Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 3) - Nyi Gondo Mayit


Jika terus menembus kepekatan pepohonan hutan Tumpasan, maka akan tiba di suatu tanah lapang yang disebut lapangan Segoro Mayit yang artinya lautan mayat.

Dalam radius seratus tombak tiada pohon maupun semak yang mampu tumbuh. Hanya rumput berwarna kemerahan yang bisa hidup, disebut rumput getah getih. 

Ditengah tanah lapang itu terdapat batu granit besar berbentuk lempengan berwarna hitam mengkilat, sengaja ditumpuk seperti meja. Oleh penduduk desa disebut watu tumbal. 

Karena disanalah para korban diletakkan saat ratu penguasa hutan Tumpasan melaksanakan ritualnya. Tepat saat bulan purnama tiba. 

Saat ritual itu berjalan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana ratu iblis itu memperlakukan korbannya.
Pernah ada orang desa yang ketinggalan rombongan saat meninggalkan hutan. Ia tak sengaja memandang awal prosesi ritual itu, matanya langsung dicongkel sang ratu sendiri. 

Tapi ia merasa bernasib lebih baik, karena jiwanya tidak ikut diambil.

Sebelah selatan dari Segoro Mayit, terdapat sebuah jalur masuk hutan. Terbuat dari percabangan pohon Santigi yang dahannya saling menganyam melingkar, membuat sebuah terowongan alami menuju istana Nyi Gondo Mayit yang megah. 

Istana perempuan iblis itu terletak diujung ngarai terpencil. Terlihat megah penuh ukiran batu dan menjulang tinggi. Puncak istana tampak berkilau ditimpa cahaya bulan. Istana itu  terasa pengap karena dijaga oleh ribuan makhluk hantu dan siluman yang sebagian besar tidak kasat mata. 

Istana itu disebut Istana Jalma Mati. Karena seluruh bangunan terbuat dari bebatuan yang dicampur tulang belulang manusia korban keganasan Nyi Gondo Mayit dan anak buahnya. Jalan menuju istana sungguh berkelok-kelok. Jalannya teramat curam dan bisa membuat orang gampang celaka.

Balairung didalamnya terlihat megah diterangi dengan nyala obor minyak yang menari-nari di setiap pilar sebesar pelukan orang dewasa. Dengan lorong-lorong gelap entah menuju kemana. 

Setiap lorong gelapnya tampak sepasang titik bercahaya, merah, biru, kuning. Menandakan ada makhluk halus penjaganya. 

Ditengah balairung utama berbentuk persegi lima itu terhampar permadani semerah darah yang berujung pada undak-undakan menuju singgasana utama. Singgasana dilapisi kain semi transparan berwarna merah dengan aura magis.
Singgasana itu terbuat dari logam, dengan ukiran berbentuk kerangka manusia yang saling bertumpuk. Sosok bayangan hitam nampak menjaga dikedua sisi kursi tersebut.

Aula utama dikelilingi empat tiang utama yang terbuat dari marmer putih. Ukurannya jauh lebih besar dari pilar biasa yang ada di lorong. 

Masing masing pilar tergambar ukiran Burung, Ular, Kelabang dan Serigala.

Kesiur angin yang menghembus lorong tadi menimbulkan suara-suara menggidikkan telinga. 

Wuttt...

Dari ujung lorong sebelah timur sebuah bayangan hitam melesat dengan kecepatan tinggi ke tengah aula. 

Anginnya hampir mematikan nyala obor di sepanjang jalan yang dilalui. 
Ternyata asal angin adalah kepakan sayap seekor gagak berwarna hitam. Ukurannya luar biasa besar untuk burung gagak, malah hampir sebesar elang. 

Burung itu berkaok dengan nada sengau seakan memanggil sesuatu. 

Teriakan ini membangunkan makhluk lain yang lebih mengerikan. 

Lantai tanah bergetar saat ia melata. Terdengar desisan kencang disertai bau amis memuakkan. 

"Ssshhh berisik sekali Gagak Rimang sialan. Tutup mulutmu, aku sedang istirahat dengan kekasihku!" suara mendesis itu terdengar dari balik pilar penyangga utama sebelah barat.


Sesuatu berbentuk bulat dan licin nampak menggeliat membelit pilar itu. Ternyata seekor ular sanca berukuran raksasa. Sisiknya sebesar telapak tangan anak manusia tampak hijau kemilauan terkena cahaya obor. 

"Diam Nagindi, suaramu tak kalah memuakkan" terdengar suara bariton serak dari balik pilar sebelah selatan. 

Sosok pria berpakaian hitam-hitam hampir tak terlihat karena tersamarkan bayangan pilar. 

"Apa katamu?" bentak Nagindi bengis. 
Sebagai siluman ular dia memiliki trah bangsawan ular diantara sesama siluman. Suatu kasta yang tinggi dan pantang dipermalukan. 

Namun pria bertudung hitam itu seakan tak takut, ia santai saja bersandar di tiang sambil melipat tangan. 

"Tempat ini bukan sarang mesum untukmu dan korban lelakimu, baiknya angkat kaki segera dari istana" usir pria itu dingin. 

Nagindi semakin naik pitam, ular raksasa itu meninggikan kepalanya dua tombak diatas lantai siap mematuk. Matanya menyorot merah, mulutnya setengah terbuka. Memperlihatkan gigi-gigi runcing mengkilat setajam belati. 

Memang ia mengolah ilmu kanuragan 'Ajian Ular Iblis Tujuh Bintang' yang membutuhkan darah lelaki. Dengan ritual memandikan darah lelaki ia mampu meningkatkan kesaktiannya hingga tahap ke Tujuh. Saat ini ia hampir dipuncak ilmunya. 

"Diaamm!"

Ular raksasa itu mendesis marah, ia mematuk tegak lurus dengan jurus "Ular Keluar Liang Lahat". Gerakannya begitu cepat tanpa menimbulkan angin sama sekali.

Blammm! 

Lantai balairung rontok berhamburan. Namun satu bayangan hitam berhasil melayang ke atas dengan jarak tiga tombak. 

Saat pria itu melayang diudara, ekor Nagindi menyerang dengan ilmu" Sabetan ekor Naga Hijau". Ekor itu bergerak laksana cemeti raksasa yang lentur namun mengandung daya rusak ribuan kali menyabet tiga kali ke bagian kepala badan dan kaki.

Badan pria itu terhujam ke pilar yang ada di belakang.

Tak ayal Pilar itu bergetar hebat terkena sabetan ekor ular tadi, lalu hancur berantakan, debu-debu berterbangan kemana-mana. 

Burung gagak yang sedari tadi hanya diam lantas membentangkan sayap, menimbulkan angin tornado.

Koaakkk

Ajaib, burung gagak tadi berteriak seperti manusia sambil mengeluarkan asap berwarna kelabu dari sela bulu-bulunya. 

Setelah asap menghilang, burung itu menjelma menjadi seorang laki-laki jangkung berjubah hitam. Hidungnya bengkok besar, matanya tajam menyoroti ular raksasa tadi. 

"Kau sudah gila mau meruntuhkan istana ini Nagindi? Tunggulah hukuman dari kanjeng ratu!" ancamnya dengan nada dingin. 

Ular itu beringsut dari tempat bertempur, ia bergelung sambil mendesis marah mengeluarkan sebentuk asap berwarna hijau yang berputar-putar. 

Saat angin meniup aula itu, ular raksasa tadi menghilang. Berganti rupa dengan sesosok perempuan cantik berbalut baju hijau panjang. 

Rambutnya yang hitam keriting menjuntai panjang hingga ke punggung. 

Kulitnya yang putih bersih nampak bersinar kehijauan. 

"Ini semua karena bangsat muka dua itu, jangan salahkan aku" geram wanita itu sambil menoleh ke arah pilar yang sudah hancur. 

Dari balik kepulan debu tadi, lelaki bertudung hitam itu muncul dengan badan utuh seperti tak terjadi apa-apa. 

Rupanya serangan Nagindi meleset total, tak terkira ilmu apa yang dimiliki sang pria. Mata nagindi mendelik seakan tidak puas.

Pria itu berjalan dengan ringan menuju Gagak Rimang dan Nagindi. 


Mereka bertiga adalah jendral kepercayaan Nyi Gondo Mayit. Masing masing membawahi wilayah hutan Tumpasan menurut arah mata angin. 

Gagak Rimang, merupakan jendral yang mengawasi hutan Tumpasan wilayah timur. Sementara Nagindi memegang kendali di sebelah barat. 

Adapun Siluman Muka Dua yang bertikai dengan Nagindi tadi dipercaya menjaga daerah selatan yang paling dekat dengan Istana. 

"Ada kabar apa?" tanya Siluman Muka Dua. Ia sama sekali tak memperdulikan pertikaian dengan Nagindi tadi. 

Gagak Rimang tak langsung menjawab. Mukanya ditekuk seperti berpikir keras. 

Nagindi mulai tak sabaran. Ia sudah kesal oleh kelakuan pria tadi ditambah Gagak yang terkesan menyimpan rahasia.

"Halah cepat bicara, ada masalah apa?" ketus wanita itu sambil melipat tangannya. 

"Ada hal aneh terjadi di hutan, Kanjeng Ratu harus tahu terlebih dahulu." guman Gagak Rimang. 

"Maka katakanlah Gagak, aku mau mendengar" sahut sebuah suara wanita menggema. 

Suara itu kecil dan pelan tapi terdengar jelas ditelinga, menandakan tenaga dalamnya sudah mencapai kesempurnaan. 

Ketiga jenderal terkejut karena di singgasana sudah ada seorang perempuan bergaun bangsawan tengah duduk menyamping.

Tangannya menyisir rambut yang semerah darah pula. 

Entah sejak kapan sang Ratu menyaksikan mereka bertikai tanpa disadari. 

Wanita ini memiliki aura mistis yang kental. Wajah seorang wanita tampak kabur dibalik tirai berwarna merah transparan.

Gaunnya yang merah dihiasi ratna mutu manikam terbaik. Dibawah cahaya obor, berkilauan seperti kelip bintang. 

"Daulat kanjeng Ratu Nyi Gondo Mayit" sahut ketiga orang tersebut bersimpuh takzim. 

"Mana patih Garangan, penguasa hutan utara?" tanya Nyi Gondo Mayit pelan.

"Itulah Kanjeng Ratu, pasukan utara entah bagaimana dalam waktu semalam. Tiba-tiba lenyap ditelan bumi. Hamba belum bertemu lagi dengan patih Garangan dan anak buahnya." terang Gagak Rimang. 

Kedua jenderal lain terkesiap mendengar laporan Gagak Rimang. 

"Hmmh" guman Nyi Gondo Mayit. 

Nagindi berpikir apakah ada orang sakti menyatroni hutan mereka, tapi siapa? Ataukah ada pemuja iblis lain yang datang menyerang diam-diam? 

"Apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" tanya Nagindi. 

Lelaki itu menggeleng, "Tidak ada, hanya cacing-cacing desa Bakor yang bermain di pinggir hutan." 

Suasana semakin sunyi, hanya kesiur angin dingin yang menusuk kulit. 

Masing-masing orang larut dalam pikiran sendiri. 

Nyi Gondo Mayit meraih gelas mustika di samping singgasananya. Dari teko ia menuang cairan kental berwarna merah berbau anyir kemudian meneguknya habis. 

Cawan kosong itu dia lempar begitu saja ke lantai. 

"Darah ini sudah tak segar lagi..."

"Daulat Ratu, hamba akan mencarikan darah segar untuk yang mulia" seru gagak Rimang.

"Tidak usah, aku mau kekasihmu Nagindi, untuk jadi santapanku"

Wajah siluman ular Nagindi memutih. Ia belum selesai menyedot saripati ubun-ubun manusia yang ia curi dari desa Bakor. Padahal sedikit lagi ia mencapai tahap ke tujuh. Dengan tahap ketujuh ini kekuatannya akan meningkat sepuluh kali lipat dari yang sekarang. Jika ingin menguasai istana inipun bukan hal yang sulit nantinya.


Wajah Nagindi semakin pucat.

Suara terkekeh Nyi Gondo Mayit terdengar lagi.

"Aku cuma bercanda Nagindi, sebentar lagi ritual tumbal kembar. Aku tak memerlukan darah kekasihmu itu hi hihi hi"

Nyi Gondo Mayit menoleh ke Jendral Gagak Rimang.
"Sebaiknya kamu awasi warga desa Bakor Gagak Rimang" seru Siluman Muka Dua.
"Sebentar lagi ritual puncak tumbal kembar saat  bulan purnama akan dimulai. Jangan sampai ada yang menganggu. Setelah ritual ini, ilmuku akan sempurna." 

Gagak Rimang mengangguk setuju. 

Nagindi malah tersenyum mengejek, "Manusia itu makhluk lemah seperti nyamuk. Buat apa khawatir Kanjeng Ratu" 

"Salah" sambung Nyi Gondo Mayit seraya bangkit dari singgasana. 

Nagindi terkejut seraya menunduk tak berani membantah. 

Nyi Gondo Mayit lantas berjalan turun dari singgasana. Ilmu meringankan tubuhnya membuat wanita itu seperti melayang saja di atas tanah. Dengan gaun serba merah darah nampak seperti bidadari pencabut nyawa. Wajahnya masih terhalang kain pembatas.

Tahu-tahu Kanjeng Ratu sudah mencengkram tengkuk belakang Nagindi.

Wanita ular itu merasa seluruh badan menjadi lemas, seluruh tenaga dalamnya seperti tersedot oleh tangan Kanjeng Ratu. 

Ia seperti anak kucing yang dikunci tengkuknya. 

Mata Nyi Gondo Mayit bersinar merah mengerikan. 

"Manusia adalah makhluk yang paling tidak bisa diduga. Bermuka dua, Sekalipun mereka lemah didepanmu, mereka bisa saja menikammu dari belakang" bisik Nyi Gondo Mayit sambil tertawa seram.

Ketiga jendral menjadi pucat pasi. 

"A-ampun Nyi, hamba mengerti, paham" seru Nagindi mengiba kesakitan. Sekujur tubuhnya sudah mati rasa. 

Semua kesaktian Ajian Ular Iblis Tujuh Bintang yang ia miliki seperti terkunci, tak bisa dikeluarkan. Bahkan ilmu Malih Rupa yang ia gunakan untuk berubah menjadi ular besar seakan musnah.

Tengkuknya makin terasa dingin. 

"Akhh tolong!" jerit Nagindi. 

"Kanjeng Ratu tunggu" mohon Gagak Rimang, ia mengira Nyi Gondo Mayit akan memulas putus kepala rekannya. 

Namun tangan Siluman Muka Dua merintangi Gagak. 

"Tunggu Gagak, coba lihat Kanjeng Ratu bukan menghukum Nagindi. Melainkan justru membantu menambah ilmunya." terang pria bertudung hitam itu dengan nada yakin. 

Gagak Rimang kembali melihat dengan seksama. 

Sejumput asap kehijauan tampak mengepul dari tengkuk Nagindi. Wajah siluman ular itu mandi air keringat. 

"Bersila!" perintah Nyi Gondo Mayit. 

Wanita ular itu patuh, ia segera bersila di lantai marmer yang dingin. Sejenak ia merasakan kekuatan luar biasa mengalir kembali dari tengkuk ke penjuru tubuh seperti air bah. 

Ia merasa lebih bertenaga dari sebelumnya.
Bahkan Ajian Ular Iblis yang ia miliki sudah naik dua tingkat ke tingkat Tujuh. Tingkat sempurna. 

Semua karena bantuan tenaga dalam Nyi Gondo Mayit. 

Dengan keringat masih bercucuran Nagindi segera berbalik dan bersujud mencium kaki Kanjeng Ratu. 

"Terima kasih Kanjeng Ratu, berkat bantuanmu ilmu hamba sudah sempurna"

Wanita bergaun merah itu terkekeh karena geli.


"Hi hi hi hi jadi apa kau akan berani kurang ajar lagi Nduk?" tanya Nyi Gondo Mayit. 

"Tidak berani yang mulia, hamba akan menjalankan semua perintah Kanjeng Ratu" tunduk Nagindi lemas. 

Ternyata selisih ilmunya masih terpaut jauh dari Kanjeng Ratu.

Nyi Gondo Mayit tersenyum puas. 

"Bagus, kalian bertiga segera ke pos masing-masing. Segera kabari aku bila ada yang mencurigakan"

"Daulat Ratu" seru ketiga jenderal bersamaan. 
Bayangan mereka kemudian segera menghilang, musnah dari pandangan mata. 

Nyi Gondo Mayit kembali melayang ringan menuju singgasananya. 
Dua sosok raksasa hitam muncul dari asap yang timbul dari kanan kiri kursi. Menjaga singgasana tersebut. 

Ratu Istana Jalma Mati itu menopang kepala dengan tangan, matanya terpejam, namun mata batinnya tetap terjaga dan menjadi lebih waspada. 

***

"Murni! bangun" 

Sedikit demi sedikit kelopak netra gadis itu bergerak. Jiwa yang mengembara di alam mimpi perlahan mulai merasuk ke tubuh wadagnya. 

Gadis itu mendusin. 

"Mmh aku masih mengantuk" ujar Murni sambil mengucek mata. 

Cahaya matahari merangsek dari celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu pupus. Membuat pipinya terasa hangat. 

Dengan malas-malasan Murni duduk dari tidurnya. Sementara pria berbaju hitam-hitam itu tengah bersila di ranjang. Matanya terpejam. 

"Ada apa kakang?"

"Aku lapar"

Kali ini netra Murni membelalak. Semalam ia sudah memberi semua jatah makanannya pada pria itu, termasuk ayam pindang pemberian kakang Sasro yang belum pernah ia cicipi sebelumnya. 

Dan kini ia minta makan lagi? 

"Kakang masih lapar? Aku belum masak nasi lagi!"

"Bukan aku, tapi bagian diriku yang lain. Aku ingin kau ambilkan tujuh jenis bunga yang ada di halaman rumahmu"

Gadis itu melongo. Untuk apa pula lelaki itu meminta bunga, memangnya ia mau makan bunga bunga itu? 

"Ambil saja sendiri" sahut Murni. 

Lelaki itu menatap Murni dengan tajam seakan tidak suka. Namun gadis itu telah membuang muka. 

"Baiklah, aku ambil sendiri" sahut sang pemuda itu seraya hendak berdiri dari dipan. 

Murni yang tadinya cuma main-main dan menggertak, bangkit menghalangi. 

Mukanya ditekuk. 

"Tunggu, biar aku saja. Bisa gempar jika orang-orang tahu kau ada di kamarku. Nanti gagal semua rencana semalam" sungut Murni sambil mengikat rambutnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon pisang. 

Lelaki itu kembali duduk bersila dengan mata terpejam. 

"Setidaknya sebutkanlah namamu!" pinta gadis itu setengah gemas. 

"Panggil aku Larantuka" bisik lelaki itu. 

Murni berkerut, "Larantuka? Nama yang aneh, baru pertama aku mendengarnya. Apa ada artinya?" 

"Tidak ada, aneh atau tidak bukan urusanmu" sahutnya datar. 

Murni naik pitam, dengan melengos ia segera menghilang dari balik tirai pintu. 

Dalam sekejap Murni mengumpulkan bunga yang ada di halaman depan dan belakang rumahnya. Ada Mawar, Melati, Kenanga, Kamboja, Aster, Cempaka dan Asoka. Pas tujuh rupa sesuai permintaan Larantuka. 

Semua bunga itu ia taruh diatas piring dari tembikar. Dan disodorkan ke depan Larantuka. 

Dari balik jubahnya yang hitam, ia mengambil botol kecil dari bambu.

Larantuka menaburkan serbuk berwarna merah yang ada didalamnya. Murni menunggu langkah selanjutnya dengan jantung berdegub. 

"Keluarlah" perintah Larantuka. 

"Aku tak mau! ini kamarku, aku berhak disini" balas Murni.

Lelaki itu tak menjawab, lalu bibirnya seperti berbisik tak jelas. Tak lama kemudian ada yang bergerak dari balik lengan bajunya. 

Murni menjerit, namun tangan Larantuka lebih cepat menutup mulut gadis itu agar tak bersuara. 

Benda yang bergerak itu berbentuk gilig panjang bersisik hitam mengkilat. 

Ular

Ya, ular sebesar pergelangan tangan anak tiga tahun keluar dari balik jubah. Matanya bependar hijau, berkilauan seperti permata. 

Matanya membius raga Murni, membuat ia tak mampu bergerak. 

Dengan cepat ular itu menghisap seluruh isi piring tembikar tadi sampai tak bersisa, lalu kembali menghilang ke dalam jubah Larantuka. 

"U-ular," sebut Murni sambil gemetar. 

"Jangan khawatir, ular ini dalam kendaliku" bisik Larantuka.
"Kini aku sudah siap untuk bepergian lagi"

Lelaki itu kemudian mengambil topi capingnya yang lebar di dinding bambu untuk bersiap pergi. 

Murni menjerit, "Kau mau kemana? Bukankah kau sudah janji akan melindungiku?" 

"Aku tidak akan pergi jauh, ada beberapa hal yang aku harus cek dalam hutan" yakin pria itu.

"Bagaimana jika anak buah Nyi Gondo Mayit benar-benar menyerang desa Bakor dan kau tidak disisiku?"

Larantuka terdiam, lalu ia meraih tangan kanan Murni. 

Sentuhan tangan Larantuka terasa dingin, tapi tak ayal melumerkan hati gadis belia itu. Karena baru kali ini ia bertemu pria dari luar desanya. Dan jujur saja raut muka itu tak bisa lepas dari benak Murni.

Begitu tampan seperti bukan manusia bumi, sangat berbeda dengan wajah pemuda yang pernah ia temui.

Makin lama genggaman Larantuka makin kencang.

Gadis itu meronta namun tangan kiri Larantuka jauh lebih perkasa. Sementara jari tangan kanan pria itu menotok tiga titik di tapak tangan Murni. 

"Lepaskan, kakang mau apa?"

Lelaki itu tak menjawab, matanya penuh konsentrasi.

Wussshh 

Seberkas sinar keemasan berpindah dari jemari  Larantuka ke telapak Murni. 

Kejadian itu singkat saja, namun tangan Murni terasa kebas sebentar.

"Jika kau dalam keadaan terdesak gunakan tapak ini. Ingat hanya bisa sekali saja" imbuh Larantuka hati-hati.

Gadis itu menunduk sambil memegang tangan, merasakan kehangatan yang mengalir di telapak. Rasa hangat itu berputar-putar, berpindah dari lengan ke jemari dan seterusnya. 

Saat Murni menengadah, Larantuka sudah menghilang.

"Kakang!" panggil Murni.

Namun pria itu sudah sirna. 

Hanya terasa dingin angin hutan, berhembus dari jendela kamar yang terpentang lebar.

BERSAMBUNG
close