Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERITAN LEMBAH KERAMAT (Part 5) - Segoro Ulo

Gimana cara Dimas, Rumi, dan Ismi nyelamatin Paklek dari lautan ular...


JEJAKMISTERI - Tiga hari... sesuai janji Mbah Jiwo pada Paklek. Hari ini kami telah mempersiapkan seluruh yang kami bisa untuk bisa selamat saat menjemputnya nanti.

Aku menatap tubuhku di cermin tua di rumah milik Mbah Jiwo, hampir tidak ada perubahan secara fisik dari seorang Dimas sang pegawai kantoran. Namun penglihatanku akan makhluk-makhluk halus yang berada di sekitarku memastikan sebuah perubahan telah terjadi.

“Mas Dimas... sarapan dulu” Panggil Ismi yang mengetuk pintu kamarku.

Aku segera melanjutkan membereskan barang-barangku dan segera menghampiri mereka.

“Selamat pagi...” Ucapku yang segera mengambil posisi duduk lesehan di sampingku Rumi.

“Nyenyak tidurnya mas?” Tanya Rumi memastikan.

Selama kami menginap di rumah Mbah Jiwo, kami selalu menghabiskan malam dengan berurusan dengan makhluk ghaib dan belajar sedikit mengenai ilmu batin.

Namun malam terakhir tadi, Mbah Jiwo memerintahkan kami untuk istirahat senyaman mungkin agar kami siap menghadapi hari ini.
Terlihat dari dalam pawon Mbah Jiwo keluar dengan membawa sepiring lauk.

“Ayo dimakan... ini Ismi yang masak” Ucap Mbah Jiwo mempersilahkan kami.

“Saya kaget lho ada orang kota yang masih bisa masak pake kompor kayu” Lanjut Mbah Jiwo yang memuji Ismi.

Memang rumah Mbah Jiwo cukup besar dan terlihat cukup mewah diantara rumah warga desa lainya, namun di beberapa aspek rumah ini masih menggunakan cara tradisional.

Mulai dari kompor kayu bakar, pompa manual untuk sumur, hingga lampu petromax kadang masih digunakan di sini walau sebenarnya listrik juga sudah masuk ke tempat ini.

“Iya Mbah Jiwo, dari kecil sampai besar saya kan juga tinggal di desa... di rumah mbah saya masaknya juga masih pakai kayu bakar” Balas Ismi sambil mengambilkan Nasi untuk kami berempat.

“Wah senang ya mbah kamu punya cucu pinter masak kayak kamu” Ucap Mbah Jiwo.

Ismi hanya tersenyum mendengar ucapan Mbah Jiwo.

“Iya Ismi.. masakanmu enak lho, masakan calon istri idaman nih..” Ucapku yang mencoba ikut menggodanya. Namun setelahnya kupingku seperti ditarik oleh sesuatu.

“Udah, makan ya makan aja... ga usah pake ngegombalin Ismi” Ucap Adiku Rumi sambil menjewerku.

Suasana pagi itu benar-benar menyenangkan. Sudah lama aku tidak pernah merasakan suasana seperti ini.

Seolah aku kembali ke masa dimana aku, Rumi, bapak, dan ibu masih berkumpul dan menghabiskan waktu bersama.

“O iya Mbah Jiwo... mbahnya Ismi juga orang sakti lho, dia pernah bantuin Paklek juga dulu” Cerita Rumi di tengah waktu sarapan kami.

“O ya? Siapa namanya? Mungkin saya kenal...” Tanya Mbah Jiwo.

“Mbah Rusman mbah... Bukan orang sesakti seperti Mbah Jiwo dan Paklek, Mbah saya sudah lama memilih tinggal menyendiri di desa kecil di selatan pulau jawa dan membesarkan saya di sana” Cerita Ismi.

Mbah Jiwo terlihat berfikir sejenak seolah dia mengetahui sesuatu tentang cerita itu.

“Ki Rusman Basukarna? Apa itu nama lengkap Mbahmu?” Tanya Mbah Jiwo.

Ismi terlihat cukup kaget begitu mengetahui bahwa Mbah Jiwo mengetahui nama lengkap dari Mbah Rusman.

“Mbah Jiwo kenal Mbah?” Tanya Ismi penasaran.

Bukanya menjawab, Mbah Jiwo meletakan piringnya dan pergi ke belakang.

Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah kotak.

“Kamu tahu benda ini?” Ucap Mbah Jiwo sambil menunjukan sebuah batu sekepalan tangan yang berada di dalam sebuah kotak kayu.

“I ini... apa mungkin ini waturingin, batu dari kayu pohon beringin yang sudah menjadi fosil?” Tanya Ismi.

Mbah Jiwo mengangguk.

“Saya tidak mengenal mbahmu, tapi cerita dari warga desa windualit yang mengantarkan benda ini kepada orang tua saya saja sudah cukup menjelaskan kebaikan dan kehebatan Eyangmu itu..” Cerita Mbah Jiwo.

“Wah Ismi... ternyata Eyangmu juga orang hebat ya! Tapi kok bisa warga desa windualit sampai mampir ke sini?” Tanyaku penasaran.

Dari pertanyaanku Mbah Jiwo menceritakan apa yang ia tau. Ia bercerita mengenai warga desa windualit yang datang bertemu orang tua mbah yang dikenal sebagai ahli pusaka.

Warga itu menceritakan tentang desanya yang dilanda kutukan bernama “Gending Alas Mayit” dan seseorang yang berhasil menghentikanya bernama “Ki Rusman Basukarna” yang ternyata merupakan Eyang dari Ismi.

Warga menitipkan batu itu ke keluarga Mbah Jiwo untuk berjaga-jaga apabila kutukan itu kembali muncul.

“Wah Ismi.. ternyata Eyangmu juga sehebat Paklek..” Ucapku yang kagum dengan cerita Mbah Jiwo.

“Benar kata Dimas... Sampaikan salamku untuk eyangmu ya” Ucap Mbah Jiwo.

Mendengar kata-kata Mbah Jiwo, raut wajah Ismi berubah.

“Terima kasih mbah... Tapi Mbah Rusman sudah ngga ada” Cerita Ismi.

Mbah Jiwo menarik nafas dan mengerti.

“Tapi.. Mbah pergi dengan tenang. Setelah Mas Cahyo menghentikan kutukan Gending Alas Mayit, Mbah bisa hidup tenang...
Belum pernah saya melihat Mbah sedamai itu.
Dan saat kepergianya, benar-benar tidak ada tangis diantara kami...“ Cerita Ismi.

Ismi benar-benar orang yang kuat. Walaupun ia bercerita begitu, tetap saja tidak mungkin ada orang yang tidak sedih saat ditinggal oleh orang terdekatnya.

Mbah Jiwo teresnyum, tidak menyangka perbincangan di sarapan pagi ini bisa sedalam ini.

“Syukurlah kalau begitu... seandainya saya pantas meminta kepada Yang Maha Kuasa, saya juga ingin mengakhiri hidup saya seperti Mbah Rusman.. pergi dengan damai di sisi orang yang menyayanginya” Ucap Mbah Jiwo.

Setelah itu kami tidak melanjutkan perbicangan kami lagi dan lanjut menyelesaikan sarapan kami.

*---000---*

Ini masih pagi, namun pemandangan di hutan perbatasan desa terlihat menyeramkan untuku saat ini.

Sebelumnya aku hanya bisa melihat pohon-pohon dan hewan hutan, Namun kali ini sosok-sosok yang mengerikan terlihat juga olehku di hutan ini.

Mungkin inilah pemandangan yang sama seperti yang Ismi lihat semasa hidupnya.

“Ga usah takut mas.. mereka roh-roh penunggu hutan, anggap saja mereka seperti penduduk desa yang tidak kita kenal” Ucap Ismi yang mencoba menenangkanku.

Kami berangkat pagi berharap agar kami bisa menyelesaikan masalah ini di waktu terang, namun rupanya ketika kami mulai menuruni lembah.. rimbunya dedaunan mulai menutupi cahaya matahari.

“Mbah Jiwo, Arah kita bukan ke sana?” Tiba-tiba Rumi menunjuk ke satu arah yang berbeda dengan jalur yang ditunjukan Mbah Jiwo.
Kami melihat ke arah yang ditunjuk Rumi, namun hanya terlihat batu dan semak belukar disana.

“Ke sana kemana Rumi? Di sana ga ada jalan” Tanyaku.

“Ada... tadi ada ular warna putih yang lewat ke jalan itu“ Jawab Rumi.

Kami mencari dengan mata kepala kami, namun tidak terlihat ular berwarna putih sama sekali.

“Rumi... jangan ikuti apapun yang kamu lihat disini ya. Jangan lupa, kamulah incaran utama mereka.

Tujuan utama kita di sini adalah menyelematkan Bimo terlebih dahulu... untuk apa yang akan kita lakukan setelahnya biar Bimo yang memutuskan” Ucapan Mbah Jiwo saat itu didengar dengan baik oleh Rumi. Namun Rumi tetap terlihat seolah memperhatikan sesuatu dari beberapa sudut hutan ini.

“Hati-hati... kita ambil jalan memutar saja” Tiba-tiba terdengar suara berbisik. Ini adalah suara hantu bocah yang ikut bersama kami dari rumah Mbah Jiwo.

“Mbah... hantu bocah itu bilang lebih baik kita ambil jalan memutar” Laporku pada Mbah Jiwo.

Mbah Jiwo terlihat ragu namun, sepertinya tidak ada salahnya mencoba mengikuti saran hantu bocah itu.
Tepat di percabangan jalan menuju tempat Paklek terjebak kami mengambil ke arah persimpangan dengan jalur yang sedikit mendaki.

Sampai di penghujung jalur, kami terhenti oleh serangan sebuah makhluk yang jatuh dari atas pohon.

“Rumi awas!!“ Ucapku yang segera menarik tubuhnya ke dekatku.

Ekor ular yang sangat besar mencoba melilit kami. Kami berusaha menjauh mencoba memperhatikan lebih seksama makhluk yang menyerang kami.

Namun di sisi lain sesosok tubuh tanpa kepala merangkak dengan tanganya menghampiri mencoba meraih Rumi.

“I..itu makhluk apa ?” tanyaku pada Mbah Jiwo.

Wajar saja aku bertanya, dari dalam semak terlihat tubuh wanita tanpa kepala dan tanpa pakaian merangkak hanya dengan tanganya.

Pinggangnya terlihat sangat panjang untuk ukuran makhluk berbentuk manusia.

“Mbuh.. saya belum tahu, tetap hati-hati” Jawab Mbah Jiwo yang bersiap mengeluarkan cambuknya.

Belum sempat merespon tiba-tiba ekor ular sudah muncul dari sisi lain hutan untuk menangkap Rumi, namun dengan sigap Ismi mendorong Rumi untuk menjauh.

Sayangnya ekor ular itu berhasil melilit kaki Ismi dan mencoba menariknya.

“Mbah Jiwo... Ismi!” Ucapku yang segera meminta pertolongan.

Dengan sigap Mbah Jiwo menyabetkan cambuk pusakana ke ekor ular itu hingga melepaskan Ismi. Namun yang cukup aneh, tubuh manusia tanpa kepala itu juga terlihat kesakitan.

Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata ekor ular yang melilit Ismi merupakan bagian tubuh dari makhluk itu.

Dari sudut hutan terlihat samar-samar hantu bocah yang kami bawa dari rumah Mbah Jiwo. Aku segera melihat dan menghampirinya.

“Heh.. kami bohongin kami? Bukanya kamu bilang ambil jalan memutar” Protesku kepadanya.
Namun bocah itu tidak menjawab dan mundur kedalam kegelapan hutan.

Setelah pulih dari serangan Mbah Jiwo, Ular itu mencoba kembali menyerang Rumi.

Kali ini dengan badanya yang tanpa kepala berjalan merangkak diikuti liukan ekor ular yang sangat panjang yang menyatu dengan tubuhnya.

Harusnya Mbah Jiwo segera menyerang makhluk itu, namun entah mengapa ia terlihat ragu.

Sebelum sempat mencelakai Rumi, tiba-tiba hantu bocah itu muncul kembali menghadang makhluk yang merangkak dengan cepat menuju kami.

“Bu... uwis bu... uwis...” (Bu... sudah bu.. sudah) Ucap anak itu dengan wajah yang sedih.

Tunggu? Dia bilang ibu?

Dibanding aku yang bingung, Ismi lebih sigap... ia mendekati bocah itu dan menyalakan korek api tua tepat sebelum makhluk ular bertubuh manusia tanpa kepala itu sampai ke sini.

Cahaya api itu membuat tubuh ular itu menggeliat seperti kesakitan.

“Ismi.. keluarkan batu hitam yang kamu simpan” Perintah Mbah Jiwo.

Saat batu itu dikeluarkan, Hantu bocah itu mengambil kembali kepala seorang wanita yang sudah tidak berbentuk yang selama ini ia panggi ibu dan mendekatkanya ke tubuh makhluk itu.

Seolah merespon tubuhnya, kepala yang dibawa hantu bocah itu terlihat mulai bergerak.

“Min... kowe Imin to?” (min.. kamu Imin kan?) Tiba-tiba kepala itu berbicara dengan lemas.

“Nggih Bu.. niki kulo Paimin..” (Iya bu... ini saya, Paimin) Balas hantu bocah itu yang ternyata bernama Paimin.

“Bu.. Imin Nggowo konco-konco sing iso nulungi ibu...” (Bu Imin bawa teman-teman yang bisa nolongin ibu) Ucapnya.

Mendengar ucapan itu kami segera berkumpul di dekat hantu bocah itu. Tanpa bertanya apapun kami sudah mengerti mengenai kejadian ini.

“Jadi Ibumu dipaksa menjadi anak buah penunggu lembah itu?” Tanya Mbah Jiwo.

Hantu bocah itu mengangguk dengan wajah sedihnya. Terlihat tubuh ular yang menyatu dengan ibu Hantu paimin itu masih menggeliat terkena cahaya dari korek api milik Rumi.

“Mbah.. apa yang harus kita lakukan mbah?” Tanya Rumi yang merasa kasihan setelah melihat kejadian ini.

“Untuk membunuh satu makhluk tidak begitu sulit.. tapi saya tidak memiliki ilmu untuk menolong ibu bocah itu” Jawab Mbah Jiwo.

“Kalaupun ada yang bisa menolong.. itu Cuma dia”
Kami mengerti arah perkataan Mbah Jiwo.. seseorang yang memiliki ilmu untuk menenangkan makhluk yang sudah dikutuk tidak lain adalah Paklek.
Hantu bernama Imin itu terlihat sedih, namun kami berjanji setelah menyelamatkan Paklek kami akan meminta Paklek untuk menenangkan roh Ibunya.

Sebuah mantra diucapkan oleh Mbah Jiwo sama seperti saat kami mengajak Roh dari rumah Mbah Jiwo untuk mendiami batu hitam.

Seketika kepala ibu hantu bocah itu menghilang, namun berbeda dari sebelumnya..

kali ini tubuhnya yang menjadi satu dengan ular juga menghilang terikat dengan batu itu.

Kejadian itu menyisakan sesuatu di hati kami. Entah apa yang terjadi desa asal ibu kami hingga penderitaan tetap dialami oleh penduduknya bahkan setelah mereka mati.

“Jadi maksudmu meminta kami untuk memutar karna Ibumu ini ya? Kenapa ga langsung bilang aja?” Tanyaku pada Imin yang sekarang berjalan memandu kami, namun ia menggelengkan kepalanya.

“Yang menjaga di sisi satunya bukan roh manusia...” Jawabnya sambil terus berjalan ke depan tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Aku menoleh ke arah Mbah Jiwo, jawaban polos bocah itu ternyata juga membuatnya resah. Seolah cepat atau lambat kami harus menghadapi makhluk itu.

Setelah bejalan cukup lama, akhirnya sebuah pemandangan mengerikan muncul di hadapan kami. Sebenarnya persis seperti yang diceritakan Mbah Jiwo, namun saat melihat secara langsung ini jauh lebih mengerikan.

Di tengah-tengah hutan terlihat ratusan ular mengelilingi seseorang yang sedang duduk bermeditasi tanpa bergerak sedikitpun. Beberapa ular berukuran besar juga terlihat mengawasi dari jauh.

“Mas Dimas.. itu Paklek” Ucap Rumi yang menyadari sosok pria yang dikelillingi ular dengan tubuh yang tidak terurus.
Aku mengangguk, sambil menggenggam batu hitam yang kubawa aku bersiap menuju ke tempat Paklek berada.

“Mbah Jiwo.. berikan saya perintah, apa yang harus saya lakukan untuk menolong Paklek” Ucapku pada Mbah Jiwo berusaha untuk tidak bertindak gegabah.

“Bukan kamu... tapi Rumi yang bisa ke sana” Ucap Mbah Jiwo.
Aku menoleh pada Mbah Jiwo.

“Maksudnya Rumi ya harus ke sana?” Tanyaku.
Mbah Jiwo mengangguk.

“Ular itu akan menyerang siapapun yang mendekat. namun karena makhluk itu mengincar Rumi, ular-ular itu tidak akan menyentuh Rumi bila Rumi tidak menyerangnya.” Jelas Mbah Jiwo.

Aku mengerti walaupun sebenarnya aku setengah tidak setuju membiarkan Rumi ke sana, tapi sepertinya Rumi pun terlihat sudah mempersiapkan nyalinya untuk hal ini.

“Rumi.. tugasmu hanya mengembalikan Keris Sukmageni pada Bimo. Setelahnya Ia akan mengurus sisanya” Jelas Mbah Jiwo.

“Dimas... kita berjaga jangan sampai ada satupun makhluk yang mendekat ke Rumi” Perintah Mbah Jiwo.
Seperti ucapanya, aku dan Ismipun sudah menyadari keberadaan makhluk lain yang bersiap menghalangi niat kami.

“Rumi.. bawa ini, pastikan korek ini terus menyala sampai kamu kembali” Ucap Ismi yang menyerahkan korek api pusakanya kepada Rumi.
Rumi yang mengerti segera berjalan perlahan ke dalam lautan ular di hadapanya.

Selangkah demi selangkah ia mendekat dengan diterangi cahaya korek pemberian Ismi. Rumi memilih langkahnya dengan hati-hati sebisa mungkin tidak menginjak ular yang ada di kakinya walaupun sebagian dari ular itu sudah bermain dengan melilitkan tubuhnya di kaki Rumi.

Di satu sisi Mbah Jiwo dikagetkan dengan keberadaan pocong dan mayat hidup yang merayap menghampirinya.

“Tolong...tolong kami...” Ucap makhluk itu.

Terlihat setiap makhluk itu terlilit ular berwarna hitam yang keluar masuk dari rongga-rongga matanya. Mbah Jiwo mencoba membacakan beberapa mantra.. namun sepertinya tidak berhasil. Di sisi lain aku mengingat-ingat doa yang diajarkan oleh Paklek dan segera membacakanya.

Makhluk itu terlihat mulai tenang dan berhenti, namun ular yang melilit mereka seperti mengamuk menyambut sesuatu.
Perlahan pocong dan mayat hidup itu tertarik kembali ke dalam semak oleh lilitan ular yang lebih besar.

“Bagus... kalian membawanya Kemari..”

Tiba-tiba terdengar suara wanita dari dalam kegelapan. Dari sana perlahan muncul seorang wanita cantik berpakaian keraton namun dengan sekumpulan ular yang melilit di tubuhnya.

“Dimas, Ismi.. perhatikan Rumi.. biar aku menahan makhluk ini hingga Bimo selamat” Perintah Mbah Jiwo.

Aku tau dengan jelas betapa berbahayanya makhluk itu, bisa jadi dialah yang menyebabkan semua bencana di tempat ini namun keadaan Rumi sama bahayanya.

Kali ini makhluk hitam berukuran tinggi dua kali tubuh manusia biasa melompat dari pohon dan bersiap menyerang Rumi yang hampir mencapai Paklek. Aku sudah bersiap menggenggam batu hitamku berusaha memanggil makhluk yang kubawa dari rumah Mbah Jiwo.

“Tunggu dulu mas...” Tiba-tiba Ismi menghalangi.
Entah apa maksudnya, namun aku tetap merasa cemas oleh makhluk yang menyerang Rumi.
Sebuah Cakaran melesat kedalam lingkaran cahaya yang mengelilingi Rumi. Rumi yang tidak siap berusaha melidungi dirinya seadanya.

Namun ketika memasuki cahaya itu lengan makhluk hitam yang menyerang Rumi berubah jadi lengan manusia.

“Tunggu... itu apa Ismi?” Tanyaku.

“Mbah Jiwo pernah cerita.. beliau dan Paklek pernah melawan makhluk seperti ini.

Ternyata mereka adalah manusia pencari ilmu yang disesatkan oleh setan wanita itu” Jelas Ismi.

Aku berusaha mengerti penjelasan Ismi, namun setan yang mulai kembali menjadi manusia itu membuat Rumi menjatuhkan koreknya hingga ia perlahan kembali berubah kewujud setanya.

Sepertinya Rumi membuat keputusan, ia mengambil koreknya yang terjatuh dan berlari menuju Paklek sekuat tenaga tanpa mempedulikan ular yang ia injak hingga refleks menggigitnya.

“Rumi Jangan nekad!” Teriaku.

“Ga bisa mas... kalau makhluk itu bangkit lagi kita dalam masalah” Balas Rumi yang masih berlari dengan luka di kakinya yang semakin banyak.

Benar ucapan rumi.. makhluk tadi mulai kembali ke wujud setan sepenuhnya. Aku mencoba membacakan doa-doa untuk menahanya setidaknya bisa memberi waktu untuk Rumi. Namun wajah Rumi terlihat menghitam. Sepertinya Racun ular itu mulai mempengaruhinya.

“Rumi !!” Teriaku.

Beberapa langkah lagi Rumi mencapai Paklek. Namun racun dari ular yang menyerangnya sudah menjalar ke seluruh tubuh hingga membuatnya sulit bergerak.

Tangan Rumi mengambil keris sukmageni di pinggangnya. Tatapan matanya yang kosong terlihat seperti perjuangan terakhirnya, ia mengacungkan keris itu ke arah seorang pria yang masih menjaga posisi meditasinya tak jauh dari tempatnya berada sekarang.

Aku hampir tak mampu menahan air mataku. Namun sesuatu yang kami tunggu-tunggu ternyata terjadi.
Mata Paklek terbuka. Dengan segera ia merebut keris ragasukma dari tangan Rumi dan menggoreskan bilah putih dari keris ragasukma ke tanganya.

Beberapa tetes darah yang membasahi bilah keris itu berubah menjadi api berwarna putih. Paklek meneteskan api itu pada Rumi dan dirinya. Dengan segera ia menggendong Rumi melewati lautan ular di sekitarnya.

Pemandangan mengerikan terjadi, Paklek berlari dengan ratusan ular yang menyerangnya dan Rumi yang hampir kehilangan kesadaran.
Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh ular yang menggigitnya berulang kali. Namun sesuatu yang membuatku takjub juga terjadi.

Dari luka yang ditimbulkan oleh ular itu perlahan muncul api dengan warna yang sama dari keris itu dan menutup luka mereka hingga kembali pulih.
Tanpa butuh waktu lama Paklek segera mencapai tempat kami berada.

Aku cukup lega, namun saat aku menoleh ke arah Mbah Jiwo rasa itu mendadak menghilang.
Saat ini tubuh Mbah Jiwo tergantung di ketinggian dengan lilitan ular yang melawanya.

“Mbah Jiwo!!!”

Aku bersiap menghampiri Mbah Jiwo, namun Paklek menghadangku dan menyerahkan Rumi yang mulai kembali sadar kepadaku.

“Jaga adikmu!” ucap Paklek yang segera melesat ke arah Mbah Jiwo dengan keris di genggamanya.

Kali ini Paklek menerjang dengan bilah hitam keris sukmageni yang ia genggam. Dengan sigap Ekor Ular yang melilit Mbah Jiwo terpotong dengan mudah, tak hanya itu.. api hitam muncul dari bilah hitam keris sukmageni milik Paklek seolah mengenali darah makhluk yang diserangnya.

“Terima kasih Bimo...” Ucap Mbah Jiwo yang berhasil selamat dari makhluk itu.

“Jangan berterima kasih, serangan itu adalah hasil keringat dan darahmu yang mengembalikan kesaktian keris ini.. bahkan membuatnya hingga sekuat ini” Ucap Paklek tanpa memalingkan padanganya dari wanita cantik yang dikelilingi ular itu.

Seolah marah dengan serangan Paklek, makhluk itu terlihat memanggil seluruh makhluk yang menjadi pengikutnya. tak lama setelahnya ular-ular besar, makhluk hitam setinggi dua kali tubuh manusia, hingga siluman ular berbadan manusia sudah berada di sekitar kami.

Kami sudah bersiap dengan apapun yang terjadi. Namun Wanita itu berjalan menghampiri kami sebelum memerintahkan pengikutnya.

“Rumi... kenapa kamu ada di sana? Seharusnya kamu ada di sini..” Ucap makhluk itu.

Aku tidak mengerti apa maksudnya dan tetap menggengam erat tangan adiku.

“Kamu tahu untuk apa leluhurmu melakukan perjanjian denganku hingga mengorbankan keturunan-keturunanya..?” ucap makhluk itu.

“Rumi... Dimas... jangan dengarkan ucapan makhluk ini!” Teriak Paklek yang berusaha menjaga kami.

“Leluhur kalian, buyut kalian memohon kekuatan yang sangat besar kepadaku dengan menumbalkan enam kepala wanita perawan untuk melindungi desa dari santet yang dikirim oleh seorang dukun” makhluk itu melanjutkan ceritanya.

“Dan dukun yang berbuat keji membantai warga desa leluhur kalian itu adalah leluhur seseorang yang berpura-pura baik dengan kalian...”
Makhluk itu menoleh ke arah Mbah Jiwo..

Tunggu, maksudnya... semua bencana ini terjadi karena Leluhur Mbah Jiwo membantai desa leluhur kami dengan santet?

“Dimas.. Rumi, jangan dengarkan ucapan setan itu.. semua itu hanya untuk mempengaruhi kalian” Teriak Paklek yang khawatir dengan kami.

“Mbah Jiwo! Apa itu benar!!” Teriaku pada Mbah Jiwo.

Terlihat Mbah Jiwo tidak membela diri, iya mengangguk dan menundukan kepalanya.

“Hahahaha... Dimas.. Rumi, kemarilah... biar kubantu kalian membalaskan dendam kalian pada cucu dukun biadab itu!” Ucap makhluk itu dengan tertawa.

Aku mencoba mendekat ke arah Mbah Jiwo, namun Ismi segera berlari dan menghalangi kami mendekat ke Mbah Jiwo.

“Minggir Ismi!“ Teriaku pada Ismi yang mencoba menghalangiku dan Rumi.

“Dimas.. Rumi... aku tidak peduli apa yang terjadi padaku setelah ini. Namun jangan biarkan adikmu jatuh ke tangan makhluk ini” Ucap Mbah Jiwo tiba-tiba

“Setelah kepergianku, tidak ada lagi keluarga atau keturunanku yang tersisa.. itu artinya tidak ada lagi dendam leluhur kalian yang harus dibalaskan dan kalian bisa hidup dengan tenang” Ismi mencoba menahan tangisnya, ia tidak pernah tahu masalahnya akan menjadi sepelik ini.

Aku menggenggam tangan Rumi dengan dan mendekat ke Mbah Jiwo, begitu juga dengan Ismi yang mencoba menghalangiku.

“Apa maksud Mbah Jiwo? Tidak ada keluarga yang tersisa? Lalu kami siapa?“ Ucapku yang segera berdiri di samping Mbah Jiwo bersama dengan Ismi dan Rumi.

“Iya Mbah.. Rumi ga peduli sama cerita makhluk itu, yang Rumi tahu Mbah Jiwo baik sama Rumi sama Mas Dimas..
Mbah udah kayak mbah Rumi sendiri…“ kali ini Rumi yang mencoba menyampaikan perasaanya ke Mbah Jiwo.

Kali ini air mata di wajah Ismi benar-benar tumpah. Sepertinya ia tidak menyangka reaksiku dan Rumi.

“Mbah Jiwo.. Ismi juga udah ga punya siapa-siapa. Walaupun tiga hari ini ada karena bencana ini, Ismi ngerasa punya keluarga lagi..” Ucapnya sambil menutup matanya untuk menyembunyikan air matanya.

Dengan sigap Rumi memeluk bahu Ismi dan mencoba menghiburnya.

“Hahahaha...” Tiba-tiba Paklek tertawa.

“Ternyata Mbah Jiwo juga bisa mendidik anak dengan baik”

Aku tersenyum melihat tingkah Paklek yang santai seolah tidak mengingat bahwa dirinya baru saja bebas dari lautan ular itu.

Karena tidak hanya Mbah Jiwo, ketulusan Paklek yang setengah mati membantu kami sejak di kampung srawen membuat kami tidak punya alasan apapun untuk menyimpan dendam apalagi menyakiti orang lain.

Akhirnya Paklek maju mendahului kami menghadapi setan wanita itu, aku segera menyusul dengan genggaman tanganku yang sudah dihiasi kabut berwarna hitam

“Dendam hanya akan menciptakan dendam yang lain... satu-satunya cara menyelesaikanya hanyalah dengan mengakhiri urusan kami dengan makhluk laknat seperti kalian!” Ucapku sembari membacakan mantra berbahasa jawa kuno yang diajarkan Mbah Jiwo hingga sesosok makhluk besar bertubuh hitam berwajah kerbau muncul tepat di hadapan kami.

“Ki Maesa Ombo...”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close