Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 5) - Gandara Baruwa

Sosok yang lahir dari ketamakan manusia dan tumbuh karena dendam manusia. Sosok yang mematikan dan akan membawa pengikutnya ke penderitaan tanpa akhir di Akhir Jaman.

Gandara Baruwa…


Manusia percaya bahwa mereka adalah makhluk yang paling mulia yang diciptakan oleh Penciptanya.

Namun alam ini begitu luas dan dalam, begitu banyak hal yang bahkan tak tergambar dalam pikiran ataupun imajinasi seorang manusia.

Ada Jaman dimana makhluk-makhluk tak kasat mata ikut campur dalam alam yang dihuni oleh manusia. Semua itu terjadi saat manusia belum mengenal peradaban dan mencoba mengandalkan sosok yang mereka kira dapat mereka kendalikan.

Nyatanya, Makhluk tak kasat mata itu memiliki pengetahuan yang lebih banyak, lebih licik, dan lebih kuat dari manusia. Semua itu karena mereka memiliki masa hidup yang sangat jauh lebih panjang.

Hanya saja, mereka tidak berkutik terhadap manusia yang berlindung dibalik Penciptanya. Manusia itu terlihat lemah, namun kuasa Yang Satu takkan pernah membiarkan dirinya celaka.

Walau begitu, banyak manusia bodoh yang menggadaikan ikatan pada Tuhanya demi mendapatkan hal yang nikmat namun sementara. Padahal semua yang dibutuhkan untuk hidup dan untuk mati sudah tersedia di alam ini.

Makhluk-makhluk itu menjelma menjadi sosok digdaya yang terlihat dapat diandalkan. Kuat untuk memenangkan perang, Cantik untuk memperdaya, hingga megah untuk memperkaya.

Satu diantara mereka menjanjikan kekayaan sekaligus memberi ilmu untuk menghadapi siapapun yang mengusiknya.

Sosok yang lahir dari ketamakan manusia. Sosok yang tumbuh karena dendam manusia. Sosok yang menjadi makhluk mematikan yang akan membawa pengikutnya ke penderitaan tanpa akhir di Akhir Jaman.

Gandara Baruwa…

Ribuan pria sudah menggadaikan istrinya untuk perjanjian denganya. Ribuan pencari ilmu sudah mempersembahkan tumbal untuk mendapat restunya.

Semua itu terjadi sejak manusia masih hidup dengan berburu, hingga saat ini manusia sudah bertahan hidup dengan saling menipu.

Kebodohan itu menciptakan sesosok makhluk yang haus darah dan tak terkendali. Sosok digdaya yang membuat siapapun gentar melihatnya. Dan Sosok yang terus mencari manusia untuk disesatkan.
Satu hal yang dapat dipastikan saat kebangkitanya.

Banjir getih…

Part 5 - Gandara Baruwa

Mbah Sugik..
Sosok dukun yang mengabdi pada makhluk mengerikan itu, mati begitu saja setelah ritualnya membangkitkan sosok yang ia puja. Bahkan hanya setengah tubuh bawahnya saja yang tersisa dari jasadnya.

Kali ini aku benar-benar gentar. Sedikit saja aku salah mengambil keputusan, mungkin kami akan bernasib sama seperti Mbah Sugik dan anak buahnya.

Tak membutuhkan waktu lama sampai mata hitam makhluk besar itu menemukan keberadaan kami.

Iapun meletakkan kedua tanganya di tanah dan memajukan kepalanya untuk melahap kami.

“Lari!!” Teriakku memperingatkan Cahyo dan yang lainya.

Wajah mengerikan itu mendekat ke arah kami. Mas Jagad menarik Mas Linggar dan Mas Linus masuk ke dalam alam ghaib, sementara Cahyo menarikku untuk melompat lebih jauh dari jangkauan makhluk itu.

“Wanasura!!”

Cahyo tidak menahan diri, ia segera kembali ke arah Gandara Baruwa untuk menghantamkan pukulan pada wajahnya.

Raungan wanasura terdengar ke seluruh hutan seolah menandakan bahwa ia mengerahkan seluruh kekuatanya.

Pukulan itu telak mengenai wajah makhluk besar itu, tapi sayangnya serangan itu hanya mampu membuatnya sedikit menoleh.

“Manusia? Bukan.. ini kekuatan ras terkuat alas Wanamarta,” ucap Gandara Baruwa yang mendapati keberadaan Cahyo.

“Genderuwo jelek! Ojo sakpenake main cokat-cakot wae! Iki uwong dudu perkedel!” (Genderuwo jelek! Jangan seenaknya main makan-makan saja! Ini orang bukan perkedel!)

Teriak Cahyo sembari menunjuk-nunjuk wajah makhluk itu.

Menyadari keberadaan Cahyo, Gandara Baruwapun berdiri memandang kami dari ketinggian. Seolah ia ingin menunjukkan betapa perkasanya dirinya.

“Tidak pantas makhluk sepertimu mengabdi pada manusia lemah! Mengabdilah padaku!” Ucap Gandara Baruwa pada Cahyo.

Tapi aku tahu dengan jelas bahwa ucapanya tertuju pada Wanasura yang berdiam di raga Cahyo.

“Grrrraaaaaorrrr!!!”

Raungan wanasura terdengar begitu keras menentang ajakan Gandara Baruwa. Semangat itu disambut oleh Cahyo yang segera kembali melesat untuk menghantam perut makhluk itu.

Sayangnya… kali makhluk itu tak sedikitpun terpengaruh oleh seranganya.

Sebaliknya dengan cepat tiba-tiba kaki makhluk itu sudah menghantam tubuh Cahyo.

Sontak Cahyopun terpental hingga tubuhnya terhempas di salah satu pohon. Namun ketika makhluk itu kembali ingin menyerang Cahyo, aku membacakan mantra pada kerisku dan menusukkanya pada salah satu kakinya. Makhluk itupun tertahan dan berpaling menatapku.

“Keris pusaka? Mau mengalahkanku dengan benda itu?” ucap Gandara Baruwa.

Aku sadar seranganku tak cukup membuatnya terluka. Dengan cepat aku menarik kembali kerisku dan menjauh darinya. Tapi tubuhnya terlalu besar sehingga tanganya dengan mudah dapat meraihku.

“Danan!” Teriak Cahyo khawatir.

Wajar saja, berbeda dengan Cahyo yang dilindungi kekuatan wanasura. Dengan serangan itu dengan mudah aku akan berubah menjadi tumpukan daging yang berserekan seperti anak buah Mbah Sugik.

Aku tak sempat untuk menghindari besarnya tangan yang beberapa kali lipat dari tubuhku itu.

Tapi sebelum tangan itu menyentuhku, tiba-tiba pemandangan di sekitarku berubah. Ada Mas Jagad di belakangku.

“Hampir saja aku terlambat,” ucap Mas Jagad.

Ternyata Mas Jagad menyelamatkanku dengan memindahkanku ke dimensi lain. Akupun menarik nafas lega saat menyadarinya.

“Ayo kita kembali, Cahyo sendirian,” balasku.

“Iya”
Dalam sekejap kami sudah kembali ke hadapan makhluk raksasa yang sedang beradu pukulan dengan Cahyo. Namun sekali lagi Cahyo terpental.

Aku melihat sesuatu menyala merah dari tangan Jagad, ia berlari mendahuluiku dan membacakan mantra pada sebuah batu yang berada di genggamanya.

Iapun melemparnya dan sebuah batu menyala melesat ke wajah Gandara Baruwa.

Sebuah ledakan membakar wajah makhluk itu, namun sekali lagi serangan itu hanya membuat makhluk itu semakin kesal.

“Ajian Watugeni, tidak berguna…” ucap Jagad. Kini makhluk itu berpaling kearahku lagi,

Cahyo yang sudah babak belur segera menghampiriku mencoba menghadang serangan yang mungkin akan diarahkan padaku dan Mas Jagad.

“Kera alas wanamarta! Kuberikan waktu hingga aku selesai menikmati tumbal untukku ini.

Setelahnya kau harus memilih! Menjadi abdiku, atau mati bersama mereka!” Ucap Gandara Baruwa.

Aku tak menyangka makhluk itu masih mengharapkan wanasura untuk mengabdi padanya. Entah itu sebuah keberuntungan, atau hanya sebuah bom waktu untuk kematian kami.

Setelah mengucapkan itu, perlahan tubuh Gandara Baruwa menyusut semakin mengecil. Tubuhnya yang hampir sebesar setengah dari desa itu berubah seukuran manusia biasa dengan seluruh tubuh yang berwarna hitam.

Kukunya panjang dengan bulu yang lebat di seluruh tubuhnya. Giginya tajam dengan taring yang menjulur keluar dan matanya menyala merah.

“Apa dia melemah?” Tanya Cahyo.

“Tidak.. tidak mungkin, tekanan kekuatanya masih kurasakan, bahkan semakin kuat,” Balasku.

Gandara Baruwa yang dalam wujud manusia itu mencengkeram salah satu sukma seorang wanita yang terikat di sana. Ia menjambak rambutnya dan memakan roh itu dari wajahnya.

“Ja...jangan! Sakitt!” Teriak roh itu yang seketika terhenti tepat saat Gandara menghabisi kepalanya.

“Hentikan!!” Teriakku dan Cahyo.

Kami bergegas menuju Gandara Baruwa dan melancarkan serangan kami. Cahyo melompat dengan kekuatan wanasura dan menghantam kepala setan itu, sementara aku melancarkan Ajian Lebur Saketi untuk melemparkan pukulan jarak jauh padanya.

Sayangnya, makhluk itu tidak terluka sedikitpun. Ia tidak mempedulikan setiap serangan kami dan terus melumat roh itu hingga habis.

Setelahnya ia kembali mencari roh lain dan kembali menerkamnya.

“Hentikan!! Hentikan!!” Teriak Cahyo yang terus memukuli makhluk itu bertubi-tubi, tapi kekuatan wanasura benar-benar tidak berguna terhadapnya.

Cahyo terlihat frustasi saat tak berkutik melihat roh seorang manusia yang seharusnya masih hidup dihabisi di depan matanya.

Ini pertama kalinya serangan kami sama sekali tidak berguna pada suatu makhluk. Aku tidak ingin menambah korban lagi dan segera meletakkan keris ragasukma di hadapan dadaku.

Aku mengingat dengan jelas mantra yang diturunkan leluhurku.

Sebuah mantra yang seharusnya hanya kubacakan saat dalam keadaan terdesa diantara hidup dan mati. Tapi, kali ini nyawa puluhan orang dipertaruhkan.

Jagad lelembut boten nduwe wujud Kulo nimbali Surga loka surga khayangan Ketuh mulih sampun nampani Tekan Asa Tekan Sedanten…

Angin berhembus dengan tenang.
Suara hutan masih berbaur dengan suara teriakan roh yang siap dihabisi oleh Gandara Baruwa.

Tapi…

Aneh..

Tidak ada air hujan yang menetes..
Tidak ada pula tanda-tanda kemunculan sosok yang mendekat ke arah kami.

“Tidak mungkin? Mantraku gagal?” Ucapku. Akupun mengulang mantra itu sekali lagi. Kupastikan sukmaku dan keris ragasukma menyatu saat membaca mantra itu, tapi tetap sama. Tidak ada tanda-tanda kemunculan Nyi Sendang Rangu.

“Danan? Apa yang terjadi dengan Nyi Sendang Rangu?” Teriak Cahyo yang menyadari ada yang salah dengan mantraku.

“Entah, Tidak terjadi apapun.. mantraku tidak bekerja,” jawabku.

Aku memastikan keris ragasukma masih memiliki kekuatanya.

Tapi mengapa ia tidak bisa memanggil Nyi Sendang Rangu lagi? Apa terjadi sesuatu dengannya?

“Hutan ini yang menghalanginya mendekat…”
Tiba-tiba Mas Linus mendekat, namun aku mengenal itu bukanlah suaranya.

Itu adalah suara dari kesadaran pusaka pisau batu yang kini telah kembali padanya.

“Ma...maksudnya? Nyi Sendang Rangu tidak bisa memasuki Leuweung Sasar?” tanyaku.

Mas Linus mengangguk, sementara itu Mas Linggar tengah menitipkan roh ibu dan ketiga pakdenya kepada mas jagad untuk dibawa ke tempat yang aman.

Rupanya sedari tadi mereka mencari kesempatan untuk menyelamatkan roh ibu Mas Linggar dan kerabatnya yang tergantung di atas pohon besar.

Terlihat roh ibu mas linggar menyadari sesuatu yang terdapat dalam diri mas linggar. Ia menyadari kutukan yang sebelumnya berada padanya kini telah berpindah ke anaknya.

“Kau boleh membalaskan dendamu padaku sekejam apapun itu, tapi tolong selamatkan anakku,”

Ibu Mas Linggar berkata sembari menatap mata Mas Linggar dalam-dalam. Kami semua tahu bahwa ia sedang berbicara dengan sosok yang berdiam di tubuh Mas Linggar.

“Jangan ibu! Ibu harus hidup!” Ucap Mas Linggar yang tidak setuju dengan ucapan ibunya.

Belum sempat lebih lanjut berbicara, tiba-tiba sebuah tangan muncul dari dalam tubuh Mas Linggar. Sosok itu mencekik ibu linggar dengan kuku-kukunya yang tajam.

“Kalau begitu, mati!!”

Nyai Kunti muncul dari tubuh linggar dan hendak menghabisi roh ibu linggar.

Mas Linggar mencoba menahanya, tapi ia masih jauh dari mampu untuk melakukan itu.

“To...tolong!” Teriak Linggar.

“Kau harus berjanji memastikan anakku hidup,” Ucap Roh ibu Linggar yang tengah mempertahankan kesadaranya.

“Itu urusanku!” Balas Nyai Kunti.

Aku dan Jagad berusaha mencegah Nyai Kunti membunuh roh ibu linggar. Tapi waktu mereka tidak cukup untuk mencapainya.

Di tengah kebingungan kami tiba-tiba terlempar sebuah benda menabrak tubuh linggar dan membuatnya terjatuh.

“Cepat bawa pergi dia!” Ucap Linggar dengan suara yang berbeda.

Benda itu adalah pusaka Linus yang dilempar olehnya, ia mengambil kesadaran Linggar sementara untuk mengekang Nyai Kunti.

“Mas Jagad!” aku memastikan Mas Jagad mengerti maksud itu.

Dengan sigap mas jagad menarik roh ibu linggar dan membawanya pergi ke alam lain bersama ketiga roh pakdenya.

“Pusaka brengsekk!!!” Teriak Nyai Kunti yang berhasil menguasai tubuh Linggar lagi.

Sosok itu berteriak sekeras-kerasnya hingga hewan hutanpun berlarian.

Kali ini Gandara Baruwa menoleh. Sepertinya ia tidak memandang Nyai Kunti dengan sebelah mata.

“Jadikan dirimu berguna setelah apa yang kau lakukan!” Teriak Nyai Kunti sebari melempar pisau pusaka batu itu kembali pada linus.

“Aaaaarrrrggh!!!”Mas Linggar terlihat kesakitan.
Matanya menghitam dengan darah yang mulai mengalir dari rongga matanya. Garis uratnya terlihat di sekujur kulitnya dan mulai menghitam.

Tak lama setelahnya tiba-tiba Gandara Baruwa memuntahkan darah hitam dari mulutnya.

Ia kesakitan hingga bergulingan di tanah.

“Aarrrghh…sakit! Setan sialan!!!” Teriak Gandara Baruwa.

Cahyo kaget, ia tidak menyangka sosok yang sedari tadi ia serang sekuat tenaga namun tidak terluka sedikitpun, kini berteriak kesakitan oleh sesuatu.

“Itu, Nyai Kunti?” Tanya Cahyo.
Aku memastikan keberadaan sosok yang ditanyakan oleh Cahyo, dan benar saja tanpa kami sadari Nyai Kunti sudah merasuk kedalam Gandara Baruwa dan menyebarkan kutukanya.
“Linggar tidak akan bertahan,” ucap pusaka batu yang mengambil alih tubuh linus.

Aku, Cahyo, dan Linus menghampiri Mas Linggar yang tengah kesakitan. Berkali-kali aku membacakan mantra penyembuh namun sama sekali tidak berguna untuk dirinya.

“Nyai Kunti itu harus kembali sebelum Mas Linggar kehilangan nyawanya,” ucapku.

Aku memikirkan siasat. Mungkin saja bila aku menyerang mereka dengan wujud sukmaku aku bisa memaksa Nyai Kunti untuk meninggalkan Gandara Baruwa dan kembali ke tubuh linggar.

Namun sebelum itu terjadi, Linus menghentikanku.

“Aku mencium bau sesuatu yang sangat kuat, bau yang menenangkan,” ucap Linus yang masih dalam pengaruh pusaka itu.
“Maksudnya?” tanyaku.
Aku merogoh tubuhku dan menemukan sebotol kecil wewangian yang diberikan oleh Gama sebelum berpisah tadi.

“Apa.. ini?” Tanyaku sembari menunjukkan botol wewangian kecil itu.
Linus memperhatikanya dan menciumnya dengan seksama. Wajahnya terlihat berubah seolah mengenali benda ini.
“Gunakan ini pada Linggar, wewangian ini sama dengan yang dimiliki sang ulama,” ucapnya.

Aku tidak mengerti, namun aku juga tidak memiliki kesempatan untuk berpikir. Saat ini aku hanya bisa mengikuti petunjuk dari sang pusaka pisau batu yang mengambil alih tubuh Linus.
Kami membaringkan Mas Linggar dalam posisi yang nyaman.

Sementara itu Cahyo berusaha menahan tubuh Mas Linggar yang terus meronta. Akupun membuka tutup wewangian itu dan mencium aroma yang sangat pekat.

Aku bisa menebak bahwa benda ini bukan benda biasa.

Ada bau dari akar-akaran keramat dan rempah dari puluhan bahkan ratusan tempat. Benda ini hanya bisa dibuat oleh pengembara yang sudah berkeliling selama puluhan tahun.

Botol wewangian itu kudekatkan pada hidung linggar.

Aku memastikan aroma itu merasuk dalam tubuhnya bersama setiap nafas yang ia tarik kedalam paru-parunya. Hanya dalam hirupan ketiga, seketika Mas Linggar terhentak bersama asap hitam yang keluar dari dalam dirinya.
“Apa yang kalian lakukan?”

Asap hitam itu melayang ke atas kami. Kamipun menoleh dan melihat sosok perempuan mengerikan melayang-layang diatas kami. Itu adalah sosok Nyai Kunti yang tadi merasuk pada Gandara Baruwa. Kini ia telah kembali di antara kami.

Kamipun menoleh ke arah Gandara Baruwa, ia tengah berusaha berdiri setelah pertarunganya dengan Nyai Kunti. Sementara itu tubuh Linggar kembali pulih dan kesadaranya kembali perlahan.

“Berhasil?” tanyaku.

“Jangan lengah!” Ucap Linus sembari memastikan kami mengawasi Nyai Kunti.

Nyai Kunti memperhatikan tubuh rohnya. Ia merasakan ada yang berbeda pada dirinya. Ia melayang terlepas dari tubuh linggar sementara mas linggar masih tetap tersadar.

“Kau melepaskan ikatanku dengan keturunan Sasena?” ucap Nyai Kunti.

Melepaskan? Aku tidak pernah menyangka wewangian ini memiliki kemampuan seperti itu. Apa ini hal yang buruk? Apa ini artinya kini ia bisa melampiaskan amarahnya?

Kamipun menjauh mundur dari Nyai Kunti. Saat meyakinkan apa yang terjadi padanya, perlahan iapun mulai tersenyum.

“Khikhikhikhikhi…. Akhirnya!! Akhirnya kutukan bodoh itu tidak lagi mengikatku! Aku bisa membalas dendamku!” Teriak Nyai Kunti.

Wajah Linggar terlihat pucat, ia meminta kami semua untuk waspada.

“Leluhurku menyiksa dan membunuhnya agar ia bisa menjadi roh pelindung trah sasena. Dendamnya benar-benar tidak terbendung,” ucap Mas linggar.

Apa-apaan ini? Melawan Gandara Baruwa saja kami tidak sanggup, kini Nyai Kunti bebas dari ikatanya dan berhadapan dengan kami.

“Aku akan memaafkanmu bila kau mau mengabdi kepadaku dan menghabisi mereka,” ucap Gandara Baruwa yang mendekat pada Nyai Kunti.
Nyai Kuntipun menoleh ke Arah Gandara Baruwa. Walau sempat membuat Gandara Baruwa kerepotan, ia sadar makhluk raksasa itu masih jauh lebih kuat darinya.

“Sebaiknya kalian segera melarikan diri,” ucap kesadaran pusaka di tubuh linus.

“Aku bertatapan dengan Cahyo,” kami sama sekali tidak bisa membaca situasi ini.

Melarikan diri? Saat ini ada puluhan roh yang akan musnah bila tidak ada yang menolongnya.

Itu sama saja dengan kematian anak-anak di desa dirga dan warga yang ditumbalkan Mbah Sugik.

Tanpa sepatah katapun aku dan Cahyo melangkah kedepan Mas Linggar dan Mas Linus.

Cahyo sudah mengerahkan semua kekuatan wanasura di tubuhnya sementara keris ragasukma sudah tergenggam erat di tanganku.

“Kalian pergilah, selamatkan roh-roh yang bisa kalian bawa sebisa kalian,” ucap Cahyo yang berdampingan denganku.

“Jangan! Jangan Gila! Nyai Kunti saja sudah terlalu kuat! Kini musuh kalian dua orang makhluk yang mendekati dewa,” ucap Pusaka Linus menahan kami.

“Dewa? Mereka jauh dari pantas untuk menyandang gelar ini,” balasku.

Perbincangan kami tidak berlangsung lama, Mas Linggar dan Mas Linus tetap tidak ingin pergi tanpa kami.

Sementara itu Makhluk hitam bermata merah yang tengah dikuasai amarah itu kini melangkah ke arah kami.

Perlahan ia kembali ke wujud raksasanya dan berniat menghabisi kami dengan brutal.
“Seharusnya kalian kuhabisi lebih dulu!” ucapnya. Sekali lagi kami berhadapan dengan sosok raksasa Gandara Baruwa.

Pohon-pohon bertumbangan tak mampu menahan kekuatan makhluk itu. Aku dan Cahyo sudah kembali memasang kuda-kuda untuk bereaksi terhadap serangan apa yang akan ia lakukan.

Cakar makhluk itu sudah mengayun ke arah kami, namun sebelum kami sempat menangkisnya seranganya terhenti.

Tanganya terjatuh di tanah seolah Gandara Baruwa tidak mampu mengangkatnya lagi. Tanganya membusuk dengan kulit-kulitnya yang mulai mengelupas. Aku mencari siapa pelakunya, dan hanya menemukan Nyai Kunti yang melayang menghadang Gandara Baruwa.

“Nyai Kunti?” Tanyaku Bingung.

“Setan brengsek! Kau sudah bebas, mengapa masih memihak manusia,” protes Gandara Baruwa.

“Khikhikhi… Memihak? Jangan Goblok! Aku hanya sudah terlanjur berjanji pada ibu dari bocah itu,” Balas Nyai Kunti.

Gandara Baruwa terlihat semakin geram. Wajahnya penuh amarah seolah merasa dipermainkan.

“Pergi Bocah Goblok! Jangan pikir aku akan bertarung mati-matian untuk mengalahkan demit bongsor ini!” Ucap Nyai Kunti.

Benar, dengan Nyai Kunti yang menahanya, mungkin kami memiliki waktu untuk menyelamatkan diri dengan membawa beberapa roh anak-anak dan warga yang masih bisa diselamatkan.

Ucapan Nyai Kunti segera terbukti. Tangan Gandara Baruwa kembali pulih dengan cepat.

Kutukan Nyai Kunti hanya bertahan sesaat di tubuh raksasa itu.

“Kita pergi?” Tanya Linggar.

Aku masih ragu, tapi aku tetap merasa ini adalah kemungkinan terbaik. Bila kami sampai mati, aku tidak bisa membayangkan kembali siapa yang bisa menghadapi Gandara Baruwa.

“Tunggu,”

Tiba-tiba Linus yang masih dikuasai pusaka itu menahan kami.

“Tidak perlu lari lagi,” ucapnya.
Aku dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan kali ini sudah diluar kendali kami, apa mungkin pusaka pisau batu itu punya rencana?

Di tengah kebingungan kami, sebuah cakaran Gandara Baruwa yang diarahkan ke Nyai Kunti kembali terhenti. Ada sosok yang menariknya dan menjatuhkanya ke tanah. Sesuatu mencabik-cabik lengan itu dengan cakaran dan giginya.

Aku sempat melihat sosok hitam yang cukup besar melesat ke arah Gandara Baruwa. Suara geraman makhluk itu membuatku bisa menebak sosok itu.
“Maaf aku terlambat, ada sesuatu yang menghalangiku untuk muncul di hutan keramat ini,”

Itu adalah Nyi Sendang Rangu. Ia datang bersama sosok kucing hitam besar yang sebelumnya juga bertarung denganya.
“Nyi ?” Ucapku senang.

Kini Macan hitam besar itu tengah sibuk melumat wajah Gandara Baruwa. Ia terlihat begitu marah dengan keberadaan sosok itu. Walau begitu, aku melihat kekuatan Meong Hideung tengah tidak maksimal, sepertinya ia baru saja menyelesaikan sebuah pertarungan.

Akupun menghampiri Nyi Sendang Rangu dan berdiri di sebelahnya.

“Aku minta bantuan lagi ya Nyi,” ucapku yang dibalas dengan senyuman manisnya.
Hujan gerimis mulai turun menyambut kedatangan Nyi Sendang Rangu.

Dengan keberadaan hujan ini, itu artinya ada wujud roh yang bisa ikut bertarung dengan kami. Akupun menoleh dan memberi isyarat pada Cahyo.

“Wanasura, sekarang kamu bisa mengamuk sepuasnya,” ucap Cahyo disusul dengan kemunculan roh kera raksasa yang kini berdiri di sebelahnya.

Berada di bawah rintikan hujan sendang rangu, sama seperti berada di alam roh. Wanasurapun bisa menggunakan wujud aslinya.

Aku memperhatikan Mas Linggar yang memberanikan diri untuk mendekati Nyai Kunti.

“Kenapa? Kenapa Nyai Kunti masih membantu kami? Apa kau benar-benar ingin membunuh ibu?” Tanya Mas Linggar.

Sosok itupun mundur dan mendekat kepada Mas Linggar.

“Leluhurmu menggagalkanku untuk menjadi seorang ibu. Tapi berada dalam tubuh ibumu membuatku merasakan arti sebenarnya menjadi seorang ibu.. Kalau kalian mati, berarti aku akan kehilangan itu semua,” ucap Nyai Kunti yang mulai melunak. Mas Linggar mencoba untuk mengerti ucapan itu.

Ia menganggap bahwa ada harapan bahwa Nyai Kunti tidak akan membunuh ibunya.

“Kalau begitu, aku minta tolong untuk terakhir kalinya ya Nyai,” ucap Mas Linggar.

Kini jantungku berdegup keras. Nyi Sendang Rangu, Wanasura, Nyai Kunti, dan Meong Hideung berada di pihak kami.

Aku semakin yakin bahwa Tuhan tidak pernah memberikan masalah pada kami tanpa pemecahanya. Kini aku sangat yakin bisa mengalahkan makhluk itu.

“Mengamuklah, sekarang kalian bisa mengamuk dengan puas,”

Tiba-tiba terdengar suara mas Jagad yang tengah memegang sebuah pusaka kotak batu yang sempat digunakan anak buah Mbah Sugik.

“Roh di desa mati itu sudah kuamankan. Jangan menahan kekuatan kalian,” ucapnya lagi.

Rupanya Mas Jagad mencoba mengerahkan kemampuan maksimal dari pusaka-pusaka kotak batu itu untuk menampung roh anak-anak dan warga yang ada di desa mati. walaupun aku tahu, setelahnya pusaka itu pasti akan hancur. Itulah kekuatan dari sang Sambara Penghancur Pusaka.

Sekarang kami tidak perlu ragu lagi untuk mengamuk.

“Hebat! Mas Jagad keren!” Ucap Cahyo.
Kamipun segera menyusul Meong Hideung yang tengah kesulitan menahan Gandara Baruwa.

“Pisahkan kepalanya! Dia tidak akan bisa pulih setelahnya,” Ucap Kesadaran Pusaka Pisau batu di tubuh Mas Linus.

Kami mendengarnya dan merencanakan sebuah serangan bersamaan.

Aku dan Cahyo menaiki tubuh wanasura dan menghantam Gandara Baruwa yang tengah kehilangan keseimbangan dengan serangan Meong Hideung. Dengan sigap, Gandara Baruwa kembali menahan dirinya, namun tiba-tiba ia terjatuh.

“Aarrrrgghhhh…..”

Ia kesakitan, Nyai Kunti kembali merasuki dirinya dan menanamkan kutukan padanya. Walau begitu Gandara Baruwa masih bisa mengayunkan cakarnya dan menghantam tubuh Wanasura.
Beruntung Wanasura cukup sigap menahanya walau membuatnya terpental.

Gandara Baruwa kembali mencoba berdiri, namun Nyi Sendang Rangu sudah berada tepat di atas wajahnya.

“Kita roh dari masa lalu punya banyak waktu untuk memilih. Menjadi penghuni neraka? Atau berharap belas kasih dari sang pencipta?

Sayangnya pilihan kedua mungkin sama sekali tidak menarik untukmu,” ucap Nyi Sendang Rangu yang wujudnya berubah dengan mengerikan.

Tubuhnya menghitam dengan berbagai wajah tumbuh di setiap kulitnya.

“Kalian yang bodoh! Takluk pada manusia? Kita jauh lebih hebat dari mereka!” Teriak Gandara Baruwa.

“Kalau begitu biar semua tumbalmu membalas semua perbuatanmu,” Ucap Nyi Sendang Rangu.

Wajah-wajah dari tubuh Nyi Sendang Rangu berteriak dan keluar satu persatu merasuk ke dalam Gandara Baruwa. Seketika Mata Gandaruwa terbelalak ia berteriak histeris setelahnya. Entah apa yang telah dilakukan Nyi Sendang Rangu padanya.

Di satu sisi, aku mengambil posisi di hadapan Cahyo sembari membacakan mantra pada keris ragasukmaku. Kilatan cahaya putih menyelimutinya dan aku memastikan ini adalah semua kekuatan yang kupunya.

Di hadapanku ada leher makhluk itu bersama Meong Hideung yang telah bersiap di sisi lainya. Wanasurapun sudah berlari menuju kepala Gandara Baruwa.

“Sekarang!” Teriakku.

Cahyo melempar tubuhku dengan tubuhnya yang telah dibacakan ajian penguat raga hingga tubuhku melesat ke arah leher Gandara Baruwa.

Nyai Kunti dan Nyi Sendang Rangu menahan Gandara Baruwa dengan kutukan mereka.

Akupun berpapasan dengan Meong Hideung dan menyayatkan serangan yang memutus leher makhluk raksasa itu hingga setengahnya.
Dan sebelum luka itu menutup, Wanasura segera menarik kepala makhluk itu dan memisahkanya dari badanya.

“Aaaaarrrghh!!” Teriak Gandara Baruwa, Bahkan ia masih bisa berbicara setelah kepalanya terputus.

“Bodoh! kalian bodoh!! Tanpa adanya aku, penguasa Alas Wetan akan leluasa berkuasa! Seribu lelembut Alas Wetan akan menuntut tempatnya di alam kalian! Arrrrgghhh…”

Kepala itu terus meronta tanpa henti, namun wanasura tetap enggan melepasnya walau berkali-kali kepala Gandara Baruwa mencoba menggigitnya. Lambat laun, teriakan itupun menghilang bersama tubuh Gandara Baruwa yang menciut dan menguap menjadi asap hitam.

“Kemana? Kemana tubuh makhluk itu?” Tanya Mas Linggar bingung.

Akupun menoleh ke arah kepala yang dibawa wanasura, dan kepala itu ikut menciut dan menguap menjadi asap hitam.

“Apa sudah selesai?” Tanya Cahyo.

Kami menunggu beberapa saat dan tidak mendapati pertanda bahwa Gandara Baruwa akan muncul lagi. Tapi tidak seperti biasanya, setelah menyelesaikan sebuah masalah sewajarnya kami merasa lega. Tapi kali ini aku masih merasa cemas.

“Seharusnya sudah, tapi aku masih merasa cemas,” ucapku.

Nyi Sendang Rangu menghampiriku setelah kembali ke wujud cantiknya.

“Belum selesai, tapi urusan di hutan ini seharusnya sudah sampai di sini,” Ucapnya.

“Apa ini tentang Alas Wetan? Seperti gertakan Gandara Baruwa?” Tanyaku.

Nyi Sendang Rangu mengajakku menoleh ke salah satu sisi langit. Aku melihat dengan mata batinku dan menemukan sebuah cahaya prasasti dari sisi barat berhenti bersinar.

Namun masih ada beberapa prasasti lagi yang menyala dan menandakan masih ada bencana yang harus kami hadapi.
Aku mencari keberadaan Meong Hideung, namun ia sudah menghilang dari pandangan kami.

Tanpanya Nyi Sendang Rangu tidak akan sampai ke tempat ini, dan kami tidak mungkin mengalahkan makhluk itu.
“Kucing itu siapa Nan?” Tanya Cahyo penasaran.
“Teman, nanti kalian juga akan saling kenal,” Jawabku singkat.

Kamipun terduduk menyender pada tubuh Wanasura yang menikmati hujan Nyi Sendang Rangu. Beberapa langkah dari hadapan kami, Aku melihat Mas Linggar dan Mas Linus yang berhadapan dengan Nyai Kunti.

“Wewangian itu sudah melepaskan ikatan Kita.. Ikatan Nyai Kunti dengan darah Sasena. Aku hanya berharap Nyai Kunti bisa tenang,” ucap Mas Linggar pada Nyai Kunti.

Sosok itu terdiam tak langsung menjawab. Ia perlahan menghilang dari pandangan kami seperti kabut yang telah menyelesaikan paginya.

“Tidak ada yang bisa mengaturku, Jangan kira setelah ini aku tidak mengawasimu.. Linggar Sasena,” Suara Nyai Kunti terdengar menggema diantara kami, namun aku cukup lega saat tidak lagi merasakan kebencian dalam suaranya.

***

Suara rintihan terdengar begitu lirih di sebuah goa di tengah hutan. Ada seorang wanita yang dikurung di sana oleh pertapa-pertapa keji yang ingin merubah manusia hidup itu menjadi setan yang mengerikan.

Tubuhnya sudah hancur, tidak ada lagi kehormatan di dirinya setelah ketujuh pertapa keluarga Sasena memperkosanya dalam sebuah ritual.
“Ini semua terpaksa kami lakukan agar rohmu mengenal siapa tuanya!”
Kalimat itu terus teringat di pikiran wanita itu.

Sebuah alasan yang menurutnya tidak dapat membenarkan perbuatanya. Ia diperlakukan seperti anjing dengan hanya memakan lepehan ketujuh pertapa itu. Semua itu dilakukan dengan alasan yang sama.

Ia sendirian di sana, tapi ia masih punya harapan pada janin yang ada diperutnya yang menjadi satu-satunya alasan untuk hidup.
Di suatu malam, wanita itu terbangun dengan bau wewangian yang begitu menyengat.

Ia merasa akan ada ritual lagi yang akan dilakukan padanya, tapi ternyata ia salah. Semakin lama, bau itu semakin menenangkan.
Ia sadar bahwa ada yang sedang meramu sesuatu tak jauh dari tempat ia dikurung.

“Siapa? Siapa di sana? Ada orang?” Teriak wanita itu, namun sama sekali tidak ada jawaban dari siapapun. Ia terus berusaha walau tahu suaranya tidak akan mencapai orang itu.

Tapi keajaiban terjadi…

“Siapa yang mengurungmu di sini?”

Suara seorang pria tua terdengar tak jauh dari tempatnya.

“To...tolong! Tolong saya! Ketuju pertapa keluarga sasena yang mengurungku di sini,” ucap wanita itu.

Pria itu berhenti sesaat dan mengambil air untuk membasuh tubuhnya. Iapun mulai membacakan doa-doa dan ayat suci untuk melepas penghalang gaib yang menghalangi tempat itu.

Tapi hampir setengah malam orang itu melakukan tirakat, Tidak ada sedikitpun tanda-tanda penghalang gaib itu akan menghilang.

“Maafkan aku, ritual yang mereka lalukan begitu kuat. Ilmuku belum mampu untuk melepaskanmu..” ucapnya.

Wanita itu kecewa, iapun kembali merenung dalam gelapnya goa yang mengurungnya. Sebenarnya iapun sadar, hampir tidak ada manusia yang menolongnya dalam situasi ini.

“Setidaknya maukah anda membacakan lagi doa-doa itu. Retidaknya aku bisa sedikit tenang mendengarnya walau hanya satu malam saja…” ucapnya.
Di tengah hutan itu aroma ramuan itu menemani wanita itu bersama alunan ayat-ayat suci yang menenangkan.

Suara rintihan yang sebelumnya terdengar kini mulai menjadi berganti dengan alunan ayat suci yang menenangkan.

Suara rintihan yang sebelumnya terdengar kini mulai menjadi berganti dengan alunan ayat suci yang menenangkan.

“Saat ini aku belum bisa menolongmu, tapi mungkin suatu saat, aku atau keturunanku bisa menyelamatkanmu dari penderitaan ini,” ucap pria itu sebelum meninggalkan wanita itu sendirian lagi.
Ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Di siang harinya wanita itu terus dihujani sengan mantra mengerikan yang dibacakan oleh leluhur Sasena. Rasa dendam dan kebencian semakin tumbuh dengan kuat.

Itulah yang diharapkan oleh leluhur sasena. Manusia yang mati dengan rasa dendam yang menumpuk akan melahirkan setan yang mengerikan.
Wanita itu berakhir di sebuah liang kubur. Ia terkubur hidup-hidup bersama janin yang ia kandung.

Ia terkubur bersama setiap umpatan yang ia teriakkan bersama setiap tanah yang jatuh menguburnya.
Di sebuah bangunan besar, sekelompok orang berkumpul dengan emosi yang meledak-ledak.

“Kepala setiap keluarga Sasena harus kita gantung di hadapan warga desa! Mereka harus menanggung setiap perbuatanya,” ucap salah seorang dari mereka.

“Tanah yang mereka rebut, akan menjadi tempat darah mereka tertumpah,” tambah yang lain.

Tapi pertemuan yang penuh emosi itu seketika terhenti dengan perubahan wajah salah seorang yang memimpin mereka.

Wajahnya menghitam, kulitnya mengelupas. Matanya memerah bersama darah yang mengalir dari lubangnya.

“Apa yang terjadi??!!” Yang lainpun panik mendekat ke orang itu.

Tapi orang itu malah tertawa cekikikan sembari terus menjambak rambutnya hingga kulit kepalanya terlepas.

“Khikhikhi…Mati! kalian diperintahkan untuk mati” Orang itu tertawa dan berteriak, setelahnya ia mati tergeletak dengan tubuh yang menghitam.

Seluruh orang di tempat itupun panik. Dari jasad itu muncul asap hitam yang berubah menjadi sosok wanita mengerikan yang melayang dengan penuh amarah.

“Siapa! Siapa yang menyuruhmu!” Teriak seseorang yang mengacungkan kerisnya ke setan perempuan itu.

“Aku Nyai Kunti! Ini adalah peringatan dari Sasena!” jawabnya.

Dalam waktu semalam, rumah itu sudah dipenuhi jasad yang menghitam. Tidak ada satupun dari mereka mampu melawan makhluk suruhan keluarga sasena itu.

Saat pagi tiba, istri salah seorang dari orang itu memasuki ruangan dan histeris menemukan jasad-jasad itu. Ada seseorang yang masih tersadar berusaha memperingatkanya.

“Jauhi trah Sasena! Mereka memelihara iblis! Mereka dan keturunanya akan dikutuk!” Ucapnya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Semenjak itu tidak ada satupun orang yang berani mengusik keluarga sasena. Entah itu masalah peninggalan kerajaan, perebutan lahan, dan bahkan penjajahpun tidak berani berurusan dengan mereka.

Mereka sadar akan satu sosok yang berada dibalik nama sasena..
Nyai Kunti…

***

(Sudut pandang Danan…)

Tangis histeris terdengar saat Mas Putra mengantarkan anak-anak di desa dirga setelah benar-benar pulih dari rumah sakit. Rasa khawatir orang tua mereka terbayarkan saat anak-anaknya kembali tersadar dari komanya.

“Mas Cahyo berhasil?” Tanya Guntur menyambut kami.

“Ya Jelas, selama ada pusaka sarung keramat ini nggak ada yang bisa ngalahin mas Cahyo,” balas Cahyo.

“Iya, nggak ada yang mau ngelawan. Kabur duluan karna nggak tahan sama baunya,” Ledekku.

“Aseem kowe Nan,” balas Cahyo.

Akupun menengok keadaan Dirga. Ia sudah tersadar namun luka luarnya sepertinya belum pulih sepenuhnya.

“Mas Danan?” Dirga menyambutku dengan senyuman di wajahnya.

“Tenang, orang-orang yang ngelukain kamu sudah diberesin. Semangat buat pemulihanya ya,” ucapku.

“Iya mas, tapi aku seneng lho!” ucap Dirga.

“Seneng?” “Iya, akhirnya aku punya bekas luka seperti mas Danan dan mas Cahyo,” Ucapnya Polos.
Mendengar ucapan itu guntur segera menghampiri Dirga.

“Lah iya! Kok keren?? Aku malah nggak punya yang sebesar itu. Luka-lukaku paling Cuma gara-gara cakaran Nenek-nenek,” Ucap Dirga iri.

Aku dan Cahyo menggeleng mendengarkan perbincangan kedua bocah ini. Bagaimana bisa bekas luka menjadi suatu hal yang diperebutkan.

“Hati-hati nanti Nyai Jambrong denger, gitu-gitu dia gurumu lho,” ucapku.

“Hehe.. kan guyon mas,” balas Guntur.
Aku berkeliling rumah mencari keberadaan Paklek. Tapi aku sama sekali tidak menemukan keberadaanya. Tidak biasanya ia pergi tanpa pamit.

“Paklek sudah pergi duluan, ia naik bus subuh ke Jawa Timur.” Ucap Abah.

“Kenapa buru-buru Bah?” Tanyaku.

“Ada yang bilang seseorang menemukan sebuah desa yang sebagian penduduknya mati dalam semalam.

Ada yang menganggap itu wabah, tapi paklek mendapatkan penglihatan bahwa itu adalah perbuatan makhluk yang serupa dengan Gandara Baruwa,” Jelas Abah.

Cahyo mendekatiku saat mendengar cerita abah. Kisah itu seolah membenarkan ancaman Gandara Baruwa tentang adanya makhluk penguasa alas wetan yang lebih mengerikan darinya.

“Kami harus segera menyusul paklek Bah,” ucap Cahyo.

“Kalian istirahat dulu, biar Paklek yang mencari petunjuk. Kalian menyusul saat inipun tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik,” Larang Abah.
Kami berusaha menerima ucapan Abah. Jelas kami semua sudah kehabisan tenaga.

Sepertinya kami harus menghabiskan hari ini di tempat ini terlebih dahulu.
Ada sebuah pesan masuk di telepon genggamku saat aku terbangun di sore hari. Itu dari Gama, ada sesuatu yang ingin ia bicarakan sebelum kepergian kami.

Cukup jauh dari rumah abah, ada sebuah bukit yang bernama Bukit Cupu. Hanya butuh beberapa menit untukku bisa mencapai puncaknya. Aku disambut dengan langit yang memerah dan seseorang yang sudah menunggu seorang diri di sana.

“Sudah lama?” ucapku.

“Eh nggak juga, emang dasarnya aja betah di sini,” balas Gama.

Kami duduk berdua menikmati pemandangan langit yang memerah. Sebuah karya maha indah yang diberikan maha pencipta untuk mereka yang menjemput maghribnya.

Tapi di bawah keindahan langit itu terdapat misteri yang mendalam. Kami bisa memandang dengan jelas hutan-hutan yang tumbuh lebat di bawah sana. Dan Leuweung Sasar ada diatara hutan-hutan itu.

“Itu Leuweung Sasar?” Tanyaku memastikan pada Gama yang terus melihat ke arah hutan itu.
“Benar Nan, itu yang ingin kubicarakan sama kamu,” balas Gama.

Mendengar ucapan Gama, aku tidak yakin bisa memberi solusi atas apa yang ingin dibicarakan oleh Gama.

Perihal Leuweung Sasar, seharusnya ialah yang lebih mengerti.

“Apa mungkin kamu mengetahui sesuatu yang mungkin bisa menyegel hutan itu lagi Nan?” Tanya Gama.

Menyegel hutan? Selain kejadian antara pusaka Mas Linus dan alas wetan aku tidak pernah mengerti cara untuk melakukan itu.

Walau begitu aku sedikit menceritakan tentang pengalaman kami ketika penunggu alas wetan mengamuk.

Saat itu Pusaka Mas Linuslah yang mengorbankan diri untuk menyegelnya disana selama bertahun-tahun. Tapi saat ini, kekuatanya jauh dari cukup untuk itu.
“Berarti pusaka ya? Mungkin aku harus mencari pusaka serupa untuk bisa menyegel Leuweung Sasar..” ucap Gama.

Aku mengangguk, tapi aku juga tahu itu tidak mudah. Saat ini kami hanya bisa menghaturkan doa kami dan memohon kepada Yang Maha Pencipta untuk menjauhkan manusia-manusia dari hutan keramat itu.

“Mungkin sudah waktunya aku mengembalikan ini, benda ini berhasil menyelamatkan nyawa kami,” ucapku sembari mengeluarkan botol kecil berisi wewangian yang diberikan oleh Gama.

“Kau bawa dulu, kudengar kalian masih akan berurusan dengan hal berbahaya di ujung timur sana,” ucap Gama.

“Kamu yakin? Ini peninggalan berharga dari Ki Langsamana,” tanyaku.

“Peninggalan paling berharga dari leluhurku adalah ilmu dan akhlak yang diturunkan melalui keluargaku.
Dan bila benda itu bisa menyelamatkan nyawa seseorang di tanganmu, berarti benda itu berada di tangan yang tepat,” Jawab Gama.

Aku senang mendengar ucapan Gama. Bukan hanya tentang benda berharga ini. Tapi mengenai kepercayaan dirinya tanpa mengandalkan pusaka seperti ini.
Baru beberapa saat sebelum kami kembali, tiba-tiba terdengar suara beberapa langkah kecil yang mendekati kami. Kami mencoba mencari asal suara itu dan menemukan seekor kera kecil mendekati kami.

“Kliwon?” Gama mengenali kera kecil itu.
Aku segera menyambut kliwon, ia menunjukkanku ke arah kedatanganya seolah meminta kami memperhatikanya.
Ada seekor monyet putih..

Ia membawa sebuah kantung kain yang ia letakkan begitu saja di hadapan kami. Akupun mengambil kantung itu dan mencoba membukanya di hadapan Gama.
Pasir…
Hanya beberapa genggam pasir yang terdapat di kantung itu.

“Hanya pasir, apa maksudnya ini Kliwon?” Tanyaku.

Kliwon mencoba menjelaskan, namun aku sulit untuk mengerti. Mungkin Cahyo yang bisa mengartikanya. Tapi Gama masih saja memperhatikan Pasir itu baik-baik.

“Pasir ini…”

Gama membacakan beberapa doa sembari melihat reaksi dari pasir itu.

“Benar! Pasir ini.. pasir ini adalah pasir yang sama seperti yang pernah digunakan untuk menyegel Leuweung Sasar” ucap Gama sembari tersenyum.
“Yang bener?” Tanyaku.

“Iya Nan! Nggak salah lagi! Kliwon, terima kasih! Dan temanmu itu..”

Belum sempat Gama mengucapkan terima kasih. Monyet putih itu sudah menghilang kembali ke dalam hutan.

“Titip ucapan terima kasih Gama untuk temanmu itu ya,” ucapku pada Kliwon.

Iapun menyeringai memamerkan giginya dan meninggalkan kami menyusul temanya itu. Kedatangan kliwon dan temanya benar-benar memberi sesuatu untukku. Setidaknya dengan tersegelnya Leuweung Sasar, aku bisa meninggalkan tempat ini dan menuju alas wetan dengan tenang.

***

Perjalan panjang mengantar paklek menuju sebuah kota yang berdekatan dengan alas wetan. Dari terminal ia menaiki angkutan umum hingga mencapai salah satu wilayah pedesaan yang sangat luas.

“Bapaknya mau ke desa itu? ini sudah sore lho pak? Kalau masuk jalan kaki ke sana Bapaknya nyampe sana pasti sudah malam,” Cemas supir angkutan umum itu.

“Nggak papa pak, justru saya sudah sangat terlambat,” balas Paklek.

Paklek berjalan kaki menuju desa yang dimaksud. Ia melintasi beberapa desa dan bertemu beberapa penduduk yang mengingatkanya. Namun paklek terus berjalan dengan cemas hingga menemukan sebuah desa yang jauh dari desa lainya.

Bahkan penduduk sekitar desa itupun sudah mengungsi entah kemana.

Ada bau bangkai yang menyengat dari desa itu. Tidak ada satupun jasad disana yang dievakuasi dan dikuburkan.

Siapapun yang memasuki desa itu dengan alasan apapun akan bernasib sama dengan warganya yang mati dengan mengenaskan.

Paklek menahan sedih melihat jasad-jasad warga desa yang bergelimpangan di jalanan. Jasad mereka sudah membiru dan sebentar lagi akan semakin membusuk.

Saat memasuki desa semakin dalam, paklek terhenti dengan sosok yang ia lihat. Sosok yang berada di atas salah satu rumah terbesar di desa itu.

Paklek melihat makhluk itu tengah berdiri menatapnya. Wujud dan pakaianya mirip seperti setan-setan di pewayangan.

Giginya panjang dengan wajah dan sebagian tubuhnya tertutup oleh rambutnya yang panjang. tubuhnyapun juga dihiasi baju dan perhiasan kerajaan yang telah lusuh.

Satu hal yang membuat paklek yakin bahwa ia bukan setan biasa.

Setan itu menggenggam sebuah keris berwarna merah padam. Sebuah pusaka mengerikan yang bahkan membuat keris sukmageni bergetar. Saat ini paklekpun merasa bahwa dirinya gegabah. Ia tidak yakin apa ia bisa selamat dari makhluk mengerikan itu. 

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close