Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JERITAN LEMBAH KERAMAT (Part 7 END) - Bali Mulih

Saat ini dihadapanku terdapat tumpukan tengkorang enam orang wanita dengan rambut mereka yang masih tersisa di sana.
Sekuat tenaga aku memukulkan batu hitam dari tas yang diberikan oleh Ki Maesa Ombo untuk menghancurkan satu persatu tengkorak ini dan menguburkanya dengan layak.


JEJAKMISTERI - Ketika sebuah tengkorak terpecah, terdengar sebuah teriakan dari arah desa. Aku menduga teriakan itu berasal dari Dewi Ginidarna. Tak lama setelahnya aku mendengar suara pepohonan yang tersibak seolah ada makhluk besar yang mengarah ke arah tempat kami.

Aku tidak mempedulikan hal itu dan terus menghancurkan tengkorak manusia itu satu persatu. Sayangnya siluman hitam yang menyerupai manusia sampai duluan ke tempat kami dan segera menyerangku yang masih berkutat di dalam kolam kering ini.

Untung saja Ismi cukup sigap menyalakan korek api kuno miliknya dan mencegah makhluk itu untuk mendekat. Ki Maesa Ombo pun dengan sigap melindungiku dari makhluk lain yang mencoba mendekat hingga akhirnya muncul sosok yang ku khawatirkan.

Dewi Ginidarna menerobos hutan menghampiri kami. Ki Maesa Ombolah yang maju menahanya. Pukulan-pukulan kuatnya saling beradu dengan sabetan ekor ular dari Dewi Ginidarna.

Sebenarnya aku mencemaskan keberadaan Paklek, Rumi dan Mbah Jiwo namun untungnya kecemasanku terjawab dengan kemunculan Rumi yang dipandu oleh Roh Imin menuju tempatku berada.

Seolah mengerti dengan apa yang kulakukan, Ismi bersiap mengeluarkan sisa tengkorak yang ada di dalam lubang dan memeganginya untuk segera kuhancurkan.

“Rupanya itu tumbal yang mengikat makhluk itu di tempat ini...“ Ucap Paklek yang masih sibuk melawan Dewi Ginidarna dan pengikutnya.

Setelah tengkorak terakhir hancur terlihat satu persatu siluman hitam pengikut makhluk itu kembali mendapatkan wujud manusianya.

Tak hanya itu, siluman ular berbadan manusia pengikutnya kehilangan bagian tubuh ularnya dan kembali menjadi roh manusia seperti yang terjadi pada ibu imin.

“Manusia brengsek!!” Di tengah amarahnya Dewi Ginidarna itu memaksakan tubuhnya yang sudah hampir menyerupai monster ular ke arah Rumi dan menggigitkan tubuh Rumi dengan kepala ular yang berada di bahu kananya.

Aku panik dan menusukan pisau yang ku pegang ke kepala ular itu, namun ekor makhluk itu membuatku terpental.

Rumi terlihat kesakitan. Namun sebelum Mbah Jiwo dan Paklek mendekat, Rumi terlihat menggenggam sebuah batu hitam yang Dimasukan oleh bapak ke tubuh Rumi dan membacakan mantra yang diajarkan oleh Mbah Jiwo.

Seketika Dewi Ginidarna Terpental jauh dari Tubuh Rumi diiringi dengan kemunculan sesosok kakek tua dengan tubuhnya yang telah dipenuhi sisik ular.

“Jadi itu orangnya...“ Ucap Mbah Jiwo yang sepertinya mengerti sesuatu.

“Dia adalah leluhur Rumi yang menyegel rohnya ke batu hitam itu untuk saat seperti ini” Jelas Mbah Jiwo lagi.

Aku segera berdiri mendampingi Rumi. Paklek segera membacakan mantra untuk menyembuhkan Rumi dari serangan makhluk itu.

“Ini adalah akhir dari perjanjian laknat itu.. aku akan menebus semuanya” Ucap Kakek itu yang menerjang Dewi Ginidarna.

Setiap pukulanya membuat makhluk itu tidak berdaya, dengan sadis makhuk yang disebut sebagai leluhurku itu menarik lengan dan ekor Dewi Ginidarna hingga terputus dan mencabik-cabik tubuhnya.

“Ratu... Ratu siluman ular yang agung! Tolong pinjamkan kekuatanmu” Teriak Dewi Ginidarna kepada sosok yang sama sekali tidak kuketahui wujudnya namun sepertinya Ratu yang ia maksud adalah makhluk yang sering kudengar di cerita legenda.

“Bukankah kau seorang dewi... mengapa kau masih memohon kepada ratu yang lebih rendah dari seorang dewi...”

Suara wanita yang mengerikan terdengar dari suatu tempat yang tidak kuketahui asalnya.

Kini keadaan berbalik Aku, Rumi, Ismi, Mbah Jiwo, Paklek, Ki Maesa Ombo dan tak lupa roh imin kini berkumpul menghadapi semua serangan dari pengikutnya yang sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi hingga seluruh tubuh Dewi Ginidarna lenyap oleh pembalasan leluhur kami.

***

Ketika sudah tidak ada serangan yang mengarah kepada kami, keheningan tercipta dengan posisi kami yang masih tidak percaya bahwa tragedi ini telah selesai.

“Paklek... apa ini sudah selesai?” Tanyaku yang masih tidak percaya.

Paklek menyarungkan keris sukmageninya seolah menjawab pertanyaanku. Namun ia mendekat ke sosok kakek tua itu seperti mencari penjelasan.

“Terima kasih sudah menolong cucu-cucuku, aku tidak akan menjelaskan apapun... dosaku terlalu besar dan terlalu hina untuk diceritakan” Ucap kakek itu.

Sepertinya Paklek mengerti, namun tetap mendekatinya.

“Bukan kami yang berhak menghitung dosamu mbah.. namun usaha mbah untuk menebusnya sangat berarti bagi kami..”

Ditengah ketenangan itu mendadak aku terjatuh seperti ada sesuatu yang meninggalkan tubuhku.

Sosok roh seorang pria dengan kaos lusuhnya terlihat meninggalkan tubuhku.

“Wis yo.. Rumi.. Dimas.. Bapak pergi dulu... Sekarang kalian bisa hidup dengan tenang” Ucap roh bapak yang meninggalkan tubuhku.

“Bapak... Rumi kangen” Teriak Rumi sekencang-kencangnya. Terlihat pula air mata Rumi mulai membasahi pipinya dengan deras.

Tak tega melihat Rumi seperti itu, roh bapak menghampiri Rumi dan mencoba menyentuh kepalanya. Sayangnya tangan bapak hanya menembus tubuh Rumi.

Namun sosok tangan lain terasa di bahu Rumi. Itu Ismi yang berusaha menghibur Rumi di tengah kesedihanya.

“Rumi, Dimas... Bapak bisa pergi dengan tenang bukan karena makhluk itu sudah bisa dikalahkan, tapi karena bapak sudah bisa melihat kalian memiliki orang-orang yang sayang dengan kalian... Jaga mereka baik-baik ya”

Itu ucapan terakhir Bapak sebelum rohnya menghilang. Tak lama setelahnya terlihat api putih yang mulai membesar di tengah-tengah hutan ini. Itu adalah Geni Baraloka milik Paklek.

Satu persatu roh penasaran yang sebelumnya berwujud siluman ular menyentuh geni baraloka milik Paklek dan mulai menghilang.
Ki Maesa Ombo melompat menuju ke salah satu batu tertinggi di pemandian dan duduk bersila seolah menjadikan tempat itu peristirahatanya.

“Maesa ombo... maafkan kesalahanku, terima kasih sudah menjaga tempat ini dan keturunanku” Ucap kakek leluhur kami sambil menyentuh makhluk hitam perkasa berwajah kerbau itu.

Mendadak, dari sentuhanya Ki Maesa Ombo yang telah menutup matanya berubah menjadi sebuah batu besar seperti sedang menjaga tempat itu.

Namun Aku tahu, saat ada hal jahat yang akan mengusik lembah ini, Ki Maesa Ombo akan bangkit kembali untuk mempertahankan wilayah kekuasaanya dari hal jahat.

Kami menghabiskan malam dengan membaca rangkaian doa untuk menenangkan warga desa asal ibu hingga tidak ada lagi roh manusia yang terjebak dalam kutukan Dewi Ginidarna dan menghabiskan sisa tenaga kami untuk kembali ke rumah Mbah Jiwo.

*****

“Paklek... sini Paklek, sarapanya sudah siap” Ucapku memanggil Paklek yang masih menikmati udara pagi di halaman rumah Mbah Jiwo.

Saat ini tepat di hadapan kami sudah berjejer makanan dengan berbagai lauk yang menggiurkan.

“Wah... Keliatanya enak nih, sangat berdosa bila makanan ini tidak dihabiskan” Ucap Paklek yang takjub dengan makanan yang ada di hadapanya.

“Jelas Paklek... masakan Ismi ini ga kalah sakti, bahan seadanya tapi rasanya istimewa” Ucapku yang memerkan masakan smi.

“Hayo... ngomongin siapa” Ucap Ismi yang datang dengan membawa lauk terakhir bersama dengan Mbah Jiwo yang segera ikut bergabung.

“Haha.. ini lho, kata Dimas masakan kamu bener-bener istimewa, calon istri idaman katanya” Ucap Paklek yang mencoba menggodaku.

Mendengar ucapan itu wajah Ismi mulai terlihat memerah menahan malu, entah mengapa wajahnya yang seperti itu terlihat sangat lucu.

Entah.. pagi ini terasa sangat istimewa. Seolah semua beban sudah terangkat dan keberadaan Ismi, Paklek, dan Mbah Jiwo mampu menutup semua rasa kehilangan yang sebelumnya aku dan Rumi rasakan.

Setelah ini Paklek akan kembali ke klaten dan kami bertiga akan kembali ke aktivitas kami masing-masing. Namun aku sudah ijin ke Paklek dan Mbah Jiwo bahwa kediaman mereka akan menjadi tujuan kami pulang kampung setiap lebaran nanti.

SELESAI

*****
Sebelumnya

Note:
Suara kendaraan mesin mobil terdengar cukup keras membangunkanku dari tidur. Aku ingat.. kami sedang perjalanan pulang menuju rumah setelah melalui hari-hari yang melelahkan.

Namun tepat dihadapanku terlihat Rumi yang menatapku dengan wajah yang aneh.

Bukan.. bukan seperti wajah perempuan yang kesurupan. Tapi Rumi menatapku dengan mengerutkan dahinya seolah mengharapka penjelasan.

“Mas Dimas... sudah bangun? Sekarang Jawab yang jujur..!” Tanya Rumi Tiba-tiba.

Aku heran dengan perkataan Rumi.

“Apa yang sudah terjadi di antara Mas Dimas dan Ismi?” Tanyanya lagi.

“Enggak.. Mas Dimas ga ada apa-apa dengan Ismi” Jawabku spontan. Lagipula kenapa Rumi bisa tiba-tiba bertanya seperti itu.

“Kalau gak ada apa-apa, kenapa Ismi bisa ada di situ?” Ucap Rumi sambil menunjuk ke sebelahku.

Ternyata aku tidak sadar, saat ini Ismi tertidur di bahuku dengan memegangi tanganku dengan erat.

Wajahnya yang sedang tertidur terlihat sangat polos tidak seperti wanita kota pada umumnya.

“Tuh kan bengong... masih bilang gak ada apa-apa?” Tanya Rumi yang masih mengintrogasiku.

“Be... beneran, gak ada apa-apa Ismi kecapean aja kali” Jawabku.

“Kalau gitu pindah sini, Biar Rumi yang di sebelah Ismi” Perintah Rumi yang memintaku untuk berpindah.

Aku berpikir sejenak dan mengurunkan niatku.

“Hihi.. ga usah ya Dek Rumiku sayang, mbok sekali-kali ngebiarin mas mu ini seneng dikit” Ucapku sambil sedikit tertawa.

“Tuh Kan!!!” Rumi yang terima dengan ucapanku memasang wajah yang cemberut sambil membuang muka. Tapi setelahnya terlihat senyuman kecil dari bibirnya setelah melirik Ismi yang tertidur di pundaku.

TAMAT
close