Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RADEN PABELAN


Saat itu menjelang tengah hari Pajang diselimuti kegelapan mencekam. Langit hitam kelam ditebali awan hitam mendung menggulung. Angin bertiup kencang mengeluarkan suara aneh. Suara deru hujan deras seolah langit koyak terbelah. Udara sangat dingin membungkus bumi Pajang. Ditambah dengan gelegar guntur yang sesekali ditimpali sambaran petir membuat suasana benar-benar menggidikkan. Tetapi disebuah kamar udara malam itu terasa panas bergelora. Di atas ranjang di dalam sebuah kamar yang masih dalam lingkup kerajaan Pajang. Dua insan berlainan jenis tengah hanyut dalam kemesraan.

"Setiap hari, aku selalu merindukan mu… Ternyata saat ini waktu itu tiba…Kita bisa bercumbu rayu di kamar ini. Tanpa seorang pun yang mengusik"

Berkata si pemuda yang bertelanjang dada. Parasnya sangat tampan, dengan tubuh tegap penuh otot. Seorang perempuan paruh baya yang sisa-sisa kecantikannya masih terlihat tengah terbaring di pangkuan sang pemuda. Kain kemben yang dikenakan nampak memperlihatkan tonjokan payudaranya yang putih menyembul keluar dari lipatan kain.

"Apakah benar itu Pabelan? Omongan seorang pria itu biasanya hanya manis di bibir saja. Apalagi kau masih muda, ganteng dan tentu saja kau banyak disukai para gadis-gadis yang masih perawan. Tidak seperti aku yang sudah tua dan sudah tidak perawan lagi"

Pemuda yang bernama Pabelan itu tersenyum. Sembari mengecup lembut bibir si perempuan paruh baya.

"Nyai Galuh Wangi, meski kau sudah tidak perawan lagi. Tapi kau masih cantik, masih singset dan masih...."

Pabelan tidak meneruskan perkataannya hanya pandangannya saja yang tampak nakal. Lalu disusupkan tangan kanannya ke dalam kain si perempuan yang bernama Nyai Galuh Wangi.

Si Nyai tertawa-tawa dan menggeliat kegelian. Dia merangkul tubuh Pabelan erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan kepalanya, tak sengaja dia memandang ke arah jendela yang tirainya tersingkap. Saat itulah dia melihat ada sosok seseorang memperhatikan ke arah dalam kamar. Langsung wajah Nawang menjadi pucat dan sekujur tubuhnya bergeletar.

***

Mula-mula Pabelan mengira tubuh Nyai Galuh Wangi bergeletar karena rangsangan birahi. Namun ketika dilihatnya kedua mata Nyai Galuh Wangi melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar, Pabelan cepat berpaling ke arah yang dipandang perempuan itu.

"Ada apa Nyai?"

Nyai Galuh Wangi seketika pucat pasi.

"Pabelan...lekas menyingkir dari tempat ini. Aku tadi seperti melihat seseorang mengintip dari luar jendela. Aku khawatir itu orang suruhan suamiku yang sudah mencium hubungan kita"

"Lekas pakai baju mu dan tinggalkan tempat ini lewat pintu belakang !"

Kecemasan bercampur dengan ketakutan tersirat jelas di wajah Nyai Galuh Wangi. Perempuan ini merupakan istri seorang bekel di kerajaan Pajang. Suaminya bernama Bekel Singgar Manik. Pemuda yang bernama Pabelan itu dengan cekatan memakai pakaian yang tadi ditanggalkannya. Lalu dengan cepat menyelinap dari pintu belakang. Hanya saja belum sempat kakinya bisa melangkah lebih dari dua tombak.

Tiba-tiba....

"Mau lari kemana kau bajingan !"

Suara keras menggeledek memecah suasana rumah yang tadi diselimuti kesunyian.

Di depan Pabelan telah berdiri seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan gemuk. Di tangan kanannya terhunus keris. Air muka lelaki itu merah kelam dibakar amarah.

"Rupanya kau adalah bangsanya pramuria-pramuria bejat! Bagus sekali! Teruskan niatmu mencapai sorga dunia itu, pemuda keparat! Bila sudah, aku menunggumu di halaman samping! Jangan lupa cabut keris mu dulu biar kau tidak mati penasaran!"

Suara tertawa kembali mengumandang sewaktu Pabelan sampai di halaman samping itu. Hujan masih turun dengan derasnya. Pakaian yang dikenakan Pabelan langsung basah kuyup.

"Ha-ha-ha! Apakah sudah kau teruskan tidur dengan istri Bekel Singgar Manik ? Kalau belum berarti kau akan mampus penasaran Pabelan!"

“Rupanya bacot mu yang berkoar-koar Wongso?”

Pabelan menatap tajam ke arah lelaki pendek dan kurus yang berdiri berkacak pinggang sambil cengengesan di bawah daun pisang yang sengaja di potong untuk penenduh. Bekel Singgar Manik berdiri di depan Pabelan. Hanya berjarak sekitar dua langkah. Kerisnya teracung ke depan. Siap mencincang tubuh Pabelan.

"Ayo Pabelan, cabut keris mu. Aku yakin Tumenggung Mayang bapak mu itu tidak akan pernah menangisi kematian anak lelakinya yang bejat"
Pabelan tersenyum. Lalu berkata,

"Ki bekel aku dan istri mu sama-sama suka. Tidak ada yang bisa menghalangi yang namanya suka dan cinta. Kecuali, kalau istri mu aku paksa. Cinta itu tidak mengenal apa dan siapa..."

"Tutup mulutmu Pabelan. Saat ini kau harus mampus di ujung keris ku ini. Kegilaan mu main perempuan dan mengganggu istri orang akan berakhir hari ini Pabelan"

Dibarengi dengan bentakan nyaring. Bekel Singgar Manik menerjang dengan tikaman kerisnya. Pabelan menggeser badannya ke samping. Sebelum dia memasang kuda-kuda ki bekel kembali menyabetkan keris ke arah dada. Pabelan terpekik tatkala ujung keris sempat meggores kulit. Rasanya perih dan panas. Belum lagi Pabelan menguasai diri tiba-tiba...

Bukk!!

Satu tendangan keras melabrak perutnya. Tubuh Pabelan terdorong ke belakang. Lalu ambruk ke tanah yang becek. Perutnya sakit sekali. Badannya kotor bermandikan lumpur. Bekel Singgar Manik menghampiri Pabelan dengan keris terhunus. Pabelan beringsut-ingsut mundur. Diam-diam tangannya mengeruk tanah lumpur dan digenggamnya erat-erat. Tatkala tubuh bekel tua itu sudah dekat, dengan cepat Pabelan melemparkan lumpur itu ke muka bekel Singgar Manik.

Bekel itu tidak menduga lemparan itu. Matanya pedih terkena tanah becek. Kaki kanan Pabelan dengan cepat menyapu ke arah kaki Bekel Singgar Manik. Tubuh itu seperti terjegal, terhuyung lalu jatuh ke tanah. Tanpa membang kesempatan Pabelan bergegas lari dan melompati pagar rumah. Sembari terbungkuk-bungkuk menahan sakit akibat tendangan yang mampir di perutnya tadi.

"Wongso lekas siapkan kuda ajak kawan-kawan mu yang lain! Kejar Pabelan! Malam ini kita harus membuatnya kapok! Membunuhnya!"

Teriak Bekel Singgar Manik marah.

Wongso segera berlalu. Tak lama kemudian terdengar derap kuda. Bekel Singgar Manik melompat ke atas punggung seekor kuda coklat yang di tambatkan di depan kediamannnya, lalu membedal kudanya mengejar Pabelan.

***

Pabelan masih berkelebat lari dengan amat cepatnya. Seolah-olah orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap jalan licin yang dilalui dalam lari yang laksana terbang cepatnya. Beberapa saat dia berlari sampailah di depan rumah mewah. Ada dua prajurit yang berjaga di depan pintu gerbang. Pabelan menyelinap lewat tembok di bagian belakang rumah itu. Masih terbungkuk-bungkuk pemuda ini membuka pintu belakang.

Pintu itu dengan perlahan di dorong dan terbuka. Tercekat jantung Pabelan. Di balik pintu telah berdiri seorang lelaki paruh baya. Berbadan tinggi besar dan tegap. Kumis yang melintang di atas bibir seakan menambah garang penampilannya. Muka lelaki itu merah padam. Rahangnya terlihat menonjol menahan amarah yang sukar diungkapkan dengan kata-kata.

"Pabelan ! Darimana saja dirimu?! Ngeluyur tidak tahu waktu. Itu kenapa dada mu?!"

Pabelan hanya menunduk. Di usap dadanya yang terluka akibat sabetan keris Bekel Singgar Manik.

"Kamu belum budeg, belum tuli. Pabelan jangan diam saja. Jangan membuat amarah ayahmu ini menggelegak !"

Ternyata lelaki paruh baya ini adalah Tumenggung Mayang. Orang tua lelaki dari Pabelan. Tumenggung Mayang merupakan tumenggung di Pajang. Disamping itu tumenggung ini merupakan ipar dari Panembahan Senopati. Berarti Pabelan masih ada hubungan kekerabatan dengan penguasa Mataram itu yaitu keponakan dari Panembahan Senopati.

"Sudah berkali-kali ayahanda katakan kepada mu Pabelan. Jangan membuat harga diri tumenggung Mayang jatuh. Hanya karena ulah mu yang seperti binatang itu !"

Tumenggung Mayang menghampiri anak lelakinya yang masih berdiri mematung menunduk tanpa berani menatap wajahnya. Dicengkeram baju anaknya itu. Lalu dengan amarah yang menggelegak tubuh itu di bantingkannya ke luar. Tubuh Pabelan mencelat sampai ke luar rumah. Terjengkang di tanah basah.

Tumenggung Mayang tidak mampu menguasai amarahnya lagi. Anak satu-satunya yang bernama Raden Pabelan sudah berkali-kali dinasehati dan dilarang agar menghentikan kebiasaannya. Menodai banyak gadis dan istri pejabat. Bahkan juga ditawari untuk segera menikah, dengan putri pejabat mana pun. Asal bisa berhenti dari kebiasaannya merenggut kehormatan para perawan, dan merusak kebahagiaan rumah tangga orang. Tapi Pabelan menolak segala tawaran untuk melakukan pinangan. Tumenggung Mayang sangat jengkel dan marah pada anak tunggalnya. Yang semakin hari bertambah mencemarkan nama baiknya dan dianggap bisa menurunkan kewibawaannya, sebagai seorang tumenggung di Pajang.

"Kau tidak kapok juga Pabelan. Apakah kau merasa dirimu memiliki wajah yang bagus. Setampan Raden Arjuna?!"

"Jawab pertanyaan ku Pabelan?! Kau sudah terlalu sering mencoreng arang ke muka ayahanda!"

Pabelan memang memiliki paras rupawan yang suka sekali memikat para perawan dengan paras ketampanannya. Telah banyak gadis-gadis yang terpikat dan merelakan kehormatannya. Bahkan juga istri-istri pejabat yang dibuat tergila-gila kepadanya.

***

Derap kaki kuda yang jumlahnya mungkin lebih dari dua ekor berhenti di depan gerbang kediaman Tumenggung Mayang.

"Kau dengar itu Pabelan. Aku yakin itu suara Bekel Singgar Manik beserta orang-orang kepercayaannya. Terakhir ini saja kau membuat malu ayahanda. Kau diam saja disini. Urusan dengan Singgar Manik biar ayahnda selesaikan. Jangan berani kabur atau minggat!"

Tumenggung Mayang meninggalkan Pabelan yang masih terkapar mencium tanah. Tumenggung ini berjalan ke arah gerbang depan. Tujuh ekor kuda masuk dengan tujuh ekor penunggangnya. Paling depan sendiri terlihat bekel Singgar Manik menunggangi kuda coklat kesayangannya. Bekel itu lalu turun dari punggung kuda. Parasnya masih nampak merah padam. Amarah yang belum selesai untuk dilampiaskan.

"Kakang tumenggung Mayang. Dimana anak mu Pabelan?! Anak mu itu telah menginjak-injak harga diri ku!"

"Sabar Singgar Manik. Semua bisa diselesaikan. Aku sudah tahu semua duduk masalahnya. Biarlah urusan Pabelan aku sendiri yang akan menyelesaikan dan menghukum anak itu"

"Maaf kakang tumenggung, tidak sabar rasanya aku ingin menghajar anak itu disini. Istri ku telah digerayangi. Entah sudah berapa kali, tetapi malam ini aku melihatnya sendiri"

Tumenggung Mayang diam-diam amarahnya menggelegak lagi pada Pabelan. Tumenggung Mayang menarik nafas dalam-dalam membuang semua amarah yang membuncah di dalam dada.

"Mengingat hubungan kita dimasa lalu, aku tak suka kita saling melakukan permusuhan, Singgar Manik. Sekali lagi aku mohon kepadamu. Urusan Pabelan serahkan kepada ku"

"Baiklah kakang Tumenggung. Pabelan aku serahkan kepada mu selaku orang tuanya. Akan tetepi, jika suatu saat melihat anak itu menginjakan kakinya di pekarangan rumah ku lagi. Aku tidak akan segan-segan mencincang tubuhnya"

Habis berkata seperti itu bekel Singgar Manik melompat ke atas punggung kuda. Kemudian membedal kuda itu meninggalkan kediaman tumenggung Mayang diikuti oleh ke enam anak buahnya.

Tumenggung Mayang beranjak dari tempat berdirinya. Berjalan ke bagian belakang tempat kediamannya. Sosok Pabelan telah duduk termenung di sebuah kursi panjang yang ada di samping rumah. Wajah dan sekujur tubuhnya masih berselemotan lumpur. Tumenggung Mayang berdiri tepat di depan Pabelan.

Amarahnya mencapai puncaknya. Suaranya terdengar keras dan tegas.

"Pabelan kalau engkau merasa seorang perayu yang hebat, jangan kepalang tanggung. Jangan hanya gadis-gadis desa dan istri-istri pejabat yang kau gagahi. Tapi cobalah kau taklukan hati Sekar Kedaton putri Hadiwijaya Sultan Pajang. Kalau kamu berhasil memikatnya, barulah kau boleh berbangga diri. Kau akan menjadi pembicaraan rakyat Pajang, dan akan tersohor namamu. Mungkin akan ditulis dalam sejarah. Seorang Pabelan putra seorang tumenggung berhasil menikahi putri seorang raja terbesar di Tanah Jawa. Tidak seperti sekarang, hanya menjadi pergunjingan karena perbuatan bejatmu yang selalu mengganggu anak gadis dan istri orang."

Pabelan menengadahkan kepalanya memandang lekat-lekat ke arah tumenggung Mayang. Sebuah senyum jumawa, tersungging di bibirnya.

"Kalau memang ayahanda mengijinkan saya untuk mendapatkan Sekar Kedaton. Akan saya terima tantangan itu. Saya akan buktikan kepada ayahanda kalau saya Pabelan akan membuktikan kemampuan saya dalam memikat hati Sekar Kedaton"

Tumenggung Mayang tersenyum sinis.

"Akan ayahanda tunggu kabar berita mu mendapatkan Sekar Kedaton"

Sebenarnya tumenggung Mayang menantang Pabelan untuk menaklukan hati Sekar Kedaton hanyalah cara untuk memberi pelajaran baginya, yang tak bisa lagi mendengarkan nasehatnya. Sang Tumenggung yakin segala upaya Pabelan tidak akan digubris oleh Sekar Kedaton. Disamping itu Sekar Kedaton seorang putri raja meski hanya dari seorang selir. Akan tetapi, penjagaan kepada seorang putri raja sangat ketat dengan segala aturan tetek bengeknya. Benteng Pajang terlalu tinggi dan tebal untuk dilompati. Kaputren Pajang terlalu ketat untuk diterobos oleh Seorang Pabelan.

BERSAMBUNG
close