Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERITAN LEMBAH KERAMAT (Part 4) - Warisan

Sebuah kobaran api panas menyala di tengah-tengah ruangan yang sudah lama tidak pernah kumasuki. Satu tempayan besar yang berisi air sudah siap di sebelah api dengan tujuh rupa kembang yang kutaburkan di permukaanya.

Beberapa kali ku pukulkan keris yang telah kubakar hingga menyala berwarna merah dengan sebuah palu besar peninggalan keluargaku.

“Keris itu sudah kehilangan kekuatanya... apa lagi yang kau harapkan?”


JEJAKMISTERI - Sebuah suara muncul bersamaan dengan hadirnya roh seseorang yang tubuhnya masih terjebak di Lembah keramat.

“Bimo... Leluhurku dulu adalah mpu pembuat pusaka yang terkenal di kerajaan tempatnya mengabdi...”

Ucapku sambil berkali-kali memandang bilah keris yang kutempa dan kembali memukulnya.

“Anggaplah ini adalah caraku menebus dosa kepada leluhurku karena telah meninggalkan ilmu yang mereka turunkan kepadaku.”

Mendengar ucapanku, Roh Bimo mendekatiku dan memperhatikan lebih dekat kerisnya yang sedang kutempa.

“Teknik yang luar biasa.. aku bisa melihat simpul aliran tenaga yang kau masukan di setiap pukulanmu” Ucapnya.

Berkali-kali aku menghantamkan pukulan ke keris itu dengan keras, tidak peduli seberapa banyak keringat yang terjatuh aku harus tetap menyelesaikan keris ini.

“walaupun wujud keris itu bisa kembali seperti semula, apa mbah bisa menarik kesaktianya lagi?“ Tanya Bimo yang masih penasaran.

“Tidak... sisi terang Keris Sukmageni ini akan mampu meneruskan kesaktianya dengan darah mereka yang terpilih, dan ketajaman sisi gelapnya akan melindungi mereka dari darah yang terkutuk...” Ucapku yang berusaha meyakinkanya.

Sebuah senyuman muncul di wajah Roh Bimo, diapun segera menjauh seolah mulai percaya dengan apa yang kulakukan.

“Baiklah... kupercayakan pusaka leluhurku ini padamu, Namun pasti Mbah Jiwo juga sudah tau.. untuk membuat satu bilah lagi, tidak cukup dengan bahan biasa...”

Tepat setelah Roh Bimo berhenti berbicara, suara benda besar terdengar jatuh dari langit menghantam tanah tepat di pekarangan rumahku.

Aku segera meletakan pekerjaanku, membersihkan tanganku dan segera keluar mengambil benda yang sengaja kupanggil dari tempat yang jauh untuk menyempurnakan Keris Sukmageni.

Sebuah pusaka milik seseorang yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk menolong orang lain tanpa ragu sedikitpun. Bahkan untuk orang yang sama sekali tidak ada hubungan denganya.

“Tunggulah... Sebelum orang-orang yang kau maksud itu datang, Keris Sakti Sukmageni ini akan selesai sepenuhnya untuk membantu kalian melewati rintangan ini..
Ini adalah janji dariku
Ki jiwo Setro…. “

***

Setelah mendiskusikan beberapa kali, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke desa tempat ibu berasal. Sepertinya Ismi juga memiliki alasan tersendiri untuk membantu menyelesaikan permasalahan kami.

Beberapa kali kami berganti bus antar kota untuk mencapai tujuan kami. Saat langit mulai gelap, sebuah mobil angkutan umum menurunkan kami tepat di depan gerbang sebuah desa.

“Kampung ibu di sini mas?” Tanya Rumi padaku.

“Bukan... dari sini kita masih harus berjalan cukup jauh ke arah lembah. Tapi sebaiknya malam ini kita menginap dulu di desa ini” Jawabku.

Seingatku untuk mencapai desa ibu, kami harus melewati desa ini terlebih dahulu dan melewati hutan-hutan yang menghubungkan kedua desa. Namun karena sudah malam, mungkin kami akan meminta ijin kepala desa untuk menumpang menginap di balai desa, rumah singgah, atau tempat apa saja yang bisa membuat kami beristirahat menunggu pagi.

“Ya sudah... mas coba cari tau tempat kepala desanya dulu ya..” Ucapku.

***

“Ga usah Mas Dimas.. sudah ada yang menyambut kita” Ucap Ismi tiba-tiba.

Dari jalan desa, terlihat seorang Pria yang terlihat sudah cukup tua menghampiri kami dari gelapnya malam.

***

“Saya sudah menunggu kalian” Ucap orang itu.

Aku dan Rumi merasa bingung. Kami tidak pernah merasa meminta siapapun menjemput kami di desa ini, namun mengapa orang ini bisa mengetahui kedatangan kami.
Ditengah kebingungan kami, tiba-tiba Ismi mendahului kami dan mengikuti orang itu.

“Ismi! Kamu kenal bapak itu?” Tanyaku padanya. Ismi menggeleng..

“Nggak, tapi bapak itu bukan orang jahat..” Ucap Ismi pada kami.
Mendengar ucapan Ismi kami mencoba menahan kecurigaan kami dan mengikuti orang itu.

“Nama saya Jiwo.. kalian boleh memanggil saya Mbah Jiwo” Ucapnya memperkenalkan diri kepada kami.

Mendengar ucapanya, kami segera memperkenalkan diri kami masing-masing. Sebuah perkenalan yang singkat, tapi sepertinya Mbah Jiwo merasakan sesuatu dari Rumi.

“Mbah...“ Ucap ismi yang mungkin ingin membuka pembicaraan selama perjalanan.

“Sudah.. bicaranya nanti saja setelah di rumah” Potong Mbah Jiwo yang terus berdiam diri hingga kami sampai di sebuah rumah kayu yang cukup besar dengan halaman kebun yang cukup luas.

Kami mengikuti mbah jiwo menuju ke dalam rumah, namun tidak dengan Ismi. Ia yang pertama percaya dengan mbah jiwo kini terhenti di depan rumahnya dengan wajah yang pucat.

“Kenapa Ismi...” Tanyaku yang khawatir padanya.

Ia hanya menggeleng dengan wajahnya yang ketakutan dan tetap tidak berani masuk ke rumah mbah Jiwo.
Mbah Jiwo yang melihatnya segera menghampirinya.

“Rupanya kamu juga punya kemampuan... jangan khawatir, nanti akan kujelaskan siapa mereka” Ucap mbah jiwo yang berjalan mendampingi Ismi yang ketakutan.

“Ismi, bukanya kamu sudah biasa melihat hantu? Memangnya apa yang bisa bikin kamu takut begini?” Tanya Rumi yang penasaran.

“Kalau hantu atau roh penasaran aku sudah biasa... tapi yang ada di halaman rumah ini...
Ah sudahlah.. biar mbah jiwo sendiri yang menjelaskan..” Ucapnya yang masih mengambang.

***

“Ini di minum dulu... kalian pasti capek kan?” Ucap Mbah Jiwo sambil mengantarkan beberapa gelas teh hangat untuk kami.

Dengan segera kami menghabiskan minuman pemberianya dan bersiap mendengar penjelasan atas semua ini.

“Sebelum saya menjelaskan tentang yang ada di halaman rumah saya, sepertinya saya harus menjelaskan mengapa saya mengajak kalian ke sini” Ucap Mbah Jiwo sambil meletakan sebuah keris ke atas meja.

Aku mengenal keris ini. Ini adalah keris yang sama dengan yang kulihat di rumah Pak Karyo. Sebuah keris pusaka milik Paklek Bimo.

“Mbah.. ini punya Paklek Bimo kan?” Tanyaku.
Ia mengangguk.

“Paklek Bimo? Jangan-jangan dia Roh yang berbicara kepada saya dan menuntun kami ke tempat ini?” Tanya Ismi pada Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo mengangguk sekali lagi.

Rupanya ini alasan mengapa Ismi mantap mengantar kami ke tempat ini.

Dengan kemampuanya untuk melihat roh mungkin saja paklek berusaha menggunakan kemampuan Ismi itu untuk membantu kami.

Aku mulai mengerti, namun bersamaan dengan itu aku menyadari sesuatu.

“Mbah.. apa terjadi sesuatu dengan Paklek? Apa Paklek dalam bahaya?” Ucapku yang mulai panik.

Mendengar ucapanku Rumi juga mulai sadar, ketika Paklek menyampaikan pesan dengan cara seperti ini, mungkin terjadi sesuatu yang gawat yang menimpa Paklek.

“Sudah.. kalian tenang dulu, Paklek masih hidup.. dan benar apa kata kalian saat ini ia sedang dalam bahaya” Ucap Mbah Jiwo.

“M.. maksud Mbah Jiwo apa? Berarti kita harus segera menolong Paklek!” ucapku dengan nada yang cukup keras.

Tidak mungkin kami membiarkan Paklek celaka setelah mencoba membantu kami.

***

Mbah Jiwo terlihat menghela nafasnya dan mencoba menenangkan diri.

“Bimo lah yang telah memberitahukan soal kedatangan kalian ke sini.. namun tak kusangka, yang datang hanya bocah-bocah seperti kalian...” Ucap mbah jiwo.

“M.. maksud mbah apa?” Tanya Rumi yang penasaran.

Tak mau kami salah paham, mbah jiwo segera menceritakan saat kedatangan Paklek ke desa ini. Ia berusaha menyelidiki tentang kutukan yang menimpa kami. Di sinilah Paklek kenal dengan Mbah Jiwo.

Paklek menemukan banyak kejadian aneh di desa ini hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lembah untuk mencari pemandian seperti pada mimpi yang kuceritakan pada Paklek. Sayangnya itu seperti sebuah jebakan.

Makhluk halus berwujud wanita cantik dengan pakaian kraton mengirimkan ratusan ular anak buahnya untuk menyerang Paklek hingga Paklek terpaksa bermeditasi untuk melindungi diri dan tidak dapat meninggalkan hutan itu.

Namun sebelumnya Paklek sempat menitipkan keris miliknya pada Mbah Jiwo dan menunggu kami.

“Berarti.. sekarang Paklek masih terjebak di lembah itu?” Ucapku memastikan.
Mbah Jiwo mengangguk.

“Sekarang kutanya kalian.. setelah mendengar kondisi Bimo dan yang terdapat di lembah itu, apa rencana kalian?” Ucap Mbah Jiwo.

Kami berfikir sejenak. Benar ucapanya... tidak ada satupun dari kami atau bahkan kami bertiga sekaligus yang memiliki kemampuan untuk menolong paklek atau menghadapi sesuatu yang ada di Lembah itu.

“Ka.. kami tidak tahu mbah, kami ke sini juga karena menerima serangan dari makhluk-makhluk halus dan tak menyangka kalau ternyata yang ada di sini lebih mengerikan” Ucap Rumi yang mulai merasa sedih melihat apa yang harus kami hadapi.

***

Kami termenung, setelah sampai ke tempat yang kami tuju ternyata kami tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini cukup membuat kami kecewa.

“Tiga hari...” tiba-tiba Mbah Jiwo mulai berbicara.

“Saya akan mengajari kalian beberapa ilmu untuk kalian... setelah itu kita akan mengembalikan keris ini kepada Bimo”

“Maksudnya.. Mbah Jiwo ingin mengajarkan kami ilmu batin?” Ucapku.

“Tidak ada ilmu yang bisa didapat dalam waktu singkat, namun saya akan mencoba mengajarkan kalian untuk melindungi diri agar tidak mati sebelum bertemu Bimo” Ucapnya.

Saat ini tidak ada pilihan lain, hanya ini satu-satunya cara untuk kami menyelamatkan Paklek dan menyelesaikan semua permasalahan kami. Kami menyetujui tawaranya dan bersiap mendengarkan perkataanya.
Mbah Jiwo menoleh pada Ismi seolah ingin menceritakan sesuatu.

“Semua makhluk yang ada di luar, mereka adalah penghuni asli lembah keramat yang sengaja menghindar dari ancaman makhluk yang sekarang menguasai lembah itu”
Ismi mencoba menyimak, tapi tetap saja penjelasanya tidak membuatnya tenang.

“Saya.. tidak pernah melihat makhluk-makhluk semengerikan itu..” Ucap Ismi.

“Sayangnya... mungkin mereka satu-satunya cara agar kalian bisa mencapai Lembah itu...“ Balas mbah jiwo.

Kami tak mengerti maksudnya, Namun setelahnya ia mengeluarkan tiga buah batu berwarna hitam dan meletakanya di depan kami.

“Kalian tau apa itu Khodam?” Tanyanya.

“Maksud Mbah Jiwo Makhluk yang mendampingi seseorang, atau yang menghuni suatu benda..?” Jawab Ismi.

Mbah Jiwo mengangguk dan melanjutkan penjelasanya.

“Ketiga batu ini berasal dari desa yang ada di lembah itu. Benda ini memiliki kemampuan untuk menjadi wadah dari roh-roh yang berasal tempat batu ini berasal”

Kami memperhatikan ucapan Mbah Jiwo, namun tatapan mata Rumi terlihat cukup aneh. Ia terlihat mencoba memperhatikan dengan jelas benda yang ditunjukan oleh mbah jiwo.

“Mas... sepertinya Rumi pernah melihat benda ini” Ucapnya.

“Yang benar Rumi? Di mana” Tanyaku.

Rumi mencoba mengingat ingat, namun sepertinya ingatanya tentang benda itu bukanlah ingatan yang baik.

“Waktu kampung srawen terkena santet. Bapak memasukan benda serupa dengan ini ke mulut rumi dan memaksa rumi untuk menelan... katanya benda ini bisa membuat Rumi selamat” Jelasnya.

Aku ingat cerita rumi sebelumnya tentang kejadian itu, namun aku sama sekali tidak menyangka bahwa bentuknya seperti yang saat ini ditunjukan Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo menghela nafas seolah mengambil kesimpulan.

“Hmmmm... jika yang kamu ceritakan itu benar, berarti orang tua kalian benar berasal dari desa di bawah lembah itu” Ucap Mbah Jiwo.

“Sebaiknya kita tidak membuang waktu lebih lama lagi... Biarkan saya memeriksa apa isi benda yang ditelan oleh Rumi... dan sampai saya selesai, tugas kalian berdua adalah mengisi ketiga benda ini dengan Makhluk yang ada di halaman rumah”

Makhluk yang ada di halaman ruman? Maksudnya makhluk yang tadi membuat ismi ketakutan?

"Maksudnya kami harus menjadikan mereka Khodam atas benda ini?” Tanya ismi yang terlihat tidak siap.

“Temui mereka... Cari diantara mereka yang sekiranya berguna untuk menolong kalian.. dan bacakan mantra ini“

Perintah Mbah Jiwo sambil mengucapkan mantra yang sepertinya berasal dari bahasa jawa kuno.

“Tapi mbah.. kami tidak tahu caranya? Bahkan saya saja tidak bisa melihat mereka...” ucapku yang masih benar-benar bingung.

Ismi terlihat terpaku pada suatu sisi rumah ini, dan seketika ekspresinya berubah.

“Saya akan membantu mas... Mereka juga memiliki tujuan dengan kita untuk kembali ke lembah itu..” Ucap Ismi seolah telah mendapat petunjuk dari sesuatu.

***

Aku cukup bingung dengan perubahan ekspresi Ismi, namun rupanya itu terjadi juga dengan Mbah Jiwo.

“Ternyata dia disini” Ucap Mbah Jiwo yang tiba-tiba tersenyum.

Ismi mengeluarkan korek api yang ia gunakan untuk menolong kami dan segera menyalakanya di ruangan ini.

Seketika cahaya api putih menyinari seluruh ruangan. Terlihat beberapa bayangan-bayangan roh dari pusaka yang menggantung di dinding ruangan di Rumah Mbah Jiwo.

Tapi satu yang pasti... Ismi bermaksud menunjukan sesosok yang kami kenal di sudut ruangan itu.
Itu adalah Roh Paklek yang memisahkan diri dari raganya yang terjebak di lembah.

“Paklek!“ Ucapku menghampirinya yang segera disusul oleh Rumi.

“Paklek gapapa?” Tanyaku.

Terlihat Paklek tersenyum setelah melihat kami bertiga.

“Mbah Jiwo... kutitipkan mereka padamu. Maaf merepotkanmu begitu banyak...” Ucap Paklek Pada Mbah Jiwo.

“Tiga hari... bertahanlah sampai tiga hari kedepan, kami akan siap menyelamatkanmu” Balas Mbah Jiwo.

Setelah mendengar Jawaban mbah jiwo perlahan roh paklek mulai menghilang dari sinaran cahaya korek api yang dipegang rumi.

“Paklek.. Apa kita harus meminta tolong mas danan untuk menolong paklek?” Tanyaku terakhir kali untuk memastikan keputusan kami.

Sebelum sempat menghilang paklek terlihat menggeleng.

“Bukan Danan... Kalianlah kunci yang mampu menyelesaikan permasalah ini.” Itu suara paklek sebelum ia menghilang.

Sepertinya Paklek membutuhkan tenaga yang besar untuk memisahkan sukmanya dari tubuhnya sehingga hanya mampu menyapa kami dengan sedikit waktu.

Setelah kejadian tadi aku membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah Mbah Jiwo menemui makhluk-makhluk yang ada di halaman rumah itu.
Tanpa menunggu lama, aku berpamitan dan keluar bersama ismi.

Pintu rumah dibiarkan terbuka, tujuanya agar mbah jiwo bisa mengawasi apabila terjadi sesuatu pada kami berdua. Di satu sisi, aku juga bisa melihat kondisi Rumi bersama mbah Jiwo.

***

“Oke Ismi... kita mulai dari mana”

Ismi mencoba memberanikan diri melihat ke sekitar, sepertinya wujud makhluk-makhluk ini begitu mengerikan sehingga membuat Ismi sangat gugup.

“Ga tau mas... wujudnya banyak, ada makhluk tanpa kepala, makhluk bertangan panjang yang bergelantungan di atas pohon, gagak besar berkaki satu...“

Aku tidak mampu membayangkan semua ucapanya. Semuanya terdengar mengerikan.

“Apa yang paling mencolok?” Tanyaku mencoba membuat Ismi lebih fokus.

“Itu...” Ismi menunjuk sesuatu.“ Raksasa yang berdiri disebelah pohon itu” Ucap Ismi.

Aku segera mengajaknya berjalan ke arah sana dan memperhatikan sekitar. Memang terasa hawa yang mengerikan, tapi aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa.

“Ini.. gunakan ini” Ucap Ismi yang menyerahkan Korek api yang tadi kami gunakan.

Benar... setelah api dari korek itu menerangi penglihatan kami sebuah kaki yang sangat bersar terlihat di hadapanku. Butuh mendongakan kepalaku cukup tinggi untuk bisa melihat wajah dair makhluk itu.

Dengan segera aku mengeluarkan benda hitam pemberian Mbah Jiwo dan menyodorkan pada makhluk itu. namun sepertinya tidak ada reaksi dari makhluk itu. ia hanya menatapku dengan matanya yang merah dari ketinggian.

“hihihihi....”

Mendadak terdengar sebuah suara dari sekitar kami. Aku mencari asal suara itu namun tidak dapat kutemukan.

“Ora ngono kuwi carane... Khihkhihkhi…” (Bukan seperti itu caranya)

Berkali kali kami mencari, namun banyaknya makhluk halus di kebun ini membuat kami tidak dapat membedakan suara mereka.
Saat kami mulai kembali menoleh ke arah raksasa itu, sebuah kepala dengan wajah yang penuh darah jatuh menggantung tepat di hadapanku.

Aku yang kaget terjatuh di tanah dan menjauh dari makhluk itu.
Namun ternyata bukan kepala itu pelakunya, melainkan sesosok makhluk berwujud anak kecil yang memainkan rambut kepala itu untuk mengagetkanku.

“Hihihi... ono sing kaget” (Ada yang kaget) Ucap makhluk itu yang terlihat puas setelah mengagetkan kami.
Aku dan ismi segera menjaga jarak dan bersiap untuk pergi.

Namun bocah itu segera melompat dari atas pohon dan mengambil lagi bulatan kepala yang ia gunakan untuk menakuti kami.

“Si... siapa kamu..?” Tanyaku masih dengan kakiku yang lemas.

Sungguh memalukan, di saat seperti ini malah Ismi yang membantuku untuk berdiri.

“Aku? Aku Demit!” Khikhihkhi...“ Jawab anak itu dengan polos.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari ucapanya, namun aku belum pernah mendengar ada Setan yang mengaku dirinya setan.

Makhluk itu berjalan mendekatiku, masih dengan menggendong kepala tadi dan menyodorkanya pada kami.

“Nek iki... Sirahe ibuku...“ (Kalau ini... Kepala ibuku) Ucapnya sambil mengulang tawanya tadi.

Wajah kepala itu masih terlihat dipenuhi darah dengan rambut panjang yang lusuh setelah dipermainkan oleh bocah itu.
Aku mencoba mengatur nafasku berusaha mempertahankan kesadaranku dari semua kejadian ini.

Seandainya pingsan adalah pilihan terbaik, mungkin aku akan memilih itu. Namun tanggung jawab kami terlalu besar untuk melarikan diri dari hal seperti ini.

“Dek... tadi katanya cara menggunakanya bukan seperti itu? berarti kamu tau caranya?” Ismi mencoba mengumpulkan keberanianya untuk berbicara dengan makhluk itu.
Sekali lagi bocah itu mengangkatkan kepala yang diakui sebagai ibunya itu dan membuatnya seolah melakukan anggukan

“Iyo... aku tau..” Ucapnya dari belakang kepala itu.

Tidak mungkin hal itu tidak membuat Ismi takut, namun sepertinya Ismi mencoba membiasakan diri dengan perilaku hantu anak kecil itu.

“Omongke sing mbok tawarke.. Ucapkan apa yang kalian tawarkan, Kalau mereka mau, mereka akan mendiami benda itu” Jelas bocah itu.

Tawarkan? Apa yang bisa kami tawarkan... jangan-jangan ini perjanjian tumbal?

“Maksudnya... kami harus melakukan perjanjian tumbal dengan mereka?” Tanyaku memastikan.

“Nek De’en ra gelem... kuwi yo iso... Khkhihkhi...” (Kalau mereka ga mau, begitu juga bisa) Ucapnya sambil berlari meninggalkan kami.

Kami mencari keberadaanya, namun cahaya api dari korek ini tidak mampu menerangi sejauh itu.

“Kesini... kesini...” terdengar suara bocah itu dari sebuah sumur timba di sebelah bangunan rumah.

“Iki koncoku, Temenku... siluman penghuni sungai..” Ucap bocah itu yang segera menghilang lagi.

Aku mendekatkan korek api itu dan mengarahkan ke sumur.

Seekor makhluk menyerupai ular dengan keempat kaki terlihat menghuni sumur itu.

Sesuatu terpikirkan olehku. Aku mengeluarkan benda hitam pemberian mbah jiwo dan mengarahkan kepada makhluk itu.

“Ikut aku... akan kubawa kau kembali ke sungai tempat asalmu” Ucapan itu terucap setelah aku mengingat sebuah sungai tempat bapak dulu sempat mengajaku saat pertama dan terakhir kalinya kami kembali ke desa ibu.

Makhluk itu terlihat bereaksi dan datang menghampiriku.

“Ismi... sepertinya berhasil” Ucapku pada Ismi, namun ia seperti bersikap aneh.

Dalam sekejap makhluk itu sudah mencapai batu hitam yang ada di tanganku namun ia hanya menciumnya dari jauh dan berbalik meninggalkan kami.

Melihat itu ismi terlihat lega. Ia segera menarik bajuku dan membawaku menjauh dari sumur itu.

“Mas.. Mbah Jiwo meminta kita mengajak makhluk yang bisa membantu kita. Aku rasa makhluk tadi tidak akan bisa banyak membantu.” Ucap Ismi.

Betul juga ucapan Ismi, hampir saja kami melakukan kesalahan. Namun setidaknya, kami sudah tau cara menggunakan benda ini.

“Ismi.. menurutmu makhluk paling kuat yang mana” Tanyaku.

Tanpa berfikir panjang, dengan segera ismi menunjuk ke sesosok makhluk lain.

“Itu.. dari tadi makhluk itu mengawasi kita” Ucap Ismi.

Aku mendekatkan korek api itu dan terlihat sesosok makhluk besar dengan kepala kerbau. Seperti minotaur di cerita-cerita legenda Yunani namun makhluk ini tidak sekeren itu.

Tubuh makhluk ini berwarna hitam legam dengan ratusan koreng menghiasi kulitnya seperti sosok seorang makhluk yang kena kutukan.

“Dia penguasa lembah... aku tidak mau ikutan” hantu Bocah kecil itu muncul dan menghilang lagi menjauh dari kami seolah sangat ketakutan dengan makhluk itu.

Sayangnya, untuk menyelesaikan misi ini aku harus melakukan pertaruhan ini.

Namun baru saja aku mendekat, makhluk itu sudah terlihat mencoba memberikan perlawanan.
Aku menggenggam salah satu batu hitam pemberian mbah jiwo.

Namun tatapan mata makhluk itu berhasil membuatku menahan langkahku.

Sialnya makhluk itu merasa terganggu dan mulai menerjang ke arahku.

Ismi menarik tubuhku untuk menghindar dan berlari ke arah rumah. Namun makhluk itu cukup cepat. Cakarnya yang besar berhasil membuatku terjatuh dengan bekas luka di punggungku.

“Ismi... lari! panggil Mbah Jiwo!” teriaku yang tidak bisa memikirkan cara lain.
Sekuat tenaga aku berusaha menjauh dari makhluk yang tiba-tiba menjadi buas itu. Aku mengingat kembali hal apa saja yang bisa kulakukan saat menghadapi hal seperti ini.

Doa-doa yang diajarkan oleh paklek kubacakan tepat dihadapanya dan ternyata doa itu mampu membuat makhluk itu untuk terhenti. Sayangnya itu hanya sesaat.

Suara geraman yang sangat besar terdengar dari makhluk itu seolah ingin melampiaskan emosinya.

Aku berlari ke arah rumah, namun entah bagaimana caranya makhluk itu sudah ada di hadapanku. Setidaknya saat ini Ismi sudah hampir sampai ke rumah.

Luka di punggungku terasa semakin perih hingga tak mampu lagi menahan pijakanku, namun makhluk berwajah kerbau itu mendekat dan bersiap mengayunkan cakarnya lagi.

“Wis cukup... Ki Maesa Ombo“

Tiba-tiba terdengar suara yang menghentikan serangan makhluk itu. Aku mencoba memastikan bahwa suara itu berasal dari mulutku. Apa yang terjadi?

Tubuhku bergerak dengan sendirinya dan menghampiri makhluk itu.

“Dimas... Makhluk ini bernama Ki Maesa Ombo, penunggu sebenarnya lembah keramat yang sedari dulu melindungi hutan desa” Ucapan itu keluar dari mulutku seolah ada yang merasuki tubuhku. Aku mencoba mengingat suara yang sangat kukenal ini.

Bapak... ini suara bapak!

“Bapak! Ini benar bapak?” aku mencoba berbicara, namun tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku.

Di satu sisi Ismi dan Mbah Jiwo bersiap keluar menolongku namun setelah melihatku mbah jiwo menahan ismi untuk menghampiriku.

Tubuhku bergerak dengan sendirinya mengeluarkan batu hitam yang kubawa dan menunjukanya kepada makhluk berwajah kerbau yang bapak bilang bernama Ki Maesa Ombo.

“Ki Maesa Ombo.. Konco lawasku, Kulo nyuwun pitulung lindungi putraku sing arep mulih ning desane” (Ki Maesa Ombo.. teman lamaku, aku meminta tolong untuk melindungi putraku yang ingin pulang ke desanya)
Teman lama? Maksudnya Bapak pernah berteman dengan mahluk ini?

Ternyata banyak hal dari orang tua kami yang tidak kami ketahui.

Namun setidaknya roh bapak yang merasuki tubuhku ini berhasil menyelamatkanku dari maut.
Emosi Ki Maesa ombo mulai mereda ia terlihat berjalan mendekat diiringi mantra berbahasa jawa kuno yang diucapkan oleh bapak persis seperti yang diajarkan Mbah Jiwo.

Sebuah ukiran terbentuk di batu hitam itu dan setelahnya Ki Maesa Ombo pergi meninggalanku.

“Ikuti bimbingan kedua orang yang membantumu ini yo nak...” Ucap suara bapak terakhir kali sebelum aku menguasai kembali tubuhku.

Aku tau dengan jelas, yang dimaksud oleh bapak adalah Mbah Jiwo dan Paklek
Melihat aku terjatuh mbah jiwo dan Ismi segera menghampiriku.

“Dimas.. kamu gapapa?” Tanya ismi.

Aku hanya menggeleng, tapi tetap saja luka di punggungku terasa perih.

“Benar-benar sebuah kejutan... bahkan aku sama sekali tidak mengetahui nama makhluk itu” Ucap Mbah Jiwo yang membantu membopongku.

“Itu tadi bapak yang merasuki tubuhku... sepertinya bapak mengenal baik makhluk ini“ Ceritaku pada Mbah Jiwo.

Kami kembali ke dalam rumah, Rumi yang melihatku terluka segera berlari membantuku.

“Benar tadi mas dimas dirasuki roh bapak?” Tanya Rumi yang penasaran.

Aku mengangguk dan menjelaskan setiap kata yang keluar dari mulutku saat dirasuki roh bapak. Rumi terlihat tersenyum mendengarnya.

Sepertinya dibalik wajahnya yang kuat ia juga memendam rindu pada bapak dan ibu.

Ismi dan Rumi membantu mengobati lukaku dengan rempah dan perban pemberian dari Mbah Jiwo. Dari tempat itu samar-samar aku melihat sosok yang mengintip dari jendela rumah.

“Ismi.. itu...?” Tanyaku pada Ismi.

Ismi mengangguk dan mencoba melihat keluar namun makhluk itu melarikan diri dan kembali lagi saat Ismi kembali ke dalam.

“Sudah jangan ngumpet... kesini aja” Ucapku.

Mendengar ucapanku itu hantu bocah itu menampakan wujudnya tepat di depan pintu dengan wajahnya yang pucat dan masih menggenggam kepala yang penuh darah yang dia akui sebagai kepala ibunya.

“Mas.. Mas Dimas sekarang bisa melihat makhluk halus?” Tanya Rumi.

Benar juga, aku baru tersadar... setelah serentetan kejadian tadi ucapan rumi ini yang membuatku tersadar bahwa aku bisa melihat mereka tanpa bantuan korek api itu.

Aku menoleh bermaksud menanyakanya pada mbah Jiwo.

“Aku tidak membuka mata batinmu.. kalau kubuka dengan paksa, ia tidak akan menutup lagi sepenuhnya..

Kemampuan itu muncul karena raga dan sukmamu sudah terbiasa dengan keberadaan mereka.. saat nanti urusanmu sudah selesai kemampuan itu bisa hilang dengan sendirinya..” Jelas mbah Jiwo yang membuatku cukup lega.

Ismi kembali menghampiri setan berwujud anak kecil itu..

“Ono opo le?” (Ada apa dek?) Tanya Ismi dengan ramah namun hantu bocah itu hanya diam saja.

Sepertinya aku mengerti. Aku meninggalkan rumi dan menghampiri hantu bocah itu dengan membawa batu hitam pemberian mbah jiwo.

“Kamu pasti mau ikut kembali ke lembah ya?” Ucapku pada hantu bocah itu.

Makhluk itu tersenyum menunjukan gigi-giginya yang hitam.

Walaupun mulai terbiasa, namun pemandangan ini tetap saja mengerikan.

Aku menoleh pada mbah jiwo, dan ia mengangguk seolah menyetujui keputusanku.

Aku mengarahkan batu hitam itu padanya, namun hantu itu menggeleng.

“Ibuku melu...” (Ibuku ikut) Ucap hantu bocah itu.
Aku mengerti, sepertinya kedua batu hitam yang tersisa harus kugunakan untuk membawa mereka.

Secara bersamaan aku dan ismi membacakan mantra yang diajarkan mbah jiwo.

Bocah itu menyentuh batu yang ada di genggamanku dan setelahnya menyentuhkan kepala ibunya itu ke batu yang dipegang oleh ismi.
Sama seperti sebelumnya sebuah ukiran terbentuk di batu itu. setelahnya mereka segera pergi meninggalkan kami.

“Dimas.. benar gapapa ngajak mereka?” Tanya Ismi.

“Entah kenapa aku merasa yakin.. Bocah itu punya banyak informasi yang kurasa bisa berguna” Jelasku pada Ismi.

“Dan yang lebih penting... sepertinya mereka membutuhkan pertolongan”

Ismi setuju dengan ucapanku dan kami kembali merawat lukaku yang belum selesai diobati.

“Benar.. bukan hanya kekuatan yang kalian butuhkan. Kadang informasi yang tepat bisa menyelamatkan kalian” Ucap mbah jiwo yang duduk terpisah dari kami.

Ia terlihat sedang memandangi sebuah batu hitam yang ia letakan di sebuah meja.

“Rumi.. jangan-jangan itu benda hitam yang dimasukin ke tubuhmu oleh bapak?” Tanyaku pada Rumi.

“I..iya mas”

Yang membuatku khawatir, dengan kemampuanku sekarang aku melihat batu hitam itu dikelilingi kabut berwarna hitam pekat seolah ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close