Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINDEN PENGABDI SETAN (Part 5) - Joko Garu

Dia adalah sosok setia melindungi sinden-sinden abdi setan itu, ada kesedihan mendalam dibalik penglihatanya yang telah tertutup semenjak ia hidup..


JEJAKMISTERI - Suara tembang mengalun dengan indah diiringi irama gamelan. Kami tahu suara itu berasal dari padepokan Ki Joyo Talun tempat tujuan kami.
“Mereka latihan malam-malam?” Tanyaku pada Sena.

“Iya mas, sepertinya mereka juga kangen pingin latihan. Setelah kepergian bapak, kami memang tidak mengadakan pementasan ataupun latihan” jelas Mas Sena.
Tepat saat kami memasuki pendopo suara alunan musik itu berhenti.

Mereka memberi salam kepada kami yang sepertinya mengganggu konsentrasi mereka.

“Monggo dilanjut saja, kami cuma sebentar” ucapku pada teman-teman Mas Sena.

“Ndak kok mas, sekalian kami juga mau istirahat” balas seorang sinden muda yang bergegas berdiri meninggalkan tempatnya.

Aku menatapnya sekilas, entah mengapa aku pernah merasa tidak asing dengan sinden itu.

“Namanya Naya, bukan sinden favorit. Tapi dia yang paling rajin ngajakin yang lain latihan” Ucap Mas Sena sambil mengajakku ke belakang.

“Kenopo nan? Ayu yo?” (kenapa nan? Cantik ya?) goda Cahyo.

“Asem, nggak gitu. Cuma ngerasa nggak asing saja sama dia” Balasku.

Mas Sena hanya tersenyum sambil mengajak kami ke sebuah ruangan yang dulunya adalah ruangan Ki Joyo Talun.

Ada beberapa wayang yang di pajang berjejer ditancapkan pada sebuah rak. Ada juga beberapa peti penyimpanan yang biasa digunakan untuk menyimpan wayang.

“Monggo duduk dulu mas, istirahat dulu saja sebelum kembali ke desa mas Jatmiko” ucap Mas Sena.

“Nggih Mas Sena, sekalian kami mau numpang mandi sebentar” Balasku.

“Monggo mas.. anggap saja rumah sendiri”

Mas Sena pamit meninggalkan kami sebentar. Sepertinya ingin memberi pengarahan atau ngobrol sebentar dengan teman-temanya yang latihan tadi.

Cahyo mandi duluan sementara aku memilih untuk berbaring sebentar di kursi rotan di ruangan ini.

***

“Monggo mas Cahyo, diminum dulu” Beberapa gelas kopi hangat diantarkan oleh Naya ke meja dihadapanku. Kedatanganya membuatku sedikit kaget.

Ia tidak lagi mengenakan sanggulnya dan sudah menghapus riasanya. Anehnya penampilanya saat ini malah membuatku lebih nyaman untuk melihatnya.

“Eh iya, matur suwun.. tapi saya Danan, yang lagi mandi baru namanya mas Cahyo” balasku.

“Owalah Mas Danan, lagi tiduran jadi nggak keliatan.. kalau Mas Danan sih saya sudah tahu” ucapnya.

Aku sedikit mengernyitkan dahi. Apa mungkin Mas Sena yang mengenalkanku pada Naya.

“Dik Naya bisa tahu tentang saya dari mana? Mas Sena yang cerita?” Tanyaku penasaran.

Naya menggeleng dan mengambil posisi duduk di hadapanku. Aku memperbaiki posisi dudukku dan sedikit mengambil jarak darinya. Sebenarnya aku masih sedikit malu karna sepertinya tubuhku sedikit bau setelah perjalanan tadi.

“Mas Danan ini, putranya Nyai Kirana to?” ucapnya.

“I..iya, kok iso ngerti?” (I..iya, kok bisa tahu?) tanyaku bingung, apalagi aku juga merasa sedikit canggung mendengar nama ibu disandingkan dengan panggilan Nyai.

“Kita pernah bertemu waktu kecil di desa Kandimaya. Tapi mungkin Mas Danan sudah lupa” ucapnya.

Aku mencoba mengingat siapa saja yang pernah kutemui di desa Kandimaya saat kecil. Namun sepertinya aku tidak mengingat tentang Naya.

“Koncoku iki yo ngono mbak Naya, kenalan wedoke akeh.. dadine yo gampang lali” (Temenku ini ya gitu mbak naya, kenalan perempuanya banyak. Jadi gampang lupa) Ceplos Cahyo yang baru saja selesai.

“Uassem, pembunuhan karakter itu. Melanggar pasal tujuh undang-undang pertemanan” Balasku sambil menggeser segelas kopi jatahnya.

“Becanda, guyon ya mbak.. temenku ini malah paling sulit deket sama perempuan” Ralat Cahyo sambil menyeruput kopinya.
Nayapun tersenyum mendengar perbincangan kami.

“Yowis diminum, istirahat dulu.. Naya Tinggal dulu” ucapnya sambil pamit kepada kami.

“Nggih Dik Naya, matur suwun” balas Cahyo.

Akupun menyeruput kopi hitamku sebelum memutuskan untuk mandi. Cahyo mengeluarkan sepasang batu yang kami bawa dari Langgar watubumi dan meletakkanya di atas meja.

“Aku ra nyongko, sing awake dewe goleki ki mung watu koyo ngene” (Aku nggak nyangka, yang kita cari ternyata Cuma batu seperti ini) Ucap Cahyo.

“Iyo jul, tapi dibanding anehnya benda itu. aku lebih penasaran gimana ceritanya kamu bisa ketemu sama eyang widarpa waktu kecil” ucapku.

“Ya sampai kemarin aku juga nggak tahu kalau itu eyang...”

“Wis..wis... ntar aja ceritanya, tak mandi dulu” potongku sambil meledek Cahyo.

“Asem.. awas nggak tak ceritain lagi!” Teriak Cahyo sambil melemparkan sarungnya ke arahku.

***

Terdengar suara kentongan dari warga yang berpatroli di desa Jatmiko pada malam itu. Terlihat Jatmiko juga ada diantara rombongan itu.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. gimana?” tanya mas Jatmiko penasaran.

“Sudah mas, semoga saja benda ini benar berguna” balasku.

Mas Jatmiko menghela nafas lega, kantung matanya terlihat semakin besar. Sepertinya ia juga kurang istirahat.

“Mas Jatmiko lebih baik juga istirahat dulu, biar kami yang gantian jaga” ucap Cahyo.

“Jangan mas, kalian juga pasti capek.. istirahat dulu aja di rumah singgah” Balas Mas Jatmiko.
Kami setuju dan mas Jatmikopun mengantar kami ke rumah singgah untuk beristirahat.

Di rumah singgah kami segera meletakan barang-barang kami di kamar dan mengobrol dengan mas Jatmiko.

“Bukanya tidak mau istirahat mas, tapi setiap kepikiran tentang warga desa saya jadi tidak bisa tidur” ucap mas Jatmiko.

Walaupun sifatnya cukup keras dan sembrono, sepertinya mas Jatmiko memang sangat perhatian dengan desanya. Aku sudah sadar saat mengetahui warga desa akrab denganya walaupun perangainya cukup keras.

“Mas, diminum dulu...” ucap Cahyo yang membuatkan minuman untuk kami.

“Ini apa mas?” tanya mas Jatmiko yang heran dengan minuman yang dibuatkan oleh Cahyo.

“Jamu, resep dari paklek. Biar nggak gampang sakit” jawab Cahyo.

Kami bertiga menikmati jamu buatan Cahyo yang masih hangat. Tak butuh waktu lama hingga jamu yang diberikan Cahyo pada Jatmiko bereaksi. Seketika suara Jatmiko menghilang digantikan dengan suara dengkuran.

“Jamune paklek pancen ampuh yo jul...” (Jamunya paklek memang ampuh ya jul) ucapku.

“Iya nan, kasihan kalau mas Jatmiko memaksa diri begitu” balas Cahyo.

“Tapi jamu yang ini beda to?” tanyaku sambil menatap gelas yang diberikan Cahyo.

“Beda, itu obat kuat... biar kuat menghadapi kenyataan kalau kamu gagal deketin Naya” Ledek Cahyo.

“Heh.. enak aja, siapa yang deketin. Kamu sendiri? Gimana sama Sekar?” Tanyaku.

“Lha itu beda...” Jawabnya singkat.

Tapi saat itu kami berdua sadar, apa yang sering kami lakukan sangat berbahaya untuk orang-orang terdekat kami. Akupun teringat kejadian saat di desa tanggul mayit saat dukun dari trah brotowongso mengirimkan roh peliharaanya untuk menyakiti ibu dan bulek.

Seandainya tidak ada kliwon dan buto lireng, mungkin mereka sudah celaka.
Tanpa saling berbicarapun kami sudah mengerti bahwa orang-orang yang kami sayang, bisa saja menjadi incaran musuh-musuh yang kami hadapi.

***

Pagipun datang, aku dan Cahyo yang juga tertidur diteras terbangun dengan suara beberapa warga yang memulai aktivitas paginya.

“..eh maaf, saya ketiduran” Ucap mas Jatmiko.

“haha.. nggak papa mas, malah bagus kan bisa istirahat” balasku.

Mas Jatmiko pamit sebentar untuk kembali ke rumah untuk mencari makan sapi peliharaanya dan mengecek kebunya.

“Nanti mungkin gendis dan Pak Pram yang nganter sarapan” jelas mas Jatmiko.

“Ia mas, matur nuwun.. tenang saja” balasku.

Beruntung semalam kutukan sinden itu tidak menyerang desa ini. Tapi jadinya kami kesulitan menerka kapan sinden-sinden itu akan datang. Atau memang mereka sengaja menunggu agar kami lengah?

***

“Kulo nuwun mas...” (Permisi mas) Pak Pram datang bersama Gendis membawakan sebuah rantang.

“Monggo Pak Pram, masuk.. kamu masih libur Gendis?” tanyaku.

“Iya Mas... ini Gendis masakin bayem sama bandeng, dicobain ya” balas gendis.

“Yang bener? Kamu yang masak?” tanyaku.
Gendis mengangguk.

“Gendis memang sudah sering bantuin ibunya masak dari kecil, masakanya sama enaknya dengan masakan ibunya” Jelas Pak Pram.
Seketika Cahyo merebut rantang itu dari tanganku.

“Wah, tak bisa dibiarkan ini. mumpung bandengnya masih anget.. sini biar aku yang urus” ucap Cahyo yang segera membawa rantang dari Gendis ke dapur.
Gendis tertawa melihat reaksi Cahyo.

Kamipun duduk lesehan di tikar di ruang tamu sambil menunggu Cahyo menyiapkan perlengkapan makan.

“Kami sudah mendengar cerita mengenai Baskoro mas..” buka Pak Pram.

“Mohon maaf pak, kami sudah mencoba untuk menolongnya sebisa mungkin. Tapi kami gagal” jawabku.

“Bukan salah Mas Danan, kami juga sudah mendengar semua ceritanya dari Jatmiko. Tapi kami khawatir akan seseorang lagi...” ucap Pak Pram.

“Siapa pak?” Tanyaku.

“Mbah Jurip, dia juga punya anak dan istri di kampungnya...”

Aku menatap Pak Pram dan mengetahui maksudnya. Namun ini tidak mudah, Mbah Jurip sudah terlena dengan pemberian iblis berwujud sinden itu. Mungkin saja ia juga sudah lupa dengan keluarganya.

“Pak Pram, bukanya Mbah Jurip sudah hampir membunuh bapak?” tanyaku yang masih tidak menyangka Pak Pram masih berniat menolong Mbah Jurip setelah apa yang ia lakukan kepada Pak Pram.

“Itu urusan lain, setidaknya ia harus terlepas dari pengaruh iblis itu dan hidup untuk menebus dosanya” Ucap Pak Pram.

Aku mengangguk mengerti dengan maksud Pak Pram. Sementara itu aku mendengar suara langkah kaki Cahyo yang mendekat.

“Wah... ini sih menu istimewa” Ucap Cahyo yang membawakan piring-piring dan lauk ke hadapan kami.

“Sik Jul.. ketoke ono sing salah” (sebentar jul, kayaknya ada yang salah) Ucapku.

“Opo to nan?” (Apa to nan?) Ucap Cahyo.

“Iki uwonge papat, kok iwak bandenge mung telu…” (ini orangnya empat, kok ikan bandengnya Cuma tiga?) Tanyaku.

“Wah iya... ketoke ono kucing sing nyomot mau neng pawon” (Wah iya, kayaknya ada kucing yang ngambil tadi di dapur) Ucap Cahyo.

“Percoyo.. kucinge nganggo sarung to?” (Percaya.. kucingnya pake sayur kan?) ucapku sambil mengambil rantang berisi ikan bandeng dan membagikan satu-satu ke piringku, Pak Pram, dan gendhis.

“Lha.. aku piye nan?” (Lha aku gimana nan?) tanya Cahyo yang tidak kebagian lauk ikan bandeng.

“iki, ambunen wae... ben iso ono aroma bandengnya” (Ini, dicium aja.. biar bisa ada aroma bandengnya) Ucapku sambil mendekatkan piringku kepada Cahyo.

“Nah iyo... lumayan” ucapnya sambil nyengir.
Pak Pram dan gendis hanya menggeleng melihat tingkah Cahyo. Namun setidaknya kami bersyukur pagi ini kami dapat merasakan sarapan pagi yang tenang dan damai, sebelum bersiap menghadapi malam-malam berikutnya.

***

Malam itu suara kentongan kembali terdengar dari ujung timur desa. Kami segera bergegas menuju arah suara itu dan menemui Pak Pram yang sudah berada disana terlebih dulu. Sayup-sayup aku mendengar suara tembang yang dinyanyikan oleh sinden yang tidak dapat kutemui wujudnya.

“Kali ini istri Pak Cipto” ucap Pak Pram.

Aku mengangguk dan meminta ijin untuk memeriksa keadaan Bu Cipto. Matanya terbelalak, ia tidak menjawab apapun yang kami teriakkan kepadanya.

Ini yang kurasakan saat kami mendengar alunan tembang yang dinyanyikan sinden terkutuk itu.

“Ini Nan...” Cahyo mengeluarkan sepasang batu yang kami bawa dari Langgar watu bumi.
Aku mencoba mendekatkanya pada Bu Cipto dan memukulkan batu itu satu sama lain.

Bukan seperti suara batu yang saling beradu, tapi suaranya seperti sebuah besi yang beradu dan menciptakan gema kecil yang panjang.

“T...tolong!!!”
Tiba-tiba Bu Cipto tersadar, ia terlepas dari kutukan tembang sinden itu.

“Cahyo, batu ini benar-benar berguna” ucapku pada Cahyo.

Cahyo terlihat tersenyum senang ketika mengetahui usaha kami membuahkan hasil.

“Bu? Ibu nggak papa?” Ucap Pak Cipto yang segera memeluk istrinya yang tengah ketakutan itu.

“Berhasil Mas Danan?” Tanya mas Jatmiko yang baru datang.

Aku mengangguk dan seketika ekspresi mas Jatmiko terlihat senang. Hal ini terjadi beberapa kali.

Suara kentongan terdengar dari beberapa tempat menandakan ada korban lain, Namun setiap warga yang terkena kutukan bisa pulih dengan suara yang dikeluarkan oleh sepasang batu itu.

Jatmiko berinisiatif mengumpulkan kentongan yang ada di setiap rumah warga dan membaginya dengan rata untuk memberi sinyal apabila ada warga yang terkena kutukan lagi. Dengan begitu Pak Pram yang kami percayai memegang batu itu bisa dengan cepat menolong warga lainya.

Beberapa jam setelah tengah malam suara tembang itu mulai tidak terdengar.

“Sudah tidak ada lagi warga yang terkena kutukan pak?” Tanyaku memastikan pada Pak Pram.

“Sudah Mas Danan, terima kasih..” ucap Pak Pram yang mengembalikan kedua batu itu kepada kami.

Aku saling bertatapan dengan Cahyo yang sudah mengerti maksudku.

“Kalian ingin kembali ke Pendopo?” Tanya Pak Pram.

“Iya pak, kami harus mencari cara agar kutukan itu bisa benar-benar dimusnahkan..” balasku.

“Berarti kalian ingin menghadapi sinden-sinden itu lagi?” Wajah Pak Pram terlihat khawatir.

“Iya pak, tidak ada pilihan lain...”
Pak Pram mencoba mengerti niat kami, tapi sepertinya ia memang benar-benar khawatir.

“Kalian tidak perlu pergi ke pendopo...” Ucap Jatmiko yang baru datang dengan terengah-engah.

“Kami harus.. mas..”
“Mereka sudah datang sendiri...” Potong mas Jatmiko.

Seketika aku dan Cahyo panik. Kami segera meninggalkan balai desa menuju arah yang ditunjukkan oleh Jatmiko.

Benar ucapan Jatmiko... saat kami keluar sudah terlihat beberapa sosok dari beberapa sudut desa ini.

“Nek kutukan ora iso mateni kowe kabeh, ben Joko Garu sing nyeleseke” (Kalau kutukan tidak bisa menghabisi kalian semua, biar Joko Garu yang menyelesaikan) ucap sosok sinden yang menyerupai Nyai Lindri yang berdiri di gerbang desa tempat ia menggantung dirinya sendiri saat sebelumnya.

Berbeda dengan saat bersama Mbah Jurip, sosok Nyai Lindri kali ini begitu menyeramkan dengan kulit wajah yang sudah membusuk dan wajah penuh amarah.

“Nyai Lindri.. maafkan kami semua, kami tidak berani menyelamatkanmu saat itu” ucap salah seorang warga yang berusaha meredam dendam Nyai Lindri.

Nyai Lindri hanya tersenyum, namun senyuman itu memberi perintah pada sosok makhluk hitam Joko Garu. Kali ini aku bisa melihat sosok itu dengan jelas, sosok seorang panglima bertubuh hitam dengan mata yang cacat.

Seolah mengerti maksud Nyai Lindri, Joko Garu yang berjalan setengah merangkak menghampiri warga desa itu dan bersiap melibaskan tanganya yang berkuku tajam dan penuh darah.
Beruntung Cahyo sudah tiba disana dan menghadangnya.

“Semua warga kumpul di balai desa, jangan jauh-jauh dari Danan” perintah Cahyo.
Jatmiko mengerti dan mengarahkan semua warga untuk memasuki balai desa.

“Mas Danan tidak membantu mas Cahyo?” Tanya Pak Pram.
Aku menggeleng

”Kalau hanya Joko Garu, seharusnya Cahyo bisa menghadapinya”

“Alangkah lebih baik bila Mas Danan dan mas Cahyo tidak meremehkan demit itu” ucap Pak Pram.

“Kami tidak meremehkan, tugasku disini adalah melindungi kalian dan mempercayakan Joko Garu pada Cahyo.

Ada sosok yang belum terlihat hingga sekarang, bisa jadi dia bisa menyerang warga desa” Balasku.

“Mbah Jurip?”
Aku mengangguk.
Pertarungan besar seolah akan terjadi di tengah desa. Suara sinden yang mengalun mengiringi pertempuran Cahyo dan Joko Garu.

Aku mempercayakan sepasang batu langgar watubumi itu pada Pak Pram untuk terus memukulnya selama pertarungan Cahyo berlangsung.

“Wanasura! Kita selesaikan ini dengan cepat..” Teriak Cahyo yang disambut dengan suara auman hewan buas yang menggema ke seluruh desa.

Seketika kekuatan wanasura merasuk ke lengan dan kaki Cahyo.

Joko Garu menarik tombaknya dan menyerang Cahyo, namun dengan kekuatan wanasura, Cahyo bisa bergerak dengan lincah melompatinya dan membalas seranganya.

Beberapa kali Joko Garu tersungkur menerima serangan Cahyo. Wajah Nyai Lindripun berubah kesal.

“Demit goblok! Melawan monyet saja tidak becus!” teriak Nyai Lindri.

Joko Garu menyerang Cahyo dengan membabi buta, namun selalu berakhir dengan tubuhnya yang dipentalkan dengan kekuatan wanasura.

“Sudah tidak usah ikuti perintah sinden keparat itu, panglima sepertimu tidak pantas diperintah oleh setan busuk seperti mereka” Ucap Cahyo.

Joko Garu terhenti seolah berpikir, namun Nyai Lindri menyanyikan sebuah tembang yang merubah ekspresi Joko Garu.
Seketika air mata Joko Garu menetes dari rongga matanya yang kosong. Iapun berubah semakin beringas dan membuat Cahyo kerepotan.

“Gendis, lagu ini?” Ucap seorang anak yang menghampiri Gendis.

“Iya Kia, berarti cerita almarhum eyangmu tentang Joko Garu itu benar?” Balas Gendis.

Aku menoleh kepada mereka dan mencari tahu tentang apa yang mereka maksud.

“Maksud gendis dan kia apa Pak Pram?” Tanyaku pada ayah Gendis.

Pak Pram mengusap kepala gendis dan mulai bercerita tentang sosok seorang panglima di kerajaan yang dulu pernah berada di sekitar tempat ini.

Jaman dulu ada dongeng di desanya tentang seorang panglima yang sangat dikenal oleh rakyat. Prestasinya dalam mengalahkan musuh-musuhnya membuatnya menjadi cukup dikenal. Panglima itu dekat dengan rakyat dan sering bergabung dengan warga di keramaian.

Sampai suatu ketika, sebuah kekalahan perang menyapu semua prajuritnya dan luka yang ia terima mengambil penglihatanya. Awalnya ia ingin berusaha menerima keadaan, namun yang terjadi saat ia kembali ke tempatnya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Ia ingin mencoba kembali berkumpul dengan warga desa. Walaupun ia tidak dapat melihat, ia bisa mendengar langkah kaki semua orang yang menjauhinya..

Ia sesekali kembali ke istana, namun pendengaranya yang semakin tajam selalu bisa mendengar hinaan atas kondisi fisiknya saat ini...

“Panglima? sekarang dia lebih pantas dipanggil sebagai kacung... bahkan kacungpun masih berguna”

Memang kekalahan dari pertempuran sebelumnya mengakibatkan kerugian banyak bagi kerajaan. Banyak warga yang tidak bersalah ataupun anggota keluaranya dihabisi oleh prajurit kerajaan musuh, dan Joko Garu dikambing hitamkan sebagai penyebab kekalahan kerajaan ini.

Joko Garu meninggalkan istana dengan penuh amarah, namun tidak ada yang peduli. Ia hanya terjatuh dan terus terjatuh setiap melalui tangga istana.
Tidak ada yang peduli denganya... seluruh orang di kerajaan itu membenci dirinya karena fitnah yang ditujukan pada dirinya.

Ia tidak tahu sudah berjalan sampai mana. tanpa ada yang bisa ia lihat, ia hanya mendengar semua cacian dan umpatan dari semua warga.
Ia menangis sejadi-jadinya, namun semua warga malah menertawakanya.

Ia terus menangis hingga sampai di sebuah tempat dimana ia tidak bisa mendengar siapapun lagi.
Sampai saat ia kehabisan tenaga, ia mendengar suara tembang yang merdu yang dinyanyikan oleh seseorang.

Awalnya ia tidak peduli, namun suara itu terdengar semakin dekat hingga seseorang menyentuh tubuhnya.

“Tuan panglima, biar saya yang mengobati tuan..” ucapnya.

Awalnya Joko Garu tidak mau, namun perempuan itu tidak memaksa.

Ia hanya menemaninya sambil menyanyikan tembang yang menenangkan Joko Garu hingga Joko garu menerima tawaran wanita itu.
Perempuan itu mengajak Joko Garu tinggal di rumahnya. Ia merawat Joko Garu dengan penuh perhatian hingga menimbulkan perasaan di hati Joko Garu.

“Seandainya saja aku bisa meminangmu menjadi istriku?” Ucap Joko Garu.

Namun ternyata yang diinginkan dari perempuan itu lebih dari itu. Perempuan itu menyanyikan sebuah lagu dengan merdu mengelilingi Joko Garu.

Ia menyentuh wajah hingga seluruh bagian tubuhnya dengan kulitnya yang halus. Joko Garu merasakan tubuh perempuan itu begitu dekat dengan aroma wangi yang tercium dari tubuh perempuan itu.

Tubuh Joko Garu bergetar, jantungnya berdebar merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan bahkan sebelum kehilangan penglihatanya.
Apa yang diharapkan Joko Garu terjadi. Perempuan itu mencium bibir Joko Garu.

Dan saat tanganya mencoba memeluk perempuan itu, ia merasakan perempuan dihadapanya itu tidak mengenakan sehelaipun benang di tubuhnya.

“Kamu bisa mendengar suara merduku setiap saat tuan panglima, kamu juga bisa terus menyentuh tubuhku dan menikmatinya sesuka hatimu, namun ada satu syarat..” Ucap perempuan itu.

“A..apa itu?”

“Aku mau kita menyerahkan jiwa kita pada setan di gunung utara untuk mendapatkan kekuatan membalas dendam pada sang prabu dan seluruh rakyatnya”

Joko Garu yang tergoda oleh pesona wanita itu dan terbakar dendam oleh perlakuan raja dan rakyatnya tak berpikir panjang dan mengiyakan permintaan perempuan itu.

Mereka melakukan ritual di gunung utara dengan menjual jiwanya pada iblis untuk mendapatkan ilmu hitam yang mampu membalaskan dendamnya.
Kekuatan Joko Garu menjadi tak terkira, ia menghabisi seluruh prajurit dan rakyat yang ia temui.

Setelahnya, ia kembali untuk bercinta dengan wanita yang mempengaruhinya itu. Ia terus melakukan itu, dan berhasil membunuh panglima dan pejabat kerajaan yang menghina dirinya.
Namun saat ingin membunuh sang raja, seranganya terhenti.

Raja berhasil menangkap wanita yang dicintai Joko Garu terlebih dahulu. Wanita itu tetap meminta untuk membunuh sang raja, namun sang raja mengancam akan membunuh wanita itu jika Joko Garu melawan.

“Aku ingin melihat, apa kamu berani membunuh istrimu sendiri?” ucap wanita itu.

Rupanya wanita itu adalah sang ratu yang pernah diusir dari istana, ia ingin membalas dendam atas segala penghinaan yang diberikan kepadanya.
Saat mengetahui kenyataan itu, Joko Garu kehilangan keinginanya untuk bertarung. Seluruh prajurit menangkapnya.

Sang ratu yang berkhianat dan Joko Garupun dihukum mati dengan dibakar hidup-hidup di alun-alun kota.

“Seburuk-buruknya dirimu, makhluk yang berada di tahta itu jauh lebih menjijikkan” ucap sang ratu yang sudah terikat di sebuah tiang bersama dengan Joko Garu.

Joko Garu tidak membalas ucapan itu.

“Setidaknya biar tembang ini menemani perpisahan kita” Api yang menyala berkobar membakar kedua tubuh yang masih benyawa.

Bukan suara teriakan yang terdengar, namun suara tembang yang mengalun merdu mengantar kepergian Joko Garu sebelum disusul oleh seseorang yang dicintainya.
Rasa penyesalan dan jiwanya yang sudah digadaikan oleh iblis dimanfaatkan oleh abdi setan lainya sebagai budak mereka.

***

“Rupanya ada kisah kelam dibalik makhluk itu..” ucapku.

“Suara tembang yang dinyanyikan Nyai Lindri itu, adalah suara yang mengingatkanya pada perempuan yang dicintainya” Ucap Pak Pram.
Aku mengerti dan segera memberi isyarat pada Cahyo.

“Maafkan aku Joko Garu, aku yakin geni baraloka paklek atau air hujan dari nyi sendang rangu bisa menenangkanmu. Tapi untuk sekarang kamu harus menyingkir dari tempat ini” Ucap Cahyo.

Serangan beringas Joko Garu ditahan oleh Cahyo, dengan sebuah pukulan tombak yang ia gunakan patah berkeping-keping. Joko Garupun terkapar di tanah tanpa bisa bergerak sedikitpun, namun saat itu aku masih bisa melihat air mata menetes dari matanya.

***

Nyai Lindri terlihat panik, namun kepanikanya seketika reda saat muncul sosok sinden berwajah hitam keriput berjalan sedikit bungkuk menghampiri dirinya.

Tak hanya itu, saat ini juga muncul sosok-sosok perempuan dengan pakaian sinden di atas pohon-pohon desa dengan wajah yang pucat. Sosok itu juga terlihat duduk dengan anggun di atap-atap rumah warga desa.
Desa ini sudah dikepung...

“Ngapunten Nyai Jiwonto, sepertinya Joko Garu gagal..” Ucap Nyai Lindri dengan sangat sopan pada makhluk itu.

Kamipun semakin waspada, sepertinya sosok sinden yang paling tua itu adalah pemimpin mereka.

“Mati kalian!!!”

Terdengar suara teriakan seseorang yang mencoba membunuh warga desa dengan keris di tanganya.
Aku sudah mempersiapkan hal ini, sukmaku sudah terpisah dan menahan serangan orang itu dengan keris kami yang saling beradu.

“Lindri... akan kubunuh mereka semua untukmu, jangan pergi Lindri”

Itu adalah Mbah Jurip. Seseorang yang sebelumnya sombong kini patuh terhadap sosok sinden yang ia banggakan didepan Baskoro.

Ia terus memohon perhatian dari Nyai Lindri, namun sebaliknya Nyai Lindri hanya membuang muka.

“Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali lindri?” ucapnya yang mencoba mendekat pada Nyai Lindri.

Sayangnya Nyai Lindri menatapnya dengan jijik yang membuat Mbah Jurip menahan diri untuk mendekat.

“Buktikan dulu apa yang kau ucapkan..” ucap Nyai Lindri.

Saat itu juga, Mbah Jurip menyayat lenganya beberapa kali dengan kerisnya.

Darah bercucuran dari tanganya dan membasahi tanah dibawahnya.

“Ini semua untukmu Lindri...” ucapnya sambil menahan sakit.

Saat itu berbagai sosok makhluk mendekat menuju darah yang ditumpahkan oleh Mbah Jurip.

Kobaran banaspati, wanita tanpa wajah, pocong berwajah hitam, hingga roh yang bergentayangan.

Mereka menjilati darah yang keluar dari tubuh Mbah Jurip dan terus meminta lebih dari tubuhnya.

Aku yakin makhluk-makhluk itu akan ia manfaatkan untuk menghabisi warga desa hanya untuk memenuhi dendam Nyai Lindri.

Alunan suara kembali terdengar. Kali ini suara itu tidak hanya terdengar dari Nyai Lindri.

Suara itu terdengar dari seluruh sinden pengabdi setan yang berada di seluruh sudut desa ini. mereka melayang meninggalkan tempatnya dan mengepung kami semua.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


Cuplikan (Part 6) - Kirana
Mengalahkan Mbah Jurip seharusnya bukan perkara besar, namun Danan dan Cahyo masih berusaha agar Mbah Jurip sadar dan mau bertobat.

Di tengah pertarungan, Nyai Jiwonto sosok pemimpin para sinden itu melantunkan sebuat tembang terkutuk.

Bahkan gema dari batu langgar watubumi tidak mampu menahanya.
beruntung seorang wanita muncul dengan melantunkan sebuah tembang yang mampu menangkal kutukan itu..
close