Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ASMARA SANG PUTRI RAJA


Tikungan jalan itu terletak di tempat yang tinggi. Sinar matahari panasnya seperti mau memanggang kulit. Berbanding terbalik dengan cuaca hari kemarin. Burung-burung kecil yang berlindung dibalik daun-daun pepohonan berkicau tiada hentinya seakan-akan turut gelisah oleh panasnya hari itu. Pabelan duduk di atas cabang pohon duduk dengan sepasang mata yang terus menatap ke liku-liku jalan yang sedikit menanjak.

Sudah beberapa saat lamanya dia berada di cabang pohon itu dan apa yang ditunggunya masih juga belum muncul. Kekesalan hatinya dicobanya melenyapkan dengan bersiul-siul kecil. Tiba-tiba Pabelan hentikan siulannya. Bola matanya membesar dan dibibirnya menggurat senyum. Jauh di bawah sana, diantara pohon-pohon di liku-liku jalan dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, dikawal oleh selusin penunggang kuda. Debu berhamburan ke udara.

Pabelan kini tertawa-tawa sendirian. Hatinya gembira. Yang ditunggunya telah kelihatan di bawah sana, dan pasti akan melewati tikungan jalan dimana dia menunggu saat itu. Kira-kira dua kali peminuman teh maka terdengarlah derap kaki-kaki kuda dan gemerataknya suara roda kereta mendekati tikungan jalan. Karena tikungan itu mendaki, maka pengemudi kereta dan penunggang-penunggang kuda agak memperlambat lari kuda masing-masing. Beberapa ekor kuda yang dimuka meringkik terkejut. Pengemudi dan pengawal kereta kagetnya bukan main. Semua anggota rombongan menghentikan kuda masing-masing. Pabelan telah berdiri menghadang di tengah jalan.

"Pabelan! Ada maksud apa kau menghentikan kami ?!"

Seorang prajurit yang bertugas sebagai sais kereta kuda itu ternyata mengenali siapa pemuda yang menghadang jalan bertanya dengan tegas.

"Kakang Jalak Paksi aku hanya ingin memberikan bunga ini kepada Gusti Putri Sekar Kedaton yang ada di dalam kereta!"

Si penunggang kuda mendengus. "Caramu mencegat seperti begal saja Pabelan. Anak seorang tumenggung tapi berkelakuan tidak pantas!"

Satu tangan halus menyibakkan tirai kereta dan memunculkan sebuah kepala perempuan muda belia berwajah cantik berkulit halus mulus. Rambut yang panjang hitam tersanggul rapi ke belakang. Bibirnya kecil tipis merah merona tanpa polesan. Kulitnya yang kuning langsat bagai berkilau tersengat sinar matahari. Hati Pabelan tergetar. Ternyata benar adanya berita yang selama ini dia dengar tentang kecantikan Sekar Kedaton putri dari Sultan Pajang Hadiwijaya. Sementara gadis yang ternyata Sekar Kedaton itu terhenyak. Di lihatnya seorang pemuda gagah rupawan tengah berdiri tepat di tengah jalan. Bahkan, pemuda itu sempat tersenyum dan mengedipkan sebelah mata ke arahnya.

"Aku tidak punya waktu panjang untuk memenuhi kegilaan mu itu Pabelan. Tolong minggirlah. Kalau tidak, jangan salahkan aku jika aku akan menabrak mu dengan kereta kuda ini"

Pabelan tersenyum jumawa.

"Lihat Gusti mu saja tersenyum ramah pada ku dari balik tirai. Kau yang hanya sekedar abdi dalem. Tapi kelakuan mu macam ndoro saja"
Marahlah kusir kereta kuda itu. Dia menarik tali kekang kudanya.

"Ayo lanjutkan perjalanan. Jangan hiraukan anak tumenggung sinting itu"

Kereta kuda itu pun melaju. Diikuti dengan selusin ekor kuda dengan prajurit-prajurit di atasnya. Pabelan segera menyingkir ke tepi jalan. Jika tidak tentu tubuhnya akan dilindas kereta itu beserta kaki-kaki kuda.

Pemuda itu sempat berteriak nyaring.

"Gusti Putri suatu saat kau akan aku dapatkan. Jangan panggil nama ku Pabelan jika tidak mampu mendapatkan mu !"

Suara teriakan yang nyaring dan keras itu beradu dengan derap kaki kuda dan keretakan bunyi roda kereta. Akan tetapi, suara itu masih jelas terdengar di telinga Sekar Kedaton. Putri Sultan Pajang itu hanya tersenyum. Tanpa sadar kedua pipinya merah merona. Seorang Mbok Emban (pengasuh putri raja) yang melihat hal itu lantas berkata.

"Jangan didengarkan bocah gila itu ndoro Putri. Dia itu Pabelan. Anak tunggal Tumenggung Mayang. Seluruh Pajang sudah tahu sepak terjangnya. Meski anak pembesar dan sangat memiliki paras yang tampan tetapi kelakuannya sangat bejat"

Sekar Kedaton mengangkat ke dua alisnya. Seakan tidak percaya sama sekali dengan yang baru saja dikatakan oleh Mbok Embannya.

"Bejat seperti apa Mbok Warsi?"

"Bejat... Suka mengganggu gadis-gadis desa, suka menggoda istri-istri tumenggung dan para bekel di Pajang. Terakhir dihajar gusti bekel Singgar Manik karena berani mengganggu istrinya"

"Tapi sepertinya pemuda itu baik hati Mbok Warsi"

"Alahhh.. Ndoro Ayu jangan tertipu dengan wajah tampannya"

Sekar Kedaton hanya tersenyum saja mendengar penjelasan dari Mbok Warsi. Mbok Emban kepercayaannya itu. Wajah tampan Pabelan tiba-tiba membayang jelas di pelupuk matanya. Meski hanya sekejap pertemuan dengan pemuda itu sepertinya sangat berkesan dan sulit untuk dilupakan.

***

Meski hari masih terlalu pagi dan matahari belum berada di atas kepala Pasar Wage yang berada di tengah kotaraja Pajang sangat ramai. Para pedagang berjejer rapi menawarkan barang dagangannya. Mbok Warsi berjalan melenggang di lorong-lorong pasar menuju ke arah penjual bunga yang berderet di sebelah timur pintu keluar. Di sampingnya dua perempuan muda tampak kerepotan membawa barang belanjaan. Tangan kanan kiri menenteng bermacam-macam barang belanjaan. Sesekali berhenti untuk merapikan belanjaan yang akan melorot dari tas anyaman daun pandan yang dibawanya. Mbok Warsi yang melihat hal itu menghentikan jalannya.

"Gayatri, Palasari kalian berdua duduk dulu saja di bangku itu. Aku lihat kalian berdua kerepotan membawa belanjaan itu. Daripada di tengah jalan berceceran"

Dua perempuan muda itu hanya mengangguk. Lalu berjalan ke sebuah bangku panjang yang Dentaknya agak berhimpitan dengan tembok pasar yang terbuat dari papan kayu. Mbok Warsi melanjutkan langkahnya ke arah penjual bunga yang berderet-deret memanjang. Tatkala Mbok Warsi berada di sebuah lorong yang sepi. Tiba-tiba sebuah tangan kuat menarik lengan Mbok Warsi. Wanita tua itu terkejut.
Seorang pemuda tampan. Memegang tangannya.

"Den Pabelan...?"

"Mau apa lagi toh Den? Narik-narik tangan orang tua ke tempat sepi seperti ini"

Pemuda itu yang ternyata Pabelan hanya cengengesan.

"Maaf Mbok Warsi. Saya hanya ingin minta tolong kepada simbok"

"Minta tolong opo to Den?"

Pabelan memasukkan tangan kanan ke dalam saku surjan hitam yang dikenakannya. Dari balik pakaiannya itu diangsurkan sebuah bunga cempaka yang masih segar kepada Mbok Warsi.

"Bunga cempaka? Mau diapain bunga itu Den?"

"Tolong berikan pada Gusti Putri Sekar Kedaton"

"Ah tidak, aku tidak mau.. aku takut ketahuan Gusti Sultan Hadiwijaya"

Mbok Warsi berusaha menolak. Bahkan, orang tua itu bersiap-siap meninggalkan Pabelan yang masih juga membujuk.

"Tidak usah takut Mbok, asal simbok tidak berbicara pada siapa pun. Tidak akan ada yang tahu.

Tentu aku juga tidak dengan cuma-cuma meminta tolong kepada mu Mbok"

Pabelan lalu mengangsurkan sebuah bundelan kecil dari balik timang yang dikenakannya. Suara gemerincing terdengar tatkala bundelan itu bergoyang. Mbok Warsi tesenyum.

"Baiklah, akan saya sampaikan bunga cempaka ini pada Ndoro Putri Sekar Kedaton. Saya harus cepat pergi Den Pabelan"

"Silahkan Mbok. Sampaikan salam ku pada Gusti Putri Sekar Kedaton"

Tubuh Mbok Warsi segera berlalu dan menghilang di tikungan lorong pasar.

***

INI BENAR-BENAR merupakan satu pemandangan yang sukar dicari tandingannya. Di tengah Keputren Kerajaan Pajang dibawah udara yang sejuk dalam tiupan angin lembut terdapat sebuah taman yang ditumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan, menghijau pedataran rumput. Di ujung timur keputren menjulang tinggi pohon-pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput, mengalir parit berair sangat jernih. Beberapa ikan beraneka warna berenang dengan riang gembira.

Di tengah terdapat kolam yang luas dan lega. Kolam itu merupakan pemandian yang diperuntukan permaisuri, para selir dan putri Sultan Hadiwijaya. Air kolam itu itu sebenarnya berwarna jernih. Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa cahaya matahari, membuat air danau memiliki belasan warna yang indah menakjubkan.

Bagian tepi kolam dikelilingi dilingkari oleh batu-batu besar hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu. Keputren Pajang tampak lengang pagi itu. Hanya sesekali terlihat prajurit melintas di depan gerbang keputren.

Sekar Kedaton nampak duduk melamun di tepi meja riasnya. Gadis ini barusan saja habis bersolek hingga parasnya lebih segar dan lebih cantik. Wajahnya yang cantik terlihat tersenyum-senyum sendiri di sela lamunan.

"Pabelan... Mengapa wajahmu terus melintas dipelupuk mata ku? Aku berharap suatu ketika kita akan dapat bertemu lagi. Ah... perasaan apa ini? Mungkin ini yang dinamakan rindu?!"

Sekar Kedaton bertanya-tanya dalam hati. Suara ketukan pintu dan seseorang yang memanggil namanya membuyarkan lamunan.

"Gusti Putri.... hamba datang membawa sesuatu untuk Gusti Putri"

"Sebentar...."

Sekar Kedaton segera menyambar baju panjang dari sutera berwarna ungu seperti mantel lalu ditututpkan di tubuhnya yang langsing itu.
Tatkala pintu dibuka. Mbok Warsi tengah berdiri di depan pintu. Emban tua itu buru-buru menghaturkan sembah.

"Sudah Mbok. Bangun lah ada apa?"

"Gusti Putri kita masuk ke dalam kamar saja"

Sekar Kedaton lalu masuk ke dalam kamar diikuti oleh Mbok Warsi. Tidak lupa Mbok Warsi segera menutup pintu. Sekar Kedaton telah duduk di atas kursi berlapiskan permadani berwarna merah dengan sulaman benang emas di tepi-tepinya.
Sedangkan Mbok Warsi duduk bersimpuh di lantai.

"Tadi saya di pasar ketemu Raden Pabelan Gusti Putri"

Mendengar nama itu disebut. Jantung Sekar Kedaton berpacu sangat cepat. Seperti ada getar-getar aneh yang memasuki hatinya.

"Ada apa dengan pemuda itu Mbok?"

Mbok Warsi membuka sebuah kantong kecil yang sejak tadi tergantung di stagen (ikat pinggang dari kain panjangnya). Kantong itu segera di angsurkan kepada Sekar Kedaton. Kantong itu sekarang telah berpindah tangan. Dengan perlahan-lahan Sekar Kedaton menarik tali simpul dari kantong itu. Terlihat sebuah bunga cempaka yang masih segar. Aroma bunga sekejap telah memenuhi ruangan itu. Hati Sekar Kedaton takjub. Entah mengapa setelah mencium harum bunga itu keinginan untuk bertemu dengan Raden Pabelan semakin kuat.

***

Angin berhembus dingin merembes masuk kedalam kamar keputren. Dikejauhan terdengar suara burung malam bersahut-sahutan beberapa kali. Sekar Kedaton duduk di tepi pembaringan. Dia duduk seperti merenung. Entah mengapa perasaannya jadi seperti ini. Perasaan yang sebelumnya tak pernah terjadi seumur hidupnya. Dia selalu teringat pada Pabelan. Hampir tak sekejapanpun dia melupakan pemuda itu. Dia rindu untuk bertemu tapi tak tahu harus bagaimana. Ia sadar kedudukannya sebagi puteri Sultan Pajang tidak bisa sembarangan bergaul apalagi dengan seorang lelaki. Bunga Cempaka yang diberikan oleh Pabelan melalui Mbok Warsi masih selalu berada di tangan. Sesekali diciuminya bunga itu.

"Pabelan…" bisik kalbu Sekar Kedaton.

"Dimana kau...? Dimana aku bisa menemuimu, Pabelan…?"

Sekar Kedaton mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, memandang berkeliling lalu menghela nafas dalam-dalam.

"Apakan ini namanya cinta…?" bisik hati sang dara.

"Ah… Aku tak percaya! tapi mengapa aku selalu ingat padanya. Mengapa ada persaan rindu bertumpuk dihatiku?!"

"Aneh..," desis Sekar Kedaton memperhatikan dan menimang bunga cempaka.

"Bunga ini mengapa tidak layu…? Keharumannya tidak berbeda seperti pertama kali aku menciumnya…" lalu bunga cempaka itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama- lama penuh perasaan. "Pabelan…. Aku ingin bertemu…" Sekar Kedaton bicara sendirian.

Malam berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa disadarinya Sekar Kedaton jatuh tertidur dalam keadaan duduk bersandar di tepi ranjang.

"Sekar Kedaton…"

Satu suara memanggil. Sekar Kedaton sperti kenal sekali suara itu. Suara orang yang dirinduinya. Begitu berpaling dilihatnya pemuda itu tersenyum padanya.

"Pabelan…"

"Aku sudah lama menunggumu di sini, Sekar Kedaton…" kata Pabelan seraya melangkah mendekati.

Sekar Kedaton datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman tangan. "Aku mencarimu setengah mati…"

"Setengah mati? Ah, masa…?"

"Setengah mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen padaku, Pabelan…?"

"Tidak…," jawab pemuda lalu tertawa cekikikan.

"Tentu saja aku juga kangen padamu, Sekar Kedaton…"

"Berarti kau senang bersahabat denganku?!" tanya Sekar Kedaton seraya menatap dalam-dalam ke sepasang mata si pemuda.

Pabelan mengangguk. "Aku suka bersahabat denganmu…"

"Tapi…"

"Tapi apa, Sekar Kedaton…?"

"Aku tak ingin hubungan kita hanya sampai pada jalinan persahabatan saja."

"Maksudmu Sekar Kedaton….?"

"Aku… aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam diriku sejak pertama kali aku melihatmu. Kurasa aku jatuh cinta, Pabelan. Ya betul. Aku jatuh cinta padamu…!"

Paras Pabelan berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jari-jari tangan Sekar Kedaton tapi kemudian dilepaskannya.

"Kau mencintaiku Sekar Kedaton…? Jangan… jangan mencintaiku Sekar Kedaton…" Pabelan melangkah mundur.

"Mengapa aku tidak boleh mencintaimu Pabelan? Percayalah, aku tidak berdusta dan tidak mempermainkanmu…?"

"Demi Tuhan, jangan mencintaiku Sekar Kedaton… Cinta berarti kematian bagi diriku…" Suara Pabelan tersendat.

Sekar Kedaton melihat ada ketakutan yang teramat sangat di kedua mata pemuda itu.

"Kau takut, Pabelan…" bisik Sekar Kedaton dan melangkah mendekat. Tapi yang didekati semakin menjauh. Melangkah mundur.

"Pabelan, kau mau kemana…?" Sekar Kedaton mengejar.

"Jangan kejar aku Sekar Kedaton… jangan…"

"Pabelan, jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!" teriak Sekar Kedaton.

Pemuda itu berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya terpeleset dan tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam. Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan Sekar Kedaton lebih keras lagi.

"Pabelan …!!"

Sekar Kedaton tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di tepi pembaringan kamarnya. Keringat bercucuran membasahi pakaian yang dikenakan.

"Ah… bermimpi aku rupanya…" kata gadis putri Sultan Pajang ini termangu-mangu. Di tanga kanannya masih tergenggam bunga cempaka pemberian Pabelan tadi pagi.

"Bunga ini… Tadi aku menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan bermimpi. Apakah… apakah hanya ini satu-satunya cara aku dapat bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?"

Sekar Kedaton merasa kelesuan menjalari seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan dia merebahkan diri, memandang berkeliling. Bunga cempaka dengan penuh hati-hati di letakkan di samping ranjangnya.

BERSAMBUNG
close