Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TIPU DAYA ISTRI DURJANA


Suara beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematian serta suara mereka yang merintih dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana maut yang menggidikkan!

Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa nyawa! Bau anyir darah merindingkan bulu roma! Pertempuran itu berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa. Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak. Kutungan-kutungan tangan serta kaki!

"Demang Braja Paksi dan Macan Seta, menyerahlah!" teriak seorang senopati muda yang ditangan kanannya tergenggam sebilah keris yang memancarkan sinar biru kemerahan. Itulah keris Kelabang Sewu.

Braja Paksi yang merupakan demang Desa Jatiwalu yang ada di tapal batas kekuasaan Mataram dan Pajang balas membentak.

"Pemberontak Mataram! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan menyerah! Aku tidak akan tunduk pada orang-orang Mataram !"

Senopati muda yang ternyata Rana Wulung itu tertawa bergelak. Rana Wulung menerjang ke muka. kerisnya menyambar mengirimkan satu serangan yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan hebat Braja Paksi menangkis dengan kerisnya pula.

"Tranggg...!!!"

Bunga api berkilauan memercik ke udara. Tangan Rana Wulung tergetar hebat. Sementara dilain pihak keris Braja Paksi kutung menjadi dua. Keris yang telah buntung itu lalu di campakkan ke tanah. Di cabutnya sebuah tombak yang menancap tidak jauh dari kakinya berdiri.
Dia mundur selangkah namun Rana Wulung dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat demang desa Jatiwalu ini terdesak ke pohon besar di ujung jalan.

Sebagai seorang demang yang dulu pernah menjabat menjadi senopati di Demak maka ilmu silat dan kesaktian Bradja Paksi lebih tinggi dari Rana Wulung yang sama sekali tidak memiliki tenaga dalam ataupun kanuragan. Hanya saja selama keris Kelabang Sewu masih tergenggam erat di tangannya. Rana Wulung telah menjelma menjadi seorang pendekar digdaya bilih tanding. Bagaimanapun cepat dan cepatnya Braja Paksi memutar tombaknya tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan tombaknya dengan tusukan –tusukan mematikan.

Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal Senopati!" makinya.

"Nyawamu di ujung tombak ku!" Bradja Paksi menukik ke bawah. Tombak nya berkelebat cepat sekali.

"Breettt...!"

Robeklah pakaian Rana Wulung. Maka marahlah orang ini.

"Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!"

Tangan kanan Rana Wulung yang menggenggam keris Kelabang Sewu terangkat tinggi-tinggi ke atas dan selarik sinar biru kemerahan dengan deras menerjang Braja Paksi. Seluruh tenaga dalam segera dikerahkan. Pada saat tangan kanan Rana Wulung turun cepat ke bawah maka sinar biru kemerahan melabrak ke depan. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar tombak dan hantamkan tangan kiri ke depan. Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup menerima selarik sinar yang keluar dari keris Kelabang Sewu. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar biru kemerahan, terlempar bergulingan di tanah terhampar penuh darah tanpa bisa berkutik lagi.

***

Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah Macan Seta. Sekali dia menerjang, tiga prajurit Mataram yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patah-patah! Sebagai saudara seperguruan Demang Braja Paksi, tingkat kepandaian Macan Seta memang sudah sempurna dan hampir di atas tingkat dengan Demang Braja Paksi. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di hadapan Rana Wulung.

"Hahaha... kau juga mau antarkan nyawa, Macan Seta"

"Tak perlu banyak mulut. Terima ini!"

Pedangnya bergulung dengan cepat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Rana Wulung. Terkejutlah Senopati ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat kepandaian lawan lebih tinggi dari Demang Braja Paksi. Rana Wulung segera keluarkan selarik sinar biru kemerahan dari kerisnya.

Melihat lawan keluarkan sinar ampuh yang keluar dari kerisnya itu, Macan Seta segera pindahkan pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah menjadi kemerah merahan. Inilah ilmu pukulan Lebur Seketi. Dua bentakan nyaring sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Rana Wulung dan Macan Seta. Sinar biru dan sinar merah berkiblat saling papas.

"Aaakhh..." Tubuh Macan Seta terlempar keras membentur pohon. Sampai di tanah tubuhnya berkelojotan seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh.

Amukan Rana Wulung, jelasnya amukan keris Kelabang Sewu memang bukan main hebatnya. Puluhan pemberontak menemui ajalnya di ujung senjata sakti itu. Dua orang tokoh pemberontak yang berilmu tinggi mandi darah dan mati di tangan Rana Wulung. Dua tokoh lainnya coba mengeroyok Senopati dari Mataram ini namun merekapun mengalami nasib yang sama, harus menyusul dua kawan mereka yang terdahulu minggat ke akherat!

Sesudah pertempuran berkecamuk hampir dua jam dengan banyak korban jatuh di pihak pemberontak maka sisa-sisa yang masih tinggal berhamburan melarikan diri.

***

Rana Wulung duduk di sebuah pohon besar yang telah roboh di tengah desa Jatiwalu. Mayat-mayat pemberontak Jatiwalu mulai di kuburkan oleh para prajurit Mataram yang tidak terluka. Sebagian beristirahat dan merawat kawan-kawannya yang terluka akibat sabetan pedang, keris ataupun tombak.

Sekartaji dan Pranajaya duduk di samping Rana Wulung. Sekartaji sembari bersandar pada batang pohon berkata.

"Pemberontakan di desa Jatiwalu telah berhasil kita padamkan Rana. Kegelisahan pademangan-pademangan di batas kekuasaan Mataram dan Pajang mulai sekarang tidak akan ada lagi"

"Gusti Senopati mengharapkan negeri Mataram menjadi negeri yang berdaulat sendiri tanpa di tekan oleh pihak lain"

Pranajaya senopati muda itu tampaknya ingin urun rembug. Suaranya yang halus terdengar keluar dari mulutnya.

"Hanya saja sekarang Mataram masih tunduk pada kekuasaan Pajang. Saya yakin Gusti Senopati tidak akan mau berperang dengan ayah angkatnya sendiri. Dulu saat alas Mentaok di serahkan sebagai hadiah kepada mendiang Ki Ageng Pemanahan. Beliau pernah mengatakan akan membangun Mataram menjadi sebuah negeri yang besar"

"Tapi pada kenyataannya sekarang Mataram masih di bawah Pajang kakang Sekartaji"

"Soal itu aku tidak tahu dimas Prana. Seperti titah guru kita di lereng Gunung Merbabu. Apapun yang terjadi, apapun yang diperintahkan oleh Gusti Senopati harus kita laksanakan. Tumpah darah kita untuk Mataram"

"Eh.. kenapa Rana? Kau tampak terlihat pucat? Apakah kau terluka?"

Sekartaji melihat ke arah Rana Wulung yang dari tadi hanya berdiam diri. Sambil sesekali menarik nafas panjang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Tidak Sekartaji. Aku merindukan istri ku di Mataram. Rasa-rasanya saat ini juga aku pulang ke Mataram"

"Tahan rindu mu Rana. Nanti sore kau boleh pulang duluan ke Mataram. Urusan disini biarlah aku dengan Dimas Pranajaya yang akan bereskan"

Sekartaji memang terkenal seorang pimpinan yang bijak.

"Baiklah, kalau kau mengizinkan aku untuk pulang lebih dulu ke Mataram. Nanti sore aku akan kembali ke Mataram. Terimakasih Sekartaji"
Sekartaji dan Pranaja tersenyum. Lalu mereka menepuk bahu Rana Wulung.

Langit di ufuk barat semburat merah. Sang surya mulai tergelincir ke peraduannya. Seekor kuda hitam berderap meninggalkan desa Jatiwalu menuju ke Mataram. Sesekali kuda itu meringkik karena digebrak terlalu keras. Sepertinya si penunggang kuda ingin cepat tiba di Mataram. Suara derap kaki kudanya lambat laun tidak terdengar lagi.

***

DESA JATIWALU sudah jauh di belakang Rana Wulung. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar beberapa kali. Rana Wulung masih terguncang-guncang di atas kuda kesayangannya. Hujan yang mulai menitik tampaknya tidak dipedulikan lagi olehnya. Suara derap kaki kuda bagaikan bersahut-sahutan dengan gelegar guntur di kejauhan.

Hujan deras mengguyur bumi saat Rana Wulung masuk daerah Kota Gede. Kuda tungganganya pun nampaknya sudah mulai kelelahan. Memasuki mulut jalan yang Rana Wulung semakin memperlambat lari kudanya. Rana Wulung semakin jauh masuk ke dalam kota, Mataram diselimuti kesunyian dini hari itu. Rana Wulung akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah rumah tidak terlalu besar tetapi terlihat mewah. Rumah ini tidak lain adalah rumah kediamannya. Hadiah perkimpoian yang diberikan oleh Bekel Wiro Sentana. Di pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satu-satunya pegawai tampak tidur mendengkur dekat kaki tangga pos penjagaan.

Tanpa ingin membangunkan prajurit ini, Rana Wulung melompat dari punggung kudanya. Di dorongnya pintu gerbang itu. Lalu dengan cepat dituntun kudanya memasuki pekarangan. Tanah becek berlumpur sisa hujan tadi siang masih saja terlihat. Lampu dari minyak jarak di serambi dan pendopo berpendar pucat. Tatkala akan memasukkan kuda ke kandang telinga Rana Wulung mendengar suara yang mencurigakan. Terdengar dari arah kamar Sri Tanjung istrinya. Kuda urung dimasukkan ke dalam kandang. Hanya ditambatkan di sebuah tonggak kayu. Berjingkat-jingkat Rana Wulung mendekati kamar istrinya dari samping rumah. Sesosok tubuh melompat keluar dari jendela kamar Sri Tanjung. Tubuh itu mengendap-endap.

"Maling..." desis Rana Wulung.

Dia berusaha mengejar sesosok tubuh itu. Tanpa menggenggam keris Klebang Sewu di tangannya. Langkah kakinya tidak seringan biasanya. Bahkan tatkala sesosok tubuh itu melompati pagar. Rana Wulung tidak kuasa untuk mengejarnya. Sosok tubuh hitam itu lenyap di rerimbunan pohon. Rana Wulung mendengus kesal. Balikkan tubuhnya masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang yang memang sengaja bisa di buka dari luar. Langkah kakinya dipercepat ingin segera bertemu dengan istrinya. Sampai di depan kamar Rana Wulung mengetuk pintu seraya memanggil-manggil istrinya.

"Nimas Sri Tanjung... Nimas.. buka pintu. Kangmas sudah pulang..."

"Nimas Sri Tanjung... tolong buka matamu... buka pintu..."

Tidak ada sahutan dari dalam.

"Jangan-jangan tidur lelap sehingga tidak mendengar suaraku"

Tiba-tiba terbesit pikiran curiga tatkala teringat dengan sesosok tubuh yang melompat keluar dari jendela kamar istrinya.

"Nimas Sri Tanjung... tolong buka matamu... buka pintu..."

Rana Wulung memperkeras suara dan ketukan pintunya seperti setengah menggedor-gedor.

Sementara di dalam kamar Sri Tanjung yang akan beranjak tidur setelah seharian bermesra-mesraan dengan Mondo tampak kalang kabut mendengar suara Rana Wulung dari balik pintu. Dirapikannya ranjang dan sprei yang tadi sempat acak-acakan dan kusut sehabis mengarungi samudera gairah. Setelah semua rapi. Perempuan itu berdiri di depan cermin. Memeriksa apakah ada bagian tubuhnya yang terlihat mencurigakan atau bekas-bekas gigitan yang masih tertinggal. Benar saja di bagian leher beberapa titik merah membekas di sana. Sangat kentara!

Sri Tanjung panik. Suara ketukan dan suara Rana Wulung semakin keras. Akhirnya.....

"Sebentar Kangmas Rana..."

Sri Tanjung menyahuti dari dalam kamar. Berpura-pura berjalan terhuyung-huyung dan mata yang dipincing-pincingkan agar terlihat baru bangun dari tidur. Tubuhnya ditutupi dengan selimut tebal dari leher ke bawah sampai ke kaki. Sosok Sri Tanjung berdiri kuyu di ambang pintu. Rana Wulung segera mendekap istrinya erat-erat.

"Aku merindukan nimas. Sudah hampir sepekan lebih kita tidak bertemu"

"Hanya saja tadi sewaktu mau masuk ke rumah aku melihat sesosok tubuh keluar dari kamarmu melalui jendela. Orang itu lari. Aku berusaha mengejarnya akan tetapi kehilangan jejak di ujung jalan sana"

Diam-diam Sri Tanjung terkejut dan tergetar hatinya. Rasa khawatir itu muncul menyergap hati. Kalau sampai Mondo tertangkap sudah pasti nyawanya akan direnggut oleh suaminya itu. Mungkin tubuhnya akan dicincang jadi potong-potongan kecil. Setelah bisa menguasai rasa terkejutnya itu. Sri Tanjung berpura-pura terkejut.

"Benarkah itu Kangmas Rana. Sudah sejak sore tadi aku tertidur. Hawa dingin membuat mataku ini berat. Bahkan, jendela kamar lupa aku tutup... Jika benar ada maling yang masuk berarti....."

Sri Tanjung tidak melanjutkan perkataannya. Tampak khawatir dia melepaskan pelukan Rana Wulung. Lalu segera membuka kotak perhiasan yang di simpannya di dalam lemari. Matanya nyalang memandang perhiasan-perhiasan itu.
Terdengar jeritan tertahannya

"Benar kangmas.. ada pencuri yang masuk. Beberapa kalungku hilang"

Air muka Sri Tanjung terlihat sedih. Rana Wulung mendekati istrinya. Memeluk sambil mengusap rambut Sri Tanjung yang panjang dan tebal.

"Sudah nimas, soal kalung besok kangmas belikan lagi. Terpenting kamu tidak ada apa-apa ataupun sampai terluka oleh maling laknat itu"

Dalam hati Sri Tanjung tersenyum puas. Kepura-puraanya membawa hasil sehingga membuat suaminya tidak menaruh curiga sedikitpun. Pagutan bibir Rana Wulung telah menyentuh bibir Sri Tanjung. Disambut pagutan itu dengan lembut. Darah lelaki Rana Wulung menggelegak dengan cepat. Selimut yang menutup tubuh Sri Tanjung di tariknya ke bawah. Saat ciuman bibirnya akan mendarat di leher mulus Sri Tanjung.

Rana Wulung menghentikan ciumannya. Dileher mulus itu terdapat bercak-bercak merah seperti bekas gigitan. Sri Tanjung yang baru sadar kalau bercak merah di leher sudah dilihat oleh suaminya nampak panik. Akan tetapi, Sri Tanjung adalah seorang wanita yang cerdik. Tanpa menunggu lama tubuh Rana Wulung di dorongkan ke arah ranjang. Saat tubuh suaminya sudah terlentang di ranjang. Sri Tanjung menyergapnya dari atas. Berguling-gulingan dengan liar! Rasa kaget, penasaran dan curiga Rana Wulung musnah sudah. Berganti dengan nafsu yang menggebu-gebu.

***

Beberapa tahun kemudian...
Dari pernikahannya dengan Sri Tanjung, Rana Wulung dikaruniai seorang anak perempuan yang diberinya nama Sekar Gading. Meski di luaran kehidupan rumah tangga kedua orang itu kelihatan rukun bahagia, tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Seringkali kedua suami istri itu cekcok satu sama lain. Ini disebabkan tabiat Sri Tanjung yang membuat Rana Wulung sakit makan hati.
Telah berkali-kali Rana Wulung mendengar kabar bahwa jika dia sedang bertugas ke tempat jauh, istrinya itu sering pergi ke tempat beberapa orang pemuda bahkan seorang diantara pemuda-pemuda itu pernah beberapa kali disuruhnya datang ke kediamannya dalam lingkungan Istana itu! Mula-mula Rana Wulung tidak mau percaya karena dia yakin bahwa istrinya itu sangat mengasihinya sehingga masakan mau berbuat serong begitu rupa?! Pertanyaan itu hanya dipendam jauh-jauh dalam lubuk hatinya.

BERSAMBUNG
close