Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 1) - Pentas Wayang Kampung Demit

Kisah tentang sekelompok wayang yang melakukan pementasan di kampung demit, namun rupanya hal itu memancing kemunculan demit berwujud Dalang yang membawa petaka


JEJAKMISTERI - “Ki.. piye Ki? Durung ono sing nanggep awake dewe meneh yo?” (Ki.. bagaimana ki? Belum ada yang mengundang kita lagi ya?) ucap salah seorang pemain gamelan yang benar-benar berharap ada pekerjaan untuk kelompok wayang mereka.

“Ngapunten yo le.. aku yo ngerti kahanan njenengan lan liyane, nanging tenanan mboten enten sing takok-takok blas”
(Maaf ya le.. saya juga mengerti kebutuhanmu dan yang lainya, tapi benar tidak ada yang tanya-tanya sama sekali) Ucap Ki Daru Baya sang dalang sekaligus pemilik sanggar kelompok gamelan ini.

Memang sudah cukup lama kelompok wayang Ki Daru Baya tidak melakukan pementasan, padahal sebelumnya kelompok mereka rajin di “Tanggep” oleh warga baik dalam kota maupun luar kota.

Hal ini membuat khawatir para pemain gamelan, sinden, dan anggota yang menggantungkan hidupnya pada kesenian ini.

“Yo wis.. coba tak cari petunjuk dulu, semoga ada jawaban dari Gusti Yang Maha Kuasa atas kesulitan kita ini.

Kalian juga rajin-rajin ibadah ya... saya yakin kesulitan yang kita hadapi tidak akan melebihi kemampuan kita” Wejang Ki Daru Baya kepada anggota-anggotanya yang gelisah dengan keadaan ekonomi mereka.

Sesuai perkataanya, Ki Daru Baya yang sudah cukup sepuh memaksakan dirinya untuk pergi ke sebuah gunung tempatnya dulu mencari wangsit dan mendalami ilmu pewayanganya.

Ia berpuasa dan melakukan semedi seperti saat dulu ia diturunkan ilmu untuk menjadi dalang oleh leluhurnya.

Menjadi dalang memang bukan perkara mudah, beberapa dalang biasa cukup mempelajari ilmu pewayangan dari sanggar ataupun anggota keluarganya.

Namun bagi beberapa dalang yang memegang teguh tradisi keluarga, mereka masih melakukan puasa mutih, semedi, dan ritual tertentu sebelum memulai pementasan maupun mengambil keputusan.

Selama semedi di gunung tersebut, Ki Daru Baya mendapatkan penglihatan mengenai sebuah desa di tengah hutan yang ternyata cukup dipadati penduduk.

“Le... nek kowe ditanggep ning kene opo kowe gelem?”
(Nak.. kalau kamu pentas di tempat ini apa kamu mau?)
Ucap suara yang muncul di kepala Ki Daru Baya yang memang ia kenal sebagai suara leluhurnya.

Ki Daru Baya sebenarnya cukup tau dengan keanehan desa yang terletak di tengah hutan itu. Namun karena itu adalah petunjuk dari sesepuhnya ia menyanggupi untuk mengisi acara di desa itu.

Setelah menyanggupinya, Ki Daru Baya diberi petunjuk bahwa akan ada seseorang yang meminta kelompok wayangnya bermain di desa itu, dan Leluhurnya juga memberi tahu, berapapun bayaran yang mereka berikan harus mereka terima tanpa ngebatin (ngedumel).

Benar.. sesuai petunjuk yang di dapat saat semedi, tiba-tiba di tengah perjalanan pulang dengan berjalan kaki Ki Daru Baya dihadang oleh seseorang yang menaiki motor tua yang menyerahkan secarik kertas.

“Ngapunten ki... niki kulo diamanahi menehi iki kanggo panjenengan”
(Maaf ki... ini saya diberi amanah untuk memberikan benda ini untuk anda) Ucap pria itu sambil menjelaskan mengenai kampungnya yang berencana membuat acara hajatan.

Ki Daru Baya mengerti. Ia tidak banyak bertanya, ia hanya bertanya mengenai jenis lakon, pantangan, atau segala sesuatu tentang pementasan namun semua diserahkan kepada Ki Daru Baya.

Mengenai tempatpun sudah tertera di kertas yang telah diberikan.

Saat tau Ki Daru Baya menyanggupi tawaran warga desanya, Pria misterius itu merasa senang dan meninggalkan Ki Daru Baya yang tetap ingin melanjutkan ritualnya untuk pulang dengan berjalan kaki.

***

Mendengar adanya tawaran pentas, Seluruh anggota Sanggar Ki Daru Baya merasa senang. Tidak ada satupun anggota yang menolak tawaran aneh itu.

“Jaga tata krama saat ada di desa itu, Jangan mengeluh atas jumlah bayaran maupun saweran yang mereka berikan, apa kalian sanggup?” Ucap Ki Daru Baya memastikan kesiapan anggota kelompoknya.

Dengan segera semua anggota menyetujuinya, menurut mereka itu bukan hal yang berat.

Selama ini kelompok wayang mereka memang tidak pernah memusingkan berapapun bayaran yang diberikan dan bahkan mereka tidak meminta suguhan apapun karena sebelum dan selama pementasan mereka sudah dibiasakan untuk berpuasa.

***

Hari yang dinantikan telah tiba, seluruh pemain gamelan, sinden, dan anggota pementasanpun tiba di sebuah hutan yang ditunjukan oleh kertas yang dipegang Ki Daru Baya.

“Ki.. benar lewat sini jalanya?” Tanya serang anggota yang bertugas menyetir mobil pick up tua untuk membawa perlengkapan pementasan.

“Iyo... tunggu di sini saja” Jawab Ki Daru Baya.

Sesuai ucapan Ki Daru Baya, tak lama kemudian muncul seorang pria dengan motor tua seperti yang menghampiri Ki Daru Baya setelah semedi.

“Monggo Ki.. Nunuti kulo yo..” (Silahkan Ki... ikuti kami ya) Ucap pria itu yang memandu kami memasuki jalur hutan yang ternyata memiliki jalur yang bisa dilalui kendaraan walaupun masih dipenuhi batu-batuan.

Sebuah desa yang cukup besar terlihat di ujung hutan itu, Pria tadi menunjukan panggung pementasanya dan mengenalkan Ki Daru Baya dengan seseorang Bapak yang mempekerjakan mereka.

“Matur Suwun yo Ki sampun rawuh mriki.. nek njenengan butuh apa-apa monggo diomongke ke kulo” (Terima kasih ya ki sudah mau datang ke sini, kalau anda butuh apa-apa silahkan bilang ke saya) Ucap Bapak itu dengan sangat sopan.

“Nggih Pak.. Kulo sing matur suwun, mugi-mugi warga desa seneng sami pementasan kulo” (iya Pak, saya yang berterima kasih.. semoga warga suka dengan pementasan kami)

Balas Ki Daru Baya yang masih terheran-heran dengan keberadaan desa di tengah hutan ini.

Tepat pukul sembilan malam pementasan di mulai.
Sebuah pementasan wayang dengan lakon Babat Alas Wanamarta diceritakan oleh Ki Daru Baya.

Sebuah kisah mengenai perjalanan kelima pandawa dalam menaklukan hutan wanamarta yang dijaga oleh lima jin yang memiliki rupa seperti kelima pandawa.

Yudistira yang mirip Puntadewa,
Dandungwacana yang sama persis dengan Bima,
Dananjaya yang berwajah Arjuna,
serta Nakula dan Sadewa yang sulit dibedakan dari kembar Pinten dan Tansen.

Singkat cerita, kelima Pandawa berhasil mengalahkan kelima Jin penguasa Hutan Wanamarta itu yang akhirnya menitis ke tubuh mereka.
Hal inilah yang membuat kelima Pandawa memiliki nama yang sama dengan para penguasa hutan Wanamarta.

Suara riuh tepuk tangan dari warga memecahkan keheningan desa setiap Ki Daru Baya menampilkan adegan-adegan yang membuat warga terkesima.

Hingga sampai pada akhir acara, warga yang terkesima dengan suara merdu sinden dan permainan gamelan kelompok Ki Daru Baya segera menghampiri mereka.

“Matur suwun yo mbakyu.. sworone panjenengan merdu tenan, niki kanggo panjenengan” (Terima kasih ya mbak.. suaramu benar-benar merdu, ini untuk mbaknya) Ucap seorang pria yang memberikan sesuatu kepada sinden Ki Daru Baya.

“Nggih.. sami-sami yo pak, Matur suwun” (Iya sama-sama ya pak, terima kasih) Jawab Sinden itu yang sebenarnya bingung dengan sesuatu yang diberian bapak itu.
Buka uang yang diberikan seperti pementasan biasanya, melainkan Kunir dan kerikil...

Pemain lain juga menerima hal yang sama, awalnya mereka ingin membicarakan itu namun mereka ingat pesan dari Ki Daru Baya untuk tidak mengeluh dengan apa yang mereka terima.

Walaupun sebenarnya cukup kecewa dengan bayaranya, namun reaksi penonton yang sangat terasa terhibur cukup membuat mereka puas dan tidak menghiraukan dengan bayaran yang mereka terima.

Selesai acara Ki Daru Baya berpamitan dan menerima sebuah kotak kayu dari pemilik hajatan. Sama saja dengan anggota lainya, isi kotak itu hanyalah kerikil dan tiga buah kunir.
Kelompok gamelan Ki Daru Baya keluar dari hutan saat matahari mulai terbit.

Ki Daru Baya mengajak seluruh anggotanya untuk makan di sebuah kedai soto dengan semua uangnya yang tersisa dengan maksud menghibur seluruh anggotanya.

“Ki.. kita benar-benar tidak dapat bayaran ya ki?” Tanya salah seorang anggota yang terlihat mengeluh.

Ki Daru Baya hampir tidak dapat menjawab pertanyaan anggotanya itu. Namun ia mengingat kotak kayu antik pemberian pemilik acara itu.

“Isi kotak ini sama seperti yang kalian terima, tapi sepertinya kotak ini cukup antik.. semoga saja bisa dijual dan kita bagi rata untuk semuanya” Ucap Ki Daru Baya.

“Saya bisa bantu jual ki, ada kenalan kolektor barang antik yang pasti mau bantu kita” Ucap salah seorang pemain gamelan yang menawarkan bantuan.

Ki Daru Baya menyetujuinya dan menyerahkan kotak itu ke pemuda itu.

Perlahan pemuda itu memperhatikan kotak kayu jati yang dihiasi ukiran-ukiran antik. Ia terkesima dengan motif ukiranya dan membukanya.
“k...Ki....“
Tiba-tiba suara pemuda itu terdengar bergetar.
“Kenopo Le?” Tanya Ki Daru Baya.

“I..ini bukan kerikil... Kotak ini isinya emas..” Ucapnya sambil menunjukan isi kotak itu.

Dengan segera Ki Daru Baya dan pemain lainya mendekatinya dan memastikan isi kotak itu.

Tidak hanya emas, tiga buah batu merah delima juga terlihat di kotak itu persis dengan jumlah kunir yang ada di kotak itu sebelumnya.

Merasa penasaran, semua pemain mengecek saweran dalam bentuk kerikil dan kunir yang mereka terima dari warga setempat dan ternyata semua kerikil telah berubah menjadi emas, dan kunir berubah menjadi batu merah delima.

Dengan segera semua pemain berinisiatif mengumpulkan semua benda itu di tengah tanpa menyimpan sedikitpun.
“Kami serahkan kepada Ki Daru Baya akan diapakan semua emas dan batu ini” Ucap mereka kepada seorang dalang yang sangat mereka hormati itu.

Ki Daru Baya berfikir sejenak sebelum akhirnya mengambil keputusan.

“Seluruh emas akan kita jual dan kita bagi rata... seharusnya ini cukup untuk mengatasi permasalahan keuangan kalian bahkan sampai beberapa tahun kedepan. Untuk batu merah delima ini sepertinya terlalu sakral.. sebaiknya kita simpan sebagai pusaka sanggar kita, dan seandainya kita bertemu dengan warga desa itu lagi, kita masih memiliki kenang-kenangn atas pemberian mereka.
Apa Kalian setuju?” Ucap Ki Daru Baya.

“Terima kasih banyak Ki... ini semua sangat berarti bagi kami” Jawab sang pesinden yang tak henti menitikan air mata melihat jawaban atas permasalahan hidupnya sudah ditemukan.
Tak sedikit anggota yang sujud syukur berterima kasih atas rejeki yang berlimpah ini.

Ki Daru Baya merasa lega, ia berpesan untuk merahasiakan soal emas ini dan hanya mengatakan harta yang mereka terima diterima dari Pemilik acara yang murah hati.

Ia Juga berharap, dengan harta sebanyak ini setiap anggota masih mau mengisi pementasan dengan ikhlas dengan bayaran berapapun seperti sebelum-sebelumnya.
Setelahnya seluruh anggota sanggar Ki Daru Baya hidup bercukupan dan sanggarpun semakin berkembang dengan pesat.

Nama kelompok wayang Ki Daru Bayapun semakin dikenal, bukan hanya karena penampilanya yang mampu menghibur, melainkan juga dengan kerendahan hati mereka.
Sayangnya rahasia tidak dapat disimpan terlalu lama.

Desas desus mengenai kekayaan sanggar tersebut mulai terdengar diantara kelompok wayang lainya. Mereka mulai mengetahui bahwa kekayaan mereka didapat dari desa ghaib yang ada di tengah hutan.

Beberapa kali anggota pemain mendapat pertanyaan mengenai desa itu. Namun mereka sepakat untuk tutup mulut dan tidak membeberkan sedikitpun mengenai kejadian itu.

Tak lama muncul kabar sekelompok pemain wayang menemukan jalan menuju kampung di tengah hutan itu dan berhasil mendapat kekayaan serupa.. namun mereka tidak tahu, perbuatan mereka memulai sebuah petaka yang besar...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close