Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 2) - Tumbal Kembar


Dari kejauhan Matahari sudah tergelincir di balik bukit, suasana desa Bakor nampak semakin sunyi. 
Beberapa titik lampu minyak menerangi rumah-rumah yang kumuh. Ada seratusan lebih keluarga yang mendiami desa itu. Tiap-tiap rumah rata-rata didiami dua atau tiga generasi. 

Kebanyakan rumah yang berdinding anyaman bambu itu telah lapuk dimakan usia. 

Para warga hanya bisa beternak dan bercocok tanam. Itupun tidak banyak hasilnya. Tanaman sayur mayur lebih cepat membusuk. Begitupun hewan ternak, sulit untuk berkembang biak dan biasanya mati setelah beberapa tahun. 

Penduduk menduga karena udara di desa begitu berat. Seakan tercemar oleh sesuatu yang berbau busuk yang datang dari hutan sekitar. Begitu pula dengan sumber airnya. Terkadang berbau bangkai entah dari mana sumbernya. 

Anehnya setelah dilakukan upacara penyerahan korban tumbal ke dalam hutan Tumpasan barulah gangguan itu sedikit menghilang. Banyak warga percaya ini adalah salah satu kutukan Nyi Gondo Mayit, penguasa hutan Tumpasan. 

Upacara itu disebut tumbal kembar. Dimana sepasang anak lelaki dan perempuan belum menginjak tujuh belas tahun diarak ke dalam hutan. 

Sesampainya di tengah hutan kedua anak diikat di atas meja batu persembahan lalu ditinggalkan begitu saja. 

Malamnya saat bulan purnama, akan terdengar lolongan panjang. Bukan lolongan hewan melainkan suara manusia yang tengah kesakitan. 


***

Di persimpangan jalan Murni berpisah dengan Tarsih. Terseok-seok Murni menuntun bagal miliknya menuju rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan atapnya dari pohon rumbia. 

Murni sengaja lewat jalan belakang agar tidak diketahui orang tuanya. Gadis itu menunduk melewati rerumpunan bunga yang  ia tanam. Hari yang mulai gelap membantunya tak terlihat dari dalam rumah. 

Krieet...

Pintu belakang rumah ia buka dengan perlahan. 

Murni tersentak melihat bayangan wanita  berpakaian kebaya berwarna coklat berkacak pinggang, tampak sudah lama menunggunya. 

"Murni! Darimana saja kamu? Setengah mati ibu mencari" hardik ibunya. 

Perawan itu menunduk lemas. 

"A-ampun ibu, Murni cari kayu bakar dekat sungai."

Sarpini melotot.
"Bohong, mana kayunya? Pasti kamu main-main di hutan"

Murni tertegun, ia menoleh ke bagal miliknya dan ternyata punggung hewan itu kosong melompong. 

Kemana perginya kayu bakar yang susah payah ia kumpulkan tadi? 

Aneh sekali, apakah jatuh di jalan?

"Maafkan Murni bu, tadi Murni memang ke hutan untuk mencari jamur. Tapi sumpah,  tadi ada kayu bakar yang Murni kumpulkan, se-sekarang tiba tiba saja menghilang!" isak gadis itu kebingungan. 

Sarpini mendengus kesal mendengar alasan Murni yang dibuat-buat. Jelas-jelas tidak ada satupun ranting kayu di atas bagal. 

Wanita itu segera mencekal tangan anaknya,  namun ia tak segera menghukumnya seperti biasa. 

Kali ini ia membawa anak gadisnya masuk ke dalam rumah, karena  ada tamu penting yang berkunjung. 

"Dengar Murni, segera bersihkan dirimu! Ada Kang Sasro sudah duduk di ruang tamu. Katanya ada perlu sama kamu, penting" perintah Sarpini. 

Sasrobahu, kepala desa Bakor tengah menunggunya. Lelaki berumur empat puluh tahun itu adalah orang paling terpandang. Juga paling tampan dan menjadi incaran para pemudi desa,  karena ia belum menikah. 

Murni tak berani membantah, ia segera masuk ke bilik sumur samping rumah untuk mandi. 

Selesai mandi ia segera masuk ke dalam kamarnya yang kecil untuk berganti baju. Kamar itu hanya dibatasi oleh pintu dengan tirai kain. 

Murni menggelitik hidungnya sendiri. 

Ada yang janggal. Sejak dari hutan tadi ia mencium sama bau wangi khas bunga melati. Apakah ada makhluk halus sengaja mengerjainya? 

"Memang ada yang mengerjaimu, aku orangnya"

Suara itu berupa bisikan yang lembut, namun seperti halilintar di telinga Murni. Segera ia menoleh ke belakang. 

Gadis itu jatuh terjengkang karena terkejut, seperti  melihat hantu. 

Pria berbaju hitam yang ia selamatkan di hutan,  ternyata sudah terbaring di dipan tempat ia tidur. Dan ini bukan mimpi! 

Dengan penerangan lampu minyak, wajah pria itu terlihat jelas. 

Usianya sekitar dua puluh tahun, matanya berwarna biru gelap, serasi dengan hidung mancung dan bibir merah mempesona. 
Disela rambut hitam sebahu terlilit sebuah bulu burung yang panjang berlurik hitam dan putih. 

Ia memakai baju hitam ketat dengan ikat pinggang berwarna merah darah. 

Murni menelan ludah, antara takut dan juga terkesima akan wajahnya. Seakan memancarkan sihir yang membuat mata terpaku. 

"K-kau manusia bukan? Sedang apa kau dikamarku" tanya Murni bergetar. 

Ia meraih sebilah golok yang tergantung di dinding. Ayahnya yang menaruh disana untuk berjaga bila ada serangan makhluk hutan. 

"Aku manusia, kau sudah merasakan napasku bukan?"

Wajah Murni memerah, rupanya lelaki itu masih sadar saat gadis itu memegang hidungnya. 
"Kau... Kenapa masuk ke kamarku?"

"Bukankah kau membawaku kerumahmu?" pria itu balik tanya. 

"Tidak, aku cuma membawa kayu bakar, itu..." suara Murni tercekat saat ia ingat kejadian aneh tadi. 

Pria itu tersenyum tipis. 
"Aku bisa membuatmu melihat hal yang tidak-tidak"

"Tidak mungkin"

"Kau tahu aji panglimunan?"

Gadis itu menggeleng polos. 

"Jika terkena maka orang akan terhipnotis dan melihat ilusi"

Murni baru menyadari bahwa orang didepannya bukan orang biasa. Melainkan pendekar yang memiliki ilmu tinggi. 

Murni kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Tangannya mendekap erat golok. 

Lalu mendadak pria itu mendekati Murni, jarak muka mereka hanya sejengkal. 

Reflek tangan Murni menyabet golok ke arah pria itu. 
Namun entah bagaimana caranya pria itu sudah berada memeluk murni dari belakang. 

Pergelangan tangan gadis itu sudah dicengkram tepat di depan dadanya.

Murni menjerit kecil, "Akh sakiit. Kamu...  Mau apa? Jangan macam-macam"

Perasaannya langsung galau karena dipeluk dari belakang oleh pria asing, semakin ia berusaha meronta, semakin tangan kekar pria itu bersentuhan dengan tubuhnya.

Ada desir aneh dalam dada yang tidak mampu ia jelaskan. 

Pemuda itu terkekeh, memperlihatkan gigi yang seputih susu.

"Kalau jadi kamu aku tak kan berbuat konyol"

"Lepas!"

"Baiklah" seru pemuda itu enteng. 

Tringg...

Tangan putih pemuda itu menyentil golok hingga menancap ke tiang bambu. 

"Aku pinjam ranjangmu sebentar, aku butuh istirahat" 

Lalu ia kembali rebah diatas dipan. 

Meninggalkan Murni yang berdiri termanggu. 

Kening Murni berkerut, ia jadi teringat sesuatu. 

"Se-sejak kapan kamu di dalam kamar?"

"Aku sudah di sini sejak ibumu menyambut" sahut sang pemuda acuh. 

Muka Murni merah padam terbakar malu. 

Sialan. 

Artinya pria itu melihat tubuh polosnya saat ganti baju tadi.

Murni segera memperbaiki letak kain jarit, menutupi paha putih mulus yang sempat tersingkap karena pergumulan tadi. 

"Jangan khawatir aku tak tertarik dengan tubuhmu" sahut pria itu sambil memejam mata.

Murni mengumpat dalam hati, bukan main malunya disepelekan. Toh ia tidak jelek amat,  banyak pria desa yang tertarik padanya. 

Pemuda itu menutupi muka dengan topi caping yang lebar tadi. Seperti hendak tidur. Benar-benar seakan tidak terjadi sesuatu. 

Murni menggertak giginya. 

Keparat. 

Ingin hati mengusir pria itu, namun dia takut celaka. Apa dia harus melaporkan ke orang-orang  desa? 

Atau tindakan ini justru malah akan membawa aib bagi keluarganya? Semua perasaan Murni bercampur aduk. Ditengah kebingungan ibunya memanggil.

"Murni! Kenapa lama sekali?" teriak Sarpini dari ruang tengah. 

Gadis itu tersentak. 

Sejenak Murni melupakan rasa bimbang dihati. 

Biarlah! Jika lelaki ini berniat jelek, orang desa diluar akan menolongnya. 

Ada hal yang lebih besar harus diurus. 

Murni segera bangkit dari sudut kamar. 

Tak lupa menutup tirai pintu agar orang luar tidak masuk dan melihat sang pemuda. 

Kamar Murni berbatasan dengan kamar tidur orang tuanya lalu ruang tamu. Tiap ruangan hanya dipisahkan selembar kain lusuh.

Di depan sudah ramai berkumpul beberapa warga desa sampai ke pelataran. Susasana ruang tamu tampak suram diterangi nyala lampu minyak yang tertiup angin. 

Membuat Murni terheran. 

Ada apa ini? Bukankah tadi hanya ada Sasrobahu saja, sekarang kenapa semua orang berkumpul dan dari air mukanya, semua tampak serius. 

"Duduklah Murni" perintah bapaknya. 

Murni mengambil tempat duduk yang seperti sudah disiapkan khusus untuknya. Didepannya ada meja kecil dengan sepiring singkong rebus yang masih mengepul dan beberapa gelas kopi diatasnya. 

Murni mengawasi beberapa orang di sekeliling. Semua menatap tajam ke arahnya, membuat gadis kecil itu bertambah kikuk. 

"Paklik, Buklik, Kang Darso dan lainnya, ada apa ini? apa Murni sudah membuat kesalahan?" tanya gadis itu dengan jantung berdegup kencang.
Apakah mereka tahu ada orang asing dikamar? ah rasanya tidak, kalau ketahuan sudah pasti pemuda itu ditangkap ramai-ramai.

Murni menatap muka bapaknya.

Sementara bapak Murni cuman termenung dengan mata sedikit berkaca. Ibunya Sarpini malah sudah mengulap mukanya dengan kain jarit, tampak terisak entah mengapa. 

Murni mencuri pandang ke arah Kang Sasro sang kepala desa.

Berharap ada jawaban atas pertanyaannya. 

Pria tampan berkumis tipis dengan rambut ikal dan mata teduh itu tersenyum manis kepada Murni.

Orang yang baru pertama bertemu Sasro pasti mengira usianya baru menginjak tigapuluh tahun,  padahal aslinya sudah berkepala empat.

Seharusnya Murni memanggil bapak bukannya Kang, Kang artinya kakak.

Akan tetapi sebutan itu sudah jamak diberikan setiap wanita di desa, empunya pun tidak berkeberatan. Toh dia masih bujang dan hanya tinggal berdua dengan adiknya. 

Senyuman kang Sosro sedikit menawarkan rasa gelisah di hati Murni. 

"Murni tenang saja, tidak ada kesalahan yang kamu buat. Hanya saja... "

"Hanya apa kang?"  tanya Murni dengan mata membulat. 

Sasro menghela napas berat, "kami perlu kerjasamamu, agar rencana kami berhasil" 

Dahi Murni kembali berkerut menahan tanya.

"Rencana apa?"

Bapak Murni yang bernama Sadikin melanjutkan dengan nada tergetar, 
"seminggu lagi, seperti kamu tahu adalah jadwal warga desa ini melakukan ritual terkutuk tumbal kembar."

Murni merinding mendengar kata tumbal kembar disebut. Ritual yang haus akan nyawa sepasang anak manusia tidak berdosa. Ia mengusap bulu lengan yang berdiri tegak, matanya tak lepas menatap wajah orang-orang dalam ruangan berganti-ganti.

"Sayangnya telah terjadi kecelakaan... bahwa Sari,  salah satu peserta tumbal hasil undian diketemukan tewas gantung diri tiga hari yang lalu" ujar Sadikin.

Murni menutup mulut dengan tangan, ia tak menyangka salah satu sahabatnya kembali mengalami nasib tragis. 

"Sari sudah meninggal? Kenapa aku tidak tahu?" jerit gadis itu. 

Para warga saling membuang muka, mereka sengaja merahasiakan kematian Sari. 

Sasrobahu menghela napas panjang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. 

"Ini karena kami sudah bertekad akan menghentikan ritual celaka ini untuk selamanya, sehingga warga bebas dari kutukan" terang Sasro sambil menatap lekat Murni. 

Deg...

Jantung Murni seperti berhenti. Menghentikan ritual? Melawan kanjeng Ratu Gondo Mayit? 

Apa yang ada dipikiran orang-orang ini? Apa mereka sudah gila?

Kenapa baru sekarang? 

Bila desa hendak melawan dan kemudian gagal. Bukankah itu sama artinya dengan melenyapkan seluruh isi desa Bakor? 

Otak murni berusaha mencerna ribuan pertanyaan yang timbul dalam benaknya.

Pasti akan ada banjir darah melanda desa, semua akan dibabat habis oleh prajurit iblis kanjeng ratu. 

Wajah Murni berkerut-kerut tidak karuan. Pundaknya bergetar hebat.

"Murni tenangkan dirimu" hibur Sasro sambil memegang bahu Murni, kami tidak sendiri, aku sudah berhasil meminta bantuan orang sakti. Mereka akan datang besok untuk membantu kita menumpas iblis betina ini."

Murni mendongak.

"Benarkah itu Kang?"

Sasro mengangguk pelan, "Orang sakti itu adalah pasukan dari kerajaan Kalingga, mereka mengabarkan akan datang sebentar lagi"

Kang Darso saudara jauh Murni menambahkan, "tapi kami butuh pancingan pengganti Sari, dan anak perempuan tertua di desa ini hanya dirimu. Jadi kami minta bantuanmu"

Murni semakin terguncang. Ia tidak pernah menyangka akan menjadi tumbal kembar. Biasanya keluarga yang anaknya pernah menjadi tumbal tidak akan dimasukkan undian lagi. 

Kenapa harus aku? pikir Murni tidak terima. 

"Tapi..."

"Dengar dulu Murni" cegah kang Darso.

Sasro kemudian menjelaskan rencananya. Murni akan bertindak sebagai pengganti Sari. Namun mereka tidak akan meninggalkan Murni seperti biasa, melainkan hanya bersembunyi dibalik pepohonan terdekat. 

Pada saat ritual berlangsung, hanya ada ratu dan tumbal kembar di lapangan itu. Saat itulah warga desa Bakor beserta pasukan dari Kalingga langsung menyerang. 

Dengan serangan ini Sasro menjamin kanjeng ratu akan dikalahkan, selanjutnya anak buah ratu akan lebih mudah ditaklukkan dan desa Bakor akan terlepas dari kutukan selamanya. 

Walaupun ada kemungkinan jatuhnya korban nyawa, tapi Sasro menjamin keselamatan para korban tumbal kembar. 

Namun ibunya menangis tidak rela. Begitupula Sadikin.

"Kamu sudah ambil anakku Slamet, namun sekarang Murni pun mau kau ambil juga! huuu kami tak punya apa-apa lagi." sahut Sarpini histeris dalam pelukan Sadikin. 

"Diamlah kamu Sarpini" bentak Darso. 

Murni segera ikut memeluk ibunya. Walaupun ibunya agak keras padanya tapi ia tahu sebenarnya hati Sarpini sangat baik.

Sarpini marah ketika putrinya pergi main terlalu jauh, karena tidak ingin kehilangan anak lagi. 

Kali ini orang-orang desa turut menghibur wanita paruh baya itu. 

Melihat ibunya terisak, ada rasa tidak terima muncul dalam hati Murni. Matanya kembali jernih merayapi setiap air mata yang jatuh di pipi keriput Sarpini.

Ia memandang wajah bapaknya, sama, penuh dengan keriput dan matanya menyimpan rasa ketakutan amat sangat.

Ia tidak mau bapak, ibu dan keluarga satu desa menderita lagi. Mereka sudah tua dan harusnya bisa hidup bahagia tanpa rasa takut pada Nyi Gondo Mayit. 

Benih keberanian mulai tumbuh dalam hatinya. Ia mengusap air matanya.

Demi mereka biarlah jika harus bertaruh nyawa sekalipun. 

Murni akhirnya mengangguk setuju, toh ia juga sudah muak hidup dibawah kutukan terus menerus. Apalagi adik dan sahabatnya juga menjadi korban. Ia tak mau ada nyawa terbuang lagi. 

Melihat anggukan Murni, semua yang hadir disitu sedikit bernapas lega.

Menjelang larut, orang desa berangsur pulang. Kini hanya tertinggal keluarga inti Murni. 

Sadikin tertunduk lesu sambil memeluk Sarpini, ia meminta maaf pada anaknya karena tidak mampu berbuat banyak. 
Namun Murni sudah menerima takdir itu dengan lapang dada. Justru ia yang menghibur Sarpini bahwa semua akan baik-baik saja.

"Nduk, kamu mau makan? Seharian menghilang,  pasti kamu lapar" lirih Sadikin.
"Tadi kang Sasro membawa daging ayam untukmu. Sudah lama kita tidak pernah makan daging, ayo Murni isi perutmu dulu"

Namun anak gadis itu menggeleng. Makanan istimewa itu sama sekali tidak menggugah nafsu makannya. 

"Maaf pak, buk, Murni lelah mau istirahat dulu buat persiapan besok." 

Sadikin mengangguk, "B-baiklah nduk, kami semalaman ini akan bermunajat pada yang Maha kuasa agar kamu dan semua diberi keselamatan"

Murni segera undur diri dari pandangan kedua orang tuanya.

Perlahan ia kembali ke bilik kecilnya.

Saat menyingkap tirai orang berbaju hitam itu masih terlelap diatas dipan kecil terbuat dari kayu jambu biji. 

Murni bingung, ia mau tidur dimana? Akhirnya ia menggelar beberapa helai kain di lantai tanah kamarnya. 

Gadis itu terpaksa mengalah dengan tidur beralaskan kain. 

Kali ini malam terasa begitu lama. Murni tidak dapat memejamkan matanya. 

Terdengar suara jangkrik dan serangga malam lain bersahutan. 

Pikirannya melayang memikirkan nasibnya,  masihkah dia mendengar suara jangkrik lagi nanti? 

Ataukah ia akan  mati muda menjadi tumbal untuk kanjeng Ratu Gondo Mayit? 
Bagaimana bila sang ratu mencabut nyawanya sebelum warga desa menyerang?

Pertanyaan itu terus menghantui remaja itu.

Tiba-tiba terdengar suara lelaki dari atas dipan. 

"Kau tenanglah, tidur saja yang nyenyak"

"Apa maksudmu?" balas Murni. Tadi dia tidur membelakangi dipan, kini ia berbalik karena penasaran perkataan si pemuda. 

"Suara detak jantungmu tak menentu, membuat berisik"

Murni melongo, memangnya dia bisa mendengar suara detak jantungnya dari jarak sejauh itu?

"Nanti aku yang akan melindungimu" sahutnya tenang dari balik caping. 

"Cih melindungi,? aku saja harus menggotongmu yang setengah mati tadi" ketus Murni jengkel. 

Sebenarnya orang ini berilmu tinggi tidak? pikir Murni.

"Aku lelah, setelah bertarung dengan semua setan penghuni hutan" kilah sang pemuda. 

"Heh, omong kosong! gara gara kamu kami hampir mati disesatkan demit di hutan!"

Lelaki itu tertawa renyah. 

"Aku lupa, satu tersisa belum aku musnahkan, demit itu membuat kalian jalan berputar-putar namanya akar mimang, tenang saja, sudah kutaklukan dia"

Namun Murni tidak terkesan. 

"Dasar pembohong" seru Murni. 

"Terserah"

Gadis itu membalik badan, kembali berbaring.

Kemudian keadaan kembali sunyi. Terdengar angin malam berhembus meniup atap rumbia. Menimbulkan suara-suara menyeramkan.

Rasa takut Murni kembali menerjang. Bagaimanapun dia masih baru menginjak usia remaja, perasaannya masih labil.

Airmatanya jatuh berlinang memikirkan nasib keluarganya nanti. 

"Selama aku disini kau tidak perlu takut" seru sang lelaki. 

"Berjanjilah" isak Murni. 

"Aku bersumpah... akan melindungimu, asalkan"

"Asalkan apa?" Murni bangkit.

"Kau ambilkan aku makanan, perutku lapar"

Gadis itu membelalak.

BERSAMBUNG
close