Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 3) - Pendekar Sambara

Desa Kandimaya, sebuah desa yang dikenal sebagai penghasil Dalang maupun pemain-pemain kesenian lainya.

Berbagai sanggar mulai dari yang sederhana hingga yang cukup mewah tersebar di desa ini walaupun jaraknya cukup berjauhan.


JEJAKMISTERI - Suatu ketika terjadi trend di kalangan para penikmat pementasan wayang dimana mereka menilai dalang dan kelompok pementasan yang mampu membuat penontonya merasa merinding dan merasakan suasana mistis menjadi semakin digemari.

Pasalnya dalang yang mampu memunculkan suasana mistis dan membuat penontonya merinding seharusnya memang dalang yang memiliki pendalaman cerita yang mumpuni.

Sayangnya hal ini tidak disingkapi dengan bijak oleh beberapa seniman yang gagal mengambil nilai-nilai dari kesenian ini dan hanya mementingkan pendapatan semata.

Beberapa dari mereka menciptakan suasana mistis dengan memanggil “Mereka” yang seharusnya tidak turut campur dengan cara yang tidak wajar.

Ritual pemanggilan dilakukan sebelum pementasan. Mulai dengan memersiapkan kemenyan dan sesajen serta menggunakan mantra pemanggil.

Akhirnya kehadiran mahluk-makhluk yang tak kasat mata turut menemani warga yang menonton pementasan Wayang itu.

Hal ini berhasi meningkatkan pamor para kelompok wayang tersebut.

Sayangnya bagi mereka yang mampu melihat keadaan sebenarnya, semua terlihat begitu mengerikan..

Tak sedikit pocong yang berdiri diantara penonton turut menikmati pagelaran wayang itu, sudah dipastikan di pohon sekitar pagelaran itu dipenuhi kuntilanak hingga makhluk yang tidak jelas wujudnya.

Dan parahnya lagi... saat pementasan wayang selesai, makhluk-makhluk itu tidak pergi dan mendiami desa tempat para kelompok yang memanggil mereka.

Suatu ketika salah seorang warga berdiri di tengah desa tanpa bergerak sedikitpun.

Ia menatap ke panggung desa dengan tatapan yang mengerikan tanpa menoleh sedikitpun. Setiap warga yang menyapanya dihiraukan begitu saja tanpa ada respon sedikitpun.

Hingga saat matahari terbenam tingkah laku warga itu semakin aneh.

Ia marah sejadi-jadinya, menyerang semua warga yang mendekat dan tak lama setelahnya ia menaiki Balai desa, bangunan tertinggi di desa itu dan menjatuhkan dirinya ke tanah.

Ya... Warga itu kesurupan...

Beruntung warga itu masih hidup, namun dengan kondisinya yang masih dikuasai makhluk ghaib, ia mengancam dengan suara yang mengerikan.
“Ngendi pementasan sing mbok janjeke...” (Mana pementasan wayang yang kalian janjikan?) Ucap makhluk yang masih menguasai tubuh warga yang hampir sekarat itu.

“Nek ora ono... aku bakal mateni siji siji warga deso iki” (Kalau tidak ada, aku akan membunuh satu persatu warga desa ini)

Semenjak saat itu semakin banyak warga yang kesurupan, namun semua itu berhenti ketika Semua kelompok Wayang di desa Kandimaya melakukan pementasan setiap malam tanpa terputus.

Awalnya mereka cukup lega.. namun lambat laun seluruh warga mulai kelelahan dan tidak mampu bekerja di siang harinya.

Akhirnya banyak yang jatuh sakit entah karena kelelahan atau pengaruh kutukan dari makhluk-makhluk itu.

Para dalang sesepuh banyak yang meminta petunjuk untuk mengakhiri hal ini, namun semua itu tidak ada berguna, karena makhluk halus itu adalah makhluk yang mereka panggil sendiri.

Suatu ketika dua orang pemuda bersaudara mampir ke Desa Kandimaya dengan sepeda ontel milik mereka.

Awalnya mereka bertujuan menonton pagelaran wayang yang selalu ada setiap malam seperti yang mereka dengar dari warga desa lain.

Namun saat sampai di sana mereka merasakan keanehan yang terjadi..

Mereka merasakan Desa ini di huni lebih banyak makhluk halus dibanding penduduk manusianya sendiri.

Mereka merasa khawatir dengan warga desa dan memutuskan menemui kepala desa meminta ijin untuk mencoba menolong permasalahan di desa ini.

Sang adik memiliki kemampuan menenangkan roh-roh penasaran yang mampu mengurangi makhluk-makhluk ghaib yang meneror desa ini.

Sang Kakak menguasai mantra dan mampu menghilangkan kutukan hingga mampu memulihkan warga desa yang sakit karena pengaruh makhluk yang mendiami desa ini.

Sayangnya sesosok makhluk yang mengakui desa ini sebagai wilayah kekuasaanya tidak tinggal diam. Makhluk itu adalah sesosok raksasa berwarna hitam yang mendiami bukit batu.

Warga memang sering mendengar tentang makhluk ini.. mereka menyebutnya dengan nama Buto lireng.

Wujud rohnya memang tidak memporak-porandakan desa seperti yang diceritakan di legenda. Namun kemunculanya dan anak buanya membuat hampir separuh warga desa kesurupan dan mulai menyakiti dirinya sendiri.

Kedua pemuda itu tidak tinggal diam..

Sang adik mengeluarkan sebuah keris, menorehkan jarinya pada keris itu hingga mengeluarkan api yang mampu memulihkan warga yang kesurupan.

Sang kakak hanya duduk bermeditasi dengan keris yang muncul di genggamanya.

Entah darimana asalnya, Namun suara pertempuran yang amat sengit terdengar oleh suara warga desa tanpa melihat wujudnya.

Suara itu terus terdengar hingga suara Erangan kesakitan sang buto Lireng menggema ke seluruh desa.

Tak berapa lama sang kakak kembali tersadar dan seluruh warga desa kembali normal.

Semenjak itu desa Kandimaya kembali hidup tenang, dan membuat peraturan yang keras dimana kelompok wayang desa itu tidak lagi diperkenankan melakukan pemanggilan untuk pementasan wayangnya.

Seluruh warga sepakat memberikan hukuman berat dengan mengusir dari desa siapapun yang melanggar aturan ini.

Warga sangat berterima kasih dengan kedua pemuda sederhana itu.

Mereka bahkan tidak mau menerima bayaran atau apapun yang ditawarkan oleh warga desa.

Warga desa Kandimaya menjuluki kedua pemuda ini dengan berbagai nama.. Pendekar Keris Sukmogeni, Perdekar Keris Bersaudara, atau yang paling sering disebutkan adalah nama keluarga mereka.

Pendekar Sambara …

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

Note:
Tragedi kampung wayang ini terjadi di era 80an, mungkin samar-samar dari pembaca ada yang mengetahui tentang kisah ini.

Bagi yang masih ingat lokasi dan tempat kejadian, mohon disimpan baik-baik & jadikan kisah ini sebagai hiburan saja
close