Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 4) - Pertarungan di Hutan Terlarang


Matahari sudah lama tenggelam, hanya sinar bulan yang lembut berusaha menerobos  lebat hutan Tumpasan.

Beberapa jenis jamur yang menempel di pepohonan nampak bercahaya dalam gelap. Menjadikan lampu penerangan alami dalam hutan.

Dua sosok bayangan berloncatan dari satu cabang pohon ke cabang lain dengan kecepatan tinggi. Seperti dikejar sesuatu.

Ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna membuat mereka  seperti burung Walet yang terbang saling menyusul.

Ketika melewati sorotan cahaya bulan terlihat kedua sosok itu adalah wanita cantik berbaju biru dan kuning dengan usia duapuluhan. Napas mereka terengah karena sudah berjalan jauh.

"Kiiiiik kiik kik, mau kemana Cah Ayu?"

Tiba-tiba terdengar suara seram menggidikkan dari kegelapan hutan.

Dari arah punggung kedua gadis itu mendadak terang benderang.

Muncul dua, tiga bola api seukuran kepala manusia yang terbang mengikuti sang gadis dengan kecepatan yang sama.

"Cepat Candini, kita sudah ketahuan!" sahut gadis berbaju biru.

"Aku tahu Candika, Hiaah" balas Candini sambil memacu tenaga dalamnya.

Kedua gadis itu melenting bagai panah lepas dari busurnya. Mereka bergerak seperti kelebatan cahaya lagi menghindari bola api tersebut.

"Cah Ayu tunggu, aku mau nyawamu!" seru makhluk seram itu.

Ternyata bola api yang bisa berbicara itu adalah iblis yang berbentuk kepala dengan api menyala-nyala. Mulutnya yang bertaring  setajam silet terus menyemburkan  lidah api yang panas. 

Blaasshhh...

Ranting pepohonan segera diselimuti lidah api yang panas membara, meninggalkan jejak memanjang di hutan itu seperti ular berapi.

"Enyahlah iblis Kemamang!" Candika berbalik cepat.

Dengan mengibaskan tangannya, tiga larik cahaya perak segera menyambut bola api itu.

Desshh...

Cahaya yang berasal dari pisau kecil itu menyasar tempat kosong, bola bola api itu bergerak terlalu gesit. Gadis itu berdecak kesal telah membuang senjata rahasianya.

"Kiik kiiik kiiiik, percuma Cah Ayu" teriak iblis itu, wajahnya yang meleleh sungguh mengerikan.

Mulut iblis itu kembali memuntahkan lahar panas, mengarah ke arah lengan kanan si Gadis berbaju biru.

Segera saja wanita itu jungkir balik, tubuhnya melayang sejauh tiga tombak lebih jauh, namun tak ayal bahunya tersengat juga.

Aroma terbakar segera tercium. Baju si gadis sedikit berasap. 

Gadis itu memegang bahunya yang tersengat. Untung hanya terkena lapisan baju, belum mengenai kulitnya yang putih. Namun hawa panasnya sudah terasa menggigit.

"Celaka" seru Candini sambil mendarat di sebuah cabang pohon Banyan. 

"Ada apa, kenapa berhenti?" tanya Candika.

Gadis itu hanya diam sambil memandang lurus ke depan. 

Di depan ternyata sudah menghadang empat bola api lain, rupanya mereka sudah terkepung kawanan iblis Kemamang. 

Segera saja tujuh bola api itu mengelilingi para gadis dan berputar cepat membentuk lingkaran api.


Hutan semakin menyala benderang. Hawa panas merangsek dari segala penjuru. Kedua gadis itu semakin erat menempelkan kedua punggung saling menjaga kedua sisi. Keringat mereka jatuh bercucuran.
Candini berbisik. "Kita tidak dapat bertarung jarak dekat Mbakyu, tubuh mereka terlalu panas!"

Kakanya mengangguk setuju, satu satunya cara adalah menggunakan serangan jarak jauh. Tapi para iblis ini terlalu lincah karena bisa terbang.

"Nah mau kemana lagi Cah Ayu? lebih baik relakan saja tubuh molekmu menjadi santapan kami" ancam Iblis Kemamang kegirangan.

Netra iblis yang merah mendelik seperti hendak keluar dari rongga mata.

Kedua gadis menjadi semakin terpojok. Napas mulai terasa sulit karena menahan panas.

"Candini kita harus mengeluarkan ilmu pamungkas kita, atau kita bakal mampus terpanggang" ujar Candika.

Gadis berbaju kuning itu terperanjat, "Tapi, kalau kita keluarkan, kita bisa kehabisan tenaga dalam Mbakyu, bagaimana kalau ada iblis yang lain..."

"Tidak ada waktu!" bentak Candika.

Gadis berbaju kuning itu akhirnya mengangguk setuju.

Kedua gadis itu lantas mengurai rambutnya yang panjang dan menghitam.

Para Iblis terkesiap melihat kemolekan dua gadis itu, gerakan berputar mereka mulai melambat karena tergiur.

Tangan kedua gadis itu membentang, jemari Candika mengunci telapak tangan Candini yang terbuka dari belakang. Mereka menghisap udara sekuat-kuatnya, dari bagian pusar mereka membangkitkan tenaga dalam yang masih tersisa. Dengan sekuat tenaga mereka menyalurkan prana ke telapak kaki dan menjejak cabang pohon, menimbulkan tenaga dorong maha kuat.

Kedua gadis itu melenting jauh laksana busur ke atas pucuk pepohonan dan berjungkir balik, disana mereka berputar layaknya gasing. Dengan kepala menghadap ke bawah.

Wutt wuutt...

Terdengar suara desiran angin menghantam keras dari atas.

"Mau kabur Cah Ayu ?!" jerit para iblis.

Mereka segera melayang keatas untuk menyusul para gadis namun mereka malah menyongsong bayangan gelap.

Suara keras itu ternyata berasal dari  rambut para gadis yang berputar, mengembang laksana jaring laba-laba hitam. Dari sela rambut panjang itu keluar jarum berwarna hitam.

Ribuan Jarum hitam menerobos luruh laksana air bah turun dari langit. Tiada tempat menghindar seincipun, semua kulit pepohonan tertancap jarum tajam.

Raungan kesakitan para iblis terdengar  melengking. Iblis itu rontok satu persatu ke tanah, api yang berkobar langsung padam. Jasad mereka  yang mati tertusuk berubah menjadi abu diantara dedaunan yang membusuk.

"Bangsat, gadis ini punya simpanan jurus Rinai Hujan Menyapu Bumi!" seru seorang iblis.

"Tobat!" seru mereka berusaha melarikan diri.

Namun percuma, semakin mereka lari maka semakin banyak jarum yang menancap. Kini mereka hampir menyerupai landak yang sedang sekarat. Semua jatuh bergelimpangan ditanah dan hancur menjadi abu.

Kedua gadis itu perlahan turun kembali ke pucuk pohon Pinus. Tangan mereka saling menopang karena tenaga mereka terkuras habis. Setelah yakin tidak ada iblis yang hidup, kakak beradik itu turun ke tanah dengan berhati-hati.

"Berhasil mbakyu" seru Candini bernapas lega.

"Semoga tidak ada lagi yang lain, ayo kita harus segera pergi dari tempat ini dan melapor pada panglima" seru Candika.

Dengan tertatih-tatih mereka bergerak menjauhi lokasi pertarungan untuk menghindari perjumpaan dengan para Iblis penunggu hutan. Sayang kali ini langkah mereka terhenti kembali.

Telinga Candika yang tajam mendengar langkah kaki seseorang.

Jarak sepuluh tombak ke depan mereka melihat sesosok hitam  perlahan menuju ke arah mereka. Sosok itu berjalan dengan aneh, seperti pincang.

Muka Candini pucat pasi dan kakinya juga sudah lemas, "Mbakyu, bagaimana ini? kita sudah kehabisan tenaga, mau lari juga tidak bisa." 

Candika menelan ludah, dibawah cahaya bulan, sosok itu terlihat misterius. Berbaju serba hitam dan bercaping lebar. Tidak seperti iblis lain yang langsung menyerang, musuh kali ini terlihat santai dan memperlihatkan sikap yang tidak mengancam.

Mungkinkah ilmu sosok tadi cukup tinggi sehingga ia cukup mengayunkan tangan dan mereka mampus seketika? Tetapi melihat dari jalannya yang pincang, apakah dia sudah terluka sebelumnya? Jika terluka, mungkin ini kesempatan bagi mereka berdua untuk mengenyahkan iblis itu.

Akhirnya setelah sepersekian detik Candika sudah memutuskan.

"Aku tahu..., jika iblis itu berilmu tinggi maka kali ini kita tidak akan bisa lolos lagi dari kematian. Ambil pisaumu, kita siapkan serangan terakhir untuk mengadu jiwa" balas Candika dengan perlahan. 

"Baik Mbakyu, incar bagian bawahnya, sedang aku akan menerkam bagian atas bersamaan" lirih Candini. Tangan kirinya menggenggam pisau panjang yang terselip di punggung.

Kini jarak keduanya hanya sekitar satu tombak, tanpa menunggu lebih lama kedua gadis itu melompat dan menyerang.

"Hiaaatttt"

Candika merangsek bagian bawah, pisau perak menebas dua kali ke arah tulang kering. Sementara Candini menghujamkan tiga tusukan pisau ke arah leher manusia misterius itu.

Serangan itu dilakukan secepat kilat yang bahkan mata tidak bisa mengikuti.

Namun entah bagaimana caranya bayangan itu tiba tiba sudah ada dibelakang memunggungi mereka, otomatis keduanya hanya menerjang angin dan tersungkur memakan dedaunan yang rontok ditanah.

Brugh...

Pengalaman membuat mereka segera bangkit dan menerjang kembali menusuk punggung sosok itu.

Kali ini sosok itu mengibaskan jubah hitamnya yang lebar, telapaknya terarah ke kedua gadis itu memberikan angin kencang tiada dua. Sontak Candika dan Candini terbang mundur seperti kapas ditiup anak bocah.

"Celaka, mbakyu siluman ini sangat sakti" seru Candini.

Belum sempat Candika menjawab tiba tiba serangkum angin kencang berputar dari atas kepala mereka.

"Awas!" teriak Candika seraya menarik adiknya.

Bummm!!

Kepulan debu dan pasir berterbangan, tanah tempat sosok misterius berdiri dan sekitarnya telah menjadi lubang besar. Sebuah gada besi sebesar pangkal pohon besar telah melubanginya.

Kreekkk...

Terdengar suara pohon cemara yang patah didorong oleh sebuah tangan raksasa berwarna hijau. Mata Candini hampir keluar melihat sosok setinggi pohon melangkahi cemara yang tumbang tersebut. Bumi berdebum di setiap langkah.

Sosok itu berkulit hijau dan bertanduk hitam. Matanya buta yang kiri sedangkan yang kanan nampak menyembul selebar tampah untuk menampi beras. Gigi taring mencuat dari bibirnya yang dower, sungguh tidak sedap dilihat.

"Si-siluman Raksasa Buta Ijo" sahut Candika dengan mulut bergetar tidak mampu menutupi rasa terkejutnya.

Baru sekali ini ia bertemu berhadapan langsung dengan raksasa itu. Tidak ada pendekar yang pernah hidup untuk menceritakan kisahnya. Dan kini raksasa itu akan melumat mereka hidup-hidup.

Terdengar tawa yang berat dan menusuk telinga saking kencangnya.

"Hehehe jadi ini tikus kecil yang berani masuk ke kawasan kanjeng Ratu Gondo Mayit, kebetulan aku sedang lapar ingin camilan, biar kuhajar sampai lumat" ancam Raksasa itu sambil mengangkat gada.

Raksasa itu mengayun gada itu diatas kepala, anginya begitu kencang menghempas kedua gadis ke batu dibelakangnya.

"La-lari Candini, biar aku mengalihkan perhatian raksasa itu" sahut gadis berbaju biru.

"Tidak Mbakyu! aku tidak akan meninggalkanmu, kita mati sama-sama!" jerit adiknya mengiba. Ia juga sudah kehabisan tenaga untuk lari, kemanapun pergi pasti akan terkena jangkauan gada sebesar itu.

Whussss...

Candika dan Candini menutup mata mereka saat ajal menjelang. Gada itu dengan cepat menghujam kembali ke bumi.

Tiba-tiba bayangan hitam berkelebat, diiringi erangan kesakitan raksasa. Sontak arah serangan Buta Ijo itu melenceng ke arah pohon pinus di sebelah kedua gadis.

Pohon tersebut hancur berkeping dihantam suatu benda yang besar. Angin serangan yang kuat membuat sepihan kayu kemana-mana.

Kedua gadis itu terhempas kembali ke tanah. Untunglah tenaga dalam mereka masih tersisa untuk melindungi tubuh. Namun Candika mengerang kesakitan.

"Ah kakiku terkena kayu... sakit" teriak Candika.

Candini melihat kaki Candika yang berlumur darah, ujung serpihan kayu setelapak tangan rupanya telah menancap di betis. Dengan sigap ia mencabut serpihan itu dan merobek selendang kuningnya sebagai pembalut luka.

"Oh tidak kakimu berdarah... Mbakyu tahan kan, kita masih hidup" seru Candini, ia merasa mendapatkan suatu keajaiban.

Mata Candika terasa berair karena kelilipan serbuk kayu, tapi sekilas dalam keburaman ia melihat bayangan hitam di hadapan Raksasa buta Ijo yang tangannya telah tersayat lebar.

"Jahanam, siapa kau, berani melawanku" tanya Raksasa itu sambil meringis kesakitan memegangi tangan kanan yang mengalirkan darah hitam. 

Dihadapannya telah berdiri sesosok pria, capingnya telah berpindah ke punggung. Nampak rambutnya yang hitam panjang terurai dihembus angin. Wajahnya yang dingin seperti pualam ditimpa bulan purnama. Ditangannya memegang pedang panjang dengan gagang berwarna merah. Mata pedang itu bersinar kemerahan menggidikkan.

"Aku Larantuka, mau mencabut nyawamu" seru pria itu dingin tanpa ekspresi.

Sontak Raksasa itu kaget, "jadi kau si pembasmi iblis yang terkenal itu? yang  sudah membantai ratusan bangsaku? baiklah hari ini akan kucabik-cabik badanmu. Kujadikan kepalamu sebagai kalung azimatku hahaha" pongah Buta Ijo itu memukul dadanya.

Gada raksasa itu segera ia sambarkan kembali kali ini dipegang dengan tangan kiri. Ia sambarkan gada itu ke depan. Gagal karena Larantuka lebih cepat. Pria itu  menutul daun yang berterbangan dengan ringan. Dan melayang ke samping kanan raksasa. Dua tebasan secepat kilat dilancarkan.

"Menapak Awan!" teriak Candini.
Ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang biasa dimiliki  pendekar tingkat pertapa ternyata dipakai sosok misterius itu.

Crassshhh...

Kali ini tebasan Larantuka meminta tumbal lengan kanan Raksasa buto Ijo. Lengan kanan itu putus sampai ketulang dan jatuh berdebum di tanah. Darah hitam menyembur ke segala arah.

"Arrgghhh!!! Bangsatt, aku mau mengadu jiwa denganmu" Raksasa itu berteriak kalap.

Sempoyongan ia berdiri, dengan lengan kiri tersisa ia ayunkan Gada besi kesegala arah, Kekuatannya meningkat ratusan kali memporak-porandakan semua yang  berdiri menjulang.

Pohon, batu, pasir semua ia hantam namun Larantuka mengambang seperti debu yang terbang tak bisa ditangkap. Ia dengan gesit dan lincah menyelinap diantara sergapan gada.

"Akkkh..."

Terdengar jeritan kedua gadis yang semakin  terdorong hempasan angin pertarungan. Membuat mereka berdua jatuh pingsan terkena batuan yang terbang. Hal ini menyadarkan Larantuka kedua gadis itu dalam keadaan berbahaya, ia harus segera menyelesaikan pertarungan secepat mungkin.

Ilmu Menapak Awan kembali ia kerahkan, dengan  menumpu ujung gada yang bergerak berputar Larantuka melayang dua tombak ke atas. Pedang itu ia sarungkan kembali ke dalam warangkanya yang ternyata adalah ikat pinggang merah

Tangan kanan ia luruskan ke atas - halilintar tiba tiba menyambar sekali di langit. Larantuka seperti melayang diatas angin untuk sesaat.

"yang MahaKuasa berikan aku kekuatanmu! Pukulan Angin Langit Halilintar!" seru Larantuka.

Raksasa itu kaget ketika Pembasmi Iblis itu menukik secepat busur panah dengan menyarangkan telapak bercahaya putih kebiruan. Sebuah seranganmematikan dari atas!

Reflek ia melindungi kepalanya dengan gada besi raksasa.

Yang terjadi selanjutnya sungguh diluar dugaan. Ternyata tangan sekecil itu memiliki kekuatan ribuan kali. Tak ayal Gada sebesar itu penyok ditengah langsung menghantam kepala Buta Ijo. 

Blammm...

Terdengar suara ledakan besar. Kepala raksasa itu hancur berkeping-keping dihantam pukulan Larantuka. Otak dan bola matanya terpencar ke segala arah. Iblis Buto Ijo itu langsung mati berdiri seketika.

Pria itu mendarat dengan enteng ke sebelah kedua gadis tadi, mereka masih belum siuman.

Larantuka kemudian menggembol kedua wanita itu kanan-kiri. Kemudian dengan enteng dia berkari menggunakan jurus meringankan tubuh  menyusuri kedalaman hutan.

***

Matahari mulai terbit dibalik gunung. Lamat-lamat Candini mulai sadar saat angin pagi berhembus menerpa wajahnya. Saat membuka mata ia seperti terbang diatas cabang pepohonan. Ia ternyata ada dalam dekapan pria misterius itu. Saudarinya masih terpejam di tangan sebelah kanan Larantuka.

Ia syok melihat bagaimana raksasa itu kalah telak dihantam pemuda kecil yang cacat. Pasti ilmunya sangat tinggi. raksasa saja bisa hancur apalagi kalau lawannya manusia.

"J-jangan sakiti kami" pinta Candini sambil melihat wajah Larantuka.

Pria itu menggeleng.

"Jangan khawatir, aku bukan musuh. Sekarang diamlah" seru Pemuda itu sambil mempererat dekapan ke Candika dan Candini. Tangannya meraba perut kedua wanita cantik itu.

Dekapan itu membuat Candika mendusin.

"Mau apa kau? jangan seenaknya" bentak Candika seketika, tapi ia tak bisa melawan kali ini. Ia terluka dan terlalu lemah. Jika dalam keadaan biasa sudah pasti lelaki yang berani meraba tubuh ia gampar habis-habisan.

Nyatanya Larantuka malah mengalirkan tenaga dalamnya kepada kedua wanita itu. Mereka merasakan ada hawa yang terasa hangat mengalir masuk ke dalam pusar. Energi itu memberi kesegaran dan mengurangi rasa sakit yang ada di sekujur tubuh Candika dan Candini.

Sadar mereka justru ditolong keduanya lantas senyap.

Tapp...

Larantuka hinggap di sebuah tanah lapang. Ia menurunkan kedua wanita itu ditanah, berdua mereka segera mengatur napas.

"Kurasa kita bisa berhenti disini" sahut Larantuka.

"Kenapa? apa kita sudah aman dari para iblis?" tanya Candini.

"Sebentar lagi teman-temanmu akan tiba, kalian akan lebih aman"

Hal ini membuat kedua gadis itu keheranan karena mereka tidak mendengar suatu apapun, bagaimana bisa pemuda itu tahu? Bahwa sebenarnya mereka adalah grup pengintai yang ditugaskan sebagai mata-mata. Dan dibelakang mereka adalah pasukan dari kerajaan Kalingga yang hendak menuju Desa Bakor. Apakah indra pendengaran pria ini begitu tajam layaknya dewa?

"Te-terimakasih atas bantuan Kisanak. Harap Kisanak undur diri" perintah Candika tanpa basa basi matanya berusaha menghindari tatapan Larantuka yang membius.

Candini segera memegang selendang kakaknya.

"Kakak, jangan terlalu kasar. Biarlah pemuda ini menemani kita sebentar. Jasanya sudah begitu banyak pada kita. Mungkin kita bisa meminta sebuah kedudukan pada panglima sebagai balas jasa" ujar Candini.

Candika melotot pada adiknya, "jangan mimpi"

Gadis berbaju kuning itu menunduk dalam, ia merasa serba salah dan tidak enak karena kakaknya sudah bersikap keras kepada sang penyelamat. Memang dari dulu Candika terkenal berwatak keras dan kaku.

"Setidaknya biarlah guru kami menyampaikan permintaan terimakasih. Tuan penolong jangan buru-buru pergi" pinta Candini tak perduli larangan kakaknya.

Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang semakin dekat. 

Wajah kedua wanita tadi tampak berseri.

"Kau sangat beruntung akan bertemu dengan guru kami. Panglima Jagadnata, dia adalah pendekar mahasakti dari kerajaan Kalingga. Dia membawahi satu batalyon tempur terkuat kerajaan Kalingga." ujar Candini girang. Ia lantas menoleh pada kaki Larantuka yang tampak tinggi sebelah.
"Sayang pasukan kami hanya menerima prajurit yang tidak cacat fisik. Tapi bila ilmumu cukup tinggi, mungkin Panglima akan memberi pengecualian"

"Diam, jangan membocorkan hal yang tidak perlu. bisa jadi dia itu musuh kita yang berpura-pura" bisik Candika kesal kepada adiknya.

Wanita berbaju kuning itu segera menutup mulutnya. Tidak biasanya ia berbicara banyak, mungkin karena pria penolongnya itu begitu tampan.

Benar saja sepasukan manusia menerobos rumput lebat memasuki tanah lapang itu. Diikuti dengan ratusan pengendara kuda. Mereka tampak membawa  panji-panji berwarna putih dengan lambang segitiga terbalik dan matahari diatasnya dengan tulisan Kalingga.

Pasukan itu membelah dua dan dari dalam pasukan berkuda itu muncul dua orang berkuda dengan pakaian ksatria dengan tiara emas di dahi, satu orang berpakaian putih dan yang lain berpakaian biru muda.

Pria berpakaian putih itu berperawakan tinggi besar dan gempal nampak janggal diatas kuda berwarna putih yang terlihat kecil. Larantuka tertarik dengan bagaimana kuda itu tampak tidak terlalu berat membawa orang besar. Menandakan tenaga dalamnya tak terukur.

Sementara orang dibelakangnya memakai baju biru dengan tiara berwarna perak. Menggembol kotak berwarna hitam di belakang punggungnya, nampak seperti kotak senjata.

Larantuka merasakan aura hangat memancar dari kotak tersebut.

"Sembah hormat dari kami kepada Panglima Jagadnata, adipati Menggala" sahut kedua wanita tadi sambil menunduk meletakkan tangan diatas dada.

Lelaki besar tadi berdehem, dengan memegang kumisnya yang tebal. "kenapa kalian seperti ini? Apakah kalian dihajar habis-habisan oleh orang ini?"

Kedua gadis itu lantas menceritakan pertemuan mereka dengan Larantuka. Sang panglima mendegarkan dengan mata mengangguk-angguk. Saat ia memeriksa pria berbaju hitam itu matanya tertumbuk pada satu benda berwarna merah di pinggang.

"Iblis!" seru Jagadnata melempar tangannya.

Serangkum angin panas riuh menderu mengincar dada Larantuka.

BERSAMBUNG
close