Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 1) - Hutan Tumpasan


Hutan Tumpasan adalah hutan yang berusia ribuan tahun. Ditumbuhi oleh berbagai pohon dan semak belukar, kebanyakan adalah pohon pinus. Rantingnya sangat rapat, sehingga sulit ditembus sinar matahari. 

Oleh karena itu saat siang pun bagian dalam hutan ini begitu gelap. 

Warna tanah hutan ini berbeda dengan yang lain, warnanya khas kemerahan, begitu pula dengan warna batang pepohonan yang tumbuh diatasnya. Semua memiliki semburat merah.

Orang sepuh bilang itu karena saking banyaknya mayat yang mati di hutan itu, darah orang mati meresap kedalam tanah dan saripatinya dimakan oleh pepohonan itu. Membuatnya merah. 

Bahkan dalam waktu tertentu atau malam menjelang, sering muncul kabut putih misterius yang memuakkan karena berbau amis dan anyir darah. Adalah jiwa dan ruh orang yang meninggal tak wajar, terperangkap dalam hutan itu, menjelma menjadi kabut kengerian.

Jika malam menjelang, maka hutan itu akan dipenuhi jeritan mengerikan entah hewan atau makhluk jejadian yang katanya doyan menghisap kabut itu. Suara mereka akan terdengar jelas sampai ke desa Bakor yang ada di pinggir hutan.

Keadaan Desa Bakor itu tak kalah buruknya dengan hutan Tumpasan yang mencekam. Seorang pemuja Iblis bernama Ratu Gondo Mayit telah menguasai penuh wilayah itu. Setiap purnama ke tiga setelah musim kemarau maka warga desa harus mempersembahkan sepasang bocah laki dan perempuan yang masih murni sebagai tumbalnya.

Apabila tidak dilakukan maka sebagai hukuman pasukan sang ratu berupa mayat hidup akan keluar dari dalam hutan itu. Mereka menjarah desa, menjadikan warga desa sebagai santapan. Maka lebih banyak lagi nyawa tak berdosa ditumpas.

Warga desa tidak bisa berbuat banyak selain patuh dan tunduk. Mereka tidak dapat lari begitu saja, karena setiap yang lahir di desa Bakor akan mendapatkan sebuah tanda kutukan di badannya. Tanda kutukan itu menyerupai mata bisul yang tidak kunjung pecah. Bisul itu akan tetap muncul walaupun telah diobati dengan berbagai ramuan mujarab.

Bahkan ada warga yang berani memotong pergelangan kakinya yang ditumbuhi bisul itu agar bisa kabur dari Desa. Bukannya berhasil, bisul itu malah berpindah ke punggungnya. Naas saat melewati batas luar hutan Tumpasan. Maka bisul itu segera saja menjalar ke sekujur tubuh kemudian pecah mengeluarkan darah yang tidak akan ada habisnya. Orang tersebut mati mengenaskan dengan punggung dipenuhi lubang menganga yang membusuk.

Warga desa pun pasrah, mereka kemudian terpaksa mengundi siapa yang akan menjadi tumbal berikutnya di bulan purnama yang kedua. Ritual berdarah ini menjadi kebiasaan mengerikan penduduk desa Bakor dari generasi ke generasi.

***

Waktu masih menunjukkan pukul tiga sore namun suasana hutan Tumpasan mulai gelap. Sinar matahari hanya mengintip dari celah ranting pepohonan yang tertutup lumut. 
Suasana hutan terlihat remang-remang. 

Seperti biasa suasana hutan sangat sunyi, tak ada suara uir-uir atau serangga lainnya. Namun di sebuah sudut semak belukar terlihat dua orang pemudi tengah berjongkok dekat batang kayu yang tumbang. 

Gadis pertama berbadan agak tambun, memiliki tahi lalat di bibirnya, berambut seleher dengan tangan berkacak pinggang, mengawasi gadis kedua yang tengah asyik memungut sesuatu. 

"Murni ayo cepat pulang, sudah mulai gelap" ajak si gadis berwajah tambun dengan nada was-was.

"Sebentar lagi Tarsih, jamur ini banyak sekali, hari ini aku mau makan sepuasnya" sahut Murni, Gadis kedua yang tengah berjongkok. 

Berbeda dengan Tarsih, Murni berparas rupawan, sebentar lagi dia akan tumbuh menjadi kembang desa Bakor.

Tangan gadis berusia enambelas tahun itu asyik memetiki jamur berwarna putih kecoklatan yang tumbuh di pokok kayu tersebut.

Brughh..

Suara keras benda terjatuh. 

Murni mengusap bahunya sendiri, ia merasa tulang pundaknya seperti dilolos dari tempatnya, begitu nyeri. Ia memberanikan untuk menengok kebelakang untuk melihat apa yang telah menahan pundaknya.

Semoga saja bukan hantu demit penunggu hutan Tumpasan!

Bukan

Murni terbengong. 

Ternyata di tanah sudah tergeletak sesosok pria memakai baju hitam dengan mantel jerami. Entah sudah berapa lama dipakai sehingga  jerami itu berwarna kehitaman pula. Begitu pula caping dari daun pandan kering yang besar menutupi bagian belakang punggungnya. Sudah menghitam karena bercak jamur bercampur lumut.

Tampak tadi ia separuh terbenam di akar pohon beringin itu, terlihat dari akar pohon yang sudah putus mengikat sekujur tubuh pemuda itu, entah bagaimana caranya.

"M-murni, siapa dia? apa dia setan?" tanya Tarsih sambil bergetar. Wajahnya yang tambun mengintip dari balik punggung sahabatnya.

Murni menggeleng, ia benar-benar tidak tahu. Tangan Murni terjulur ke rambut hitam sebahu sosok itu.

"Jangan!" sergah Tarsih.

Tapi Murni tetap melanjutkan, rasa penasaran membuatnya menyibak rambut itu perlahan.

Seorang pemuda, berkulit putih pucat berhidung mancung dengan mata terpejam. Sungguh kontras dengan rambut panjang yang sehitam jelaga. 

Murni tercekat, belum pernah ia melihat pemuda setampan itu di desanya. Hatinya mulai berdebar tidak karuan.

Siapakah dia? Darimana asalnya? 

Naluri Murni segera membuat ia menempelkan jemari ke depan hidung sang pemuda. 

Ahh

Ia tergelitik oleh napas si pemuda yang keras. Sedingin Es, tapi yang penting masih bernapas.

Sudah pasti bukan mayat atau hantu. Hantu tidak mungkin bernapas.

"M-manusia" lirih Murni.

Mata Tarsih membulat. Ia tak pernah bertemu orang asing selain warga desanya. Karena Desa Bakor sendiri dikelilingi oleh hutan Tumpasan.

Tidak pernah ada orang asing yang selamat begitu saja melewatinya. Hanya warga desa yang bertanda kutukan mampu keluar masuk hutan Tumpasan. Itupun hanya berlaku saat matahari belum terbenam. Jika matahari sudah berlalu, siapapun yang lewat hutan akan menjadi makanan penghuninya, para budak Nyi Gondo Mayit.

Sudah bertahun-tahun desa mereka belum pernah kedatangan tamu asing. 

Tarsih kebingungan, amat sangat beresiko bila membawa orang asing. Bisa saja ia adalah orang jahat. 

Kalaupun dia tidak berniat buruk, kemungkinan lain pasti memiliki hubungan khusus dengan penguasa hutan Tumpasan. Ia sama seperti warga desa, sama sekali tak mau berurusan dengan orang-orang itu.

"Tinggalkan saja Murni, hari sudah gelap kita akan dimarahi habis-habisan oleh bapak ibu" seru Tarsih sambil menggoyang pundak Murni.
Seumur hidup ia belum pernah makan jamur yang tumbuh di hutan. Kata orang jamur ini disebut jamur daging, rasanya sangat lezat seperti ayam. Untung ia mau ikut ajakan Tarsih mengumpulkan ranting kayu bakar di hutan dan menemukan setangkup jamur liar ini.

"Ayolah Murni sudah gelap, aku takut penghuni hutan akan keluar" sahut Tarsih mulai tidak sabar. Orang tuanya pasti sudah resah menunggu lama. Ia cuma pamit kepada mereka akan pergi sampai selepas siang, dan kini karena keasyikan, matahari sudah tergelincir dari tengah hari.

Tergesa ia menaikkan seikat terakhir kayu bakarnya ke atas bagal yang menguik gelisah.

Murni segera membersihkan tangannya yang belepotan tanah kemerahan. Jamur-jamur itu ia kumpulkan dalam kain jarit yang ada di punggung bagalnya. Lalu mereka berdua bergegas mulai menapaki jalan kecil yang hampir tertutup rerumputan. 

Hawa dingin menyergap, kabut mulai muncul dari sela pohon di kejauhan. Tarsih merasakan sedikit amis di ujung rongga mulutnya. Mukanya memucat. 

Dengan membisu Ia segera mempercepat langkah. Kabut itu pasti pertanda yang tidak baik.

Murni berusaha menyusul langkah sahabatnya itu, namun agak susah untuk berjalan diatas tanah yang berlumut.

Kroaaakkk

Sebuah benda hitam melayang, menyergap diatas kepala kedua pemudi itu. Karena kaget Murni jatuh terperosok sambil mendongak ke atas. Jantungnya hampir copot.

Bayangan hitam itu hinggap diatas ranting besar. Seekor burung gagak hitam legam, mengepakkan sayap yang hampir sepanjang lengan orang dewasa. Matanya yang kecil bercahaya merah menggidikkan hati Murni.

"Ampun kanjeng, k-kami cuma lewat" guman Tarsih sambil membantu Murni bangkit. Gadis malang itu tidak berani memandang ke atas lagi, berulang kali kalimat Tarsih ia lafalkan. Dalam hati ia kapok bukan main, jalan-jalan sembarangan ke hutan Tumpasan.

Namun gagak itu terus berkoak seakan memberi suatu pertanda.

Kedua orang itu setengah berlari, sampai mereka melihat bayangan gelap pohon beringin yang rimbun dengan akar menjuntai. 

Tarsih sedikit lega, seratus tombak lagi dari pohon itu adalah batas terluar hutan Tumpasan. Itu artinya mereka akan segera sampai di desa Bakor.

Melewati pohon yang seukuran lengan tiga orang dewasa itu mereka harus ekstra hati-hati, agar tidak terperosok dalam akarnya yang bergelung dan membentuk lubang-lubang besar. 

"Akkhh !"

Saat menyobak akar gantung beringin, Murni berteriak merasakan sesuatu yang dingin menangkap pundaknya. Tangan kirinya reflek menutup mulut. 

Gadis bermuka oval itu menoleh perlahan, ternyata dari balik sulur gantung beringin yang rimbun ada  tangan besar terjulur dan memegang erat pundak kanannya.

Tarsih menjerit dengan histeris melihat keadaan Murni.

Kawannya segera berusaha melepas diri dari cengkeraman tangan itu. Namun percuma, tangan itu seperti tang besi yang menekan kuat. 

"Sulit sekali Murni" Tarni kepayahan.

"A-aku tidak bisa maju, tolong tarik aku!" teriak Murni sambil mengiba.

Kedua gadis itu berusaha maju ke depan namun gagal. Pundak Murni seperti menyatu dengan tangan itu.  

Tarsih mengikat erat tangan Murni dengan tali kendali bagal, lalu menepuk keras bokong hewan itu agar maju.

"Hsshhh"

Sesaat bagal itu terkejut sambil melaju kedepan, membawa Murni yang ketakutan. Menarik apapun yang mencekalnya. 

Namun Murni tetap diam berpikir.

Gadis tambun itu mendengus kesal, tangannya menyelisik punggung tas mencari penerangan. 

"Ya sudah, aku mau pergi secepatnya dari tempat ini. Aku tak tahan lagi!"

Murni tercekat, benar saja keadaan sekeliling sudah gelap gulita, pulang malam-malam dari hutan terlarang, minimal ia akan ditampar bapaknya setibanya di rumah nanti.

Tapi ia tidak mungkin meninggalkan pemuda tadi, tampaknya ia dalam kondisi sekarat memerlukan pertolongan. Hati kecilnya melilit ingin menyelamatkan pemuda berambut hitam itu.

Ya, ia masih terkenang akan nasib adiknya bernama Raden Slamet. Adiknya yang malang, menjadi tumbal bagi keberlangsungan desa Bakor. Adiknya yang masih polos dan baru menginjak usia lima tahun harus diantar paksa oleh warga desa pada saat bulan purnama. 

Sepuluh tahun yang lalu ia pergi dalam kegelapan hutan Tumpasan dan wajah polos itu hingga kini tak pernah kembali.

Rasa bersalah terus menghantui hati Murni. 

Akhirnya dengan air mata berlinang, Murni putuskan membuang semua kayu bakar yang ia kumpulkan. Pemuda lemah tadi ia angkat ke atas punggung bagal dengan susah payah.

Mata Tarsih membelalak.

"Kamu sudah gila Murni!, semua jerih payah seharian sia-sia demi dia" teriak Tarsih mendapati kelakuan rekan satu desanya.

Murni tak peduli ia segera menarik bagal tersebut menjauh dari pusat hutan yang pekat. Ada jiwa yang harus diselamatkan, dan selagi ia mampu maka ia akan berusaha untuk menolong pikirnya. Perduli setan dengan kata orang desa nanti !

"Murni..."

"Sssh diam Tarsih, aku tetap mau menyelamatkan nyawa orang ini"

Tarsih tak mampu berbuat banyak, ia hafal dengan kelakuan sahabat karibnya itu. Sangat keras kepala jika sudah memutuskan sesuatu.

Diterangi lampu minyak yang redup tertiup angin, dua gadis dan seorang pria itu melanjutkan perjalanan. Mereka harus berhati-hati agar tidak terjungkal karena sudah gelap maka akar pepohonan di bawah kaki mereka hampir tidak terlihat. 

Waktu berjalan cukup lama, namun mereka masih belum sampai juga keluar hutan. Hati mereka mulai diliputi rasa keheranan. Seharusnya mereka berjalan sudah lebih dari seratus tombak, namun ujung hutan masih belum terlihat.

Lorong hutan bukannya melandai malah semakin sempit dan curam.

Tarsih mulai berkeringat dingin. 
Celaka, apakah mereka sudah terkena sihir hutan Tumpasan?

Atau jangan-jangan ini karena ulah pemuda misterius tadi. Ingin Tarsih menoleh ke belakang tapi urung. Ia terus berjalan dalam diam.

"Tarsih" sapa Murni dalam gelap

Pegangan tangaannya semakin erat. Tarsih menelan ludah.

"Ada yang aneh..."

Sama seperti kata hati Tarsih sendiri, ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk pulang. Namun ia belum seberani Murni untuk mengutarakannya.

Orang sepuh mengatakan apabila ada manusia yang disukai oleh hutan itu maka selamanya tidak akan bisa keluar. Sering ia dan para sesepuh desa menemukan tulang belulang manusia yang malang di beberapa sudut hutan. Artinya mereka telah dimangsa hutan itu hidup-hidup. Akankah ia dan Murni bernasib sama ?

Keadaan semakin gelap Tarsih dan Murni hanya bisa melihat beberapa meter kedepan, ranting hutan yang tajam entah mengapa menjadi semakin rapat. Baju mereka beberapa kali sobek tersabet. Beberapa sabetan bahkan menyisakan bilur berdarah di kulit gadis itu. Kaki mereka menjadi lebih sering terantuk akar pepohonan. Bahkan kaki bagal sampai terperosok dalam gulungan akar yang tebal.

Dari kejauhan mereka mendengar suara lolongan, seperti serigala namun lebih menyeramkan.

Tarsih hendak menangis, namun Murni memegang tangan sahabatnya itu agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

".....ssshh...." 

Terdengar suara desis yang membuat bulu roma Murni merinding. Suara itu berasal dari pemuda berbaju hitam yang dipanggul di punggung bagal miliknya.

"... Akar-akar mimang..." 

Lirih suara itu terdengar halus di telinga Murni. Namun setiap baitnya seperti mengandung kejutan listrik yang menggigit sekujur tubuh.

"...kabeh mati, kowe durung... ojo macem-macem..."

Langkah kedua gadis dan bagal itu terhenti saat ucapan pemuda itu berhenti pula. 

Hanya kesunyian yang melingkupi mereka, tak terdengar suara hewan maupun serangga lagi.

Sepi

Whusssshhhh

Tiba-tiba angin berhembus kencang dari sela pepohonan. Mendadak bumi seperti bergetar. Murni merasakan pijakannya seketika ringan, badannya seperti melayang. 

Ia seperti jatuh dalam lubang gelap yang tidak ada ujungnya.

Napas semakin sesak, dunia seperti berputar.

Tiba-tiba terdengar suara burung.

Diikuti dengan setitik cahaya yang semakin terang benderang, menyilaukan matanya.

Ia lantas menutup mukanya dan ketika Murni membuka mata kembali dan dia terkejut bukan kepalang.

Tahu-tahu mereka sudah ada di tepi hutan Tumpasan, tergeletak di sebuah padang rumput.

Matahari masih menggantung bersemu merah di langit. Belum gelap sama sekali seperti di dalam hutan.

Kedua gadis itu segera melihat ke arah punggung bagal. Masih ada ikatan kayu bakar terikat disana. Tak ada lagi sosok pemuda berbaju hitam tadi.

Apakah tadi itu mimpi?

Kedua gadis  terduduk lemas, mereka berdua lekat saling berpandangan.

BERSAMBUNG

"...kabeh mati, kowe durung... ojo macem-macem..." (Semua mati, kamu belum, jangan macam-macam.)
close