengamen itu sudah cukup jauh, sang penyanyi menoleh ke arah kami dan melemparkan senyum yang mencurigakan.

Kamipun membayar makanan kami dan bergegas mengejar mereka, sayangnya mereka sudah tidak terlihat dari pandangan kami lagi.

“Arrgh... kita lengah!... penampilan mereka terlihat sederhana seperi orang baik-baik, aku nggak menyangka ada maksud dari kedatangan mereka” Ucapku.

“Maksudnya apa nan?” Cahyo masih bingung.

“Kemarin sebelum berangkat aku sempat cerita sama paklek mengenai kejadian di desa Jatmiko. Paklek sudah menyuruhku untuk berhati-hati karena pasti akan ada beberapa pihak yang membantu pengirim kutukan di desa Jatmiko itu” Balasku.

“Maksud kamu, mereka membantu setan sinden yang ada kampung Jatmiko?” Tanya Cahyo.
Aku mengangguk.

“Mereka akan mempersulit kita untuk sampai desa iyu” Jelasku.

Kamipun melaju dengan cepat menuju desa Jatmiko. Dengan kondisi seperti ini mungkin kami akan sampai disana mendekati tengah malam.

***

Kami terlambat... satu nyawa lagi sudah melayang saat kami tiba di desa dimana Jatmiko tinggal. Kondisi desa masih ramai walaupun menjelang tengah malam. Seseorang baru saja diturunkan dari keranda untuk diletakkan di ruang khusus di balai desa.

Aku mendekat mencoba menyaksikan jasadnya. Persis seperti cerita Jatmiko, jasad itu meninggal dengan mata yang masih terbuka dan darah yang mengucur dari telinganya.

“Mas Danan?” terdengar suara Jatmiko yang masih membantu warga mengevakuasi jasad ini.

“Maaf ya mas, saya terlambat..”

“Sudah mas, Nyawa itu urusan Tuhan. Kami berterima kasih Mas Danan dan Mas Cahyo mau datang ke tempat ini“ Ucap Jatmiko.

Aku melihatnya sedikit berbeda dari saat di desa tanggul mayit dulu.

Sebelumnya ia termasuk orang yang cukup temperamen. Tapi mungkin sekarang ia sudah belajar sesuatu.

“Mas Aku ijin mendoakan ya..” Ucap Cahyo yang sepertinya daritadi merasa tidak tahan melihat kondisi jasad perempuan itu.

Jatmikopun meminta ijin kepada keluarga korban dan mengiyakan ucapan Cahyo.
Sebuah doa dibacakan tepat di samping jenazah, tepat saat doa selesai dibacakan darah dari telinga jasad itu berhenti menetes. Iapun menutup mata jasad itu dan segera meninggalkanya.

Keluarga korban yang melihat kejadian itu segera menghampiri Cahyo dan berterima kasih. Terlihat wajah Cahyo yang sangat kasihan dengan keluarga yang ditinggalkan.

“Kita harus selesain masalah ini secepatnya” Ucap Cahyo dengan wajah yang terlihat gusar.

Terlihat kekesalan di sorot matanya.

“Pasti, tapi jangan gegabah. Kita cari tahu dulu akar permasalahanya..” Balasku.

Kamipun meninggalkan Balai desa dan menuju rumah singgah yang sering digunakan pendatang yang bertamu.

Di sana sudah ada seorang anak berumur belasan tahun yang mengantarkan nampan yang berisi minuman panas dan cemilan.

“Terima kasih ya dik, kok jam segini belum tidur?” Tanyaku.

“Iya mas, masih takut sendirian di rumah. Jadi bantuin bapak saja..” Ucapnya.

Mas Jatmiko mendekat ke arahku dan berbicara dengan pelan.

“Namanya Gendis, Ibunya juga meninggal karna kutukan sinden itu. Sekarang ia hanya tinggal bersama ayahnya yang juga perangkat desa sini” Jelas mas Jatmiko.

Sontak aku dan Cahyo menoleh ke arah Gendis. Ia terlihat begitu tegar walaupun aku masih bisa melihat kesedihan dimatanya. Aku yakin dia tidak ingin di rumah sendirian bukan karna takut, tapi karena ingin mencari kesibukan untuk melupakan kesedihanya.

“Gendis, kamu disini saja sampai bapak pulang. Ceritain ke mas tentang desa ini” Ucap Cahyo.

“Boleh mas? bukanya mas-masnya mau istirahat?” Tanya Gendis.

“Boleh banget. kalau boleh jujur, saat ada kejadian seperti ini lebih baik kami berjaga di tengah malam dan istirahat di pagi hari. Serangan-serangan seperti itu biasanya datang saat malam hari” Jelas Cahyo.

Mas Jatmiko terlihat setuju dengan ucapan Cahyo.

“Sebenarnya tadi sudah ada orang pintar lain kenalan warga, dia merasakan langsung apa yang terjadi di desa kami hingga melihat marga yang tadi meninggal, sekarang dia sedang bersama Ayahnya Gendis menyelidiki permasalahan ini” Jelas Jatmiko.

Aku beradu tatap dengan Cahyo, semoga saja orang pintar itu memiliki kapasitas untuk menghadapi permasalahan di desa ini juga.

“Mas Cahyo dan Mas Danan Istirahat dulu saja, saya ijin bantuin warga desa dulu...” Pamit Mas Jatmiko.

Cahyo meletakan tasnya dan duduk di pagar teras menemani Gendhis disana sementar akau membereskan peralatan.

“Besok Gendis nggak sekolah?” Tanya Cahyo.

“libur mas, habis ujian..”

“Berarti bisa bisa main seharian donk?”

“Maunya begitu, tapi semenjak ada kutukan itu aku ngga bisa main di pendopo lagi..” Ucap Gendis dengan wajah yang murung.

“Apa hubunganya main di pendopo sama main?” Tanya Cahyo.

“Katanya itu pendopo keramat, ada di hutan sana... dulu Gendis sering main ke sana. Sekarang sudah nggak boleh, Ini sekarang bapak lagi disana sama orang pintar yang tadi datang” Cerita Gendis.

Gendispun dengan semangat menceritakan tempat ia sering bermain bersama temanya yang bernama Kia di sebuah tempat di pinggir hutan. Ada sebuah tempat menyerupai panggung tua dengan kayu-kayu yang sudah lapuk dan ditumbuhi tanaman liar di sana.

Warga desa menyebutnya dengan nama pendopo karna bentuknya mirip dengna pendopo kayu namun ukuranya lebih besar.

“Kamu nggak takut main di sana?” Tanya Cahyo.

“Nggak, kan kalau main di sana siang-siang. Bareng Kia juga” Jawab Gendis.

Gendis bercerita, ia sering bermain di sana di panggung tua itu seolah sedang menyanyi atau menari di sana. Ia menceritakan bahwa ia senang melakukan itu di sana, karena di hadapan panggung tua itu seolah ada tanah lapang dan tempat sepertinya pernah di tinggali.

“Jadi kalau main pentas-pentasan di sana kayak ada yang nonton, padahal nggak ada.. jadi nggak malu” Ceritanya dengan polos.

“Bisa jadi memang ada yang nonton” Ucapku iseng sambil bergabung dalam perbincangan mereka.

“Nggak ada mas, kan jauh dari desa..” Balas Gendis.

Rupanya ia tidak membaca maksudku, wajar saja dia memang masih anak kecil yang polos.
Walaupun masih kecil, rupanya Gendis punya banyak cerita yang mampu menemani kami duduk santai di teras sambil menikmati udara malam di desa ini.

Sebenarnya aku penasaran mengenai kejadian yang menyebabkan ibunya meninggal, namun aku tidak tega untuk bertanya. Mungkin aku harus menunggu ayah Gendis untuk mendapat cerita detailnya.

Di tengah cerita, tiba-tiba terdengar suara kentongan yang dipukul oleh salah seorang warga desa. Seketika terlihat banyak warga keluar rumah dan menghampiri asal suara itu yang ternyata berasal dari mulut hutan. Kamipun ikut pergi menghampiri asal suara itu.

“I—itu Mbah Jurip, orang pintar yang tadi pergi sama Pak Pram, ayahnya Gendis” Ucap Jatmiko yang sudah sampai di sana terlebih dahulu..

Di sana terlihat Mbah Jurip setengah sekarat terduduk bersandar di salah satu batu di mulut hutan.

“Bapak, bapak kemana?” Tanya Gendis Cemas.

“Mbah, mbah Jurip... ada apa ini? Pak Pram dimana?” Tanya Jatmiko.

Mbah Jurip mencoba berusaha untuk berbicara dengan kondisinya.
“P—Pak Pram masih disana, penunggu tempat itu mengamuk saat mendengar suara sinden itu” Jawabnya.

Penunggu? Mengamuk? Jika itu benar bisa dipastikan saat ini Ayah Gendis dalam keadaan bahaya.

“Lantas kamu tinggalkan Ayah Gendis disana sendirian?!” Ucap Cahyo yang mulai emosi.

“Saya tidak tahu lagi harus bagaimana, pilihanya antara saya mencari pertolongan atau kami mati berdua disana” Ucap Mbah Jurip.

“Sudah Cahyo, mungkin dia benar.. coba kita pastikan kesana. Mas Jatmiko, jaga Gendis dulu ya!” Ucapku sambil bersiap memasuki hutan.

Mas Jatmiko mengangguk menyanggupi namun tiba-tiba Gendis yang khawatir dengan keadaan ayahnya segera berlari memasuki hutan seorang diri meninggalkan kami.

“Gendis!” Teriak Cahyo panik dan segera menyusulnya.

“Gendis jangan nekad!” Jatmiko mencoba menyusul tapi aku menahanya. Terlalu berbahaya bila semakin banyak warga yang masuk ke dalam hutan tanpa tau keadaanya.

“Percayakan pada kami mas...” pamitku pada Jatmiko dan segera menyusul Gendis dan Cahyo masuk ke dalam hutan.

Bukan hutan yang lebat, dan tidak jauh perjalanan yang kami lalui untuk sampai ke tempat yang Gendis ceritakan tadi. Sayangnya Gendis sudah menghilang dari pandangan kami.

“Gendis! Pak Pram!” Aku berteriak mencari keberadaan mereka, namun sama sekali tidak ada yang membalas.

Sebaliknya, ada sesuatu di tempat ini yang memperhatikan kami. Aku yakin tempat ini dulunya adalah sebuah desa. Posisi batu, lokasi pohon yang teratur dan beberapa tempat masih berbentuk seperti jalan.

Sebuah bayangan... hitam seperti berjalan ke arah panggung tua yang warga sebut sebagai pendopo. Tanganku gemetar dan tubuhku merinding saat mengikuti sosok itu. Aku tahu itu bukan makhluk biasa.

“Hati-hati Nan! makhluk itu berbahaya” ucap Cahyo yang juga sadar akan betapa mengerikanya sosok yang belum kami ketahui wujudnya itu.

Tepat saat makhluk itu sampai di atas panggung wujudnya mulai terlihat dengan jelas.

Seorang wanita berbaju kebaya anggun yang sudah lusuh dengan bentuk tubuh layaknya seorang sinden yang ideal. Sayangnya kulitnya sudah menghitam seperti jasad yang sudah membusuk dengan mata yang bernanah. Senyumnya terlihat manis walau dengan wujud mengerikanya.

Tepat saat menampakan wujudnya, muncul banyak sosok roh laki-laki mendekati dirinya. Mereka berjalan dan merayap dari segala sisi mendekati sinden itu.
Kami tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh roh itu hingga mereka sampai ke sisi sinden itu.

Menjijikan, pemandangan di hadapan kami begitu menjijikan. Di sebuah panggng tua yang berlatarkan langit malam dan cahaya bulan. Sosok roh laki-laki berlutut di bawah kaki setan demit itu dan menjilati kakinya yang membusuk dan bernanah.

Aku mencoba menahan mual, Cahyopun segera memalingkan wajahnya.

“Mati utowo ngawulo kulo..” (Mati atau mengabdi kepadaku?) Hanya sepatah kalimat itu saja yang diucapkan oleh setan sinden itu. Namun itu sudah cukup mengintimidasi kami dengan pemandangan di hadapan kami.

“Ora ono sing bakal dadi pengikutmu...” (Tidak ada yang akan menjadi pengikutmu) balas Cahyo dengan tegas.

Akupun tidak mau tinggal diam melihat apa yang ada di hadapanku. Saat itu juga aku membacakan sebuah doa untuk menenangkan roh-roh yang terus menjilati kaki setan itu.

Roh itu menolak untuk ditenangkan dan memilih untuk patuh kepada sinden itu.

“Mereka bahagia sebagai pengikutku, baik saat hidup ataupun mati. Pilihlah dengan bijak”

Setelah ucapan itu, sosok sinden itu berubah. Wajahnya berubah menjadi sangat cantik dan kulitnya terlihat putih layaknya seorang bidadari yang bermahkotakan rembulan di belakangnya.

“Nan, Jangan terpengaruh nan..” Ucap Cahyo.

“Uassem, enak aja.. kamu tuh, inget Sekar nungguin kamu” Balasku.

Kami membaca doa untuk melindungi pikiran kami dari pengaruh sosok yang amat cantik di hadapan kami. dibanding pertarungan fisik, pertarungan dengan hawa nafsu adalah yang paling berbahaya.

Seandainya aku dan Cahyo adalah orang biasa, pengaruh dari sinden itu bisa membuat kami saling bunuh untuk berebut menjadi pengikutnya.

“Kita mau terus nontonin disini?” Ucap Cahyo.

“Dari tadi aku nyoba nenangin roh itu, tapi gagal...” Balasku.

“Berarti harus kita selesaikan setan sinden itu dulu kan?”
Kamipun berlari ke arah pendopo, namun dengan segera sosok setan pengikut sinden itu menghadang kami.

“Makhluk ini urusanku, kamu terus ke sinden itu!” Perintah Cahyo.

Aku melihat Cahyo terus membacakan doa-dan ayat ayat suci untuk menenangkan roh yang menghadangnya. Namun semua itu seolah sia-sia. Roh itu seperti tidak mendengar apapun yang diucapkan Cahyo.
Terlihat ia masih dilema untuk menggunakan kekuatan wanasura.

Sebaliknya saat aku mendekat, sinden itu malah tersenyum dengan manis seolah menggodaku. Aku merasakan ada ilmu pengasihan yang sangat kuat mencoba mengganggu ketenanganku dan membuatku semakin terkesima setiap menatapnya.

Tak mau mengambil resiko aku segera menarik pusaka Keris Ragasukma dari dalam sukmaku dan menggenggamnya dengan erat.
Aku bersiap menghunuskan keri itu ke arah sinden yang saat ini berwujud bak bidadari itu. namun tiba-tiba seranganku tertahan oleh sosok hitam.

Sosok roh seperti seorang panglima kerajaan yang mampu menahan serangan keris ragasukma dengan tombak di tanganya.

“Semua sinden abdi akan dilindungi oleh Joko Garu, kalian tidak akan bisa menyentuhku sebelum menjadi pengikutku..” Ucap Sinden itu.

Aku melompat mundur, namun roh itu terus maju untuk menyerangku. Berkali-kali aku menahan serangan sosok yang disebut dengan nama Joko Garu itu. namun sepertinya aku bisa mengimbanginya.

Di tengah pertarungan, terdengar suara sinden itu menyanyi dengan nada yang aneh. Kidung itu melantun dengan nada yang teratur namun membuat kami merasa merinding saat mendengarnya.
Dan satu lagi, aku yakin yang ia nyanyikan bukanlah bahasa manusia.

Tanpa sadar, cairan merah mulai keluar dari hidung dan telingaku. Pandanganku memudar namun entah mengapa aku ingin terus mendengar suara tembang itu.

Aku membacakan mantra muksa pangreksa untuk melindungi diriku dari segala niat jahat yang menyerang, namun mantraku seolah tidak pernah selesai terucap.
Sekuat tenaga aku mundur ke arah Cahyo, tapi rupanya Cahyo juga bernasib sama denganku.

Setan-setan pengikut sinden itu mulai merubungi kami.

“Wanasura!” Teriak Cahyo yang mulai panik.
Cahyo dengan sigap memanggil kekuatan wanasura untuk merasukinya dan memukul sekuat tenaga tanah di hadapanya hingga setan-setan itu terpental.

Sayangnya Joko Garu masih bertahan. Ia menerjang kami dengan mengayunkan tombaknya.
Aku menangkisnya dengan keris di tanganku, namun kekuatanya sangat besar hingga mementalkanku dan Cahyo. Benturan itu membuat darah bermuncratan dari mulutku.

Terlebih saat ini kami mulai kehilangan kesadaran oleh pengaruh tembang yang dinyanyikan oleh sinden sialan itu.
Di tengah kebingungan kami, aku merasakan ada sosok yang mendekat. Tidak hanya satu, banyak. Entah apa lagi ini.

Joko garu menghampiri kami lagi dan bersiap menghabisi kami, namun tiba-tiba muncul sebuah tangan dari balik pohon.
Ia.. sebuah tangan, tangan tanpa badan. Entah mengapa aku bisa mengerti maksud darinya untu menyambut tangan itu.

Tepat saat aku menggenggamnya tiba-tiba aku sudah berada di tempat berbeda. Sebuah tempat luas di tengah hutan yang mirip tempat kami sebelumnya berada namun tertutup kabut tebal.

“Ini dimana Nan?” Tanya Cahyo yang juga sedang berusaha memulihkan dirinya.

“Nggak tahu, tapi.. setidaknya kita bisa selamat..” Balasku.

Belum pernah aku mengalami pertarungan seperti ini. Aku rasa pusaka sesakti apapun tidak akan berguna untuk melawan sinden tadi.
Dari jauh terlihat beberapa orang berlari mendekati kami. salah satu dari mereka adalah…

“Gendis?” ucapku kaget.
“Ayo mas ikut Gendis..” Ucapnya.

Aku dan Cahyo saling bertatapan, namun kami memang tidak merasakan niat jahat dari makhluk yang bersama dengan Gendis.
Mereka membawa kami pada sebuah tempat di tengah hutan yang cukup luas.

Ada banyak sosok di sana, roh wanita yang melayang di atas hutan, pria tanpa lengan, hingga roh manusia dengan wajah yang tidak berbentuk.
Tempat ini dihuni oleh arwah penasaran...
Tapi dibalik kengerian itu, aku melihat sosok seorang manusia terduduk bersandar di batu.

Gendis membawa kami menuju ke arahnya.
“Ini Bapak Gendis mas..” Ucap Gendis memperkenalkan ayahnya yang berusaha menahan sakit dari lukanya.

“Saya Pramono, ayahnya Gendis..” balasnya menyambut kami, namun kami menahan tubuhnya dan membantunya untuk tetap duduk.

“Sudah pak duduk saja, biar saya bantu obati lukanya..”

Aku mengambil perlengkapan P3k dari tas kecilku dan mengobati luka luar yang terlihat di tubuh Pak Pram. Tapi ternyata tak hanya itu, ada luka dari benda ghaib yang menyerang ke tubuhnya.

“Makhluk di tempat ini yang menyelamatkan bapak dan Gendis, mas..” Jelas Gendis.
Cahyo mendekat dan mencoba mendengar penjelasan Gendis.

“Ternyata benar kata Mas Danan. selama ini setiap Gendis bermain di pendopo ada mereka yang menonton Gendis” Jelasnya.

“Kami senang melihat tingkah polos anak wanita ini...” ucap sosok roh yang mendekat ke arah kami dan terus melayang pergi.

“Kalau tidak ditolong oleh mereka, mungkin saya sudah mati..” Ucap pak pram.
Aku setuju, kamipun bernasib sama.

Aku menceritakan tentang apa yang terjadi pada kami saat menghadapi sinden iblis itu namun sepertinya ia tidak begitu heran.

“Apa dia yang bernama Nyai Lindri?” tanyaku pada pak pram.
Pak Pram menggeleng.

“Dia adalah sosok yang memberi kekuatan pada Nyai Lindri. Sosok yang sudah menghabisi ratusan nyawa selama beratus-ratus tahun..“ Ucap Pak Pram.

“Beratus-ratus tahun? Maksud Pak Pram bukan Nyai Lindri dalang dari kutukan ini?” tanyaku.

“Nyai Lindri membangkitkan kutukan ini, kutukan yang tertidur di sekitar desa kami yang kami kira sudah hilang sejak lama..” Pak Pram mencoba bercerita.

Ternyata ada cerita turun-temurun yang pernah diceritakan di desa Gendis. Cerita yang berhubungan dengan pendopo tadi.

Konon dulunya tempat itu adalah tempat pementasan dari desa yang sempat berada disana. Warganya sangat suka dengan pagelaran. Entah itu tari, wayang, ataupun kesenian lainya.

Untuk menarik perhatian penonton para penari dan sinden menggunakan berbagai macam cara mulai dari riasan hingga susuk.
Munculah persaingan antar seorang sinden dan seorang penari yang memperebutkan hati seorang pemuda desa.

Berbagai cara mereka gunakan untuk mendekati pemuda itu. Namun pemuda itu lebih tertarik oleh gemulainya sang penari.
Terbakar rasa cemburu, Sinden itu melakukan tirakat terlarang dengan meminta ilmu pengasihaan demi merebut hati pemuda itu.

Secara singkat akhirnya pemuda itu berhasil bertekuk lutut menerima cinta dari sinden itu. Namun ternyata bayaranya tidak murah.
Sinden itu hidup bahagia bersama pemuda itu hingga akhirnya hamil dan melahirkan. Namun ada hal yang aneh setelahnya.

Saat sang sinden menyanyikan lagu untuk anaknya, tiba-tiba tubuh anaknya membiru tak bernafas.
Hal itu memberikan kesedihan yang mendalam untuk mereka. Namun ternyata hal yang sama terjadi saat melahikan anak keduanya.

Kali ini saat sinden itu menyanyi di pementasan, anak keduanya mengalami nasib yang sama. Tubuhnya membiru tak bernafas.
Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi. Namun tentu saja perjanjian harus terus di bayar.

Setahun kemudian terjadi kejadian aneh. Setiap ada pementasan ada satu warga yang meninggal. Awalnya warga mengira ini hanya kebetulan. Namun setelah semakin banyaknya korban, warga curiga dan menghentikan pementasan untuk seterusnya.

Tanpa adanya pementasan sinden itu dituntut untuk menunaikan perjanjianya. Tiap malam tertentu ia akan keluar desa dan bernyanyi di tengah gelapnya malam.. Ilmunya membuat suaranya tidak dikenali oleh warga desa.

Keesokan paginya akan ada satu warga yang ditemukan meninggal dengan tidak wajar di desa tersebut.
Seorang warga meminta bantuan dukun untuk mencari permasalahan ini. Dengan kemampuan dukun itu, segera diketahuilah bahwa ini semua adalah ilmu hitam dari sang sinden.

Mendengar ucapan dukun itu, warga beramai-ramai menghampiri rumah sinden itu di malam hari dan menyuruhnya keluar. Sinden itu berpura-pura tidak mengerti apa yang dimaksud oleh warga namun keberadaan dukun itu membuatnya tidak bisa mengelak.

Beberapa keluarga korban yang emosi segera menampar dan memukuli sinden itu hingga tersungkur di tanah.
Sang suami yang masih terpengaruh oleh ilmu pengasihanya sekuat tenaga melindungi istrinya yang terus menangis tanpa henti.

Sang sinden sama sekali tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi.
Ia berlindung dibalik suaminya, namun sang dukun membacakan beberapa mantra dan mengusapkan tanganya ke mata suami sinden itu hingga terlepas dari pengaruh ilmu sang sinden.

Seketika iapun tersadar. Ia yang sebelumnya melindungi sinden itu berbalik menatap istirnya. Rasa kesal menumpuk di hatinya. Ia teringat anak pertamanya yang mati saat dinyanyikan oleh istrinya, dan ia teringat anak keduanya yang juga mati dengan aneh.

Saat itu juga semua hinaan dan sumpah serapah diucapkan kepada istrinya dengan wajah penuh emosi. Sinden itu meminta maaf dan memohon ampun, namun sebaliknya suaminya malah menendangnya hingga tersungkur.

Tak hanya itu, suaminya pun meludahi wajah istrinya dan menyerahkanya kepada warga.
Sinden itu terus memohon, namun warga yang sudah gelap mata bersiap mengambil berbagai benda mulai dari batu hingga benda tumpul.

Sang sinden yang ketakutan kembali masuk mengunci diri ke dalam rumah.
Warga tidak melepaskan begitu saja, merekapun mengambil minyak tanah dan membakar rumah itu bersama sang sinden yang berada di dalamnya.

Suara teriakan dan tangisan yang memilukan terdengar dari dalam rumah. Ia tidak bisa keluar, bahkan walaupun bisa warga sudah mengelilingi rumah itu dengan obor di tanganya.
Saat api menjalar semakin besar, tiba-tiba terdengar suara sinden itu menyanyi dari dalam rumah.

Suara itu menyatu dengan suara isak tangis Entah bagaimana suara itu bisa terdengar jelas oleh seluruh warga desa.
Saat tembang itu selesai dan api mulai menghabisi seluruh bangunan tiba-tiba seorang pria jatuh terkapar di tengah-tengah warga.

Ia mati dengan mata yang terbelalak dan darah yang mengalir dari telinganya.
Itu adalah suami dari sinden itu...
Sepertinya sampai matipun sinden itu tetap tidak ingin melepaskan seseorang yang ia cintai.

Tepat setelah api padam. Sang dukun pergi meninggalkan desa tanpa sepatah katapun. Beberapa warga merasa melihat sang dukun tersenyum senang saat melihat kematian sinden itu seolah itu semua sudah ia rencanakan.
Sayangnya, setelah kejadian itu hal yang aneh semakin terjadi.

Tiap malam tertentu terdengar suara seorang sinden yang menembangkan lagunya dengan nada yang mengerikan. Warga tahu dengan jelas bahwa itu adalah suara sinden yang mereka bunuh.

Kondisi desa menjadi mencekam, apalagi setelah setiap pagi setelahnya selalu ditemukan seorang warga yang meninggal seperti yang terjadi saat sinden itu masih hidup.
Ilmu hitam sinden itu berubah menjadi kutukan..

Hal itu terjadi terus menerus tiap malam tertentu, tidak ada yang bisa menghentikanya hingga warga desa memutuskan untuk meninggalkan desa sebelum menjadi korban berikutnya.
Apa yang terjadi setelahnya, tidak ada yang tahu. Namun cerita ini terus diceritakan turun temurun.

***

“Ini nggak akan mudah Nan” Ucap Cahyo.

Aku mengangguk setuju. Bukan hanya Nyai Lindri, namun kutukan ini sudah ada sejak lama. Benar ucapan paklek, mereka tidak sendiri. Akupun teringat sinden pengamen di warung makan kemarin.

Mungkin saja ada sinden-sinden lain yang melakukan hal serupa untuk memikat orang di sekitarnya.
Sekilas aku melihat luka pak pram, aku tersadar luka ghaib yang dialami pak pram tidak sama seperti serangan sinden dan pengikutnya tadi.

“Pak, siapa yang menyerang pak pram sampai seperti ini? Apa sinden itu?” Tanyaku.
Mendengar pertanyaanku Cahyo sepertinya juga tersadar dan menghampiri kami.

“B—bukan, Sinden itu memaksa kami untuk jadi pengikutnya atau ia akan membunuh kami.

Mbah Jurip yang kalah ilmu memutuskan untuk mengikutinya, dan saat itu juga sinden itu meminta Mbah Jurip untuk membunuh saya.
Saat saya sekarat tiba-tiba roh-roh di tempat ini menyelamatkan saya” Jelasnya.

“Berarti warga desa dalam bahaya, kita harus kembali secepatnya” Ucapku.

Cahyo bersiap membantu pak pram. Sebelum meninggalkan tempat itu Gendis memperhatikan sekali lagi roh-roh dengan berbagai wujud di tempat itu.

Benar juga, sebelum kami pergi kami harus berterima kasih pada mereka. Apalagi aku juga penasaran, mengapa mereka menolong kami.

“Terima kasih, saat masalah ini selesai saya akan kembali untuk menenangkan kalian. Tapi, kenapa kalian menolong kami?” Tanyaku.

Mendengar pertanyaanku salah satu roh seorang ibu mendekat dan menampakan wujudnya.

“Kami masih ingin melihat tingkah lucu Gendis dan temanya yang sering menghibur kami di pendopo..” ucapnya sambil tersenyum kepada Gendis.

Kali ini roh seorang pemuda tanpa lengan juga menampakan wujudnya.

“Tidak mungkin kami membiarkan seseorang yang tidak pernah lupa merawat dan membersihkan makam kami mati begitu saja.. budinya begitu besar terhadap kami” ucapnya sambil menatap ke arah pak pram.

Aku tersenyum, ternyata roh penasaran bisa menghargai perbuatan mereka yang hidup di alam yang berbeda. Padahal sesama manusia saja kadang sudah lupa dengan apa yang disebut dengan balas budi.

Kamipun berpamitan menuju jalan yang diarahkan oleh roh-roh itu. Sebuah doa pendek kulantunkan kepada Yang Maha Kuasa agar mereka yang masih bergentayangan di alam ini bisa segera tenang dan kembali ke tempat mereka seharusnya berada.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Cuplikan (Part 3) - Penyesalan di ujung harap
Cahyo mengintip dari celah gorden dan bersiap mengambil sarungnya.
“Banaspati, Mbah Jurip benar bukan dukun sembarangan” Jawab Cahyo.

Kamipun memutuskan untuk keluar ruangan dan pintu depan terlihat sudah terbuka lebar dengan kedua dukun yang berdiri di sana.

“Pak Baskoro, jangan sekalipun keluar dari bangunan ini” Ucap Salah seorang dukun itu.

Sayangnya ia sendiri sudah terlihat terluka menahan serangan banaspati yang menyerang rumah ini. sesuai rencana awal, kami menunggu hingga pertarungan mereka selesai dulu baru turun tangan.

Aku memperhatikan dari sisi jendela, Mbah Jurip kini penampilanya sangat berbeda. Tubuhnya lebih gagah seolah mendapat kekuatan yang baru.

“Baskoro, lebih baik kamu keluar… dua dukun ini tidak akan mampu mengalahkanku” Ucapnya sambil tertawa sombong.

Ucapan Mbah Jurip benar, itu dapat dipastikan dari kedua dukun yang tidak berani membalas ucapan Mbah Jurip...
close