Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DISUKAI KUNTILANAK

Sebuah kisah seorang pemuda yang disukai oleh seorang perempuan, yang ternyata bukan seorang manusia. Melainkan adalah 'Kuntilanak'


Pernah tidak, terbesit dalam pikiran kalau kamu disukai oleh seorang Kuntilanak?

Nah, kalau belum, di cerita kali ini saya akan menceritakan sebuah kisah tentang seorang pemuda yang disukai oleh Kuntilanak di dalam hidupnya.

Sebelum mulai dan membaca cerita ini, saya anjurkan berdoa terlebih dulu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

***

Langsung ke cerita,
Pengajian sore ini selesai, para santri berbondong-bondong keluar dari masjid dan melanjutkan aktifitasnya sore hari ini. Ada yang kembali ke asrama, dan ada yang sekedar ngobrol dengan teman sesama kelasnya-nya di pelataran masjid atau di tempat lainnya

"Yok, jagongan nang ngarep kelas 3 kono karo nunggu maghrib" (yok, nongkrong di depan kelasa 3 sana sambil nunggu maghrib) ucapku mengajak segerombol temanku yang sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri.

"Yok...." jawab semua temanku tanda setuju.

Aku, ditemani 4 temanku Abdul, Angga, Cakra dan Wisnu berjalan kelas nomer dua dari ujung yang ada di pondok ini.

"Sejuk ya hawane sore-sore ngeneki" (sejuk ya hawanya sore-sore begini) terang Angga dengan menghirup dalam-dalam udara sambil berjalan.

Sesampainya di depan kelas 3, kami duduk dibangku yang ada di depannya. Kami berlima ngobrol ngalor ngidul membicarakan semua hal yang ingin mereka katakan. Bahkan, obrolan kami tak luput membahas tentang para santriwati yang cantik dan anggun-anggun di pondok ini.

Seiring dengan obrolan kami yang kian panjang, temaram perlahan mengintip datang.

Cahaya senja ditemani suara serangga hutan mengintip dari balik pepohonan rimbun yang tumbuh mengelilingi pondok.

Pondok yg berdiri di pegunungan dan hutan rimba yang mengelilingi ini terlihat syahdu di beberapa waktu, salah satunya saat sore hari.

Tapi, tak menutup kemunginan suasana ini berubah menjadi menakutkan saat gelap datang.

"Allahu Akbar....Allahu Akbar" suara adzan menggema di seluruh sudut pondok.

Kami lekas-lekas berjalan menuju langgar (musholla) yang ada di tengah-tengah pondok.

Santri yang lain pun juga berjalan dengan kain sarung dan mukenah yang sudah mereka kenakan.

"Assalamualaikum....." salam Abdul pada salah seorang santriwati yang kami temui. Memang, diantara kami, abdul ini anak yang paling agresif jika melihat perempuan yang cantik-cantik

Dengan senyum anggun yang sangat meneduhkan jiwa ia menjawab "Walaikumsalam......"

Dia bernama Lastri, salah satu santriwati primadona di pondok ini.

Tak seorangpun santri laki-laki yang tidak kagum saat melihat senyuman manis di wajahnya yang berhiaskan tai lalat di dekat bibirnya.

"Aduh senyumane rekkk, hawane wes sejuk tambah sejuk ta lah nek ngene iki" (Aduh senyumannya rekk, hawanya udah sejuk tambah sejuk deh kalau begini) ucap Abdul sambil senyum-senyum setelah mendapat jawaban dari salam yang ia ucapkan.

"Halah dul...dul...., matamu nek weruh sing bening-bening kok nyerot wae" (halah dul....dul.... matamu kalau melihat yg bening-bening kok awas aja) ujar Cakra sambil menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Abdul.

Langkah Lastri kian lama kian menjauh dan masuk ke dalam masjid, seiring dengan kami yang sampai juga di pelataran masjid.

Sudah menjadi kewajiban semua santri menunaikan sholat jamaah di semua sholat lima waktunya.

Setelah maghrib, yang sudah menjadi hal rutin dan wajib adalah mendengarkan kultum yang diisi oleh para santri yang selalu bergantian setiap harinya hingga menunggu waktu isya.

Singkat cerita, setelah isya, makan malam dan kegiatan malam, Aku dan keempat temanku lekas kembali ke kamar karena ingin cepat istirahat.

Kebetulan aku dan ketiga temanku ini menghuni kamar yang sama,

Yang mana didalamnya terdapat 2 ranjang tingkat dan 1 ranjang dibawah yang biasakami berlima gunakan istriahat.

Ku lihat Abdul senyum-senyum diatas ranjangnya.

"Kowe kesambet tah dul? kok cengar-cengir karepe dewe" (kamu kesambet apa dul? kok senyum-senyum sendiri) tanyaku.

"Haha, orak ron. Aku kelingan Lastri, cah kae kok gelis e ra karuan yo" (Haha, engga ron. Aku keingat Lastri, anak itu kok cantik banget ya) ujar Abdul sambil terus senyum-senyum di wajahnya.

"Dul...dul... Njuk kowe meh lahpo? Awake dewe ki nang pondok ora sebebas nyedaki wadon nek pas nang kota" ( dul...dul... Lalu kamu mau ngapain? Kita ini di pondok, tidak sebenas mau mendekati perempuan seperti kalau kita hidup di kota) saut Cakra menasehatinya.

Semakin malam, kami mulai tidur dan semakin larut dalam tidur kami masing-masing hingga akhirnya suara adzan membangunkan satu-persatu diantara kami.

Sebelum lanjut ke cerita, aku akan menjelaskan sketsa denah pondok tempatku mencari ilmu

Pondokku ini berdiri di lereng pegunungan kapur yang berada di Jawa Tengah dan berdiri diantara lebatnya rimba hutan.

Berdiri diantara hutan, membuat pondokku ini jauh dari perkampungan penduduk, perkampungan terakhir yang bisa ditemui sebelum sampai di pondok ini adalah di tepi jalan raya antar kota yang letaknya jauh dari pondokku ini.

Disini, air yang didapatkan berasal dari sumber air yang letaknya di lereng pegunungan dekat dalam hutan dan cukup jauh dari pondok. Menghabiskan waktu 15-20 menit ditempuh dengan jalan kaki

Dari sumber air tersebut, tersambung pipa paralon hingga ke area pondok yang sengaja dibuat pengurus pondok untuk kebutuhan di dalam pondok.

Berdiri diantara hutan, membuat fasilitas di pondok ini terbatas terlebih pencahayaannya yang masih bisa dikatakan minim.

Tapi, bagi banyak orang yang mengetahui, pondok ini terkenal sebagai pondok yang mampu mencetak santri-santri yang unggul.

Jadi, tak khayal apabila banyak orang tua yang rela mengirim anak-anaknya kemari.

Begini denah sederhananya
Kembali ke alur cerita.

Hari itu, aku melakukan aktiftas biasa seperti sekolah yg mana saat ini aku dan semua tokoh di cerita ini masih menginjak di kelas 10 Aliyah dan sorenya aku kembali nongkrong manis dengan teman-temanku.

Pasca isya hari ini, kami para santri belajar kitab kuning yang rutin dijadwalkan setiap minggunya.

Saat semua santri fokus memperhatikan ustad Ali yang sedang menjelaskan, tiba-tiba gelagat Abdul terlihat berbeda dari biasanya.

Setelah menyadari gelagatnya yang aneh, aku terus mengawasi gerak-geriknya.

Tapi ternyata,
Dengan cepat gelagat Abdul berubah drastis,

Abdul meronta-ronta di posisi duduknya dan membuat seisi kelas kocar-kacir. Benar saja, Abdul kerasukan yang entah dari mana asalnya

Disertai suara geraman yang keluar dari mulutnya, Abdul mengacak-acak semua benda yang ada di dekatnya.

Sontak para santri laki-laki yang berada di dekatnya menahan pergerakannya, termasuk aku, Angga, Cakra dan Wisnu.

Tubuh Abdul meronta-ronta begitu hebatnya, hingga membuat cengkereman tangan kami terlepas.

Saat terlepas, entah mengapa si Abdul langsung membogem dengan kepalan tangan besarnya ke arah dada Angga.

Angga terpental dan jatuh tersungkur sambil memegang dadanya.

Tak lama darisitu, Ustad Ali langsung menetralkan suasana dan Abdul perlahan sudah kembali normal.

"Cak, kae Angga diewangi" (Cak, itu angga dibantu) suruhku saat melihat Angga kesakitan akibat dipukul Abdul.

Cakra datang menghampiri Angga dibantu yang lainnya.

"Ngga, kowe orapopo?" (ngga, kamu tidak apa-apa?) tanya Wisnu.

"Insya Allah, orapopo. Tapi, dadaku panas banget rasane" (Insya Allah, aku tidak apa-apa. Tapi, dadaku panas sekali rasanya) jawab Angga.

Ustad Ali meminta kami mencarikan air dingin di dapur untuk menghangatkan dada angga.

Kelas malam hari itu dicukupkan karena kejadian ini, lantas aku, Cakra dan Wisnu mengajak Abdul dan Angga untuk langsung kembali ke kamar dan istirahat.

Setelah kejadian itu Abdul baru bercerita, ternyata masalah seperti ini sering terjadi dan menimpanya sejak lama.

Di kamar, aku langsung meminta Abdul dan Angga mengistirahatkan badannya.

Berbeda dengan Abdul yang sudah kembali normal, sekarang Angga banyak sekali melamun.

"Ngga...ngga...." panggilku padanya yang ranjangnya di sampingku

(Tanpa jawaban)

"Ngga....!!!" teriak Wisnu sambil menepuk kakinya barulah ia menjawabnya

"Ehh, iyo kenopo nu?" (Ehh, iya kenapa nu) jawab Angga.

"Kowe ki kenopo, kok maleh ngelamun wae" (kamu itu kenapa? kok berubah ngelamun aja) ucap Wisnu padanya.

"Ora kok, aku ora kenopo-kenopo" (Engga kok, aku gak kenapa-kenapa)

Singkat cerita kami semua tidur,
Tapi, entah jam berapa aku bangun karena ada suara berisik di telingaku.

Saat mataku terbuka, mataku tertuju pada Wisnu yang sedang mengambil air.

"Ono opo nu?" (ada apa nu?) tanyaku.

"Kae Angga, emboh ngimpi opo mau bengok-bengok keweden" (itu Angga, gak tau mimpi apa tadi teriak-teriak ketakutan) ucap Wisnu.

Sontak aku duduk dan melihat ke arah Angga.

Dengan nafas terengah, Angga duduk diatas ranjangnya.

"Kowe kenopo neh ngga?" (kamu kenapa lagi ngga?) tanyaku.

"Iki ombe sek ngga" (ini minum dulu ngga) ujar Wisnu sambil menyerahkan cangkir yang berisi air putih pada Angga.

Glegekk....glegekk....

"Dadi ngene, aku mau ngimpi diparani wong wadon medeni nang njero kamar kene. Pas wonge nyedak, ujuk-ujuk aku tangi" (Jadi ginu, aku tadi mimpi didatangi seorang perempuan menakutkan di kamar sini. Waktu dia mendekat, tiba-tiba aku bangun) ucap Angga menjelaskan padaku dan Wisnu.

"Kowe mau ora dongo sek yo? Yowes lek ndang turu meneh iki seh tengah wengi, ojo lali ndongo sek" (kamu tadi gak berdoa dulu ya? Yaudah buruan tidur lagi, ini masih tengah malam, jangan lupa berdoa dulu) suruh si Wisnu.

Malam itu kami semua tidur lagi ditemani suara jangkrik yang sayup-sayup terdengar hingga dalam kamar, serta angin malam yang masuk diantara ventilasi kamar.

Semua nyenyak dengan bawah sadarnya masing-masing.

Seperti biasa, kami semua bangun tatkala adzan subuh berkumandang dan langsung dilanjutkan dengan aktifitas pagi dan sekolah sampai siang hari.

Para santri lalu lalang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.

Suasana pondok hari itu sedikit berkabut dengan udara dingin yang menusuk melalui pori-pori kulit.

Singkat cerita malam tiba dengan suasana yg masih sama, beberapa pencahayaan di sudut pondok bahkan sampai tak terlihat karena terhalang kabut yang lumayan tebal.

Karena udara yang cukup dingin, malam itu membuat para santri beraktifitas dengan mengenakan jaket yang mereka bawa.

Tibalah waktu makan malam, seperti biasa aku makan bersama keempat temanku yang lainnya.

"Aku kok bosen karo panganan nang pondok sing ngono-ngono wae yo" (aku kok bosan dengan makanan pondok yang begitu-begitu aja ya) gerutu Cakra di tengah waktu makan.

"He'e, podo. Aku yo bosen" (Iya, sama. Aku juga bosan) tambah Abdul.

"Lha meh pie to? wong onone yo ngene, meh metu? nang njobo isine alas tok yoan kok e" (Lha mau gimana lagi? orang adanya juga begini, mau keluar? diluar isinya cuma hutan juga kok) jawabku.

"Wes ta lah, disyukuri wae sing ono. Iseh untung dikei panganan, nek ora njuk pie?" (Sudah-suda, disyukuri saja yang ada. Masih untung diberi makanan, kalau tidak gimana?) ucap Wisnu.

Malam ini, Angga terlihat berbeda dari biasanya. Angga terlihat sedikit murung dan banyak melamun sekarang, entah apa yang dipikirkannya.

Jam makan malam hampir selesai,

"Ayo ke kelas" ajak Angga.

"Eh tapi, aku meh nang kamar mandi sik, kalian disikan wae" (Eh tapi, aku mau ke kamar mandi dulu, kalian duluan aja) ucapku.

"Eh, ehh aku melu ron aku yo ngempet wit mau iki" (Eh, ehh aku juga ron, aku juga ngempet daritadi) saut Abdul.

"Aku barang" (aku juga) ucap Wisnu.

Jadi, sekarang yang duluan ke kelas Angga dan Cakra. Sementara aku, Wisnu dan Abdul ke kamar mandi terlebih dulu.

Selesainya, aku, Wisnu dan Abdul lekas melangkahkan kaki ke kelas yang akan kami gunakan untuk melanjutkan kegiatan pembelajaran di malam itu.

Langkah kami bertiga terhenti di jarak 20 meter dari kelas yang akan kami tuju, tatkala melihat keadaan santri di kelasku yang kocar-kacir

"Heh, ono opo kae nang kelas?" (Heh, ada apa itu di kelas?) tanyaku.

"Heh, iyo ono opo kae" (Heh, iya ada apa itu?) Wisnu ikut bingung.

"Wes ayo lek ndang rono" (sudah ayo, buruan kesana) ajak hendro.

Kami bertiga berlari ke arah kelas karena bingung sedang terjadi apa disana

Gleekkkkk....

Aku menelan ludahku sendiri setelah melihat keadaan di dalam kelas.

Disitu aku melihat Angga kejang-kejang diatas bangku yg ditempatinya sambil beberapa orang lainnya berusaha membantu menyadarkannya termasuk Cakra.

"Ngga! Kenopo kowe!?" (Ngga! kenapa kamu!?) teriak Abdul sambil berlari menghampirinya, aku dan Wisnu membuntuti Wisnu dari belakang

Nafas Angga tersengal-sengal seperi orang ayan, tatapan matanya tajam ke arah depan kelas.

Keadaan kelas malam itu mencekam campur tegang, ustad yang akan mengajar malam itu juga belum datang.

Beberapa santri katanya juga sedang melaporkan kejadian ini ke pengurus pondok, tapi belum juga kembali.

"Ngga....ngga...." panggilku bersautan dengan yang lainnya sambil menepuk-nepuk bahu dan punggungnya, berharap Angga lekas sadar

Kejadian ini berlangsung hingga kurang lebih 10 menit, hingga akhirnya Angga pingsan dan sadar dengan sendirinya.

"Ada apa? Angga kenapa?" tanya Ustad Somad yang baru datang dengan temanku yang melaporkan kejadian ini tadi.

"Ngga tau pak Ustad, ini Angga sudah sadar sendiri" jawab temanku yang juga membantu, yang bernama Fuad.

"Angga dibawa saja ke dalam kamar, salah satu teman kamarnya dibantu ditemani" suruh ustad Somad.

Aku, Wisnu, Cakra dan Abdul saling tatap, bingung siapa yang akan menemaninya.

"Eghh, saya saja pak ustad" ucap Wisnu saat itu.

Setelah diberi minum, Angga kembali ke kamar ditemani Wisnu. Sementara aku dan santri lainnya melanjutkan pembelajaran malam ini.

Singkat cerita, kelas selesai. Aku, Cakra, dan Abdul langsung kembali ke kamar takut Angga kumat lagi apalagi Wisnu sendiri yang menemaninya.

"Woe ngga, kowe kenopo!?" (woe ngga, kamu kenapa?) teriak Cakra saat baru masuk kamar.

Di kamar, Angga murung diatas ranjangnya. Di dekatnya ada Wisnu yang siap siaga mengawasinya.

Memang, sejak kejadian semalam Angga berbeda, dia banyak diam dan malah terlihat seperti orang linglung.

"Wes-wes, jarke sek Angga ben istirahat sek" (Sudah-sudah, biarkan dulu biar Angga istirahat dulu) ucap Wisnu.

Malam itu, aku, Abdul, Cakra dan Wisnu bergantian mengawasi Angga sepanjang malam secara bergantian. Karena, kami takut kalau terjadi apa-apa lagi padanya.

Tidurlah kami semua kecuali Wisnu yang mendapat giliran pertama mengawasi Angga.

Singkat cerita, tibalah giliranku mengawasi Angga.

Angga tidur di ranjang tingkat sebelahku, dan dia dibagian bawah. Sementara aku, aku diatas.

Jadi, aku cukup mengawasi Angga dari atas tempatku tidur.

Jam hampir menunjukkan pukul 02.00 pagi, kali ini pandangaku tertuju di wajah Angga yang mulai menunjukkan perbedaannya.

Dengan mata yang terpejam, wajah Angga seketika berganti. Senyum tiba-tiba merekah di wajah Angga.

Angga terus-terusan senyum-senyum dalam tidurnya, seperti sedang melihat perempuan cantik di hadapannya.

"Bocah iki edan tah pie to?" (Ini anak gila apa gimana sih?) pikirku dalam hati.

Inginku bangunkan tapi ku urungkan karena hanya sebatas itu takutnya Angga hanya larut dalam mimpi indahnya.

"Dul....dul" aku membangunkan abdul.

"Giliranmu dul" tambahku.

"Hoaammmmm, iyo ron" jawabnya dengan mulut yang menguap lebar.

Setelah itu, aku tidur lagi,
dan kami semua kembali bangun saat subuh tiba.

Angga, dia tampak seperti kemarin. Lebih banyak diamnya hingga satu-persatu diantara kami semua mulai menyadarinya

Keadaan seperti ini berlangsung hingga 2 hari lamanya.

Kami terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada Angga. Raganya sehat-sehat saja, tapi seperti ada yang sedang terjadi didalam pikirannya dan tidak seorang pun yang mengetahuinya.

Dua hari setelah kejadian Angga yang kejang-kejang dalam kelas, ada sesuatu yang janggal kembali terjadi dan ini lebih parah lagi jika dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya.

Setelah sholat isya berjamaah, Wisnu memanggilku.

"Ron....ron.... Angga nang ndi?" (Angga dimana?) tanyanya.

"Ha? Mau nang kono kok sholat" (Ha? Tadi disitu kok sholat) jawabku sambil menunjuk tempat dimana Angga sholat tadi.

"Ora ono ron" (Tidak ada ron) jawabnya lagi.

"Ehhh, sing bener" (Ehh, yang bener!) ucapku.

Seketika aku mengajaknya, juga Cakra dan Abdul untuk mencarinya.

Saat itu kami belum melaporkan kejadian ini pada pengurus pondok, kami berempat berusaha mencarinya terlebih dulu sampai kalau belum ketemu kami baru melaporkannya.

Malam itu, disaat santri yang lain tengah makan malam.

Aku, Abdul, Cakra dan Wisnu sibuk keliling pondok mencari keberadaan Angga.

Tapi, usaha kami tidak membuahkan apa-apa. Dan jam kegiatan malam sudah kembali mulai,

"Pie iki ron?" (gimana ini ron?) tanya Cakra.

"Wes ayo laporan nang pengurus pondok wae" (Sudah ayo laporan ke pengurus pondok saja) saut Wisnu di tengah kebingungan kami.

Dengan nafas yang masih terengah kami berempat berjalan cepat ke ruang pengurus pondok.

"Kalian mau kemana?" tiba-tiba ada suara yang memanggil kami, dan saat kami cari darimana sumber suaranya ternyata Ustad Ali di depan masjid.

Disitulah kami langsung menceritakan kabar hilangnya Angga.

Setelah kami menceritakan kronologi lengkapnya, Ustad Ali buru-buru ke ruang pengurus pondok untuk mengabarkan kepada yang lainnya dan langsung meminta semua santri yang ditemuinya untuk mencari Angga.

Dalam sekejap, suasa pondok gempar akibat berita hilangnya Angga.

Hampir seluruh Santri dari yang muda hingga senior mencari keberadaan Angga yang entah hilang kemana.

"Ron...ron...." ada seseorang memanggilku, ternyata Arum teman sekelasku.

"Aku mau ngerti Angga lewat pas nang ngarep kelas tapi pas aku tekon meh nang ndi ora dijawab, Angga mung mblandang ngono wae ron" (aku tadi lihat Angga jalan pas di depan kelas, tapi pas aku tanya mau kemana tidak dijawab, Angga terus jalan gitu aja ron) ucapnya.

"Sing temenan?" (serius?) tanyaku.

"Mlaku nang ndi wonge?" (jalan ke arah mana dia?)

"Kono" (kesana) jawabnya sambil menunjuk arah kelas yang ada di paling pojok.

Aku yang saat itu bersama Abdul, mulai mengelilingi tempat yang dimaksud Arum, tapi kami tidak menemukan apa-apa.

Hingga aku dan Abdul memiliki inisiatif mencarinya ke sumber air yang ada di dalam hutan.

Jam sudah menunjukkan hampir jam 11 malam, sebenarnya ada keraguan padaku dan Abdul untuk mencarinya kesana, karena sumber air yang letaknya lumayan di dalam hutan.

Dengan membawa lentera, aku dan Abdul perlahan memberanikan diri masuk ke dalam hutan.


Gelapnya hutan ditambah suara serangga hutan memang benar-benar membuat kami berdua bergidik ngeri.

Sempat terbesit dalam pikiranku takut kalau Abdul kesurupan lagi. Tapi, semoga saja tidak terjadi apa-apa.

"Dul, ojo adoh-adoh. Rene" (dul, jangan jauh-jauh, sini) ucapku, karena Abdul berjalan agak jauh di belakangku.

Sesampainya kami disana, tidak ada apapun yang kulihat. Yang ada hanyalah air yang mancur dan terus mengalir, serta pipa paralon yang tersambung hingga pondok.

Mendapati tidak ada tanda-tanda Angga disini, aku dan Abdul langsung kembali ke pondok.

Setibaku di pondok, aku dan Abdul mendapat kabar kalau Angga ditemukan dan dia tidak kenapa-kenapa, sekarang dia sedang di masjid bersama Ustad dan senior yang lainnya.

"Alhamdulilah" ucapku dan Abdul.

Saat di masjid, aku dan Abdul bertemu Cakra dan Wisnu.

"Angga ketemu nang ndi?" (Angga ketemu dimana?) tanyaku.

"Mau senior ngerti Angga nembe lungguhan ng ngarep kelas ujung kono" (Tadi, senior melihat Angga sedang duduk di depan kelas ujung pondok sana) jawab Wisnu.

"Ha? Demi Allah Aku karo Roni mau muter-muter nang kono ora ndelok sopo-sopo opo meneh Angga" (Ha? Demi Allah aku dan roni tadi keliling disitu tidak melihat siapapun apalagi Angga) ucap Abdul sambil terbelalak kaget.

Aku hanya melamun kebingungan mengetahui kejadian ini sambil berpikir sebenarnya apa yang sedang terjadi pada Angga hingga belakangan banyak sekali kejadian janggal menimpanya.

Tak lama, Angga keluar dengan dibantu beberapa orang.

"Ini Angga diantar ke dalam kamar" suruh Ustad Ali pada kami berempat karena tau kalau kami adalah teman sekamarnya.

Malam itu, aku, Abdul, Wisnu dan Cakra tetap mengawasi Angga bergantian seperti malam-malam berikutnya.

Malam itu, aku, Abdul, Wisnu dan Cakra tetap mengawasi Angga bergantian seperti malam-malam berikutnya.

Di kamar tubuh Angga lemas, dia hanya tiduran merebahkan fisik dan pikirannya.

"Ngga, kowe mau maring ndi sakjane?" (Ngga, tadi kamu kemana sebenarnya?) tanya Abdul.

Sambil tiduran, Angga bercerita.

(Saya langsung terjemahkan ke bahasa indonesia saja biar gak kepanjangan)

"Tadi, waktu aku keluar dari masjid. Gak tau kenapa rasa-rasanya aku pengen dudukan di kursi depan kelas yang ada di pojok sana. Aku tau ini aneh, tapi gak tau kenapa tadi aku pengen sekali kesana, seperti ada yang memintaku kesana"

"Lalu, itu kan di samping kelas tanah kosong kan, pas aku lagi duduk, tiba-tiba ada perempuan cantik lewat, cantik sekali pakai gaun putih. Aku terus melihatnya karena emang bener-bener cantik, sampai akhirnya perempuan itu berhenti dan menolehkan wajahnya ke arahku sambil senyum, manis banget senyumannya"

"Lebih manis dari senyuman Lastri dul" ejek Angga pada Abdul.

"Ehh semprul! Teruske wae ceritane" (lanjutkan aja ceritanya) jawab Abdul.

"Saat itu aku terus ngelihatin perempuan itu dan dia juga terus senyum-senyum melihatku. Tapi, disuatu waktu tiba-tiba wajahnya berubah, wajahnya yang cantik nan anggun itu setengahnya berubah hancur"

"Seketika itu wujudnya berubah menyeramkan, Setengah wajahnya tanpa kulit sedikit tertutup rambutnya yang terurai dengan pipinya yang robek hingga ke pipi sampai gigi dan lidahnya kelihatan, dan matanya yang satu terbelalak hingga hampir lepas"

"Seketika itu juga aku terkejut dan ketakutan melihatnya, perempuan yang awalnya enak dipandang berubah menjadi menakutkan itu lama-lama jalan perlahan mendatangiku. Aku mau lari dari situ tapi tubuhku tidak bisa digerakkan, aku mau teriak juga tidak bisa, badanku seperti terkunci disana"

"Sampai akhirnya ada seseorang yang menepuk pundakku dan ternyata mas Qomar, seketika itu juga perempuan tadi menghilang dari hadapanku dan entah kemana perginya"

"Ngga, kowe ora lagi ngapusi kan?" (Ngga, kamu tidak sedang berbohong kan?) tanya Abdul dengan wajah sedikit ragu mendengar ceritanya.

"Ora dul, temenan. Aku yo keweden, aku meh mlayu tapi aku ora iso" (Gak dul, serius. Aku juga ketakutan, aku ingin lari tapi tidak bisa) jawab Angga.

"Aku mau muter-muter nang ngarep kelas iku sampe ora keitung, tapi aku ora ndelok kowe babar blas, iyo rak ron?" (Aku tadi keliling di depan kelas situ sampai gak kehitung, tapi aku tidak melihatmu, iya kan ron?) ujar Abdul kebingungan.

Aku mengangguk pelan.

"Terus sing nang kelas wingi?" (lalu pas di kelas kemarin?) tanyaku.

"Oh iyo aku kelalen cerito" (Oh iyo, aku kelupaan cerita) saut Cakra.

"Dadi, wingi pas Angga kejang-kejang nang kelas. Sebelume tingkahe Angga wis aneh, kae si Adam sing nang cedake ngeroso terus Angga dicekeli"

(Jadi, kemarin waktu angga kejang-kejang di kelas. Sebelumnya tingkah Angga sudah aneh, si Adam yang ada didekatnya merasa lalu Angga dipegangi)

"Pas iku, ujuk-ujuk Angga ngguyu banter banget terus ngguyune koyok suarane wong wadon tur banter, seketika sak kelas krungu podo wedi"

(Waktu itu, tiba-tiba si Angga tertawa keras sekali dan tertawanya mirip suara perempuan dan sangat keras, seketika satu kelas dengar dan ketakutan)

"Waktu kui juga, sing lanang-lanang nyekeli Angga njuk si Adam tekon sakjane sopo sing nang njero awake Angga, dan waktu iku juga demit sing nang awake Angga jawab nek jenenge Shela dan asale seko lampung"

(Waktu itu juga, yang laki-laki megangi Angga lalu si Adam tanya sebenarnya siapa yang ada di dalam tubuh Angga, dan waktu itu juga sosok yang ada di badan Angga menjawab jika namanya Shela dan asalnya dari Lampung)

Panjang lebar Cakra menjelaskan.

"Lampung? Sak daerah karo kowe brarti ngga, kowe kenal?" (Sedaerah denganmu brarti ngga, kamu kenal?) tanya Wisnu karena mengetahui jika Angga juga berasal dari Lampung.

Angga menjawab tidak sambil menggelengkan kepalanya.

"Emang, waktu iku aku weruh wong wadon sing tak temoni nang ngimpi wingi, wadon iku nembe nempel nang tembok nduwur pintu kelas karo nyawang aku" (memang, waktu itu aku melihat perempuan yang ku temui dalam mimpi kemarin, perempuan itu di atas pintu menempel di sudut langit-langit kelas sambil melihatku)

Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

Aku, Abdul dan Wisnu saling tatap mendengar cerita Angga dan Cakra. Kami bingung harus melakukan apa.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau masalah seperti ini bisa datang menimpa salah satu diantara kami.

Tak seorang pun dari kami berani melanjutkan percakapan lagi, karena jam sudah lebih dari jam 1 malam.

Suasana pondok saat malam sudah sering bikin merinding ditambah keadaan seperti ini.

"Yowes ayo turu wae ngko isuk sekolah" (Yaudah ayo tidur, besok pagi sekolah) ajakku.

"Sopo sing jogo disek?" (siapa yang jaga duluan?) tanya Wisnu.

"Aduh, aku lupa masih haru mengawasi Angga malam ini. Perasaan sudah kalut dan ketakutan ditambah harus berjaga" gerutuku dalam hati.

"Wes ora usah jagani aku orapopo" (Sudah, tidak perlu menjagaku gakpapa) ujar Angga.

"Orapopo ngga, awake dewe khawatir kowe kenek opo-opo, santai wae" (gakpapa ngga, kami khawatir kalau kamu kenap-kenapa, santai saja) jawab Wisnu.

"Pie nek wong loronan sing jogo? aku karo Wisnu disikan engko gantian Abdul karo kowe Cak" (Gimana kalau berdua yang jaga? Aku dengan wisnu duluan nanti gantian Abdul denganmu Cak)" usulku.

Semua mengiyakan usulanku karena memang tak seorangpun dari kami berani terjaga sendirian malam ini.

Singkat cerita, kami berjaga bergantian dan masing-masing diantara kami berempat hanya tidur kurang dari dua jam malam ini.

Angga masih dengan kebiasaannya yang berbeda dihari-harinya sekarang, belum ada perubahan yang ada pada dirinya.

Dia masih bisa jika diajak komunikasi, hanya saja dia lebih pendiam dari biasanya dan seperti linglung jika diperhatikan.

Antara aku dan ketiga temanku yang lain bingung ingin melakukan apa pada temanku satu ini, setiap hari kami selalu mengawasinya. Bahkan, ketika hendak ke kamar mandi pun salah satu diantara kami mengikutinya.

Hingga disuatu malam berikutnya kami lengah, pada malam jumat, saat para santri sedang berkegiatan bahtsu masail di dalam masjid, lagi-lagi Angga menghilang.

Saat itu juga aku dengan keempat temanku izin dengan senior untuk mencarinya. Kami ditemani salah seorang senior yang memang tau dengan keadaan Angga.

Saat itu, Angga kembali hilang dari pondok, bedanya kali ini hanya kami berempat, beberapa senior dan pengurus pondok yang tau kabar hilangnya Angga. Kami semua memilih menutupi ini dari santri lainnya agar suasana pondok tidak gaduh lagi seperti kemarin.

Dengan orang yang terbatas, berbekal senter, lampu dan lentera seadanya kami berpencar ke seluruh sudut pondok, aku dan Wisnu kebagian mencarinya ke arah kamar mandi para santri.

"Ngga....ngga....." panggilku bersautan dengan Wisnu mencari keberadaan Angga malam jumat kala itu.

Lagi-lagi kami dihadapkan dengan situasi mendebarkan malam itu, malam yang terkesan berbeda bagi sebagian orang dan Angga menghilang lagi.

Rasa takut tiba-tiba muncul dalam perasaanku karena teringat cerita Cakra dan Angga tempo lalu tentang seorang perempuan yang bernama Shela.

"Nu, nek Angga digowo Shela meneh pie njaluke yo nu?" (Nu, kalau Angga dibawa Shela lagi bagaimana kita memintanya ya nu?) tanyaku diantara langkah malam itu.

"Wes pokoe goleki disek" (Sudah pokoknya cari dulu) jawab Wisnu.

Di kamar mandi, kami berdua tidak menemukan tanda-tanda adanya Angga. Lantas, kami melanjutkan mencarinya di dekat asrama santri perempuan.

Saat kami sedang menelusuri samping Asrama, tiba-tiba telingaku terdengar suara rintihan seseorang yang sedang menggigil.

"Ngga......" ucapku memanggil Angga, barangkali itu dia.

Suara rintihan itu semakin lama semakin jelas.

"Nu.... krungu rak?" (Nu... dengar gak?) tanyaku pada Wisnu.

Kami berdua diam ditempat dan saling tatap,

Wisnu mengangguk, tanda kalau dia juga mendengarnya.

Suara rintihan itu semakin jelas,

Semakin jelas

Dan semakin jelas,

Keringat terasa mengalir dari balik bajuku

Kepalaku ku tengokkan ke segala arah mencari darimana sumber suara rintihan itu,

Dan ternyata...

Dengan jantung yang terus berdetak kencang, kali pandanganku tertuju ke arah kamar mandi santri.

"Astagfirullah, Ngga...!!!" teriakku karena melihatnya muncul dari belakang kamar mandi.

Sontak aku berlari menghampirinya diikuti Wisnu di belakangku.

Aku terkejut dengan keadaan Angga, dia menggigil dengan badannya yang basah kuyub, mukanya pucat dan bibirnya membiru.

Tanpa berpikir, aku melepas sarungku yang ku pakai, dan ku bentangkan dibadan Angga untuk mengurangi rasa dinginnya.

Kini, aku berjalan menuntunnya hanya dengan baju koko dan celana pendek yang aku pakai.

Tak lama, semua yang mencari Angga sudah berkumpul dan menghampiriku yang membawa Angga.

"Dibawa kemana ini mas?" tanyaku pada salah seorang senior yang ikut mencari.

"Dibawa ke masjid saja, ada para ustad disana" jawabnya.

"Angga biar ganti baju dulu ya mas" ucapku.

Setelahnya, aku dan Angga ke masjid. Semuanya sudah menunggu disana.

Disana, Angga banyak dicecar tentang masalah yang menimpanya belakangan ini.

Setelah semuanya jelas akar masalahnya, kami berempat diminta mencari 10 santri laki-laki untuk dibawa kemari.

Dan ternyata, malam ini Angga akan di ruqyah, dan yang melakukannya Ustad Yahya.

Dan 10 santri yang baru datang sengaja dipanggil untuk membantu.

Semua santri diminta duduk melingkari Angga dan berdzikir, sementara Ustad Yahya tepat di depan Angga memegang ubun-ubun kepalanya.


Ini berlangsung agak lama,
Lantunan doa dan dzikir mengisi seluruh bagian masjid malam hari itu. Dan Tidak ada perlawanan atau reaksi apapun yang ditunjukkan Angga tatkala di ruqyah, dia hanya diam dengan sesekali nafasnya terengah.

Hingga singkat cerita, Angga selesai di ruqyah dan beberapa hari setelah itu Angga sudah kembali menjadi seperti Angga yang ku kenal dan ketiga temanku kenal sebelumnya.

Apakah ini sudah selesai?

Jawabny, belum!

Cerita berlanjut,
Berdasarkan dari sudut pandang Angga, apa yang sebenarnya dan bagaimana kejanggalan itu semua bisa terjadi.

Selama hidupku, aku belum pernah sama sekali melihat/merasakan hal-hal janggal sebelumnya, semua terasa baik-baik saja. Tapi, semua ini terjadi pasca tragedi itu. Dimana saat aku membantu menyadarkan Abdul saat sedang kerasukan dan dadaku menerima hantaman keras dari tangannya.

Pasca kejadian itu, dadaku kerap sekali merasakan panas hingga beberapa kali tak tertahankan. Hingga malam tepat setelah kejadian itu, aku bermimpi didatangi oleh seorang perempuan yang menurutku dia adalah kuntilanak yang menemui dan menerorku berkali-kali hingga sekarang.

Dan semua kejadian janggal yang menimpaku semuanya pasti diawali dengan rasa panas yang timbul dalam dada.

Hingga, di suatu malam tepatnya malam jumat saat para santri tengah bahtsu masail di masjid.

Aku yang baru datang dengan keempat temanku tiba-tiba merasakan panas dalam dadaku. Karena, sudah hafal kalau ini adalah pertanda buruk, saat itu aku mulai berdzikir, bersholawat agar tidak ada hal yang tidak ku inginkan terjadi.

Tapi naas, ini aneh tapi benar terjadi pada tubuhku.

Rasa panas dalam dada semakin menjadi-jadi, hingga penglihatanku kabur dan pusing di kepala.

Karena sudah tidak tahan dengan kondisiku saat itu, aku keluar dari masjid tatkala yang lain sedang seksama belajar dan memperhatikan, sehingga aku merasa tidak ada yang memperhatikanku.

Diluar, keadaanku tidak kunjung membaik. Rasa panas dalam dada tidak juga hilang, ditambah detak jantung yang berdebar kencang.

"Angga....." sayup-sayup suara seorang perempuan memanggilku dari kejauhan.

"Angga....." suara itu datang lagi.

"Dimana dia? siapa yang memanggilku?" pikirku dalam hati.

Setelah ku dengarkan dengan seksama, aku bisa mengetahui kalau yang menanggilku dari arah kamar mandi.

Batinku mengatakan "ngga, jangan kesana," berkali-kali batinku mengatakan demikian.

Tapi, entah apa yang terjadi padaku dan mempengaruhi pikiranku, saat itu aku berjalan mendatangi asal dari suara tersebut.

Aku tak ingat kenapa aku bisa berjalan kesana menghampiri suara tersebut.

Aku melangkahkan kakiku perlahan kesana, disana, di depan kamar mandi aku disambut oleh seorang perempuan yang ku temui tempo lalu saat sedang di pojokan kelas dengan wajahnya yang setengah hancur, dan dia ternsenyum melihatku.

Senyum yang membuatku seketika bergidik ngeri.

Tapi, sejak dar isitu, aku kehilangan kesadaranku.

Sampai-sampai dalam bawah sadar aku merasa kalau aku sedang tidur dipangkuan seorang perempuan yang sangat menyayangiku dan parasnya sangat cantik sekali.

Bahkan, dia adalah salah satu perempuan tercantik yang pernah ku temui di dunia ini sampai sekarang.

Dengan senyuman yang merekah di bibirnya, ia lantas membelai lembut rambutku.

Lembut sekali...

Hingga akhirnya aku terbangun dari bawah sadarku yang sempat ku kira adalah kenyataan.

Tapi, apa yang sedang ku rasakan tadi, benar terjadi sekarang. Aku terbangun tepat diatas pangkuan seorang perempuan dengan tangan yang membelai lembut rambutku.

Bedanya, kali ini bukan perempuan cantik yang ku lihat, melainkan adalah sesosok perempuan yang ku sebut sebagai Kuntilanak dengan setengah wajahnya yang hancur.

Dan, posisiku sekarang ini berada di tepi aliran air dekat sumber air yang ada di dalam hutan sehingga membuat tubuhku kala itu seperti orang yang baru saja selesai mandi. Basah kuyub semuanya.

Ternyata firasatku tadi benar, rasa panas dalam dadaku adalah pertanda buruk. Tapi, lagi-lagi aku kalah dalam mengendalikan tubuhku sendiri.

Aku sempat menganggap bahwa yang ku lihat sekarang adalah mimpi buruk, ku tutup lagi mataku dan kubuka lagi hingga berkali-kali, dan ternyata masih sama, kuntilanak itu masih ada di hadapanku.

Seketika itu timbul rasa ingin kabur dan lari darisana, tapi lagi-lagi badanku terkunci sehingga membuatku tak bisa bergerak walau hanya sekedar menggerakkan jari-jariku.

"Astagfirullah....astagfirullah....." dalam hatiku terus beristigfar agar aku bisa lekas keluar darisini.

Kuntilanak ini tak henti-hentinya menatapku dan terus membelaikan tangan kasarnya di rambutku.

Mataku tak sedikitpun berani melihat ke arahnya, aku hanya mampu memejamkan mata atau melihat ke arah yang lainnya.

Entah sampai berapa lama aku terjebak di dalam situasi sulit itu, sampai akhirnya aku bisa sedikit menggerakkan badanku, dan saat itu pula aku bangun dan cepat berlari ke arah pondok.

Aku berlari tanpa melihat ke belakang sedikitpun, tak peduli kakiku yang terluka perih akibat batu atau ranting tajam yang ku pijak di hutan karena sandalku yang entah kemana perginya.

"Ikhhiiihihihiii" kuntilanak tersebut tertawa melengking yang membuatku takut jika dia mengejarku.

Saat hampir sampai di pondok tubuhku melemas, aku hanya mampu berjalan dengan sedikit menyeret-nyeret satu kakiku yang sudah teramat sakit.

Tak jauh darisana, setelah melewati kamar mandi pondok, Roni menemukanku.

Dia memanggilku dari kejauhan, Roni berlari lantas menyelimutkan kain sarung yang dipakainya pada badanku yang tengah menggigil hebat.

Setelah dari situ, Roni mengantarku ganti baju lantas membawaku ke masjid.

Disana, kedatanganku sudah disambut beberapa ustad pondok dan senior.

"Kamu itu darimana?" tanya ustad Yahya.

"Gak tau pak ustad, sekarang dada saya sering panas. Dan tadi saya juga merasakannya sampai-sampai ada seorang perempuan yang memanggil saya di kamar mandi dan setelah dari situ saya tidak tau lagi, sadar-sadar saya sudah ada di dalam hutan dekat pancuran air"

"Disana, badan saya dipangku kuntilanak pak ustad, badan saya gak bisa gerak sama sekali. Mukanya hancur separo" jawabku sambil ketakutan.

"Kamu habis melakukan apa kok bisa begitu?" tanya ustad Yahya.

"Saya gak ngapa-ngapain kok pak"

"Kamu melihatnya baru sekali apa sudah pernah sebelumnya?"

Darisini, aku menjelaskan sejak dari aku bermimpi, kerasukan di kelas, hingga aku ditemui kuntilanak itu pertama kalinya.

Setelahku menjawab demikian, ustad Yahya tak lagi bertanya. Beliau seperti sedang mempersiapkan sesuatu tapi aku sendiri belum tau apa yang akan dilakukannya.

Hingga hampir 10 menit, beliau mengatakan kalau aku akan di ruqyah dengan metode khusus yang tidak bisa aku tuliskan disini.

Ustad Yahya memanggil 10 santri untuk duduk mengelilingiku. Sementara ustad Yahya memegang kepalaku tepat di ubun-ubun.

Semua berdzikir menghadapku, semua lantunan doa terucap hingga masuk ke telingaku.

Perlahan, rasa panas tsb kembali datang di dadaku. Aku takut kalau kuntilanak tadi datang lagi membawaku.

Semuanya terus berdzikir, badanku terasa sangat ringan hingga sampai aku merasa ada sesuatu yang diambil dari badanku tapi entah apa itu.

Singkat cerita, aku telah selesai di ruqyah oleh ustad Yahya.

"Dia itu menyukaimu" ucap ustad Yahya sambil memberiku minum.

"Menyukaiku pak ustad?" jawabku terkejut.

Beliau mengangguk.

"Ngga, kowe wes orapopo?" (kamu sudah gakpapa?) tanya Roni yang tiba-tiba menghampiriku

"Alhamdulilah ron" jawabku.

"Kamu kembali ke kamarmu, istirahat. Insya Allah sudah tidak akan ada lagi" ujar ustad Yahya kepadaku.

Pasca di ruqyah, aku tidak lagi melihat keberadaan kuntilanak itu.

Rasa panas dalam dadaku lambat laun menghilang dengan sendirinya.

Beberapa kali, rasa takut kerap kali datang menghantuiku tatkala aku sedang sendiri. Tapi, alhamdulilah aku memiliki teman yg selalu ada untukku, teman yang sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri.

Mereka adalah Roni, Abdul, Wisnu dan Cakra.

-SEKIAN-

Terima kasih yg membaca hingga akhir, jangan lupa follow Jejak Misteri Kisah Nyata agar tidak ketinggalan cerita-cerita yang lainnya.
close