Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 2)

Desa Kandimaya, sebuah desa yang teletak di kaki bukit di Jawa Tengah. Desa ini terkenal dengan pelestarian wayangnya mulai dari kerajinan, sanggar, hinga pementasanya.


JEJAKMISTERI - Perkenalkan namaku Bisma. Hanya seorang petani yang hidup bersyukur dengan istri dan seorang anak di desa sebelah.

Di desa ini aku tinggal di rumah seorang dalang sesepuh yang masih merupakan saudara jauh dari istiriku.. Ki Daru Baya.

Beliau sengaja mengajaku ke desa ini untuk membantu mencari tahu mengenai permasalahan yang terjadi di desanya.

Yaitu mengenai hilangnya beberapa kelompok pementasan wayang yang sudah hampir lebih dari dua minggu tidak kembali ke desa.

“Mas Bisma.. wis ditunggu warga, ayo..” Ucap Bimo.
Bimo adalah adiku satu-satunya, kali ini aku memang mengajaknya untuk membantuku. Sebenarnya awalnya ia menolak karena harus meninggalkan istrinya yang baru ia nikahi sebulan yang lalu.

Namun saat sampai tempat ini, justru dia yang paling semangat.
“Monggo mas Bisma... mohon maaf sampe ngerepotin manggil mas Bisma ke sini” Ucap pak kepala desa yang memang berinisiatf meminta bantuanku atas saran Ki Daru Baya.

“Nggiih pak.. ga masalah, saya coba bantu sebisa saya” Jawabku.

Dua buah album foto besar ditunjukan kepadaku, Pak Kepala desa menunjukan satu persatu wajah anggota kelompok pementasan wayang yang sudah lama tidak kembali.

“Apa ada petunjuk yang bisa membantu kami pak?” Tanya Bimo pada kepala desa.

Namun bukanya menjawab, Pak kepala desa malah menoleh ke arah Ki Daru Baya berharap dia mau menjelaskan sesuatu.

***

“Mungkin hilangnya mereka juga merupakan tanggung jawabku...” Ucap Ki Daru Baya membuka pembicaraan.

Menurut cerita Ki Daru Baya, telah beredar cerita mengenai kampung ghaib yang sering mengadakan pementasan wayang.

Untuk mengisi acara tersebut mereka memanggil dalang, gamelan dan seluruh pengisi acaranya dari desa-desa sekitar sini.

Dan setelahnya kelompok wayang yang menyanggupi permintaan warga kampung ghaib itu akan mendapatkan bayaran yang melimpah.

“Kelompok wayang saya termasuk salah satu yang pernah mengisi acara di desa itu...” Lanjut Ki Daru Baya.

“Lantas bagaimana cara Ki Daru Baya bisa meninggalkan kampung itu?” Tanyaku yang merasa penasaran.

“Tidak ada yang aneh Bisma, kami hanya datang, pentas, dan pulang seperti pementasan pada umumnya, hanya saja bayaranya memang sesuai yang diceritakan” Cerita Ki Daru Baya.

Aku berfikir sejenak, berbagai kemungkinan muncul di fikiranku.

“Lantas dari mana cerita mengenai desa itu muncul ki?” Tanyaku.

Ki Daru Baya menggeleng.

“Saya tidak tahu, seluruh anggota saya sudah berjanji tidak menceritakan mengenai kejadian atau keberadaan desa itu.. namun entah bagaimana kabar itu bisa menyebar” Ceritanya.

Bimo terlihat tidak sabar, ia merebut album foto yang ada digenggamanku dan memperhatikanya.

“Mas Bisma... tidak ada cara lain, kita harus menghampiri desa itu untuk mengetahui keberadaan mereka” Ucap Bimo.

Aku setuju, dengan segera aku meminta tolong Ki Daru Baya untuk mengantarkanku ke desa tempat ia dulu mendapatkan bayaran berlimpah.

“Saya bersedia memberi tahu kalian dengan satu syarat, kalian harus berpuasa sebelum dan selama berada di desa itu” Ucap Ki Daru Baya.

Kami setuju.. warga desa bermaksud untuk ikut, namun kami melarangnya karna memang yang akan kami lakukan ini cukup berbahaya.

Di depan warga, Ki Daru Baya menyerahkan sebuah lipatan kertas yang berisi peta sederhana menuju sisi pintu hutan dengan penjelasan yang bertuliskan aksara jawa.

“Ini... memang sudah lama sekali, dulu seorang pria yang Nanggep kelompok wayang saya menyerahkan kertas ini sebagai penunjuk arah, dan sepertinya kalian juga harus membawa ini..”

Ki Daru Baya menjelaskan kepada kami sembari memberikan dua buat batu merah delima kepadaku dan Bimo.

“I...ini, batu merah delima? Ini benda yang berharga Ki..” Tanyaku padanya.

“Batu ini berasal dari desa itu.. kami sepakat tidak menjualnya sebagai kenang-kenangan akan bantuan mereka di masa sulit kami, mungkin saja benda itu bisa berguna saat kalian ke sana” Jelas Ki Daru Baya.

“Baik Ki.. saya mengerti, setelah selesai dengan masalah ini benda ini akan kami kembalikan” Balasku.
Sesudah pertemuan itu kami kembali ke rumah Ki Daru Baya dan mendengarkan ceritanya mengenai kejadianya saat pementasan di desa ghaib itu.

Ia berusaha menceritakan sedetail mungkin dengan harapan kami bisa kembali dengan selamat seperti mereka dulu.

***

Pagi mulai datang, aku bersiap berangkat menuju ke sisi hutan seperti yang ditunjukan di kertas pemberian Ki Daru Baya.

Kami sengaja memilih hari, jam, dan waktu yang sama seperti saat dulu Ki Daru Baya masuk ke hutan itu.
Suara motor terdengar mendekat ke tempat ini.
“Mas Bisma... kita numpak iki wae yo” (kita naik ini aja ya) Ucap Bimo yang memamerkan motor vespa yang ia naiki.

“Lah... apik men, montore sopo kuwi?” (Lah... bagus sekali, motor siapa itu) Tanyaku pada Bimo.

“Hehe.. Motor Pak Kades... kita dipinjemin” Ucapnya Bangga.

Dengan segera, aku membonceng vespa yang dibawa oleh Bimo dan segera berangkat.

Aku menikmati perjalananku dengan Bimo, jarang sekali kami menaiki sepeda motor vespa yang biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang berpunya di desa.

“Bimo... kowe ngejak numpak vespa pasti wis nduwe SIM to?”
(Bimo.. kamu ngajak naik Vespa pasti sudah punya SIM kan?)
ucapku yang memastikan ke Bimo saat melihat beberapa polisi yang berada di lampu merah yang terlihat melakukan pengecekan surat-surat.

“Nanti buat masuk ke hutan kita lewat alun-alun ya mas... katanya alun-alun di sini bagus” Ucap Bimo seolah berusaha mengalihkan perhatian.

“Dudu kuwi sing tak takoke... kowe wis nduwe SIM durung?” (bukan itu yang aku tanyain, kamu sudah punya SIM belum?) Tanyaku kembali.

Ia tidak menjawab, Namun tawa nakalnya seperti sudah memberi penjelasan atas pertanyaanku.

Aku hanya menggeleng sambil mempersiapkan mental menghadapi beberapa polisi yang akan kami lewati di depan.

Rupanya, perasaan saat menghadapi polisi tanpa membawa surat-surat tidak kalah menyeramkan dengan saat menghadapi makhluk halus.

***

Sebuah hutan di kaki gunung terlihat di hadapan kami, sekilas tidak terlihat ada jalan masuk menuju ke dalam hutan itu.

Namun setelah memutar mengikuti petunjuk yang diarahkan kertas pemberian Ki Daru Baya, Kami menemukan sebuah jalan masuk yang tertutup dedaunan.

Setelah memarkirkan motor kami dengan aman, segera kami memasuki hutan dan mengikuti jalan itu.

“Untung aja tadi polisinya ga liat... bisa ga enak sama pak kades kalo sampe ditilang” Ucapku

“Iya, untung saja polisinya ga liat” Ucap Bimo sambil tertawa, namun aku sedikit curiga.

“Kamu ga pake ilmu apa-apa ke polisi itu kan?” Ucapku memastikan namun Bimo malah sedikit berlari ke depan.

“Mas Bisma, di depan tambah gelap lho... siapin senternya...”

Sekali lagi aku menggelengkan kepala melihat tingkah Bimo yang masih seenaknya.

Aku mengambil senterku dan segera menghampirinya sambil sedikit menjewernya, namun ia hanya tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Tapi benar kata Bimo, hutan ini terlihat semakin gelap.. padahal hari masih siang. Kami berjalan semakin dalam dan mulai merasakan hawa di tempat ini mulai tidak wajar.

“Mas Bisma... hati-hati ada yang memperhatikan kita” Ucap Bimo.

Aku mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Bimo dan meningkatkan kewaspadaanku. Rupanya tidak Cuma itu... indraku terganggu dengan bau anyir yang sangat menyengat, seperti bau mayat yang sudah membusuk.

Di tengah kegelapan hutan itu mendadak aku mendengar suara nafas seseorang yang terengah-engah. Tanpa membutuhkan waktu lama Bimo berhasil menemukan asal suara itu dan segera menghampirinya.

Terlihat sesosok makhluk dengan bentuk badan yang kurus hingga lekukan tulang pipinya terlihat sangat jelas, tak cukup sampai di situ... terlihat darah segar menetes dari beberapa sela tanganya.

Sebelum sempat mendekat, makhluk itu berlari menjauh ketika mengetahui keberadaan kami. Namun tubuhnya yang lemah membuatnya terjatuh hingga kami segera menyusulnya.

“Bimo... dia manusia” Ucapku pada Bimo yang sama bingungnya.

Dengan segera Bimo membacakan beberapa ajian penyembuh yang merupakan keahlianya. Perlahan luka orang itu mulai menutup dan mulai bernafas dengan tenang.

“To...tolong...” Ucap orang itu.

“Sudah mas.. tenang dulu, ini diminum dulu..” Ucap Bimo sambil menuangkan air putih yang ia bawa ke mulut orang itu.

Kami menunggu hingga orang itu tenang sebelum bertanya lebih lanjut. Namun masih terlihat raut muka yang ketakutan di wajah orang itu.

“Ki... kita harus pergi dari sini” Ucapnya tiba-tiba.

“Ada makhluk yang mengejar saya..”

Aku dan Bimo saling menatap, satu pertanyaan terjawab. Mungkin saja bekas luka orang itu berasal dari makhluk yang mengejarnya hingga merasa ketakutan.

Belum sempat menanyakan makhluk apa yang mengejarnya, tiba-tiba suara dedaunan terdengar saling bergesekan seolah dilewati sesuatu disusul dengan kemunculan makhluk menyerupai burung hitam besar yang memiliki tangan dan kaki seperti manusia, namun dengan cakar yang sangat tajam hampir mirip seperti wujud yang digambarkan oleh tokoh pewayangan.

Namun yang membuatku geram bukan wujudnya... melainkan potongan tubuh manusia yang masih menggantung di paruhnya dengan darah segar yang masih menetes.

“I.. itu... mas, dia mau ngebunuh saya” Ucapnya yang terlihat sangat ketakutan.
Aku menatap mata merah dari makhluk itu niat membunuh sudah terlihat jelas dari matanya, seumur hidup aku menangani permasalahan dedemit mulai dari pocong, kuntilanak, roh penasaran, belum pernah aku menemui makhluk seperti ini.
Sebuah mantra kubacakan tepat ketika makhluk itu menerjang kearah kami.

Layaknya puisi yang tak berhenti mengalun aku membacakan mantra gambuh rumekso yang menimbulkan angin besar mengelilingi kami.
Seketika makhluk berwujud burung hitam itu terpental hingga terjatuh ke tanah.

Sementara pusaran angin itu melindungi Bimo dan orang yang terluka itu, aku menmbacakan sekali lagi sebuah mantra untuk memperkuat pukulanku dan mulai mencoba menghantamkan pukulanku ke makhluk berwujud burung itu.

Aku cukup tenang ketika pukulanku bekerja dan makhluk itu merasa kesakitan. Namun hal yang menggangguku adalah ketika aku memusatkan pukulanku ke tubuh makhluk itu, semakin banyak potongan tubuh manusia yang dimuntahkan dari paruhnya.

Merasa terdesak dengan seranganku burung hitam itu mencengram lenganku dan mencoba mengangkat tubuhku dari atas tanah.

Beruntung Bimo membacakan mantra yang memunculkan api untuk membakar mata makhluk itu.

Melihat kesempatan itu sekali lagi aku mencengkram leher makhluk itu dan bersiap menyerangnya kembali. Namun sayangnya sebuah kejadian aneh terjadi, makhluk itu perlahan kehilangan kekuatan.. jatuh dan menghilang.

Tidak.. tidak menghilang, makhluk itu berubah menjadi sebuah boneka wayang kulit berbentu burung hitam besar dengan ornamen kerajaan.

“A.. apa ini Bimo?” Ucapku yang kebingungan dengan semua ini.

Aku mencoba mengambil benda itu, namun kekuatan hitam yang berada di benda itu berusaha merasukiku hingga sangat sulit untuk melepaskan tangkanku.

Dengan cepat Bimo menghampiriku dan membantu melepaskan tanganku dengan membacakan doa-doa yang ia mengerti.

“Benda itu milik mahkhluk yang sangat jahat” Ucap orang yang kami tolong tadi.

Setelah memulihkan tanganku aku segera menghampiri orang itu dan menunggu cerita darinya.

“Di balik kabut itu hanya ada malapetaka... semua terjebak di tempat itu. Ada Makhluk yang menahan kami untuk keluar” Jelasnya.

“Jadi maksudmu makhluk tadi bukan masalah utamanya?“ Tanya Bimo yang mulai khawatir.

Orang itu mengangguk.

“Lebih baik kita pergi dulu dari sini dan mencari bantuan... Orang-orang desaku sepertinya mengenal pendekar yang bisa menangani masalah ini..” Ucapnya.

Sebenarnya kami setuju, seandainya kami tahu masalahnya sebesar ini, mungkin kami akan mencari bantuan yang lebih banyak.

Tapi aku khawatir dengan teman-temanya yang terperangkap di balik kabut itu. seandainya mereka lebih lama disana bisa jadi mereka tidak bisa diselamatkan.

Nampaknya kebingunganku tak perlu di jawab.
Sebuah aliran tenaga yang sangat hitam terasa muncul dari sela-sela kabut.

Sesosok manusia dengan blangkon hitam dan janggut putih yang panjang menghampiri boneka wayang kulit yang sebelumnya berwujud burung hitam itu dan membawanya.

Kulit wajahnya terlihat sangat gelap seolah terbakar sesuatu, namun wibawa yang mengerikan tetap terasa dari tubuhnya.

“Khekhekhekhe...” Makhluk itu tertawa dengan memamerkan gigi-giginya yang hitam.

Aku dan Bimo merasakan bahaya yang tidak biasa.

“I.. itu... dia Dalang Demit yang menahan semua manusia yang memasuki kampung di balik kabut itu” Cerita orang itu.

Makhluk itu tertawa keras dengan mengibas-ngibaskan boneka wayang berwujud burung itu seolah sedang memainkanya.

“Khekhekhe... Dadi demit kok goblok... lawane mung menungso kok semaput”
(Jadi demit kok goblok.. lawanya Cuma manusia kok semaput) ucapnya pada boneka wayang itu yang mulai memunculkan bayangan burung raksasa hitam itu lagi.

Bimo segera maju mencoba menghampiriku namun tangan orang yang sekarat itu mencoba menahanya.

“Jangan melawanya... dia bukan manusia, kita harus meminta bantuan“

Aku dan Bimo tetap maju mencoba melindungi orang itu dari apapun yang terjadi.

“Seandainya meminta bantuan, siapa yang seharusnya bisa melawan makhluk ini?” Tanya Bimo.

Aku tak melepaskan sedikitpun pandangan dari makhluk berpenampilan seperti dalang yang tak berhenti tertawa itu.

“Seharusnya warga desa saya, Desa Kandimaya mengenal pendekar yang memiliki kekuatan yang bisa mengimbanginya...
Mereka adalah Pendekar Sambara bersaudara pemilik dua keris pusaka.. dulu mereka yang menolong desaku dari serbuan Wabah Demit” Ucap orang itu.

Aku dan Bimo saling menoleh, ucapan orang itu memantapkan kami untuk maju.

Sebuah benda yang dibungkus sarung dikeluarkan oleh Bimo dari tas kainnya.

Dan aku meletakan tanganku tepat di dada dan memanggil sebuah benda yang kusimpan di sukmaku.

Sebuah keris dengan bilah berwarna perak terang yang disebut dengan keris Sukmageni kini tergenggam di tangan Bimo.

Begitu juga sebilah keris dengan ukiran jawa kuno muncul dari sukmaku dan tergenggam ditanganku. Sebuah keris yang mampu mengikuti wujud raga dan sukma pemiliknya.. Keris Rogosukmo.

“Mas... Kalau memang hanya pendekar itu yang bisa mengalahkan makhluk ini, berarti kita tidak perlu lari..” Ucap Bimo yang segera berdiri berdampingan dengaku bersiap menghadapi dalang demit itu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumbya
close