Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERITAN LEMBAH KERAMAT (Part 6) - Dewi Ginidarna

“Le… ojo dolan ning alas adoh-adoh, mengko diparani demit kebo ireng” (Nak... jangan main di hutan jauh-jauh, nanti didatangi setan kerbau hitam) Ucap ibu yang memperingatkanku setiap akan bermain di hutan.

“Nggih bu...” Balasku yang segera berlari masuk jauh ke dalam hutan menuju sebuah tempat pemandian kuno yang mendapatkan aliran air dari mata air di atas bukit tanpa menghiraukan perkataan ibu.

Benar kata ibu, semakin dalam aku masuk ke dalam hutan sesosok makhluk berkepala kerbau berkulit hitam dengan cakar besar yang menggantung di lenganya yang panjang muncul dari dalam kegelapan hutan.


JEJAKMISTERI - “Enek sing masuk seko etan desa...” (ada yang masuk dari timur desa) Ucapku memberi informasi pada makhluk itu.

Seolah mengerti maksukdu, makhluk berwajah kerbau itu berlari menuju arah yang kutunjukkan hingga kami berhasil menemukan posisi beberapa orang yang masuk ke hutan ini dari arah timur desa.

Dari jarak yang tak terlihat makhluk berkepala kerbau itu meraung dengan keras hingga membuat orang-orang itu ketakutan.

Tak mau kalah, saat mereka mencapai pohon tempatku menunggu, aku melemparkan beberapa ular sawah yang sudah kukumpulkan dan kusimpan di tas kain lusuhku tepat ke atas tubuh mereka.

“Pergi...” Ucapku dengan berusaha membuat sauaraku terlihat berat dengan selongsong bambu yang kupasang di depan mulutku.

Dengan kekuatanya yang besar, makhluk berwajah kerbau itu memukul tanah berkali-kali seolah memperdengarkan suara langkah kaki raksasa yang mengejar orang-orang itu.

Cukup dengan cara ini, biasanya mereka yang datang ke tengah hutan ini untuk mencari ilmu atau pesugihan akan mengurunkan niatnya dan meninggalkan hutan ini. Jika mereka kembalipun aku sudah siap untuk mengusirnya lagi.

Entah dari mana tersebar kabar mengenai keajaiban dari pemandian di lembah ini. konon mereka yang mandi di tempat ini dengan membawa persembahan berupa ayam cemani dan beberapa syarat, keinginanya akan terkabul.

Namun aku tahu, walaupun keinginan mereka terkabul, mereka yang telah melakukan ritual itu akan menjadi pengikut ratu ular yang sering kita dengar di berbagai cerita-cerita.

Beberapa cerita yang tersebar, mereka pelaku pesugihan itu akan kembali ke tempat ini dalam wujud ular hingga demit bertubuh hitam.

Aku tak mau hal itu terjadi sehingga dulu aku seorang diri menggunakan beberapa trik nakalku aku mengusir siapapun yang mencoba mendekat ke pemandian.

Sampai suatu ketika di tengah kejahilanku, makhluk berwajah kerbau ini datang seolah menunjukan niat untuk membantuku untuk menjalankan misi ini hingga saat ini.

Sekarang dia adalah temanku. Penunggu sebenarnya lembah keramat, sang penjaga hutan di lembah ini..
Ki Maesa Ombo...

*---000---*

Seumur hidupku aku tidak pernah menyangka akan melihat pemandangan semengerikan ini. Berbagai wujud siluman ular dan makhluk jadi-jadian mengepung kami berlima di tengah gelapnya hutan yang merupakan sarang mereka.

“Kalian semua... jangan pernah berhenti membaca Doa kepada Yang Maha Kuasa, hanya dengan kekuataNyalah kita bisa selamat dari situasi ini..” Perintah Paklek pada kami.

Kami mengerti, kami butuh keajaiban untuk selamat dari tempat ini.

Saat bujuk rayu siluman wanita yang memimpin siluman ular itu sudah tidak berguna untuk kami, dengan segera ia memerintahkan seluruh pengikutnya untuk menyerang kami.

Berbagai macam ular jatuh dari atas pohon dengan berbagai ukuran.

Mbah Jiwo memutarkan cambuknya menghindarkan kami dari serangan ular-ular itu. Namun dari belakang siluman itu muncul makhluk-makhluk hitam besar bermata merah menyerang kami.

Untungnya Ki Maesa Ombo segera menyambut mereka dengan pukulan yang menghancurkan tanah di sekitarnya.

Paklek yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan segera menerjang siluman wanita itu dengan menghujamkan bilah hitam keris ke tubuhnya.

Beberapakali Paklek menyerang namun seperti menyerang hembusan angin. Tidak ada satupun serangan Paklek yang mengenainya.

Aku mengajak Rumi dan Ismi membacakan doa yang diajarkan oleh Paklek untuk menahan gerakan siluman-siluman di sekitar kami sementara Paklek, Mbah Jiwo, dan Ki Maesa Ombo menahan serangan-serangan yang datang kepada kami.

Tenyata usaha kami berhasil... doa yang kami bacakan mampu menahan siluman wanita cantik yang bertarung melawan Paklek hingga menunjukan wujud aslinya.

Kulitnya yang putih kini sebagian berubah menjadi sisik ular dengan mata dan lidah yang benar-benar mirip seperti ular.

Dengan sigap Paklek menyerang lagi tubuh siluman itu, namun tanpa disangka siluman itu mencabut sebuah keris dan menahan serangan Paklek hingga menimbulkan pecahan energi yang membuat Paklek terpental.

“Bukan kamu saja yang memiliki keris pusaka...” Ucap Siluman itu.

Paklek tidak mempedulikan ucapan siluman itu dan kembali menyerang, namun tetap saja Paklek terpental setiap kedua keris itu beradu.

“Hahaha.. pusaka ini akan mementalkan semua serangan yang menyentuhnya, hebat bukan?” Ucap makhluk itu.

“Keris ini kurebut dari seorang dukun yang ku bunuh atas perintaan leluhur kedua bocah ini”

Mendengar ucapan siluman itu, aku menoleh ke arah Mbah Jiwo yang sepertinya tidak mempedulikan ucapan makhluk itu.

“Tak usah pedulikan... makhluk itu hanya ingin mempengaruhi kita” Ucap Mbah Jiwo yang masih sibuk dengan ular-ular yang menghampiri kami.

“Benar Dimas... Jangan pernah mendengarkan ucapan dari siluman sesat seperti mereka, tapi yang membuat saya heran.. bagaimana Siluman bisa menggunakan pusaka yang dibuat oleh manusia?” Ucap Paklek yang masih mencari cara menangani pusaka siluman itu.

“Siluman tidak bisa menggunakan pusaka yang dibuat untuk manusia... kecuali kulit pemiliknya sendiri yang melapisi peganganya.. hahaha” Ucap makhluk itu sambil menunjukan kulit manusia yang membungkus gagang keris pusaka itu.

“Mas.. Maksud siluman itu, Dia menguliti pemilik pusaka itu untuk bisa menggunakan pusaka itu?” Tanya Rumi.

“Sepertinya begitu..“ Aku menjawab sekenaku karena aku memang benar-benar tidak mengerti apapun mengenai pusaka. Namun lain dengan Mbah Jiwo, ia segera menyingkirkan ular yang mendekat dan menghampiri Paklek.

“Mbah Jiwo... Jangan terpancing, makhluk itu sengaja memancing emosimu” Ucap Paklek.

Namun Mbah Jiwo tidak membalas dan tetap berjalan ke samping Paklek.

“Sudahlah, aku tidak peduli dengan urusan leluhurku... aku hanya ingin memastikan seharusnyanya bilah hitam keris sukmageni sudah pernah menyentuh darah siluman itu kan?“ Tanya Mbah Jiwo.

Paklek mengangguk, terlihat ia mengingat api hitam yang muncul setelah Paklek memotong salah satu ekor siluman ular itu yang menjerat Mbah Jiwo.

“Kalau begitu, Ingat mantra ini baik-baik...”

Mbah Jiwo mendekat dan menatap bagian ekor siluman ular yang terpotong oleh keris Paklek dan membacakan sebuah mantra.

“Geni sukmo ngobong jiwo.. urupke karma geni kagem getih duroko...”

Sontak setelah mantra itu dibacakan, Siluman wanita itu menggelinjang seperti kesakitan.

“Panas!!!! Panasss!” siluman itu berteriak hingga suaranya terdengar ke seluruh hutan.

Darah yang terlihat menetes dari bagian tubuhnya yang terpotong berubah menjadi api hitam seperti yang sebelumnya menyala di keris Paklek.

“Bajingan kalian!!! Habisi mereka tanpa sisa!” Perintah makhluk itu pada seluruh pengikutnya.

Dengan segera seluruh makhluk di sekitar kami mengerubuti kami dan meyerang tanpa ampun, Paklek, Mbah Jiwo, dan Ki Maesa Ombo menahan dengan sekuat tenaga.

“Kesini... cepetan..” tiba-tiba roh bocah bernama imin itu memanggil kami dan menunjuk ke sebuah lubang hitam di bawah di sebuah tanah tak jauh dari tempat kami berada.

Kami segera mengerti dengan yang ia maksud. Aku memberi isyarat pada Ki Maesa Ombo hingga ia menimbulkan serangan yang membuat seluruh tanah di sekitar kami begetar.

Tak melewatkan kesempatan, kami berlari menuju lubang yang ditunjukan oleh hantu bocah itu dan Paklek terlihat seperti membacakan mantra untuk menghilangkan keberadaan kami.

Walau kecil, lubang ini ternyata cukup panjang. Cukup sulit bernafas di lubang ini namun masih lebih baik daripada harus berhadapan dengan makhluk-mahluk itu.

Beberapa kali hantu bocah itu menembus tanah dan menengok ke atas memastikan apakah posisi kami sudah aman hingga akhirnya kami tiba di ujung lubang ini yang tertutup oleh semak yang cukup lebat.

“Aman.. ayo cepetan” Ucap Hantu bocah yang menuntun kami.

Ternyata benar ucapanya, tempat kami keluar terlihat aman. Tidak ada satupun ular yang berada di tempat ini.

“Ayo... Cepat, tempat ini masih wilayah kekuasaan makhluk itu..” Jelasnya lagi.

Kami segera keluar dari lubang dan tiba di sebuah hutan yang dipenuhi semak.

“Hebat kamu Imin… kamu nyelamatin nyawa kami” Pujiku pada hantu bocah itu.

Ia tersenyum, namun sepertinya ia juga sadar masalah kami belum selesai.

“Jangan senang dulu.. masih banyak makhluk yang lebih seram, lebih baik persiapkan diri dulu sebelum lanjut ke pemandian” Jelas Bocah itu lagi.

Kami mengerti, dengan segera kami mengeluarkan botol air minuman yang kami bawa dan sedikit melepas lelah selama pertarungan tadi.

“Mbah Jiwo... Kekuatan bilah hitam keris ini begitu mengerikan, entah bagaimana bila kekuatan ini ada di tangan yang salah” Ucap Paklek yang masih takjub dengan kekuatan keris sukmageni yang telah diperkuat oleh Mbah Jiwo.

“Kamu benar Bimo... begitu banyak pendekar yang meminta pusaka dengan kemampuan itu, namun saya tau resikonya dan tidak pernah memberikanya kepada siapapun” Jawab Mbah Jiwo.

Paklek masih takjub dengan keris sukmageni yang ia pegang saat ini.

“Lalu, Mengapa Mbah Jiwo memberikan kekuatan ini pada Keris Sukmageni miliku ini?” Tanya Paklek lagi.

“Ada banyak alasan, yang pertama karena saya percaya kekuatan ini dipegang oleh orang yang tepat sehingga tidak akan digunakan untuk hal yang salah.

Dan yang kedua kekuatan api putih keris sukmageni memiliki kemampuan penyembuh yang bisa menetralkan Api hitam itu sehingga kekuatanya dapat dikendalikan..” Jelas Mbah Jiwo.

Paklek mengangguk dan akhirnya mengerti maksud Mbah Jiwo.

“Terima kasih mbah, akan saya gunakan kekuatan ini dengan bijak...” Ucap Paklek yang merasa terhormat mendapatkan kekuatan yang dipercayakan oleh Mbah Jiwo.

Setelahnya Mbah Jiwo meminta Ismi mengeluarkan batu hitam yang ia genggam dan membacakan mantra yang sebelumnya yang telah ia ajarkan.

Seketika muncul makhluk mengerikan di tengah-tengah kami. Siluman ular besar dengan badan manusia yang terpisah dari kepalanya.

“Bimo... apa kamu bisa membantu makhluk ini, dia adalah ibu dari hantu bocah ini yang menjadi bawahan dari makhluk itu” Ucap Mbah Jiwo.

“Iya Paklek... tolong bantu Ibunya imin, Dia sudah banyak membantu kita” Tambahku.

Paklek terlihat tersenyum, dengan segera ia membacakan beberapa mantra dan memutarkan pergelangan tanganya beberapa kali hingga muncul kobaran api putih yang menyelimuti tanganya.

Dengan sekali sentuhan tubuh dan kepala makhluk itu terbakar oleh api putih yang keluar dari tangan Paklek. Api itu menjadi semakin besar, terlihat tubuh ular dari makhluk itu menggelinjang seperti kesakitan.

“Mas... ibu, ibu kenapa?” tanya Imin yang khawatir melihat ibunya merasa kesakitan.

“Kamu tenang dulu... percayakan sama Paklek” ucapku yang segera mendampingi Imin disebelahnya.

Setelah terbakar cukup lama bagian tubuh yang berbentuk ular terbakar habis menyisakan tubuh seorang perempuan yang kembali menyatu dengan kepalanya.

“Ibuuuuk!” Teriak Imin yang tiba-tiba merasa senang melihat sosok yang sudah lama sekali tidak pernah dilihatnya.

“Paimin... kamu nungguin ibu?” Tanya roh perempuan itu.

“Iya Buk... Paimin mau ketemu ibu, meluk ibu” Ucapnya sambil tak henti-hentinya memeluk roh wanita itu.

Wajah bocah yang sebelumnya mengerikan dan terlihat nakal itu kini berubah menjadi manja seperti anak kecil yang polos.

“Ya sudah... ibu sudah tenang, api tadi sudah membakar semua penyesalan Ibu.. cepet nyusul ibu ya” Ucap wanita itu dengan sosoknya yang perlahan menghilang.

“Kamu... Imin ya? Sini pegang tangan Paklek... kamu bisa ikut ibumu” Ucap Paklek yang menjulurkan telapak tanganya yang masih diselimuti api putih.

Sayangnya bukan meraih tangan itu, Hantu imin mundur dan kembali ke ibunya yang mulai menghilang.

“Ibuk.. Imin di sini dulu ya, Imin mau bantuin Masnya Imin dulu... Imin pasti nyusul”

Tu..tunggu, maksudnya imin masih ingin membantu kami? Benar-benar ucapan yang sama sekali tidak kami duga.

Seketika setelah ucapan itu, Ibu Hantu bocah itu menghilang dengan wajah yang tersenyum.

“Imin.. Jaga Mas sama mbakmu itu ya, jangan nakal... kalau sudah cepet susul Ibu”

Ucapan hantu itu benar-benar mengingatkanku pada sosok ibu yang selalu membuatku Rindu. Aku sama sekali tidak menyangka akan melihat kejadian ini dari wujud yang tak bisa kulihat sebelumnya.

*****

Hari berjalan begitu cepat, aku menoleh pada jam tanganku dan menunjukan bahwa hari sudah mulai malam, walaupun sebenarnya di hutan ini sulit membedakan siang dan malam dengan minimnya cahaya yang masuk.

Kami segera melanjutkan perjalanan ke kampung ibu tepatnya sisa-sisa kampung ibu yang terletak di lembah ini.
Setelah beberapa jam perjalanan akhirnya kami mencapai sebuah tempat dimana terdapat bangunan-bangunan tua yang sudah rusak.

“Ini Rumi.. ini kampung ibu, bapak juga tinggal disini sejak kecil sejak pindah dari kampung Srawen.” Jelasku pada Rumi yang mungkin tidak mengingat tempat ini.

Mungkin Rumi tidak melihatnya. Namun aku yang sekarang, Ismi, Paklek dan Mbah Jiwo pasti menyadari keberadaan sosol pocong dan mayat yang bergelimpangan dan merintih di seluruh sudut tempat ini.

“Mas... ini suara apa?” Ucap Rumi yang merasa gelisah dengan suara yang didengarnya. Rupanya walaupun tidak dapat dilihat, suara makhluk ini masih bisa didengar oleh Rumi.
Ismi maju dan memperhatikan sosok makhluk-makhluk itu.

“Ini suara roh warga desa yang menjadi korban siluman itu” Jelas Ismi pada Rumi.

“Maksudnya? Seperti yang di desa Srawen?” Tanya Rumi.

Aku mengangguk, walaupun sebenarnya aku tidak tahu dengan jelas.

“Bukan..“ Jawab Paklek tiba-tiba.

“Roh Warga desa srawen tidak terikat dengan Topo Ulo.. mereka korban santet yang di rapalkan olehnya. Sedangkan warga desa ini terikat perjanjian dengan makhluk itu, sehingga mereka tidak bisa ditenangkan hingga makhluk itu binasa.. atau...”

“Atau apa Paklek?” Tanyaku yang penasaran dengan ucapan Paklek yang terputus.

Tiupan angin dingin seketika meniup pepohonan yang berada di desa mati itu dan memunculkan sosok yang kami kenal.

“Atau Tumbal yang dijanjikan segera digenapi...”

Suara itu terdengar dari demit berwujud wanita cantik yang kini menunjukan wujud aslinya memiliki banyak ekor ular di kakinya dan dua buah kepala ular yang muncul dari kedua bahunya

“Mereka baru bisa tenang ketika kamu sudah bergabung dengan kami Rumi...” Ucap makhluk itu lagi.

Ismi terlihat jatuh terduduk mendengar kenyataan ini, keselamatan dirinya ternyata mengorbankan seluruh warga desa asal ibunya. Aku menoleh pada Paklek mempertanyakan kebenaran hal itu.

“Jangan dengarkan ucapan makhluk itu.. pasti ada cara untuk menenangan mereka” Ucap Paklek.

“Seharusnya kalian tidak ikut campur... Aku Dewi Ginidarna Penguasa lembah ini. kupastikan kalian tidak akan bisa meninggalkan tempat ini” Ucapnya diikuti kemunculan pengikutnya di sekitarnya.

Aku kembali menggenggam batu hitam dan membaca mantra untuk memanggil Ki Maesa Ombo.

Seketika Makhluk berwajah kerbau itu muncul dan memperhatikan seluruh desa yang telah dikelilingi oleh pengikut Dewi Ginidarna itu. Namun bukanya bersiap melawan, Ki Maesa Ombo malah melompat menuju hutan di belakang desa dan meninggalkan kami.

“Tu.. tunggu Ki Maesa...” Aku mencoba menahanya namun sepertinya suaraku sudah tidak terdengar olehnya.

“Itu arah pemandian mas...“ ucap roh Imin yang tiba-tiba muncul memberitahuku.

Paklek terlihat seperti mengerti sesuatu.

“Dimas... Kamu ikuti Ki Maesa Ombo, biar kami yang mencoba menahan mereka semua di sini.” Perintah Paklek.

Aku mengerti dan bergegas mengikuti Ki maesa bersama Roh Imin.

“Mas.. Rumi Ikut!” ucap Rumi yang mau menyusulku, Namun aku berusaha menghentikanya. Untuk saat ini yang bisa melindunginya hanya Paklek dan Mbah Jiwo.

“Biar aku saja yang menemani Dimas.. Kamu tetap bersama Mbah Jiwo dan Paklek” Perinta Ismi pada Rumi dan segera menyusulku.

Kami berlari secepat mungkin mengikuti Roh Imin yang berlari di depan kami.
Terlihat beberapa makhluk berwujud ular dan siluman hitam tergeletak tak berdaya di jalur yang kami lewati. Sepertinya ini adalah ulah Ki Maesa Ombo.

“Itu... itu pemandianya!” Ucap imin menunjuk ke sebuah tempat.

Terlihat dari jauh Ki Maesa Ombo mengamuk sekuat tenaga menghancurkan setiap batu-batu yang berdiri menampung aliran air yang mengalir dari celah bebatuan.

Melihat tingkah lakunya aku mengerti sesuatu, ia mencoba menghancurkan pemandian dan mengeringan air yang ada di tempat itu.

Sementara Ki Maesa Ombo menghancurkan pemandian itu, aku dan Ismi berusaha menutup aliran air yang selama ini memenuhi pemandian itu dengan bebatuan dan mencoba mengalirkan ke arah lain.

Batu dan tanah yang mulai berhamburan menyebabkan air dari pemandian itu tumpah hingga hampir mengering.

“Dimas.. itu!” Ismi menunjuk ke sebuah lubang yang terdapat di dasar pemandian itu, dari situ terlihat seekor ular hitam yang tertidur di dasar kolam.

“Apa kita harus membunuh ular itu?” Tanyaku pada Ismi.

Ia hanya menggeleng menandakan tidak tahu apa yang harus di lakukan. Namun tiba-tiba Ki Maesa Ombo turun dari sebuah dahan pohon dan melemparkanku sebuah tas kain yang sudah sangat tua.

Aku membuka tas itu dan melihat beberapa benda salah satunya adalah pisau dengan bilah berwarna hitam.

“Bukan ular itu... tapi hancurkan sesuatu yang dijaga ular itu” Mendadak aku berbicara di luar kesadaran. Tapi aku tahu itu adalah suara Bapak.

Ismi terlihat segera menyadari apa yang harus dilakukan. Ia mengambil sebatang kayu panjang dan berusaha memindahkan ular hitam itu dari lubang yang dijaga ular itu. sayangnya tidak semudah yang terlihat.

Merasakan bahaya, ular itu seperti berteriak dengan suara mendesis seolah memanggil kawananya. Seekor ular besar jatuh dari atas pohon menuju ke arah Ismi.

Aku segera berlari ke arah Ismi yang masih sibuk dengan ular itu merangkulnya dan menghindarkanya dari serangan ular besar yang mendekat ke arahnya.

Melihat serangan ular itu Ki Maesa Ombo menangkap ular itu dengan tangan kosong, menggigitknya dan menariknya hingga terbelah menjadi dua.

“Sepertinya sudah aman Ismi...” Ucapku yang mulai tenang.

“I... iya mas udah aman, ta.. tapi meluknya jangan kelamaan... Ismi Malu..” Ucapnya dengan wajah yang merah.

Aku tersadar, saking paniknya aku sampai lupa bahwa tanganku masih merangkul di pinggang Ismi setelah menariknya tadi.

Entah aku menjadi merasa canggung, apalagi setelah melihat wajah merah Ismi tadi yang menurutku terlihat manis.
Setelahnya aku mencari sesuatu dari tas yang diberikan Ki Maesa Ombo dan menemukan sebuah batu besar.

Ismi berhasil memindahkan ular hitam itu hingga aku bisa dengan leluasa menemukan benda seperti kulit yang menutupi dasar lubang.

Dengan pisau yang kugenggam, aku merobek benda itu dan menemukan sesuatu yang menjijikan.

Enam buah tengkorak kepala dengan beberapa rambut yang masih menempel terlihat terbenam di antara tanah dan sisa sisa air yang tertutup oleh lembaran kulit itu.

“Hancurkan tengkorak itu dan kuburkan dengan layak” Sekali lagi suara bapak terdengar merasuki tubuhku.

Seolah mengerti perintah bapak aku segera mengeluarkan batu hitam yang berasal dari tas itu dan memukulkanya ke kepala tengkorak itu.
Sontak sebuah penglihatan muncul di kepalaku setiap aku memukulkan benda ini.
Enam Mayat yang di gantung...

Kepala yang dipesembahkan ke Dewi Ginidarna...
Hingga sosok leluhur kami yang berubah menjadi pengabdi makhluk itu..
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close