Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINDEN PENGABDI SETAN (Part 6) - Kirana

Adu ilmu dan kesaktian rupanya tidak cukup untuk menyelamatkan desa, namun kedatangan sosok seorang wanita membuka jalan baru untuk tragedi ini..

Dia Nyai Kirana...


JEJAKMISTERI - Bayaran untuk mendapat kesaktian secara cepat tidaklah murah. Ilmu hitam mampu memuaskan nafsu penggunanya untuk menuntaskan dendam, mendapatkan kekuasaan, menaklukan, dan mendapatkan hal duniawi yang mereka ingingkan.

Banaspati, sosok bola api ilmu hitam yang melayang-layang di atas desa hadir disini dengan perintah Mbah Jurip yang menuruti perintah Nyai Lindri hanya karna hawa nafsunya.
Ular siluman yang terikat dengan keris pusakanya juga telah bersiap menyerang warga desa.

Tak cukup dengan itu, Mbah Jurip juga memanggil sosok roh, pocong, hingga makhluk yang harusnya sudah tenang di alam sana, seolah Mbah Jurip mengerahkan segala ilmu yang ia bisa kali ini.

“Mbah?! Kowe wis edan opo mbah? Kowe ra sadar ragad kanggo iki kabeh!” (Mbah?! Kamu sudah gila? Kamu nggak sadar bayaran atas ini semua!) Teriak Cahyo mencoba memperingatkan.
Sayangnya aku tahu, ini semua sudah terlambat.

“Khekhekhe... aku ora peduli! Angger Nyai Lindri ono ning sandingku, opo wae tak lakoni!” (Khekehe.. aku tidka peduli! Selama Nyai Lindri ada di sampingku, apa saja aku lakukan!) Balas Mbah Jurip dengan wajah yang sudah berubah drastis sejak sebelumnya.

Wajahnya benar-benar seperti seseorang yang kehilangan akal.

Ia seperti ketakutan dan putus asa seolah sangat takut kehilangan Nyai Lindri.

“Eling Mbah Jurip! Kowe nduwe anak bojo sing ngenteni ning omah!” (Ingat Mbah Jurip! Kamu masih punya anak istri yang setia menunggumu di rumah) Teriakku yang masih berusaha menyadarkan Mbah Jurip.

Wajah Mbah Jurip terlihat bingung, mungkin ia teringat sekilas tentang keluarganya namun sepertinya itu tidak berarti dibanding hawa nafsunya terhadap Nyai Lindri.
Warga desa terlihat ketakutan dengan apa yang mereka lihat saat ini.

Seseorang yang mereka mintai tolong untuk menyelesaikan masalah ini, kini berbalik ingin membunuh mereka semua.
Bagi Cahyo mungkin menghadapi banaspati itu tidak sulit. Tapi seandainya Cahyo mengalahkan Banaspati itu..

Mbah Jurip akan memanggil kembali Banaspati untuk melawan Cahyo. Itu artinya akan ada nyawa lagi yang ditumbalkan.

“Biar kami yang menjaga mereka... selesaikanlah masalah ini...” Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku.

Tak hanya itu, aku merasakan kehadiran banyak sosok yang mendekat.

“…Pakde?!” Teriak Gendis tiba-tiba kepada sosok yang berada di belakangku itu.

“Gendis, kamu ngomong sama siapa?” tanya Ayah Gendis.

“Mereka dateng pak, warga hutan belakang! Yang kemarin nolongin kita!” teriak Gendis.

Benar, aku ingat mereka. Mereka adalah warga hutan belakang yang kemarin menyelamatkan kami. Kali ini mereka hanya menampakan diri pada Gendis, mungkin mereka tidak ingin membuat warga desa lainya panik.
Seseorang yang Gendis panggil dengan sebutan Pakde itu tersenyum dan mengangguk ke arahku. Walau dengan wajah pucat yang menyeramkan, Ia seolah memberi isyarat agar aku tidak perlu khawatir.

Akupun membalas senyumanya dan pergi meninggalkan mereka yang sudah berbaur dengan warga desa yang masih hidup.

“Cahyo, kita selesaikan...” ucapku.

“Warga desa?”
“Sudah ada yang menjaga mereka”
Cahyo menoleh ke arah warga desa dan segera mengerti maksudku.

Cahyo mengambil segenggam tanah, membacakan beberapa kalimat doa dan melemparkanya sebuah lahan kosong.
Banaspati itu mejadi hitam, makhluk itu menyadari benda yang di lempar Cahyo dan menerjang tanpa ampun. Ledakan besar terjadi ketika bola api hitam itu menyentuh tanah.

Mbah Jurip terlihat panik, ia tidak menyangka ilmu andalanya bisa dihentikan semudah itu oleh Cahyo.
Akupun segera menerjang Mbah Jurip, sementara Cahyo mencoba menahan ular siluman dan makhluk yang mendekat ke arah warga.
Keris itulah yang kuincar.

Aku tahu, Mbah Jurip bisa memanggil berkali-kali siluman ular siluman dengan bantuan keris pusaka di tanganya.
Keris kami berduapun beradu. Sebuah dentuman terdengar dari peraduan kedua pusaka yang saling menunjukan kemampuanya.

Ada kalimat doa yang kubacakan setiap keris kami beradu.
Tak satupun serangan dari keris kami mengenai salah satu dari kami, hanya pertarungan sengit dengan saling mengadu pusaka yang terjadi saat ini. Bukan tanpa alasan, sebisa mungkin aku tidak ingin melukai Mbah Jurip.

Beruntung ilmu bela diri Mbah Jurip tidak sehebat yang kuperkirakan. Aku bisa menghindari setiap seranganya bila berhati-hati. Sampai akhirnya Mbah Jurip sadar dengan hilangnya satu persatu sosok ular siluman yang sebelumnya ia panggil.

“Brengsek! Apa yang kalian lakukan?!” Teriaknya.

Aku tidak menjawab dan terus menyerang kerisnya sambil membacakan kalimat doa, hingga akhirnya runtutan doa yang kubacakan selesai. Mbah Jurip melompat mundur dan memperhatikan kerisnya.

“Sudah selesai nan?” Tanya Cahyo.
Aku mengangguk.

“Pusakaku?! Pusakaku?! “ Teriak Mbah Jurip dengan panik.

“Heh Dukun cabul! Sekarang pusakamu itu tidak lebih dari seonggok besi karatan” Ledek Cahyo.

Mbah Jurip membacakan berbagai mantra, namun percuma. Aku sudah berhasil memutihkan pusaka itu.

Sekarang keris pusaka yang terikat dengan sosok roh ular siluman itu sudah tidak lebih dari besi berbentuk keris biasa.

Mbah Jurip melihat sosok roh yang ia panggil, namun sebagian dari mereka sudah menghilang ditenangkan oleh doa Cahyo dan sebagian lagi tidak berani mendekat.

“Sudahi saja Mbah Jurip, sudah tidak ada lagi ilmumu yang bisa kau gunakan” ucap Cahyo.

“Bertobat mbah, Tuhan Maha Pengampun.. mungkin saja ada cara untuk menebus dosa-dosa Mbah Jurip” Tambahku.

Mbah Jurip semakin panik, ia menoleh kepada Nyai Lindri dan Nyai Lindri membalasnya dengan tatapan yang melecehkan. Mbah Juripun tidak dapat berkata apa-apa lagi.

“Wis nan, Gentenan kita urusi sinden-sinden sing swarane koyo kaleng rombeng iki..” (Sudah Nan, gantian kita urusin sinden-sinden yang suaranya seperti kaleng rombeng ini) ucap Cahyo.

Aku setuju denganya, sedari tadi mereka nyinden dengan suara yang aneh. Aku yakin itu adalah kutukan, seandainya tidak ada batu dari langgar watubumi itu mungkin sudah ada beberapa dari kami dan warga desa yang mati.
Aku menggenggam keris ragasukma di tanganku dan bersiap menyerang Nyai Lindri yang sudah tidak memiliki pertahanan.

Belum sempat kerisku mengenainya, muncul seseorang yang menahan seranganku dengan tongkatnya dan menatapku dengan kesal.
Ia adalah seseorang yang dipanggil dengan Nyai Jiwonto, sinden tua yang kuduga adalah pemimpin dari mereka semua.

“Lindri! Aku bunuh satu !!!”

“Mas Danan Awass!!” Teriak Gendis dari Jauh.

Terdengar suara Mbah Jurip yang menerjangku dari belakang menusukkan kerisnya ke tubuhku dan gendis yang mencoba memperingatkanku.
Aku lengah, Keris kosong itu menancap di punggung bahuku, darahkupun mengalir.

Beruntung ini hanyalah tusukan kecil. Rupanya Cahyo berhasil menahan Mbah Jurip dari belakang sebelum kerisnya menusuk dengan dalam.

Cahyo tidak mau mengambil resiko dan menghantap Mbah Jurip hingga tak sadarkan diri. Aku tidak menyangka tanpa kekuatanyapun ia masih bertingkah senekad ini.
Aku melihat Nyai Jiwonto tersenyum dan kembali ke samping Nyai Lindri.

***

(Urip ning dunyo sing tonpo pangarep..) Terdengar suara Nyai Jiwonto nyinden dengan suara yang aneh.

(Pepeteng wengi nimbali lelembut lan petoko...
Drajat menungso ora ono regone ing pepeteng wengi..)

Aku tidak bisa mendengar dengan jelas kata-kata yang terucap setelah itu, namun seketika aku merasakan sesuatu mencoba menguasai alam pikiranku. Aku menatap pada Cahyo, ia juga seperti menahan sesuatu.

“Tembang iki, ono sing ora beres karo tembang iki” (Lagu ini.. ada yang tidak beres dengan lagu ini) Teriak Cahyo yang akhirnya terjatuh sambil menutup telinganya.

Aku menoleh ke arah Ayah Gendis, ia masih menggunakan batu itu namun gema dari batu itu tidak berefek dengan tembang ini. Sebaliknya sebagian warga sudah teriak kesetanan seolah ada yang mempengaruhi pikiran mereka.

Roh dari belakang hutan berinisiatif merasuk ke tubuh warga desa, aku tahu mereka melakukan itu untuk membantu warga desa mengendalikan dirinya.

“Wanasuraa!” Cahyo berteriak memanggil sosok kera pelindung hutan wanamarta untuk merasuk ke dirinya. Namun tidak berhasil, sebaliknya wanasura juga terlihat gelisah.
Mataku terasa panas. Ingatan mengerikan mulai masuk ke pikiranku.

Rasa sakit seperti saat tergantung pada seutas tambang kurasakan seolah mengambil nyawaku sedikit-demi sedikit. Aku tahu, ini adalah perasaan Nyai Lindri saat memutuskan untuk mengakhiri nyawanya dengan menggantung dirinya di gerbang desa.

Matanya menatap lurus ke sebuah rumah yang pernah ia tinggali. Rumah Baskoro.
Aku mendengar Cahyo terus berteriak, entah penglihatan apa yang ia rasakan. Namun aku tidak berkutik, aku seolah hampir kehabisan nafas merasakan semua yang terjadi padaku.

..Kelingan swarga ing wayah isuk sing sepi..
Degg!
Terdengar suara tembang mendekat dari arah gerbang desa, suara tembang itu seolah menyentuh detak jantungku.

…lelembut lan menungso nduweni karep sing bedo,
langit ndherekake wong kang manut marang Gusti...

Aku mengenal suara ini, seketika pengaruh tembang Nyai Jiwonto tidak lagi menguasaiku. Aku menoleh ke arah suara itu, dan sudah ada beberapa orang memasuki desa. Itu adalah Naya, Sena dan teman-teman dari padepokan.

“Mas Danan!” Teriak Mas Sena yang menghampiriku sementara Naya terus menyanyi menangkal tembang Nyai Jiwonto.
Aku mencoba memulihkan diriku, Cahyopun terlihat sudah sadar.

“Tembang terkutuk Pepeteng Wengi, tanpa ilmupun tembang itu bisa membuat pendengarnya kehilangan akal sehat” Ucap Mas Sena.

Nyai Jiwonto terlihat kesal. Ia memberi isyarat kepada sinden lain untuk mengelilingi kami termasuk Mas Sena dan Naya.

Ini tidak akan mudah, masing-masing sinden ini membawa berbagai kutukan. Namun sebelum mereka melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok yang merubah raut wajah sinden-sinden itu.
Sebentar lagi pagi akan datang…

Seketika sinden-sinden pengabdi setan itu menghilang satu persatu ke dalam kegelapan. Mereka menatap kami dan warga desa dengan tatapan mengerikan seolah memastikan mereka akan kembali lagi.

“Urusan kita belum selesai” ucap Nyai Jiwonto yang segera meninggalkan kami di gelapnya malam yang hampir bersanding dengan cahaya pagi.

***

“Mas Danan nggak papa?” Naya menghampiriku setelah melihat darah mengalir dari punggungku.

“Luka tusukan kecil Naya, nggak papa..” Balasku.

“Naya obatin dulu” ucapnya sambil membantuku untuk berdiri.

“Adududududuh... Sakit” Terdengar suara Cahyo merintih kesakitan.

Segera Mas Sena menghampirinya dan mengecek apa yang terjadi padanya. Aku melihat Cahyo menoleh ke arah Mas Sena.

“Ora iso, sing ngobati kudune Naya...” (Nggak bisa, yang ngobatin harus Naya..) Teriak Cahyo.

Seketika aku mencopot sandalku dan melemparkan tepat ke wajahnya.

“Cangkemu kuwi, iso-isone” (Mulutmu itu, bisa-bisanya) Ucapku.

Cahyopun hanya nyengir dan kembali berdiri. “Ya namanya juga usaha nan”

Mas Sena hanya menggeleng melihat tingkah laku Cahyo. Namun aku tahu setelah pertarungan tadi tubuh Cahyo juga pasti tidak sesehat yang ia tunjukan.

***

Aku menoleh ke arah warga desa, roh-roh yang sebelumnya menjaga mereka berpamitan bersamaan terbitnya matahari yang menyelamatkan kami.

“Naya, tadi yang kamu nyanyiin tembang apa?” tanyaku.

Naya hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.

“Kok senyum-senyum sendiri, bukanya di jawab” Tanyaku lagi.

“Lha aku mau jawab juga lucu, wong sing ngajari tembang kuwi Nyai Kirana.. Ibunipun Mas Danan” (Lha aku mau jawab juga lucu, orang yang ngajarin lagu itu Nyai Kirana.. Ibunya Mas Danan) Balas Naya.

Aku kaget mendengar jawaban itu.

“Nyai Kirana sudah tahu tentang adanya sinden-sinden yang menggunakan cara-cara menyimpang. Mereka mengabdi pada sosok lelembut yang bisa memberikan pengasihan makanya Nyai Kirana mengajarkan lagu itu” Cerita Naya.

“Nyai Kirana dan murid-muridnya jarang sekali ada yang menonjol di setiap pementasan, karena ada sinden-sinden lain yang terlihat lebih mempesona”

Aku mengingat wejangan-wejangan selama aku tinggal sama ibu. Memang aku tahu ibu sering bercerita soal itu. Namun pada jaman aku kecil penggunaan susuk, minyak pengasihan, dan mustika adalah hal yang biasa dilakukan.

“Kalau kamu segitu dekat dengan ibu, kenapa kita nggak saling kenal ya?” Tanyaku.

Lagi-lagi Naya tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan menyelesaikan pengobatanya untuk lukaku.

“Mbak.. jangan sering-sering senyum, nanti masnya baper” Ledek Cahyo.

“Sandalku masih sisa satu lho jul.. pilih tak lempar kemana?” Balasku.

“Ke pohon pisang di depan aja, siapa tau jatuh satu” Balas Cahyo.
Aku hanya menggeleng sambil mengenakan sandalku lagi.

Sementara Naya pergi meninggalkanku mengganti air dari baskom yang ia gunakan untuk membersihkan lukaku.

“Lha kamu nggak peka-peka, dia berharap kamu sendiri yang ingat tentang dia. Malah pake nanya” Jawab Cahyo.

“Gimana to Jul? Namanya lupa pasti nggak inget..” balasku.

“Ya... bener juga sih” Balas Cahyo menyetujuiku.

“Tapi nggak gitu maksudnya..!”

Aku berdiri menutup mulut Cahyo memaksanya menghentikan obrolan ini. Bila dilanjutkan aku tahu perbincangan Cahyo akan menjurus kemana.

“Mas Danan, gimana? Parah lukanya?” Tanya Jatmiko yang menghampiri kami.

“Nggak mas nggak papa.. maaf ya mas, kita belum bisa beresin permasalahan ini” ucapku.
Mas Jatmiko menghela nafas..

“Kami sudah lihat perjuangan Mas Danan dan Mas Cahyo, kalian sudah berusaha semaksimal mungkin sampai seperti ini.. justru kami mau tanya, apa yang kami warga desa bisa bantu agar saat sinden-sinden itu muncul lagi kami tidak hanya menjadi beban...” tanya mas jatmiko.

Aku bertatapan dengan Cahyo. Sepertinya ia yang ingin menjawab pertanyaan mas jatmiko.

“Kami harap warga desa bisa memperkuat iman dan ibadahnya mas jatmiko.. walaupun mungkin tidak bisa menghardik kutukan sinden-sinden itu, setidaknya tidak akan muncul baskoro dan Mbah Jurip yang lain yang mudah termakan hawa nafsu...” Jelas Cahyo.

Mas Jatmiko menghela nafas dan mengangguk. Ia sadar bahwa warga desa dan dirinya masih kurang dalam hal itu.

“Mas, nanti saya ajak pemuka agama dari desa saya kesini. Kita perkuat iman dan ibadah kita bareng-bareng” Ucap Mas Sena yang menghampiri kami.

“Terima kasih Mas Sena, saya akan sampaikan ke warga. Setelah adanya kejadian-kejadian ini seharusnya warga desa mulai sadar” ucap mas jatmiko yang segera meninggalkan kami dan menemui warga desa.

***

“Sekarang bagian kita jul, gimana cara kita melawan sinden itu kalau mereka muncul lagi?” Tanyaku.

Cahyo tidak langsung menjawab, namun ia melemparkan lirikan matanya ke arah Naya.

“Mata lawan mata, sinden lawan sinden“ Ucapnya.

“Heh.. ngawur kamu! Nggak... enak aja, nggak mungkin kita ajak Naya ngelakuin hal berbahaya” Balasku.

“Ciee.. ada yang khawatir” Ledeknya.

“Nggak gitu, tapi dia orang biasa. Melihat sosok lain yang nggak kasat mata di tempat tadi aja Naya nggak bisa”

“Tapi jujur, kamu terselamatkan sama tembangnya Naya tadi kan?” Ucap Cahyo.

“Iya sih...”
Mas Sena mendekat ke arah kami seolah ingin ikut mencari solusi atas permasalahan ini.

“Kalau kalian membutuhkan Naya, saya coba bantu.. ada temen-temen juga yang jaga dia. Biar dia dibantu sinden lainya juga” Ucap Sena.

“Naya mau bantu kok.. “ Ucap Naya yang tiba-tiba muncul dari belakang Mas Sena.

“Tapi Nay...”

“Nggak papa Mas Danan, hidup dan mati itu di tangan Tuhan. Kalau ternyata Naya punya kemampuan buat ngebantu Mas Danan berarti Naya sudah diberi titipan untuk melaksanakanya” ucapnya.

Aku menatap Naya, ia mengatakan hal itu seolah tanpa beban dan tanpa rasa takut sama sekali. Akupun menghela nafas dan terpaksa menyetujui rencana ini.

“Kata Pakde, sinden-sinden itu juga punya ‘Jago’ lain mas..” Gendis tiba-tiba muncul menghampiriku.

Yang dimaksud pakde mungkin adalah salah satu roh yang tadi menyelamatkan warga desa.

“Jago? Maksudnya apa Gendis?” Tanyaku.

“Itu lho, yang tadi bawa tombak melawan Mas Cahyo..” jawabnya polos.

Mungkin maksud Gendis, selain Joko Garu sinden-sinden itu juga memiliki pengikut lain yang melindungi mereka dan akan menjadi lawan yang menyulitkan untuk kami.

“Lebih baik Mas Danan dan Mas Cahyo beristirahat di padepokan saja, kita siapkan rencana disana dan nanti sebelum gelap kita kembali kesini” Ajak Mas Sena.

Kamipun setuju dan segera berpamitan dengan warga desa yang juga segera kembali ke rumahnya masing-masing. Aku harap mereka mengingat pesan kami tadi dan bisa mempersiapkan batin mereka sebelum kembalinya sinden-sinden itu.

Padepokan terlihat cukup ramai, sepertinya anggota mereka sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Aku memutuskan untuk membersihkan diri dan beristirahat memejamkan mata sejenak untuk memulihkan kondisi tubuhku.

Sepertinya Cahyo juga sama, beberapa hari ini terasa begitu berat. Semoga saja pertemuan dengan sinden-sinden itu berikutnya adalah akhir dari kutukan ini.

***

“Le.. tangi le..” (Nak, bangun nak)

“Nggih bu, sedelok meneh..” (iya bu, sebentar lagi)

“Ibu wis masak sayur lodeh.. selak anyep” (ibu sudah masak sayur lodeh, keburu dingin) Mendengar ucapan itu aku segera memaksa membuka mataku agar tidak ketinggalan memakan sayur lodeh favoritku buatan ibu.

Tapi seketika aku sadar, sepertinya aku bermimpi. Mungkin saja aku memang kangen dengan ibu.

“Lha kok malah turu meneh..” (Lha kok malah tidur lagi?)
Sontak aku duduk dan menatap seorang wanita di dekatku. Aku mengusap mataku dan memastikan apa yang kulihat bukan khayalan.

“Ibu?” tanyaku.
Benar, itu adalah ibu. Dia tersenyum seolah ingin memberiku kejutan.

“Kok ibu bisa ada disini?” Tanyaku.
Belum sempat menjawab, Cahyo muncul di depan pintu sambil membawa piring yang sudah berisi lauk.

“Ya Biarin to, kan akhirnya bisa makan sayur lodeh istimewa nggak kalah dari buatan Bulek” ucapnya sambil mengunyah.

“Ealah... giliran makanan aja cepet kamu” Balasku.

“Perasaan ibu nggak enak, pas nanya ke paklek katanya kamu ke desa ini.

Paklek cerita tentang sosok yang kamu hadapi saat ini... jadi ibu khawatir” Cerita Ibu.

“Iya, tapi ibu nggak usah kesini.. bahaya” Balasku.

“Heh, anak kok mau ngatur orang tua. Percaya nggak percaya, orang tua bisa menjadi sekuat apapun demi melindungi anaknya..” Jawab Ibu.

Aku tersenyum dan ibu malah mengusap rambutku layaknya seorang anak kecil. aku sedikit malu ibu melakukan itu di depan Cahyo, tapi tatapan Cahyo sepertinya merasa iri dengan apa yang dilakukan ibu padaku.

“Enak nggak sayur lodehnya?” Tanya ibu pada Cahyo.

“Enak bude, ini mau nambah lagi...”

“Heh.. enak aja, aku belum...”

“Makanya bangun cepet, mandi.. jangan males-malesan” Ledek Cahyo.

“Danan emang gitu bude, kalo nggak diburu-buru senengnya di kasur”

“Heh.. enak aja, Fitnah lebih kejam daripada pitnah”
Aku melempar bantalku pada Cahyo, namun ia begitu cekatan menghindar demi melindungi sepiring nasi di tanganya.

Ibu hanya menggeleng melihat kelakuanku dan Cahyo. Seolah dia merasa tidak ada yang berubah dari kami sejak masih kecil hingga sekarang.
Aku segera mencuci muka dan menuju ruang makan di padepokan sena.

Terlihat Ibu sedang asik berbincang dengan Naya seolah mereka sudah akrab dengan Naya.
Ibu terlihat menunjuk ke arahku, namun Naya terlihat tersenyum tersipu menanggapi ucapan ibu.

Entah apa perbincangan diantara mereka, namun kejadian ini benar-benar merubah perasaanku semenjak kejadian semalam.

“Mas Danan? Bener itu ibu Mas Danan?” tanya Mas Sena.

“Iyo mas.. kenapa ndak pantes ya? Ibunya cantik anaknya kucel begini?” Potong Cahyo.

“Asem kamu jul.. masih aja” ucapku.

Mas Senapun ikut cair dengan perbincangan kami.

“Lha coba kamu ngaca, bangun tidur nggak mandi mukamu kayak gimana?“ Tambah Cahyo

“Ya iya sih.. abis ini mandi, tak ajak Naya” ucapku.

“Heh.. sembarangan, tak bilangin ibumu lho..”

“Ajak Naya buat nyuciin piring, selama aku mandi... curigaan aja sih” balasku.
Cahyo hanya melengos dan melanjutkan makanya.

“Ngapunten yo mas, Danan kalau ada ibunya balik kayak anak kecil lagi” bisik Cahyo pada Mas Sena.

***

Siang ini terasa berbeda dari biasanya. Sepertinya masakan ibu benar-benar merubah moodku hari ini.
Tepat setelah selesai mandi kami segera berkumpul di pendopo untuk berdiskusi tentang maksud kedatangan ibu dan tentang cara kami menghadapi sinden itu lagi nanti.

“Ibu dapet kabar dari temen-temen sinden yang lain” ucap ibu membuka pembicaraan.

“Dari berbagai sanggar dan padepokan beberapa sinden mendapat perintah untuk berkumpul di suatu tempat..”

Aku sudah curiga, pasti ada hubunganya dengan kemunculan Nyai Jiwonto yang memimpin sinden-sinden abdi setan kemarin.

“Ada seorang sinden yang menolak, ia ingin bertobat melepaskan susuknya dan tidak menuruti perintah dari empunya lagi.

Tapi tiba-tiba wajahnya menua dan kulitnya penuh dengan sisik. Ia datang ke desa kandimaya meminta pertolongan pada ibu dan menceritakan hal ini”

Aku membayangkan bagaimana tersiksanya sinden itu. Namun itu jalan terbaik, lebih baik ditolak oleh seluruh manusia di dunia dibanding ditolak di tempat terbaik oleh Yang Maha Kuasa.

“Maksud bude, ada kemungkinan mereka akan datang kesini membantu sinden-sinden demit itu” ucap Cahyo.
Ibu mengangguk.

“Nyai Jiwonto pernah datang ke desa kandimaya.. beruntung saat itu kami sudah pernah mengalami masa-masa sulit sehingga tidak ada yang tergoda dengan bujuk rayunya..

Saya yakin setelah ini teman-teman dari padepokan Ki Joyo Talun juga bisa bangkit kembali menjadi lebih besar dengan jalan yang benar” ucap Ibu.

Mas Sena menggenggam tanganya saat mendengar kata-kata ibu.

Aku merasakan niatnya untuk mengembalikan kejayaan padepokan ini yang merupakan warisan dari ayahnya.

“Nyai, mohon bimbinganya untuk Naya.. mungkin ia akan ikut menghadapi sinden-sinden abdi setan itu lagi nanti” ucap Mas Sena.
Ibu mengangguk..

“Tidak cuma Naya, semua sinden di tempat ini harus ikut. Mereka harus bisa membedakan seni sejati dengan sihir atau mantra yang bersembunyi dibalik sebuah seni budaya” Ucap Ibu.

“Ibu, tapi terlalu berbahaya. Semakin banyak orang awam disana, semakin banyak kemungkinan korban yang jatuh” protesku.

“Le, apa mudah memotong kertas yang jatuh dengan sebilah pedang?” Tanya Ibu.

Aku menggeleng, tentu saja susah.

“Sama seperti saat ini, kamu melawan sesuatu yang menurutmu tidak mudah dikalahkan dengan pertempuran. Tidak mungkin kamu melawan suara dengan pukulan atau bilah keris..“

Aku mulai mengerti maksud ibu, namun tetap saja aku merasa khawatir.

“Apa rencana ibu?” tanyaku.

Ibu menatap kearah kami semua.

“Kita adakan pementasan wayang semalam suntuk di desa..” Sontak aku terperanjat, aku tidak pernah terpikirkan rencana seperti ini.

“Bu.. kita tidak sedang bercanda?” Ucapku.
Ibu Tersenyum.

“Tembang yang dinyanyikan Naya akan terus berkumandang semalam suntuk bersama sinden yang lain..”

Aku tahu maksudnya, dengan ini tembang terkutuk sinden itu tidak lagi bisa menyerang kami.

“Sena, maksud saya Ki Sena akan menggunakan Baru dari Langgar watubumi sebagai dodogan”
Akus segera sadar dengan ini suara kutukan sinden itu tidak akan bisa membunuh warga dengan gema yang dihasilkan.

“Lakon yang dimainkan akan menuntun warga desa untuk lebih sadar dengan perbuatan mereka pada Nyai Lindri dan semoga saja bisa membuka mata mereka”

Aku, sena, dan Cahyo saling menatap. Tidak pernah terpikirkan olehku cara semacam ini.

Pantas saja banyak desa yang menggunakan acara pentas wayang untuk menangkal kutukan.

Salah satunya karna di setiap pementasan wayang ada pesan yang disampaikan yang bisa menguatkan iman dan membawa kebaikan bagi penontonya.

Aku semakin kagum dengan ibu.

“Bude, kok bisa kepikiran rencana brilian seperti ini?” Tanya Cahyo.

“Ini ide mas bisma, ayahnya Danan dulu. Dia sudah pernah mengalahkan Nyai Jiwonto sebelumnya” Cerita ibu.

“Ibu yakin, kalian lebih hebat darinya”
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close