Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINDEN PENGABDI SETAN (Part 7 END) - Pementasan Semalam Suntuk

Beberapa mobil pick up dan kendaraan yang membawa peralatan pementasan berbondong-bondong masuk ke desa. Warga desa terheran-heran melihat kedatangan kelompok itu.


JEJAKMISTERI - Terlihat Pak Pram dan Jatmiko menghampiri Sena yang mengatur teman-temanya untuk menurunkan peralatanya.

“Mas, iki ono opo mas?” (mas ini ada apa mas) tanya Pak Pram.

“Iki opo Sena? Tenda? Panggung?” Jatmikopun juga bingung.

“Iyo Pak, tepat setelah matahari terbenam kita akan mengadakan pentas wayang semalam suntuk” Jelas Sena.
Mas Jatmiko dan Pak Pram bingung, namun Sena segera menjelaskan bahwa ini adalah ide dari Ibunya Danan.

Menurutnya pementasan wayang kali ini akan membantu Danan dan Cahyo untuk menghadapi sinden-sinden pengabdi setan itu.

“Mau ada pementasan wayang? Asiikk! Berarti Gendis bisa ngeliat Mbak Naya nyinden ya?” tanya Gendis dengan begitu semangat.

Sena mengangguk sambil mengelus kepala Gendis.
“Sana, kasi tahu yang lain.. jangan sampai ada yang nggak nonton ya” perintah Sena pada Gendis.

“Siap, biar Gendis yang ngasi tau warga desa” ucapnya dengan sumringah.

Aku menghampiri pak pram dan Jatmiko yang masih terlihat bingung dengan persiapan dadakan ini. Hanya tersisa beberapa jam hingga pementasan ini harus dimulai.

“Tenang saja mas Jatmiko, kali ini kita pasti berhasil” ucapku dengan penuh percaya diri.

Bagaimana tidak, kali ini bukan cuma Cahyo. Tapi kali ini ada kelompok pementasan wayang Sena dan ibu yang membantuku. Tidak pernah aku merasa sesiap ini.

“Lalu apa yang harus kami bantu untuk pertempuran nanti malam mas?” Tanya Jatmiko.

Cahyo menghampiri Jatmiko dan menepuk pundaknya.
“Malam ini tidak ada yang namanya pertempuran, adanya Pementasan” ucap Cahyo yang juga begitu semangat.

Wajah Jatmiko masih terlihat bingung, namun setelah melihat aku dan Cahyo yang begitu yakin iapun memilih untuk percaya dengan kami. Iapun berinisiatif mengumpulkan warga untuk membantu mempersiapkan pementasan.

Mendengar kabar tentang pementasan, sekumpulan perempuan di desapun terlihat begitu antusias. Mereka mengumpulkan bahan-bahan makanan yang ada di rumah mereka dan mengajak yang lainya untuk membuat suguhan nanti.

“Mas matur nuwun nggih, sudah lama desa ini tidak ada acara pementasan. Selama ini kami hanya merasakan rasa takut setelah kejadian sebelumnya” ucap salah seorang ibu di desa yang melewati kami.

Akupun tersenyum mendengar ucapan itu. Sebuah ide sederhana yang diutarakan oleh ibu ternyata membawa dampak yang sebesar ini untuk warga desa, bahkan sebelum pementasan ini dimulai sama sekali.

Mengetahui teman-teman Sena dan warga sudah sigap untuk mempersiapkan pementasan, aku dan Cahyo mencari tempat untuk menyendiri.

Kami mempersiapkan batin dan tenaga kami sembari memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa agar semua permasalahan bisa benar-benar berakhir malam ini.
Di tengah meditasiku aku mendengarkan suara nyanyian yang begitu merdu.

Suara yang begitu menenangkan seolah menemani warga desa yang sedang berpacu dengan waktu. Suara tembang yang selama ini mebawa mimpi buruk untuk mereka, kini membuat perasaan mereka semakin tenang. Aku bisa menebak dengan jelas, siapa yang melantunkan tembang ini.

“Ono sing senyum-senyum dewe...” (Ada yang senyum-senyum sendiri) Ledek Cahyo.

“Ben to yo, wong sworone yo apik..” (Biarin, orang suaranya memang bagus) Balasku.

“Sworone sing apik opo Nayane sing apik?” (Suaranya yang bagus atau Naya yang bagus) Cahyo tidak menghentikan ledekanya.

“Nasibku sing apik, iso ketemu de’e” (Nasibku yang bagus bisa ketemu dia)

“Akhirnya ngaku juga..” tawa Cahyo.

“Wis puas?” tanyaku.

“Puas buanget...” balasnya sambil tertawa puas.
Cahaya matahari mulai meredup, dibawah senja yang memerah aku melihat sebuah panggung yang megah berdiri di tengah lapangan desa. Sebuah kain poster dipasangkan pada sebuah baliho bambu dengan lukisan tangan sederhana.

Pementasan Wayang Semalam Suntuk dalang “Ki Joyo Seno”
Aku sudah bisa membayangkan akan sekeren apa pementasan ini. Apalagi saat ini warga mulai berbondong-bondong menghampiri panggung yang tengah prosesi pengetesan suara.

“Dalang Sena kuwi luwih apik lho seko Ki Joyo Talun, ora ngeboseni” (Dalang Sena itu lebih bagus lho dari ki joyo talun, nggak ngebosenin)

“iyo, sakjane almarhum Ki Joyo Talun yo apik. Nanging rodo kaku” (Iya, sebenarnya almarhum Ki Joyo Talun juga bagus. Tapi sedikit kaku)

Rupanya sudah cukup banyak juga warga yang mengenal Sena sebagai dalang. Dan beruntung warga juga menyukai permainanya sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan warga.

“Ki Joyo Seno.. nggak nyangka kamu punya nama panggung yang keren” ucapku pada Sena yang sudah bersiap di belakang panggung.

“Iya Nan, aku tetep pengen ngebawa nama bapak di setiap pementasan.

Semoga saja lewat pementasan wayangku penonton hanya mengingat kehebatan bapak dalam berwayang, dan bisa melupakan tingkah buruknya di masa tua” Jawab Sena.
Cahyo tersenyum mendengar ucapan Sena.

“Setidaknya Ki Joyo Talun punya prestasi yang tidak terbantahkan Sena” ucap Cahyo.

“Apa itu mas?”
“Mendidik anak sehebat kamu” ucap Cahyo.
Senapun tersenyum, seketika aku merasakan perasaan teggangnya sudah menghilang.

Kamipun berpamitan meninggalkan belakang panggung dan bergabung dengan penonton lainya.
Suara musik gamelan berbunyi disusul suara tembang yang dinyanyikan sekumpulan sinden dari padepokan Ki Joyo Talun. Aku tahu ada suara Naya diantara suara mereka.

“Tuh di sebelah sana” ucap Cahyo sambil menunjuk ke arah seorang sinden.

“Nggak, aku nggak nyariin Naya kok...” Balasku berbohong.

“lah aku nunjuk ke Bude kok, kok bisa Naya?” ucap Cahyo sambil tertawa.

Sial, aku terkena jebakan Cahyo. Memang benar yang ditunjuk Cahyo adalah ibu yang sedang memantau dari samping panggung lengkap dengan baju kebayanya. Sepertinya ia akan bergabung nanti.

“haha, tuh Naya disitu.. kayaknya dia juga nyariin kamu, dari tadi matanya kemana-mana” Tambah Cahyo.

Benar, kali ini Cahyo benar-benar menunjuk ke arah Naya. Ia berias layaknya seorang sinden dengan pakaian kebaya yang anggun. Seketika aku terkesima dengan penampilanya.

Saat aku memperhatikanya, sepertinya ia juga menemukan keberadaanku. Iapun tersenyum kecil sambil menunduk malu-malu. Entah mengapa momen singkat itu terasa begitu berarti.
Batara Surya Krama, sebuah lakon yang dipilih oleh Sena untuk memulai kembali sebuah perjalanan.

Seandainya Sena berhasil memukau penonton dengan lakon ini. Pasti mereka akan terus mengikuti pementasan Sena dengan lakon lainya.
Sudah hampir setengah jam pementasan berjalan. Aku merasakan hawa yang berbeda.

Mulai ada sosok-sosok yang mendatangi desa ini, sudah jelas mereka bukanlah manusia.
Aku menoleh ke arah sekitar pementasan, berbagai makhluk sudah berbaur dengan warga desa untuk menyaksikan pementasan.

Awalnya aku dan Cahyo waspada, namun setelah mengetahui yang datang adalah sosok roh dari pendopo kamipun kembali tenang.

“Ada pementasan lain di pendopo..”
Terdengar salah satu roh berbisik ke arah kami.

“Lebih seperti sebuah perayaan, bukan sekedar pementasan”

Terdengar suara lain yang melintas. Sepertinya roh-roh itu mencoba memberi tahu kami.
Akupun menatap ke arah Cahyo, kami berpikir cukup beresiko bila meninggalkan warga desa saat ini. Namun sebagian roh disana berkumpul di depan kami.

“Kami akan menjaga mereka sementara kalian pergi” ucap mereka.
Rupanya bukan hanya warga desa yang merasa terganggu dengan adanya kutukan ini.

Mereka warga desa dari ratusan tahun yang lalu juga turut membantu warga desa yang saat ini sedang berusaha menghentikan kutukan sinden-sinden itu.
Akupun berpamitan dan segera bergegas menuju pendopo.

Baru saja memasuki hutan, perasan mengerikan sudah meneror kami dari penjuru sisi hutan.
Benar ucapan roh itu, suara pementasan terdengar dari arah pendopo. Namun suara alunan musik yang mengalun terdengar begitu kelam dan membuatku merinding.

“Gila, apa-apaan ini!” ucap Cahyo yang kaget dengan apa yang ia lihat.
Sekumpulan orang menari di pelataran pendopo dengan pakaian pementasan. Mereka menari seolah saling menghibur pasanganya masing-masing.
Mereka manusia…

Tapi bukan itu yang membuat Cahyo geram, ia segera menyadari di atas pohon-pohon tergantung jasad manusia yang sudah membusuk tanpa kepala, sebagian kelapa mereka tertumpuk di salah satu batu besar di ujung pendopo.

“Tolong... ampuni kami...”

Suara-suara rintihan terdengar dari kepala-kelapa yang teronggok di ujung pesta itu.
Seketika aku teringat perjalanan kami saat menuju langgar watubumi dan menemukan kepala Ki Joyo Talun dan teman-temanya.

“Rupanya memang ulah mereka” Cahyo semakin geram.

“Tenang Jul, tujuan mereka memang membuat kita kehilangan ketenangan. Jangan terpancing” balasku.
Cahyo mengambil nafas sedalam-dalamnya dan berusaha meredam emosinya.
Tepat saat kami mendekat suara alunan musik berubah mencekam.

Seketika semua sosok yang ada di tempat itu menatap ke arah kami. Sebagian dari mereka adalah manusia.

“Sayang masnya ganteng-ganteng, tapi sebentar lagi mati.. khikhihkhi” ledek salah seorang penari dengan wajah genitnya.

“Daripada mati, lebih baik sama aku.. masnya pasti seneng kok” goda salah seorang sinden yang turut memeriahkan pesta itu.

“Iya, jangan goblok. Kalau mati kalian gak bisa apa-apa lagi” salah seorang pemuda yang menjadi pasangan sinden itu menambahkan.

Awalnya kami tak gentar dan terus melangkah menuju pendopo. Namun tiba-tiba Cahyo berhenti dan menoleh ke arah mereka.

“Bukan mati yang kami takutkan, melainkan ketika kami tidak diterima lagi di sisi Yang Maha Pencipta. Setidaknya kami tahu kepada siapa kami berpulang ketika mati nanti” ucap Cahyo dengan tenang.

Sepertinya, Cahyo masih berharap mereka untuk sadar. Dan benar, beberapa dari mereka terlihat ketakutan, sepertinya tidak semua menginginkan berada di posisi mereka saat ini.

Ada sebagian dari mereka yang terjebak oleh tipu daya iblis.

“Saya tidak ingin seperti ini mas, s...saya ingin kembali ke jalan yang benar. T...tapi..”
Seorang wanita muncul dari arah mereka mendesak menuju ke arah Cahyo.

Namun belum sempat menyelesaikan ucapanya, sesuatu menahanya untuk bergerak.
Aku segera berlari menuju wanita itu, namun terlambat. Sosok Nyai Jiwonto yang berada diatas pendopo terlihat geram. Ia menatap wanita itu dan seketika mata wanita itu terbelalak, sebuah benda memaksa keluar dari matanya hingga darah bermuncratan dari matanya yang pecah.

“arrrghh... ampun ndoro!” teriak wanita itu.

“Kalau kalian berani berkhianat! Nasib kalian akan sama seperti dia!” Ancam Nyai Jiwonto.

Sepasang permata, sepertinya benda itu ditanam di mata wanita itu untuk membuat dirinya terlihat cantik. Tak lama kemudia, ia memuntahkan sebuah batu hitam dari tenggorokanya.

“Susuk?” tanya Cahyo.
Aku mengangguk.

“Bisa separah ini?” tambahnya.

“Benda ini masuk ke tubuh mereka secara tidak wajar, mereka tidak tahu dari siapa kemampuan susuk yang digunakan oleh mereka” Ucapku yang masih berusaha menenangkan wanita itu. ia masih bernafas, namun ia tak berhenti menangis menahan rasa sakitnya.

Amalan penyembuhku hanya mampu menghentikan pendarahan dari wanita itu, namun aku tidak dapat mengembalikan penglihatanya. Ini terlalu kejam, aku tidak bisa lagi menahan perasaanku saat ini.

“Semoga niatmu diterima oleh Yang Maha Pencipta, biar kami selesaikan demit-demit brengsek ini dulu, agar tidak lagi ada manusia yang terjebak tipu dayanya” Ucapku sambil mendudukan wanita itu ke tempat yang nyaman.

Ia masih terus menangis menahan sakit, namun aku tahu jauh di dalam hatinya ia merasa lebih tenang.

“Saya doakan keberhasilan masnya, rasa sakit ini tidak sebanding seandainya saya bisa mendapatkan pengampunan dari Gusti” ucapnya sambil terisak.

Aku bernafas lega mendengar ucapan wanita itu. Cahyopun segera mengambil posisinya.
Mengetahui kami sudah bersiap, Sinden-sinden yang menjadikan singgasana itu sebagai pendoponya memanggil sosok yang menghadang kami.

Seorang wanita berambut hitam panjang dengan baju kebaya putih lusuh. Ia menatap kami dengan seluruh matanya yang putih dan senyumanya yang melebar hingga ke telinga.
Tanganya menyeret sesosok bayi yang terus tertawa dengan aneh.

“Mbok Gondo, kuwi urusanmu” (Mbok Gondo, itu urusanmu) perintah Nyai Jiwonto.

Aku tidak menyangka. Bukan sosok pendekar yang dipanggil untuk menghadapi kami, melainkan sosok makhluk seperti ini yang mereka panggil.

Suara tawa makhluk itu melengking hingga ke sekeliling hutan. Belum sempat aku membacakan doa, tiba-tiba dia melemparkan sosok berwujud bayi yang tergenggam di tanganya.
Tepat ketika mendekat ke arah Cahyo bayi itu membesar dan semakin membesar.

Kulitnya menghitam, tubuhnya menjadi berbulu. Namun matanya tetap putih seperti sosok wanita yang melemparnya.

“Bajang Buto... ben aku sing ngajak dolan demit iki Nan” (Bajang Buto, biar aku yang ngajak main nan) ucap Cahyo.

Aku menyerahkan sosok itu pada Cahyo sementara aku menarik keris ragasukma dari sukmaku dan menggenggamnya dengan erat. Aku tahu, sosok demit wanita yang disebut Mbok Gondo ini bukan makhluk biasa.

“Ono opo cah bagus” ia menyambut seranganku sambil tersenyum memiringkan kepalanya.
Aneh, seranganku tidak bisa mengenainya. Seranganku menembus tubuhnya. Di tengah kebingunganku tiba-tiba wanita itu sudah ada di belakangku dan menggigit pundakku.

Aku segera melompat menjauh, namun Mbok Gondo malah semakin tersenyum menatapku dengan darahku yang mengalir dari mulutnya.

“Enak, lebih enak dari daging suamiku...”

Seketika aku merinding mendengarnya. Aku memang pernah mendengar sosok sinden yang dendam dengan suaminya.

Untuk membalaskan dendamnya, ia membunuh suaminya dan menjadikanya masakan untuk dimakan oleh dirinya dan anaknya. Akhirnya ia ditemukan mati bersama anaknya ketika akan ditangkap.

“Pasti dia belum pernah nyobain sayur lodeh buatan bude nan..” ucap Cahyo yang masih sibuk menghindari serangan bajang buto. Nampaknya Cahyo benar-benar mengajak bermain makhluk itu.

“Kayaknya kalau sudah nyobain ini demit langsung pasti langsung tobat”

Balasku mencoba menenangkan diri juga.

“Mbok Gondo pengikutku yang paling setia, belum ada yang bisa mengalahkanya” ucap Nyai Jiwonto sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Namun tiba-tiba tawanya terhenti dengan sarung yang melayang tepat mendarat di wajahnya.

Ya.. itu, sarung Cahyo.
“Bocah kurang aj...”
Ucapan Nyai Jiwonto terhenti saat melihat kami sudah dihadapanya.

Matanya terbelalak saat melihat tubuh Bajang Buto itu tenggelam di tangah hanya menyisakan kepalanya berkat serangan Cahyo bersama Wanasura.

Sementara sisa sukmaku masih menyisakan bayangan saat aku menusuk wujud roh keris ragasukma tepat di titik kepala Mbok Gondo yang sudah tidak berdaya.
Wajah Nyai Jiwonto terlihat tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

“O..ora mungkin!” (Tidak mungkin) bantahnya.
Tak mau mengambil resiko, kamipun segera memulai serangan kami.

“Maafin ya Gendis, tempat mainmu harus mas rusak” Ucap Cahyo memanggil kekuatan wanasura dan menghancurkan pendopo kayu yang sudah berumur ratusan tahun itu.

Seketika sosok sinden abdi setan di tempat itu segera meninggalkan tempat itu. Merasa kesal, merekapun mulai melantunkan tembang terkutuk andalan mereka.

Telingaku terasa sakit, dan nafasku mulai tak bisa teratur.

“Cuma boleh ada satu panggung di desa ini!” ucapku yang segera mengajak Cahyo untuk menarik diri.
Tidak ada lagi tempat pementasan untuk mereka. Merasa kesal, mereka mengejar kami yang sedang menuju ke arah desa.

Tepat saat mendekati desa, suara musik pementasan Sena terdengar semakin jelas. Saat itu juga tembang terkutuk sinden-sinden itu tidak lagi bisa merasukiku.
Para pengikut sinden-sinden itu mencoba menahan kami. Mereka membawa berbagai senjata tajam untuk menyerang.

Tak jarang dari merekapun juga memiliki pusaka.

“Biar aku aja..” ucap Cahyo.
Aku menoleh ke arahnya, biasanya ia tidak mau menggunakan kekerasan untuk manusia. Namun tumben kali ini ia maju menerjang ke arah para pengikut sinden itu.

Cahyo membaca sebuah mantra dengan mengibaskan sarungnya beberapa kali, perasaanku kali ini benar-benar tidak enak.
Benar saja, terlihat kabut aneh menutupi orang-orang itu dan tepat saat aku menyusul Cahyo bau pesing menyengat tercium hingga membuatku mual.

“Sial kowe Jul, makin busuk bau aja jurusmu..”

“hehe, namanya ilmu harus terus dilatih.. masa gitu-gitu aja” balasnya bangga.

“Tapi bukan ilmu yang beginian juga!” Teriaku kesal.

“Tapi ampuh to” balasnya lagi.

Jurus itu memang berhasil, tidak ada satupun orang yang berani mengikuti kami menembus kabut berbau busuk itu.
Kami sampai di desa tak jauh dari panggung pementasan. Sosok sinden kembali mengelilingi desa melayang di atap-atap rumah.

Terlihat para pemain sudah sadar dengan keberadaan Nyai Lindri, Nyai Jiwonto dan kawan-kawanya.

“Pementasan yang bagus, tidak adil kalau hanya kalian yang menonton” Ucap Nyai Jiwonto.

Ia menyayikan sebuah tembang dengan nada yang aneh. Bersamaan dengan itu tiba-tiba muncul sosok mengelilingi warga desa.

“P..Pocong, itu pocong!” ucap salah satu warga desa yang tersadar.

“Itu pak, di atas pohon.. Kuntilanak”

Rupanya nyanyian Nyai Jiwonto memanggil sosok setan-setan di sekitar desa untuk berkumpul meneror warga desa yang mulai tenang.

“Bu.. nggak usah takut, dari tadi yang nonton bareng kita juga banyak” ucap gendis dengan polos.

Melihat gendis menunjukkan keberanianya warga desapun berusaha untuk tenang. Warga desa berusaha untuk menahan takutnya walau harus menonton bersandingan dengan sosok pocong di sebelahnya.

Aku tidak tinggal diam, sebuah ajian muksa pangreksa kubacakan untuk melindungi warga desa. Setidaknya ini bisa menghalau niat jahat dari makhluk-makhluk itu.

Tidak cukup sampai disitu tiba-tiba beberapa peralatan gamelan di panggung pecah, obor dan lampu-lampu yang menerangi desa tiba-tiba mati.
Kali ini warga benar-benar panik.

Saat akan meninggalkan pementasan, warga selalu bertatapan dengan sosok pocong dengan wajah yang sudah busuk.
Tangisan histerispun terdengar dari arah pementasan.
Ora ono makhluk sing iso nyaingi Gusti sing Maha Perkoso...

Suara seseorang mengalun dengan merdu dari atas panggung di tengah kericuhan ini. Suara yang sangat menenangkan.
Urip lan matine menungso uwis ono sing ngatur..
Itu suara Naya, ia memberanikan menyanyi sendiri ditengah kericuhan penonton.

Melihat keberanian Naya, warga berlari dan mendekat berkumpul ke arah panggung. Mereka menjauh dari sosok demit-demit yang meneror mereka.
Sayangnya sekumpulan setan itu ikut melayang dan berkumpul mencoba mengepung warga.

Tapi kali ini sosok roh warga desa sekitar pendopo menghadang mereka tepat di hadapan warga.

“M..mereka siapa?” Tanya warga desa yang masih takut dengan sosok yang mendadak muncul itu.

“Mereka temen Gendis, warga desa di sekitar pendopo” jawab Gendis dengan polos.

“Iya mereka tidak berniat jahat” Tambah Pak Pram ayah gendis.

Aku tersenyum melihat usaha mereka, tapi kami tahu mereka tidak cukup kuat menghadapi setan-setan yang mati dengan membawa dendam ini.

Sebuah wayang dilempar oleh Sena dan menancap tepat di antara dedemit dan roh warga desa. Sosok wayang hanoman sang kera putih perkasa yang dapat memporak porandakan gunung di cerita pewayangan.
Cahyo menoleh ke arah Sena, ia seperti mendapat isyarat darinya.

“Itu maskudnya, demit alas harus patuh sama penguasa alas!”

Cahyo menerjang demit-demit itu seorang diri dengan menyebut dengan keras nama sahabatnya.. maksudnya sahabat ghaibnya…

“Wanasura!!!”

Seketika suara auman terdengar ke seluruh desa, warga desa terkesima dengan suara itu, sebaliknya sosok roh yang dipanggil dengan tembang sinden pengabdi setan itu merasa gentar dengan auman itu.
Dengan kekuatan wanasura, Cahyo mengamuk melibas demit demit alas di hadapanya.

Tak mau kalah, aku segera menghampiri Nyai Jiwonto dan menghujamkan kerisku ke arahnya.
Tak kusangka, ia cukup lincah untuk menahan seranganku dengan tongkatnya. Ia mengunyah sesuatu di giginya dan melepehkanya ke hadapanku.

Tentu saja aku menghindar. Namun ternyata itu saja tidak cukup, saat aku menatap benda itu tiba-tiba aku tak mampu mengalihkan pandanganku dari benda merah aneh yang dilepeh olehnya.

Sialnya, Nyai Jiwonto dengan sigap menusukan tongkatnya yang tajam tepat di luka tempat dulu mbah jurip menusukkan kerisnya.
Darahkupun mengalir dari bekas luka itu. Cahyo terlihat khawatir, namun ia masih sibuk dengan demit alas yang mengerubuti dirinya.

Akupun memisahkan sebagian tubuh sukma dari ragaku, dari jauh aku melihat nyai lindri mendekat ke arah Cahyo, aku merasakan firasat yang buruk dengan hal itu.

“Cahyo hati-hati!” teriakku.

Benar saja, nyai lindri melayang tak jauh dari hadapan Cahyo. Matanya memerah dan tertawa dengan mengerikan. Sebuah tembang dinyanyikan tepat dihadapanya.
Aku melihat Cahyo kesakitan menutup telinganya sambil meringkuk. Demit-demit di sekitarnyapun bersiap membalas seranganya.

Aku ingin segera menolongnya namun aku masih tidak bisa memalingkan diriku dari benda menjijikkan yang keluar dari mulut Nyai Jiwonto itu.

Dok.. dododok dok…
Terdengar Sena memukul dodogan dengan keras menandakan ia ingin memulai pementasanya lagi.

Namun kali ini tidak ada sinden lain di sekitarnya. Dengan semua peralatan yang tersedia ia melanjutkan pementasan.
Ibu, Naya, dan sinden kelompok Sena berjalan dengan anggun menghampiri Cahyo.

“Ibu jangan! Berbahaya!” Teriakku.

Sudah jelas aku khawatir. Mereka hanyalah manusia biasa. Sinden-sinden dan demit setan itu bisa dengan mudah menghabisi mereka.
Alunan tembang terdengar dari ibu, Naya dan yang lainya. Mereka menyatukan suara menutupi suara nyai lindri.

Benar saja, Cahyo bisa kembali berdiri berkat bantuan dari mereka.

Akupun tak mau kalah, dengan segera aku menghujamkan kerisku pada tongkat Nyai Jiwonto dan melepaskan sukmaku dari raga. Dengan cepat aku menghujamkan keris ragasukma tepat di punggung Nyai Jiwonto.

Namun apa yang terjadi...
Punggung Nyai Jiwonto berlubang, ia tidak kesakitan dan malah tertawa terkekeh. Aku kembali menusuknya, namun ia tidak merasakan apapun.
Di tengah kepanikanku tiba-tiba aku melihat nyai lindri melesat dengan cepat ke hadapan ibu.

Ia berhenti tepat di hadapan wajah ibu.
Mereka bertatapan, namun ibu tidak gentar sedikitpun. Sebaliknya Nyai Lindri yang merasa kesal mengangkat tanganya bersiap untuk menggenggam kepala ibu.

“Mati kowe” ucap Nyai Lindri dengan kesal.

Seketika aku panik, namun sesuatu yang aneh terjadi..
Bukan kepala ibu yang berada di tangan nyai lindri. Sosok wanita, aku kenal sosok itu.
Tiba-tiba hujan turun perlahan membasahi desa.

“Hahahaha... dia datang nan! Kamu manggil dia?” tawa Cahyo.

Tepat dengan turunya hujan itu, kutukan yang menyerangku menghilang. Aku bisa kembali memalingkan wajahku dan segera menjauh dari Nyai Jiwonto.

“A..Aku nggak manggil, bagaimana dia bisa berada disini” ucapku sambil menghampiri sosok itu.

“Singkirkan tanganmu yang menjijikkan dari wajahku..” ucap sosok itu.

Tidak mungkin aku melupakan kejadian serupa, aku sudah tahu setelah ini wujudnya akan menjadi mengerikan ketika berhadapan dengan Nyai Lindri.
Ya, dia adalah Nyi Sendang Rangu..

Sosok pelindung sendang Rangu yang airnya mampu menghilangkan kutukan dan membersihkan dendam dari roh yang belum tenang.
Tubuh Nyai Lindri terlihat bergetar, ia tidak bisa menahan rasa takutnya dari sosok mengerikan Nyi Sendang Rangu yang berada di hadapanya.

“S..sopo kowe” (Siapa kamu) Ucap Nyai Lindri.

“Malaikat mautmu..” Jawab Nyi Sendang Rangu dengan wajah yang mengancam.
Nyai Jiwonto segera menghampiri Nyai Lindri diikuti sinden setan lainya.

“Ayo Cahyo..” ucapku mengajak Cahyo untuk membantu Nyi Sendang Rangu.

“Sudah nan, nggak usah..” Terdengar suara ibu menghampiri kami.

“T..tapi bu” Ucapku.
Nyi Sendang Rangu menoleh ke arahku, sekilas wajahnya berubah menjadi cantik.

“Jangan membantah, ikuti kata ibumu.. ini urusan wanita” ucap Nyi Sendang Rangu yang suaranya tidak pernah gagal membuatku nyaman.

“Tenang aja Nan, semua sudah selesai” Ucap Ibu.

“Selesai gimana to bu...?” Tanyaku heran.

“Sudah Nan, mundur dulu.. kalau ikut-ikut urusan perempuan bisa repot” Ucap Cahyo.

Mendengar ucapan Cahyo tiba-tiba sekumpulan air besar mengguyur tubuh Cahyo seorang diri, tidak seperti hujan ringan yang membasahiku dan yang lain.

Aku tertawa, sudah jelas ini adalah ulah Nyi Sendang Rangu.

“Owalah, ra iso dijak guyon to” (owalah nggak bisa diajak becanda to) ujar Cahyo, namun Nyi Sendang Rangu segera menoleh ke arah Cahyo dan seketika Cahyo menutup mulutnya dengan tangan.

“Sekarang kita hanya penonton” Ucap Ibu.

“Jadi ibu yang manggil Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku.
Ibu mengangguk, tapi dengan sedikit ragu.
Sudah pasti jawaban ibu membuatku kaget. Aku tidak pernah menyangka ibu mengetahui tentang sosok Nyi Sendang Rangu.

“Ibu harus jelasin ini ke Danan nanti..” Ucapku.

“Wis kalian tenang saja.. ikutin kata siapa tadi? Nyi Sendang Rangu? Ini urusan wanita” Ucap Ibu.

“Bude.. jangan bilang bude baru tau namanya Nyi Sendang Rangu?” tanya Cahyo

Ibu tersenyum mencoba menahan tawa. Sepertinya benar, ibu mengenal Nyi Sendang Rangu tanpa tahu namanya. Sepertinya nanti aku akan mendengar cerita menarik.

***

Sekumpulan sinden menghadapi seorang Nyi Sendang Rangu.

Terlihat tidak ada satupun dari mereka yang tidak gentar dengan sosok di hadapanya itu.

“Ini bukan urusanmu!” tantang Nyai Jiwonto.

“Kalian mencoba melukai Nyai Kirana.. itu artinya kalian mencari masalah denganku” ucap Nyi Sendang Rangu.

Tangan Nyai Jiwonto terggenggam dengan gemetar, ia sepertinya benar-benar takut dengan sosok makhluk dihadapanya.

“Untuk sekarang kami mundur, berikutnya kami pastikan tidak ada yang selamat diantara kalian” Ucap Nyai Jiwonto memerintahkan semua pengikutnya.

“Coba saja kalau berani pergi, tepat saat meninggalkan hujan ini kalian akan mendapatkan ganjaran atas perbuatan kalian” peringat Nyi Sendang Rangu.

“Puh..” tidak menjawab, Nyai Jiwonto malah meludah ke arah Nyi Sendang Rangu.

Nyi Sendang tidak peduli dan berpaling ke arah kami.
“Nyi, mereka akan kabur nyi...” ucap Cahyo, namun hanya dibalas dengan lirikan oleh Nyi Sendang Rangu.

“Masih nesu..” bisik Cahyo padaku.
Aku sekali lagi menahan tawa. Rupanya Nyi Sendang Rangu menghampiri ibu.

“Matur nuwun yo nyi..” (Terima kasih ya nyi) ucap ibu menyambut Nyi Sendang Rangu.

“Kalau Nyai kirana nggak bilang mau pentas lagi, aku pasti nggak akan datang” ucapnya.

“Tenang saja, saya tidak bohong kan?” balas ibu.
Belum sempat melanjut kan perbincangan, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar desa. Aku mengenal suara-suara itu, itu adalah suara sinden-sinden abdi setan tadi.

“T..tolong!! Aku tidak mau kesana!” terlihat Nyai Jiwonto mencoba merayap masuk ke desa.

Namun terlihat lenganya sudah terputus sebelah dengan luka di sekujur tubuhnya.

“Nyai tolong kami..“ hal yang sama terjadi pada nyai lindri dan sinden lainya. Tubuhnya penuh dengan luka dan sosok-sosok mengerikan mencabik-cabik tubuh mereka.

“Aku sudah peringatkan, kalian mengikat perjanjian dengan makhluk-makhluk itu. Aku hanya mempercepat waktu kalian bertemu denganya” ucap Nyi Sendang Rangu.

Warga desa yang melihatnya terlihat gemetar.

Hal itu terlihat mengerikan, apalagi mereka tahu siksaan itu tidak akan berakhir selamanya walau zaman sudah berakhir.
Aku masih merasa kasihan dengan Nyai Lindri, ia menjadi seperti ini karena dendamnya. Namun terlambat, ia memilih untuk mengabdi pada setan di akhir hayatnya.

Setelahnya hujan mulai berhenti. Demit-demit alas sudah tidak lagi menampakan wujudnya. Sebaliknya sosok roh warga desa di sekitar pendopo berubah tidak lagi mengerikan. Mereka terlihat seperti warga desa pada umumnya.

“Nyai, berarti roh warga desa sudah bisa tenang”

Tiba-tiba Gendis datang menghampiri Nyi Sendang Rangu.

Nyi Sendang Rangupun menunduk menjawab pertanyaan gendis. Aku tahu ia sangat senang dengan anak kecil yang masih polos.

“Belum nduk, masih ada pementasan dulu yang harus mereka tonton” jawab Nyi Sendang Rangu.

Gendispun tersenyum. Kami melanjutkan menonton pementasan Sena. Lucunya, gendis menghampiri satu persatu roh warga desa yang wujudnya tidak menyeramkan lagi. Mungkin ia tau, setelah pementasan ini mereka akan berpisah.

Nyi Sendang Rangu menonton dari tempat yang tidak kami ketahui. Tapi kami tahu, saat ibu ikut mengambil posisi di panggung bersama sinden lainya ada angin yang berhembus seolah memberi kabar bahwa Nyi Sendang Rangu sedang menikmati pementasan itu.

***

Pementasan benar-benar berjalan semalam suntuk. Warga desa benar-benar menikmati sisa waktu pementasan tanpa adanya rasa takut.
Kini mereka mempelajari suatu hal, bahwa rasa ketidak pedulian bisa memicu dendam yang membawa sebuah bencana. Apalagi sekarang mereka mengerti, bahwa siapapun yang mengikat perjanjian dengan setan sudah dijanjikan neraka bagi mereka di akhir jaman nanti.

***

“Jadi gimana ibu bisa kenal Nyi Sendang Rangu?” Tanyaku tepat saat pementasan usai.

“Dulu dia sering menyaksikan pementasan ibu” jawabnya singkat.

“Sudah begitu saja?” Tanya Cahyo.
Ibu mengangguk, namun aku tidak puas dengan jawaban itu.

“Lantas, bagaimana cara ibu manggil Nyi Sendang Rangu? Apa mantra sambara juga diturunkan ke ibu” tanyaku.

“Ngawur kamu, ibu bukan orang seperti kalian..” balas ibu.

“Terus gimana?” tanyaku yang masih penasaran.

“Ibu nggak manggil, tapi ibu selalu tahu setiap ibu menyanyi banyak sosok hebat yang selalu setia menonton ibu” Jawab ibu.

“Entah kenapa Nyi Sendang Rangu yang turun, sebenarnya ibu mengira sosok lain yang akan membantu”

Sontak aku saling bertatapan dengan Cahyo.
Masih ada sosok lain sehebat Nyi Sendang Rangu yang menyaksikan pementasan tadi? Sepertinya aku benar-benar tidak bisa meremehkan ibu.

“Nan, pokoknya jangan sampai bikin ibumu marah..” Ucap Cahyo.

“Iyo, setuju..” balasku.

Pagi itu kami memutuskan untuk berisitrahat di rumah singgah sebelum besok kembali ke padepokan Ki Joyo Talun. Sedangkan ibu dan yang lain kembali lebih dulu. Mungkin kami akan tinggal disini beberapa hari sebelum kembali.

***

Matahari sudah berada di atas saat aku terbangun. Terlihat piring-piring dan rantang yang terisi penuh sudah disiapkan untuk kami.
Cahyo yang sudah terbangun lebih dulu sedang sibuk menyuci simbah, motor vespa tua kesayanganya.

“Tumben rajin, kesambet apa Jul..” tanyaku iseng.

“Asem, bangun-bangun malah ngeledek. Demi kepentingan negara nih, manjain simbah dulu daripada tar ngambek lagi pas pulang..”

“haha, yowis.. aku nonton aja ya”

“Tidur lagi juga gapapa Nan, matamu masih sembab lho itu..”

“Sayang kalau tidur lagi, tak sarapan saja. Mumpung masih anget sayurnya”
Akupun mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang sudah disiapkan untuk kami dan menikmatinya di teras.

“Monggo mas Danan..”

Terlihat warga desa mulai beraktivitas seperti biasa dan berlalu lalang di depan kami. Ada dua orang anak kecil mendekat dengan malu-malu ke arah kami.

“Gendis, Kia.. kesini! Kok malu-malu gitu” panggil Cahyo.

“A..ada yang mau ketemu mas, kemarin mas Jatmiko ngajak dia ke desa. Tapi dia tetap ingin menunggu di pendopo” Ucap Kia dan Cahyo.

“Nah kan, kalian main kesana lagi. Pasti nggak ijin sama bapak ya?” Tanya Cahyo.

“I..iya mas” ucap mereka.

Aku menyelesaikan makanku dan mendekat ke Cahyo. Sepertinya kami tahu siapa orang yang menunggu di pendopo.

“Biar aku saja yang kesana…” pamitku pada Cahyo.
Akupun mampir ke rumah ayah gendis dan ayah kia meminta ijin pada mereka.

Bukan tanpa sebab, kami dan warga desa melarang mereka bermain ke pendopo dulu karena masih ada jasad dan kepala manusia korban-korban sinden abdi setan itu yang harus dikuburkan.

***

Menjelang sore kami kembali menuju tempat dimana semalam terdapat pesta yang mengerikan. Sudah ada beberapa kuburan yang bertambah disana. Sepertinya pagi ini warga telah bekerja sangat keras.

Ada seorang wanita yang menunggu kami di pendopo yang sudah berantakan dihancurkan oleh Cahyo.

“Mbak.. ayo ikut ke desa dulu, kita ngobrol di desa ya” Ajakku pada wanita itu.

Ia adalah sinden yang kemarin kehilangan penglihatanya karena ingin bertobat meninggalkan Nyai Jiwonto.

“Saya malu mas, disini saja saya merasa nyaman. Apalagi ada anak-anak baik yang capek-capek bawain minuman sama buah untuk saya. Belum pernah saya merasa setenang ini” ucapnya dengan anggun.
Aku mengelus kepala Gendis saat mendengar cerita dari wanita itu.

“katanya ada yang ingin Mbak ceritakan pada kami?” tanyaku.

“Nama saya Kandika, dulu saya terjebak dengan tipu daya setan karena bersaing dengan sinden-sinden lainya. Namun sebenarnya di tengah jalan saya sudah tersadar bahwa ini sama sekali tidak sebanding.

Sayangnya saat ingin kembali bertobat, berbagai ancaman datang kepada saya” Cerita Kandika.
Aku mencoba meraba ke arah mana Kandika ingin bercerita.

“Saya hanya ingin memperingatkan masnya. Kami, sinden-sinden ini hanya kaki tangan.

Ada sosok lain yang memberikan kesaktian dan mengirimkan makhluk yang menjaga kami seperti joko garu dan mbok gondo” Ucapnya.

Aku sudah menduga akan hal ini, tapi aku selalu berharap pikiranku salah.

“Memangnya kalian mengabdi pada sosok apa?” tanyaku.

Kandika menggeleng, ia sepertinya tidak tahu dengan pasti.

“yang saya tahu, dia makhluk dari tempat terlaknat yang pernah ada. Ia menggunakan kami untuk bisa mengambil tempat di alam ini. Wujudnya pernah diceritakan di kitab-kitab jawa kuno” Jelasnya.

“Mas, berarti desa belum aman?” Tanya Kia khawatir.

“Tenang saja, desa sudah aman. Kalian bisa main lagi seperti biasa. Mas pasti akan bertemu sama sosok itu, yang pasti bukan di desa ini..” Balasku.

Hanya itu yang ingin disampaikan Kandika. Walau sudah menyampaikan pesanya, ia tetap tidak mau kembali ke desa. Namun ia sudah meminta tolong mas Jatmiko untuk menghubungi seseorang yang akan menjemputnya.

Gendis dan Kia menemani Kandika disana sampai orang yang dimaksud menjemputnya. Sementara aku meninggalkan mereka untuk menyampaikan ini pada Cahyo dan bersiap ke padepokan.

***

“Ibu, rajin banget sore-sore gini dandan” tergurku sambil menepuk pundak ibu yang sedang mengenakan kebayanya.

“E..Eh mas Danan!”
Rupanya itu bukan ibu, itu adalah Naya yang sedang mencoba kebaya pemberian ibu.
“N..Naya, maaf. Kirain ibu” ucapku malu.

“Iya nggak papa mas Danan, Naya yang salah nyobain kebaya Nyai Kirana sampai keluar-keluar” jawabnya dengan polosnya.

“Eh, tapi nggak papa Naya. Kamu cantik pakai kebaya itu” ucapku yang segera buru-buru meninggalkanya untuk bertemu Sena.

Sekali aku menengok, Sepertinya Naya masih menatapku dari sana dengan wajah yang memerah.

***

Aku menceritakan pada Sena tentang apa yang kudengar dari Kandika. Ia berusaha mengingat sesuatu dan mencari sesuatu dari peti milik Ki Joyo Talun.

Sebuah buku, bukan lebih mirip sebuah kitab kuno.
Sena membawanya ke meja di ruang tengah dan membukanya di hadapan kami.

“Semoga cerita yang ada di kitab ini tidak benar terjadi” ucap Sena.

“Maksudmu apa Sena? Ini kitab apa?” Tanya Cahyo tidak sabar.

“Ini kitab turun-temurun, tapi sebenarnya kami tidak pernah mengindahkanya. Kisah di kitab ini sangat tidak masuk akal”
Kitab itu menceritakan mengenai keseimbangan di alam ini. Selalu ada hal baik diantara hal buruk dan selalu ada hal buruk diantara hal baik.

Kitab ini seolah memperingatkan akan kebaradaan sosok hitam yang kelak akan bangkit mengambil posisi di alam ini.
Mereka adalah sosok yang memberikan keindahan pada sinden atau penari.
Sosok yang memberikan kesaktian pada trah dan keturunanya.

Sosok yang mengikat penunggu neraka pada pusaka kuno.
Dan berbagai sosok yang memanfaatkan hawa nafsu manusia untuk menjadikanya sebagai alat.
Seketika aku mengingat kekuatan dari trah brotowongso, keris benggolo ireng, dan sinden-sinden yang melawan kami kemarin.

“Sena, kami pernah melawan sebagian yang diceritakan oleh kitab itu” ucap Cahyo.

Senapun kaget mendengar ucapanku, kamipun menceritakan semua kisah yang kami alami yang berhubungan dengan kitab itu.
Melihat keseriusan kami, ibu mendekat dan menyimak pembicaraan kami.

“Seandainya yang diceritakan di kitab itu benar, bagaimana umat manusia bisa bertahan. Aku tidak bisa membayangkan ketika dengan mudahnya manusia menjadi pengikut mereka” ucap Sena.

“Menurut kitab ini, mereka akan bangkit di satu tempat. Tempat yang memiliki hubungan dengan...

Kerajaan di Setra Gandamayit...” Tambah Sena.

Seketika bulu kuduku berdiri. Tidak mungkin tempat itu masih berada saat ini. Seandainya ada, kami tidak mungkin menghadapi makhluk dari kerajaan setan kuno itu.

Ibu memegang tangan Sena dan menutup kitab itu.

“Ada kitab yang lebih pantas untuk kalian yakini” ucap Ibu mencoba menenangkan kami.
Aku setuju, tapi mungkin kami perlu mengetahui lebih jauh tentang apa yang diceritakan kitab itu.

“Kitab ini menceritakan tentang sosok yang membuat kita khawatir. Tapi kitab ini tidak menceritakan tentang orang-orang yang sudah kalian temui dan siap melawan itu semua” tambah ibu lagi sambil menatap lurus ke arahku.

Dari ucapan ibu aku mengigat orang-orang dan sosok yang telah banyak membantuku. Masih ada Paklek, Jagad, Dirga, Abah, Nyi Sendang Rangu, teman-teman dari radio tengah malam, dan bahkan Mbah Wira dan Nyai Jambrong yang telah bertobatpun membantu kami.

Cahyopun menepuk pundakku seolah berusaha menenangkanku. Benar, harusnya ia orang pertama yang masuk dalam hitunganku tadi.
Seketika rasa khawatirku menghilang. Aku tersenyum pada ibu, sejak kecil ia tidak pernah gagal menghilangkan rasa khawatirku.

Beberapa gelas teh hangat diantarkan oleh Naya. Aku membalasnya dengan senyuman, namun dalam hati aku berbicara.

“Seandainya aku bisa kembali setelah semua tugas yang dipercayakan Tuhan padaku, semoga kamu masih bersedia menungguku Naya..”

Naya membalas senyumanku dengan anggun dan meninggalkan kami. Aku tahu dalam hitungan detik akan datang ledekan dari Cahyo tentangku dan Naya. Namun aku tidak peduli.

Setidaknya kali ini aku kembali merasa bersyukur bahwa Tuhan sudah menciptakan seseorang yang dekat dengan ibu dan bisa membuatku merasa nyaman.

Semoga saja ada waktu untuk kami bisa berkumpul sambil menikmati teh hangat seperti ini tanpa perlu mengkhawatirkan hal buruk yang akan terjadi.

--TAMAT--
close