Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CINTA TERHALANG TEMBOK ISTANA


DI BAWAH ATAP keputren dan dibalik tembok yang tebal, di atas ranjang yang dilambari dengan sprei berwarna hijau bergambar Sekar Kedaton mawar tampak duduk seorang dara berusia sekitar sembilan belas belas tahun, berambut tergerai sepanjang bahu, mengenakan pakaian berbentuk kemben dengan setelah kebaya berwarna ungu dari kain sutera. Gadis ini tidak lain Sekar Kedaton. Kelihatannya dara ini duduk termenung, sesekali tersungging senyuman di sudut bibirnya yang tipis.

Di meja di hadapannya, sepejangkauan kedua tangannya bertebaran berbagai makanan dan buah-buahan. Lalu ada sebuah kendi minuman terbuat dari kuningan. Harum aromanya merembes dari celah tutup kendi yang setengah terbuka. Sepertinya tidak secuil pun makanan-makanan ini yang dicicipinya. Seorang Mbok Emban yang duduk bersimpuh di depan putri Sultan Hadiwijaya itu hanya menunduk kebingungan melihat tingkah majikannya.

"Ndoro Putri Sekar, itu dimakan dulu sarapannya. Hari telah beranjak siang. Nanti telat makan, nanti sakit. Saya yang dimarahi Gusti Sultan Hadiwijaya"

Sekar Kedaton masih terdiam. Sesekali diciuminya bunga Cempaka pemberian Raden Pabelan tempo hari.

"Waduh.. ini Ndoro Putri apa kena pelet si Pabelan? Daritadi hanya merenung, senyum-senyum sendiri sambil melihat dan menciumi kembang cempaka itu"

Batin Mbok Warsi bertanya-tanya.

"Mbok Warsi... aku ingin sekali bertemu dengan Pabelan sekali saja. Tolong Mbok Warsi, tolong pertemukan aku dengan pemuda itu"

"Weladalah.... cilaka awakku.." batin Mbok Warsi kebingungan.

"Duh... Ndoro Putri jangan seperti itu. Saya tidak berani melakukan hal itu. Takut dihukum Gusti Hadiwijaya"

"Tolong sekali ini saja Mbok. Aku sangat ingin bertemu dengan pemuda itu"

Wajah Sekar Kedaton memelas. Seakan-akan wajah itu mengisyaratkan sebuah keinginan yang kuat. Akhirnya Mbok Warsi tidak kuasa menolak keinginan Sekar Kedaton. Sambil menghela nafas. Orang tua itu berkata,

"Tapi Ndoro Putri harus berjanji. Sekali saja Mbok akan bantu"

"Iya Mbok, saya berjanji"

Wajah murung Sekar Kedaton menjadi ceria dan berbinar-binar seketika itu juga.

***

MATAHARI BARU SAJA tenggelam ketika Pabelan masuk ke dalam kedai. Ki Wiryo si pemilik kedai segera mendatanginya dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi Pabelan cepat memegang bahu Ki Wiryo, menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu mengerenyit kesakitan.

"Aku tahu kau tidak suka melihat kedatanganku. Tapi jangan banyak bicara. Ini uang. Terima!" berkata Pabelan lalu masukkan dua keping uang ke dalam saku si pemilik kedai.

Mau tak mau Ki Wiryo menerima saja uang itu lalu bertanya,

"Kau tidak ingin memesan makanan atau minuman?"

"Tidak, aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau dia sudah datang…" jawab Pabelan.

"Sahabat yang kau maksudkan itu, apakah dia dara tempo hari?" tanya Ki Wiryo dengan wajah berubah. Sepertinya pemilik kedai ini tahu siapa sebenarnya gadis yang ditunggu oleh Raden Pabelan.

"Siapa dia kau tak usah tahu. Lihat saja nanti siapa yang datang!" habis berkata begitu Pabelan lalu duduk di sudut kedai yang agak gelap.
Malam terasa merayap sangat perlahan. Dan orang yang ditunggunya masih belum muncul.

Ki Wiryo mendatangi Raden Pabelan lalu berkata, "Maafkan, saya bukan mengusir. Tapi kedai ini sudah mau ku tutup, Den…"

"Orang yang kutunggu masih belum datang. Tunggu sebentar lagi, Aki…"

Ki Wiryo keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang yang tadi diberikan Pabelan, lalu letakkan di atas meja.

"Ini uang Raden. Ambil kembali dan saya mohon pergi dari sini…"

Raden Pabelan tersenyum. Dengan tangan kirinya didorongnya pemilik kedai itu seraya berkata,

"Orang yang ku nanti sudah datang. Kau tak usah menceloteh lagi, Aki. Siapkan dua kopi hangat…"

Ki Wiryo berpaling ke arah pintu. Saat itu dilihatnya seorang dara berwajah cantik berpakaian biru melangkah masuk, melangkah menuju sudut dimana Pabelan menunggu sambil berdiri. Sebuah kerudung biru menutupi sebagian wajahnya. Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah dara yang tempo hari datang ke kedainya! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut Ki Wiryo menyiapkan dua cangkir kopi.

"Kau pasti sudah kesal karena lama menunggu…" kata gadis berbaju biru itu yang tidak lain Sekar Kedaton lalu duduk dekat- dekat di samping Pabelan.

Pabelan pegang tangan Sekar Kedaton dan menjawab, "Seratus tahunpun aku bersedia menunggumu. Aku tahu kau pasti akan datang Sekar Kedaton. Aku sudah memesan kopi panas untuk kita berdua…"

"Aih aku tidak terlalu suka kopi. Tapi tak apa. Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Aku akan minum kopi hangat bersamamu…"

"Setuju! Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau aku memesan makanan…?"

"Tidak usah. Kopi saja sudah cukup…"

"Apakah kau baik-baik saja selama beberapa hari ini?" tanya Pabelan.

"Ya… ya. Kau sendiri bagaimana?" balik bertanya Sekar Kedaton.

"Ah, aku selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh cinta begini…!"

Pabelan lantas tertawa sedang wajah Sekar Kedaton tampak kemerahan. Pabelan angkat tangan kanan si gadis yang dipegangnya lalu diciumnya berulang kali. Saat itu terdengar suara orang berdehem. Ki Wiryo datang membawa dua cangkir kopi. Pabelan tersipu malu, Sekar Kedaton tundukkan kepala. Dua cangkir kopi diletakkan di atas meja.

"Sekar Kedaton aku punya satu rencana besar…"

"Rencana besar apa, Pabelan?"

"Rencana ini ada kaitanya dengan hubungan kita…"

"Hem… katakan maksudmu…"

"Aku akan menemui orang tuamu, Gusti Hadiwijaya !"

"Eh, untuk keperluan apa?!" tanya Sekar Kedaton heran.

"Aku hendak melamarmu!" jawab Pabelan tanpa tedeng aling-aling.

Tentu saja Sekar Kedaton jadi terkejut. Dia seperti hendak tertawa gelak-gelak, namun akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala. Pipinya memerah malu. Bahagia dan bingung bercampur menjadi satu. Bahagia karena pemuda yang dicitainya hendak melamarnya. Bingung karena dia dan pemuda pujaannya beda kasta yang teramat jauh. Dia seorang putri raja besar di tanah Jawa. Sementara Pabelan hanya seorang putra seorang abdi dalem. Anak seorang tumenggung.

"Aku… aku sekarang baru sadar kalau kau memang bersungguh-sungguh…" ucap Sekar Kedaton perlahan.

"Astaga! Apa kau kira selama ini aku mempermainkanmu? Katakan, kapan aku bisa ketemu kedua orang tuamu. Besok…?! Pabelan memandang lekat-lekat ke wajah jelita itu.

Memang dengan bantuan dan segala upaya dari Mbok Warsi. Sekar Kedaton dapat bertemu dengan Raden Pabelan di luar tembok keraton. Pada awalnya Sekar Kedaton telah berjanji untuk sekali saja. Akan tetapi, bara asmara yang ada di dalam hatinya terlalu berkobar sehingga janjinya pada Mbok Warsi diingkarinya. Malam ini adalah ke empat kalinya dia dan Pabelan bertemu di luar tembok istana.

***

KEDAI DI PINGGIRAN kotaraja Pajang itu tampak tidak berbeda seperti sebulan lalu ketika Pabelan mengunjungi terakhir kali. Pintu dan beberapa jendela tampak masih terbuka. Tapi dia tidak melihat seorang pun pembeli padahal saat itu malam belum terlalu larut.
Pemuda berpakaian surjan warna biru dan ikat kepala hitam itu berpaling seekor kuda yang di tambatkan di depan kedai. Lalu tanpa berpikir lagi Pabelan masuk ke dalam kedai. Duduk di sudut kedai dekat dengan jendela yang terbuka.

Seperti hari-hari yang lalu. Menunggu Sekar Kedaton di kedai itu. Malam merayap sangat perlahan. Udara dingin mulai mencucuk tulang dari pintu yang masih terbuka. Sampai menjelang tengah malam Pabelan masih duduk di tempatnya dalam keadaan terkantuk- kantuk. Dan orang yang ditunggunya masih belum muncul. Ki Wiryo sedari tadi sudah menutup jendela-jendela kedainya.

"Den, maaf ini sudah terlalu larut malam. Sudah tidak ada pelanggan lagi yang datang. Saya harus menutup kedai ini. Nampaknya kawan Raden tidak akan datang malam ini"

Ki Wirto berusaha membujuk Pabelan untuk meninggalkan kedainya itu. Tetapi, pemuda putra tunggal tumenggung Mayang itu nampaknya tidak bergeming dari tempat duduknya. Di kejauhan terdengar suara derap beberapa kaki kuda yang dipacu mendatangi kedai Ki Wiryo. Sesaat kemudian tampak empat ekor kuda dengan penunggangnya berpakaian layaknya prajurit-prajurit Pajang.

Keempat ekor kuda itu berhenti tepat di depan kedai. Keempat penunggangnya berlompatan dari punggung kudanya masing-masing. Mereka adalah satu orang senopati Pajang dan bersama tiga perajurit. Di balik baju-baju yang mereka kenakan, tersembunyi keris dan pedang. Sikap mereka tenang tapi pandangan matanya tajam. Senopati Pajang yang berjalan paling depan adalah Jalak Paksi.
Matanya tertumbuk pada Pabelan yang sedang duduk di pojok ruangan. Ki Wiryo yang melihat beberapa prajurit datang ke kedai kecilnya. Berusaha untuk menyambut mereka.

"Maaf gusti, kedai sudah tutup. Tapi kalau gusti mau pesan sekedar minuman atau makanan kecil. Akan hamba siapkan"

Jalak Paksi yang merupakan pimpinan rombongan itu. Membuka mulutnya

"Tidak usah Ki, kedatangan ku kesini ingin berbicara dengan pemuda yang duduk di pojok itu" Ki Wiryo yang mencium gelagat tidak enak segera berlalu dari tempat itu. Masuk ke dalam bilik yang ada di belakang kedai.

"Waduh... celaka ini..." batin pemilik kedai itu sembari berlalu.

Jalak Paksi mendekati meja dimana Raden Pabelan berada. Di tariknya sebuah kursi kemudian senopati Pajang itu duduk diatasnya. Ketiga prajurit berdiri di sampingnya. Pabelan tersenyum melihat Jalak Paksi.

"Ada angin apa Kakang Jalak Paksi ? Malam-malam dingin begini masih berada di jalanan. Saya yakin bukan untuk berjaga. Karena saya tahu Kakang Jalak Paksi bertugas dilingkup istana"

"Tidak usah banyak cakap Pabelan. Aku hanya ingin memperingatkan mu. Jauhi sumber malapetaka. Atau kau suatu saat akan ditelan oleh musibah itu. Kau tahu dengan siapa bermain-main. Anak seorang raja besar di tanah Jawa ini"

"Camkan itu Pabelan! Sudah kau pulanglah. Yang kau tunggu tidak akan pernah datang lagi di tempat ini"

Sehabis berkata begitu Jalak Paksi berdiri dari kursinya. Balik badan melangkah keluar kedai yang diikuti oleh ketiga prajurit Pajang yang berjalan di belakangnya. Tidak lama kemudian terdengar derap kaki kuda yang menjauhi kedai.

BERSAMBUNG
close