Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Misteri Rumah Berdarah

Kali ini dari pengalaman pribadi, tahun 2016 sempat mau beli rumah karena harganya yang murah. Rumah kayu di tepian kota Pontianak itu ternyata menyimpan banyak cerita.

Jadi saya pertama kali dapat kerja tahun 2015. Biasa masih muda, langsung ngerasa punya uang dan impiannya langsung tinggi aja. Nabung dikit terus niat buat beli rumah. Tapikan harga rumah sekarang makin gila-gila kan ya. Sampai saya dapat info soal rumah itu. Saya tidak akan menyebutkan rumah ini dengan spesifik. Yang jelas lokasinya itu di perbatasan Kubu Raya dan Pontianak. 
Untuk sampai ke rumah itu dari jalan raya harus masuk kompleks dan masuk jauh ke dalam. Setelah belok sana sini nanti akan ketemu tuh rumah tua dari kayu. Untuk sebuah rumah di tepi Kota Pontianak, harga rumah itu sangat miring bahkan kelewat miring. Cuma 16 juta rupiah, sudah dengan tanahnya. Gokil gak? Siapa yang gak tergiur. Dengan harga segitu, jelas rumah ini ada apa-apanya. Tapi saya tidak peduli, saya temui yang jual rumahnya. Hari itu tepat malam rabu, saya sendirian menemui Pak Karmin di rumahnya. Beliau tinggal sendirian. Dari pak Karmin saya tahu kalau pernah ada pembantaian di rumah itu. Abang Pak Karmin, beserta seluruh anggota keluarga dibunuh perampok pada awal tahun 1990an. 

Peristiwa mengerikan itu kemudian membuat tak ada orang yang mau membeli rumah itu, apalagi membeli. Pak Karmin dengan jujur menceritakan semua hal yang pernah terjadi di rumah itu. Inilah yang akan saya ceritakan. Pak Karmin tak mau menutupi apapun. Ia ingin menjual rumah itu dengan jujur.

3 tahun rumah itu kosong. Sampai seorang keluarga jauh Pak Karmin memberanikan diri tinggal di rumah itu. Keluarga itu baru balik di Jawa, usaha mereka di Jawa bangkrut dan terlilit hutang. Jadi kabur ke Pontianak dan harus mencari tempat tinggal. Sebut saja nama keluarga itu adalah Pak Ramlan, Bu Ramlan, dan Putrinya Sulaimah. Merka tinggal di sana sekitar tahun 1994. Di Pontianak pak Ramlan harus menyusun ulang hidupnya. Ia sehari-hari keliling dengan sepeda berjualan es potong. Maka tiap malam, Pak Ramlan ini harus tidur larut karena menyiapkan jualan untuk besok harinya.

Suatu waktu Pak Ramlan sedang terjaga sendirian. Bu Ramlan yang agak kurang enak badan disuruhnya tidur duluan. Saat sedang serius, Pak Ramlan mendengar langkah kaki manusia di atas lantai papan. Lantai berderik. Pak Ramlan curiga. Maka mengendap-ngendaplah Pak Ramlan mengintip keluar. Tapi tak ada siapapun, hanya angin yang bertiup lewat jendela yang terbuka.

"Wah maling!" Pikir Pak Ramlan. Ia berlari ke arah jendela. Sekelebat bayangan hitam melesat di hadapan Pak Ramlan.

"Ada apa pak?" Tanya Sulaimah yang terbangun dan ingin buang air kecil. Pak Ramlan kaget.

"Tidak ada apa-apa nak" kata Pak Ramlan. Ia tadi sempat melihat sosok itu, wajahnya hitam legam. Tercium amis darah. Siangnya Pak Ramlan tak fokus berjualan. Pikirannya melayang-layang ke rumah. Ia pulang lebih awal. Tapi di rumahnya tak ada kejadian apa-apa. Sulaimah walau masih kecil, sibuk membantu ibunya memasak.

"Bapak kenapa cepat pulang?" Tanya Bu Ramlan.

"Tidak enak badan bu" Malam itu ketika sulaimah tertidur, Pak Ramlan menceritakan apa yang ia alami ke Bu Ramlan.

"Sudahlah pak, kalaupun itu makhluk halus ya mereka tidak akan mengganggu. Percayalah bahwa keluarga itu sudah di tempat yang layak" kata Bu Ramlan.

Sebelum menempati rumah itu, Pak Ramlan memang pernah mendengar cerita soal suara tangis atau teriakan yang sering di dengar dari rumah itu oleh tetangga sekitar. Tapi tak ada pilihan, ia tetap memutuskan tinggal di sana. Dini hari sekitar pukul 3, pintu rumah diketuk orang. Pak Ramlan yang sedang terlelap tidur terbangun. Ia membuka pintu ditemani Bu Ramlan. 
Pak RT berdiri di depan pintu bersama 5 warga.

"Ada apa pak?"

"Kami yang hendak bertanya. Apa yang terjadi di rumah ini?" Tanya pak RT. "Maksud bapak?" Pak Ramlan mengernyitkan dahi.

"Pak Agung mendengar suara letusan senjata api dari rumah ini" kata Pak RT.

"Tidak ada letusan apapun pak, kami tertidur lelap" kata Pak Ramlan. Sulaimah yang juga terbangun, berdiri di tengah ibu dan bapaknya.
"Bapak yakin?" Tanya Pak RT.

"Yakin"

Pak RT dan bapak-bapak lain berpandangan. Mereka mengangguk lalu berpamitan. Kabar suara ledakan itu ternyata cepat beredar di masyarakat. Hingga besok malamnya saat sedang makan, Sulaimah bertanya pada bapaknya. 
"Pak, apa benar rumah ini ada setannya?"

"Kata siapa?"

"Kata teman-teman. Katanya tadi malam ada suara setan dari rumah ini"

Maka Bu Ramlan dan Pak Ramlan berusaha menenangkan Sulaimah. Sulaimah merasa takut, ia sulit tertidur malam itu. Pukul 12, Sulaimah demam tinggi. Nafasnya terengah-engah. Pak Ramlan panik, dilarikannya Sulaimah ke rumah sakit. Malam terasa panjang. Pak Ramlan dan Bu Ramlan menemani Sulaimah kecil. Keringat sebesar biji jagung mengalir di kening Sulaimah. Sementara Bu Ramlan menjaga Sulaimah, esok harinya Pak Ramlan harus kembali ke rumah. Saat masuk ke rumah Pak Ramlan merasa suasana yang berbeda. Entah karena sedang dirundung masalah, atau memang ada sesuatu di sana. Pak Ramlan lalu mendengar suara tangis anak kecil dari kamarnya. Bulu kuduk Pak Ramlan merinding. Tapi ia memberanikan diri. Kalau memang rumah itu berhantu, ia ingin melihat sendiri. Agar tak sekedar katanya. Suara itu semakin keras, terdengar pula suara pintu lemari diketuk-ketuk dari dalam.

Dug! Dug! Dug dug dug!

"Bapak... bapak... bapak...." terdengar suara dari dalam.

Pak Ramlan kenal sekali dengan suara itu. Itu suara Sulaimah. Maka dengan cepat Pak Ramlan membuka pintu lemari. Ia kaget bukan kepalang. Tampak Sulaimah tengah duduk di dalam lemari.

"Sulaimah kenapa kamu di sini?"

"Main" kata Sulaimah.

"Keluar!"

"Ndak mau, Sulaimah senang main di sini" kata Sulaimah.

"Selamat tinggal bapak" katanya lagi. Lalu pintu lemari tertutup. Pak Ramlan panik, ia berusaha menarik pintu lemari.

Tak ada siapapun. Pak Ramlan tak habis pikir. Ia jelas sekali melihat Sulaimah di sana. Maka ia sempat berkeliling rumah, tapi memang tak ada siapa-siapa. Apakah ini sudah membuat pikirannya terganggu?

Pak Ramlan mengambil barang-barang yang diperlukan dan kembali ke rumah sakit. Yang ia temui di rumah sakit adalah bu ramlan yang berderai air mata, juga jasad sulaimah yang telah terbujur kaku.

Sulaimah telah tiada. Sebuah peristiwa yang memukul jiwa Pak Ramlan. Pak Ramlan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas ia merasa rumah itu telah dikutuk. Maka setelah Sulaimah dikebumikan, pergilah ia bersama Bu Ramlan mencari kontrakan. Setelah berjualan, ia punya sedikit tabungan. Setidaknya untuk mengontrak hingga sebulan ke depan. Pak Karmin mengakhiri ceritanya.

"Lalu setelah itu?" Tanya saya.

"Ada lagi yang tinggal di sana. Karena tahun 2000 rumah itu saya kontrakkan" kata Pak Karmin.

Pak Karmin menyesap kopinya, lalu memulai cerita yang kedua. Setelah kejadian itu rumah itu kembali kosong. Tapi Pak Karmin merasa sangat sayang kalau rumah itu tak ada yang menempati. Maka dipanggilah orang pintar untuk mengusir setan di rumah itu. Tak lupa diadakan pula selamatan alias tolak bala'. Maka mulailah berdatangan calon pengontrak. Pak Karmin menceritakan semuanya soal seluk beluk rumah itu. Dan pengontrak ini setuju. Sebut saja namanya Sofyan. Ia punya istri yang sedang hamil bernama Rahmi. Sofyan dan Rahmi ini penganten baru. Di rumah istrinya, Sofyan sering merasa tak nyaman dengan mertuanya. Jadi diputuskanlah cari kontrakan. Posisi rumah itu tak jauh dari tempat kerjanya. Harga sewanya juga miring. Sofyan alumni pesantren, urusan makhluk halus bukan hal yang baru baginya. Ia percaya itu hanya ulah setan untuk menggoda manusia. Sebuah peristiwa terjadi di malam ketujuh mereka tinggal di rumah itu. Sekitar pukul 11 malam Sofyan mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara adu mulut. Rahmi sudah tertidur. Maka Sofyan mengintip keluar. Tak ada siapa-siapa. Tapi dipojok ruangan yang gelap, Sofyan sekilas melihat 4 sosok bediri seolah menatapnya. Dua dewasa dan dua anak-anak. Sofyan memejamkan mata dan membaca doa, sosok-sosok itu tiada. 3 hari kemudian saat Sofyan sedang berkerja. Rahmi mendengar suara anak kecil berlari membuat lantai berderit. Rahmi yang sedang memasak kaget bukan kepalang ketika seorang anak berdiri di belakangnya.

"Hei, sedang apa kamu di sini?" Tanya Rahmi.

"Aku sedang bermain" kata bocah itu.

"Dengan siapa?"

"Dengan temanku. Tapi mereka sedang bersembunyi"

"Dimana?"

"Di sini"

"Kok main di rumah saya?"

"Ini rumah saya" kata gadis kecil itu

"Hahaha, main di luar saja ya" kata Rahmi.

"Tidak, di sini saja" kata anak kecil itu bersikokoh. Rahmi heran, kenapa anak itu bermain di rumahnya.

"Namanya siapa?"

"Sulaimah" sahut anak kecil itu lalu berlari sambil tertawa meninggalkan Rahmi. Rahmi diam seribu bahasa. Rahmi ingat cerita pak Karmin. Ia terduduk, menggigil ngeri.

Sepulang Sofyan dari kerja, Rahmi langsung menceritakan apa yang ia alami. Malam itu juga mereka berkemas, kembali ke rumah Rahmi. Sofyan kembali ke rumah mertua, mengalah karena kasihan pada istrinya. Pak Karmin melanjutkan cerita. Penghuni ketiga seorang janda beranak satu bernama Ratih. Anaknya kita panggil saja dengan Bima. Usia Bima 8 tahun. Ratih sehari-hari berkerja sebagai buruh cuci. Setiap pagi ia akan pergi ke rumah pelanggannya untuk mencuci pakaian mereka. Dalam sehari ia bisa berpindah dua hingga tiga rumah. Ratih memang sering mendengar suara-suara aneh di malam hari. Tapi Ratih tipikal perempuan yang keras pada dirinya sendiri, walau ia takut tapi buatnya itu tak masalah. Toh ia dan anaknya tidak dalam bahaya. Sampai suatu hari Bima bilang ke ibunya.

"Mah, pulang sekolah Bima langsung pulang aja"

"Kamu berani sendirian?" Tanya Ratih.

"Kan Bima punya temen mah sekarang" kata Bima.

Ratih senang anaknya punya teman. Maka Bima diizinkan pulang, karena biasanya Bima menyusul ibunya. Seperti itulah keseharian Bima. Setiap malam ia bercerita pada Ibunya tentang temannya. Seorang anak perempuan bernama Sulaimah.

Ratih tak curiga sama sekali. Namun ketika Pak Karmin bertamu ke rumahnya untuk memeriksa, Ratih menemukan fakta yang mengejutkannya. "Tak ada Sulaimah di sini" lalu Pak Karmin menceritakan semua kejadian yang pernah terjadi di rumah itu. Ketika Bima pulang, Ratih langsung menodongkan pertanyaan.

"Darimana kau Bima?"

"Main mah sama Sulaimah"

"Bohong!!! Tidak ada Sulaimah"

"Bener mah, Bima ndak bohong" kata Bima menangis mendengar suara ibunya yang terdengar marah.

"Kamu jarang mengarang!"

"Beneran mah"

"Coba panggil Sulaimah sekarang!" Seru Ratih.

"Sulaimah! Sulaimah!" Seru Bima sambil terisak.

"Sulaimah tidak mau datang. Dia takut sama mama" kata Bima lirih.

Malamnya Ratih terbangun, Bima menarik tangannya.

"Ma, Salimah mau ketemu Mama" kata Bima. Ratih terperanjat.

Tapi ia mengikuti langkah Bima. Jendela ruang tamu terbuka.

"Liat mah, itu Sulaimah" kata Bima menunjuk pohon.

Ratih melihat sosok kecil berbaju putih disana.

"Astaghfirullah" seru Ratih sambil menutup jendela dan menarik tangan Bima.

"Ma, Bima mau main sama Sulaimah" kata Bima. Tapi Ratih terus berjalan, mengunci pintu kamar dan menarik Bima ke dalam selimut.

"Tidur Bima, besok kau sekolah" Besok harinya Ratih pulang lebih awal. Ia tak mau Bima sendirian di rumah. Ia menemani Bima seharian.

Malamnya Bima bilang "Gara-gara Mama, Sulaimah tak mau main lagi dengan Bima"

"Lebih baik begitu Bima. Mama janji, mama yang akan menemani Bima main" kata Ratih menghibur Bima.

Setelah itu Bima hanya bermain dengan Ibunya. Tak pernah lagi muncul cerita soal Sulaimah. Tapi suatu malam Ratih mendengar suara lantai kayu diinjak. Ratih waspada. Ia mengintip ke ruang tamu. Dan alangkah kagetnya Ratih melihat dua orang pria berbadan besar sedang sedang berusaha masuk dari jendela. Beberapa saat kemudian mereka menyadari keberadaan Ratih. Seorang pria melompat menerjang Ratih, tangan ratih ditekuk ke belakang mulutnya ditahan dengan tangan. Ratih mengerang.

"Ini nih janda yang sering diomongin orang" kata Pria tadi.

"Pucuk dicinta, nikmatpun tiba" sahur pria yang lain. Maka dua pria itu berusaha menggerayangi Ratih.

Ratih berusaha berteriak namun mulutnya disekap. Namun beberapa saat kemudian kedua pria itu melepaskan Ratih. Mereka panik berhamburan lari keluar jendela setelah melihat sosok di pojokan ruang. Dua anak kecil dan dua dewasa. Ratih masih setengah sadar saat ia melihat 4 sosok itu. Tapi di antara mereka tak ada Sulaimah yang pernah ia lihat. Kata Pak Karmin Ratih adalah penghuni terlama di rumah itu. Ia pindah saat hendak bersuami lagi. Beberapa kali Ratih mengalami peristiwa aneh, namun Ratih tetap bertahan.Nah Setelah saya desak, Pak Karmin melanjutkan ceritanya tentang penghuni terakhir. Menghuni rumah itu sekitar tahun 2007.

Penghuni yang terakhir menempati rumah itu Namanya Samsul, seorang mahasiswa dari Jawa. Kuliah di Pontianak karena lulusnya di Pontianak. Ke seberang pulau pun dijalani demi kuliah di PTN. Ia juga dapat beasiswa bidikmisi. Samsul sudah dengar cerita dari Pak Karmin. Tapi katanya, ia ada yang jaga. Ia tak pernah takut dengan hal-hal begitu. Maka Pak Karmin mengizinkan Samsul tinggal di sana. Pak Karmin kali ini tak menarik bayaran, asal ada yang rawat rumah itu saja. Samsul sering mendengar suara aneh, tapi tidak ia pedulikan. Suara tembakan, derik lantai, lemari terbuka dianggap biasa saja. Samsul cuma bilang

"Kita sama-sama tinggal di sini, jangan saling ganggu".

Tapi karena keberanian Samsul ini, suara aneh semakin sering ia dengar. Hingga suatu malam Samsul ditunjukkan sesuatu. Seusai mengerjakan tugas Samsul mendengar suara lantai berderik. Dia tak peduli. Tapi ia melihat sesosok anak kecil perempuan berkelebat. Samsulpun mengikuti arah kelebatan tadi. Di luar, tampak darah mengalir di lantai. Bayangan seorang bapak terkapar di lantai, lalu seorang ibu menangisi. Dua anaknya ikut mengguncang-guncang tubuh si bapak. Lalu terdengar letusan kedua, si Ibu terkapar. Lalu dua anak tadi kelalanya berdarah dan mengerang kesakitan. Samsul tak melihat pelakunya, tapi adegan itu tak lain dan tak bukan adalah gambaran kejadian puluhan tahun lalu saat keluarga itu dirampok. Bayangan itu hilang. Samsul terengah-engah. Ia memang bisa merasakan hal-hal ghaib, turunan dari kakeknya. Namun baru kali ini ia ditunjukan penampakan. Samsul tinggal disana hanya 6 bulan. Ia pindah ke asrama Mahasiswa. Sejak itu rumah itu tak ada lagi yang mendiami. Pak Karmin berniat menjualnya. Tapi semua orang yang tertarik, langsung mundur setelah mendengar cerita Pak Karmin. Pak Karmin tak mau berbohong. Ia tak mau kalau pembelinya kenapa-napa. Ia akan sangat merasa bersalah. Kalau yang beli sudah tahu, lalu tetap ingin membelinya maka itu bukan lagi salah Pak Karmin. Malam itu saya sampaikan keinginan saya membeli rumah itu pada Pak Karmin. Mungkin saya bisa merobohkan rumahnya dan membangun rumah baru di situ. Bahkan untuk tanahnya saja, harga 16 juta itu sangat-sangat murah. Saya pulang dengan motor dan cerita pak Karmin masih berputar di kepala saya. Hingga di sebuah pertigaan yang sepi saya dikagetkan oleh seorang tua bersepeda ontel. Saya membelokkan sepeda motor dan membuat saya jatuh. Cedera saya cukup parah malam itu. Ketika saya berusaha bangun, saya tak menemukan siapapun. Saya tergelatak hingga ada pengendara lain yang lewat dan menolong. Uang yang hendak saya gunakan untuk membeli rumah itu lebih dari setengahnya harus saya relakan untuk perawatan. Saya masih heran, kemana perginya pak tua itu. Ketika saya pulih, saya ceritakan kejadian yang saya alami. Saya sampaikan kalau uang saya tidak cukup, saya minta pak Waktu. Tapi ekspresi wajah Pak Karmin berubah. Dia bilang dia tidak jadi menjual rumah itu. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa. Dan terakhir saya lewat rumah itu tahun 2019. Rumah itu sudah semakin lapuk dan tak mungkin ditinggali lagi.

SEKIAN


close