Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NODA DI ATAS PELAMINAN


Ketika hari telah senja dan memasuki malam, Rana Wulung masih juga duduk termenung di tepi pembaringan di dalam kamar. Apa yang telah terjadi sepanjang hari ini terbayang di pelupuk matanya. Dan mengingat ini, membuat senyumnya terkembang. Kedudukan, jabatan dan derajat tinggi sudah di depan mata. Sementara waktu dia akan tinggal di kediaman Wiro Sentana yang merupakan ayah Sri Tanjung. Udara dingin malam mulai menyergap tiba-tiba pikirannya tertuju kepada Sri Tanjung menggejolak lagi darah muda pemuda itu. Seumur hidupnya baru kali-itu dia mengenal perempuan, dan perkenalan yang pertama kali itu sungguh luar biasa sekali! Tubuh telanjang Sri Tanjung yang basah oleh peluh terbayang jelas di otaknya.

Kediaman bekel Wiro Sentana diselimuti kesunyian. Karena bekel ini sedang menghadiri sebuah pertemuan di Mataram sampai larut malam. Nyai Gandasuri sudah sedaritadi masuk di kamarnya kebetulan tubuhnya sedikit demam. Setelah dipijit dan di kerik oleh pelayan setianya yang bernama Mbok Lunggah. Perempuan paruh baya ini sudah beristirahat di biliknya. Di beberapa kamar kelihatan nyala lampu jarak masih berpendar. Satu diantaranya adalah kamar Sri Tanjung. Berjingkat-jingkat laksana kucing yang sedang mengincar ikan asin Rana Wulung berjalan ke arah kamar Sri Tanjung yang terletak di paling ujung. Sesaat lamanya Rana Wulung berdiri di depan pintu kamar itu. Kembali teringat olehnya setiap lekuk tubuh Sri Tanjung.

Pelukannya yang ketat dan erat, nafasnya yang memburu dan gigitannya yang berulang-ulang pada kulit dadanya dan leher semuanya teringat lagi. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Sri Tanjung memunculkan kepalanya. Dia terkejut melihat seseorang berdiri di depan pintu namun keterkejutan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenali bahwa yang berdiri itu adalah Rana Wulung.

"Terkejut?" tanya Rana Wulung menegur.

Matanya liar meneliti paras Sri Tanjung. Gadis ini barusan saja habis bersolek hingga parasnya lebih segar dan lebih cantik. Ditambah lagi saat itu dia mengenakan pakaian yang bagian dadanya terbuka lebar hingga kedua pangkal buah dadanya jelas kelihatan tersembul keluar, membuat Rana Wulung jadi blingsatan tak karuan!

"Aku kira siapa," ujar Sri Tanjung sambil melontarkan senyum genit.

Dipalingkannya kepalanya pada Rana Wulung lalu dipegangnya lengan pemuda itu hingga hasrat yang menyesak-nyesak di darah si pemudan kembali membuat sekujur tubuhnya panas dingin laksana orang disengat ratusan lebah! Diremasnya tangan gadis itu. Untuk sesekali mereka saling berpandangan. Hasrat hati untuk kembali mengulangi apa yang telah mereka lakukan tempo hari di penginapan kentara terbayang di bola mata masing-masing. Rana Wulung tak dapat menahan hatinya lagi saat itu. Diulurkannya tangannya hendak memeluk Sri Tanjung tapi dia kecewa karena gadis itu mengelak.

"Jangan di luar nanti di lihat Mbok Lunggah ataupun Ibu ku, sini Rana..." bisik Sri Tanjung.

Ditatapnya pemuda itu sebentar, digoyangkannya kepala ke arah pintu lalu masuk ke kamar tanpa menguncikan daun pintu. Rana Wulung berdiri mematung sejenak lamanya. Dia memandang ke dalam kamar lewat pintu yang terbuka dan dilihatnya Sri Tanjung berdiri di hadapan sebuah kaca besar, menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Laksana gila Rana Wulung menghambur masuk ke dalam kamar itu! Sesaat kemudian keduanya sudah berada di atas tempat tidur!

***

Hal-hal gila yang dilakukan berulang-ulang tentu suatu saat akan ketahuan. Kegiatan gila yang dilakukan Rana Wulung dan Sri Tanjung menimbulkan desas-desus di kalangan pembantu pembantu bekel Wiro Sentana. Ki Bekel merasa tidak enak dan jika sampai hal itu keluar. Akan menjadi aib bagi dirinya yang serang petinggi Mataram. Tentu malunya tidak akan bisa terbasuh dengan hal apapun juga. Hingga pada suatu pagi Bekel Wiro Sentana memanggil Rana Wulung dan Sri Tanjung.

Bekel Wiro Sentana duduk di atas kursi berukiran warna coklat. Disampingnya Nyai Gandasuri duduk. Rambutnya disanggul kebelakang. Setelah kebaya berwarna merah marun dan kain jarik batik dengan corak sido mukti. Kecantikan masa muda istri bekel Wiro Sentana nyata masih terlihat. Sri Tanjung duduk di depan kedua orang tuanya berdampingan dengan Rana Wulung. Wajah gadis itu sedari tadi hanya menunduk. Tidak kuasa menatap air muka ayahandanya. Rana Wulung pun duduk tegang disampingnya. Sesekali dimainkan jari jemarinya sendiri.

Ketegangan dan kesunyian menyesakkan itu. Terpecah oleh suara Bekel Wiro Sentana.

"Nduk Sri Tanjung..."

Suara itu seperti menyentak-nyentak hati.

"Nggih Romo..."

Sri Tanjung masih menunduk tidak berani mengangkat kepalanya.

"Belakangan ini Romo dengar ada desas-desus yang tidak enak antara kau dengan Rana Wulung. Jika dibiarkan berlarut-larut akan jadi fitnah. Akan jadi suatu aib bagi keluarga kita"

Rana Wulung berubah parasnya. Sesekali terdengar dia menarik nafas dengan panjang. Perasaan malu membersit di hatinya.
Bekel Wiro Sentana memandang tajam ke arah Rana Wulung. Tidak lama kemudian..

"Aku ingin kau menikahi anak perempuan ku Rana Wulung? Apakah kamu bersedia?"

"Aku yakin kau sebenarnya leleaki yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Sekarang kau juga telah menjadi salah satu senopati di Mataram"

Pipi Sri Tanjung bersemu merah mendengar hal itu. Rana Wulung pun Sebenarnya memang sangat terpikat dan cinta pada dara yang penuh daya tarik dan pandai merayu itu. Maka tanpa banyak cerita lagi Rana Wulung menerima permintaan itu.

"Saya sangat bersedia Gusti. Saya sangat mencintai Sri Tanjung"

Nyai Gandasuri tersenyum mendengar hal itu.

Tujuh hari kemudian pernikahan antara Rana Wulung dan Sri Tanjung dilangsungkan cukup meriah. Di halaman depan kediaman Bekel Wiro Sentana telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang kulit. Hiburan semacam ini wajib pada saat itu. Penduduk Mataram yang bertempat tinggal disekitar kediaman Bekel Wiro Sentana semua diundang. Bekel ini terkenal baik hati dan suka menolong orang yang kesusahan. Karena itulah senang hati penduduk jadi bertambah-tambah. Meski pertunjukan itu akan dimulai malam nanti tapi telah banyak orang. Terutama anak-anak yang berkumpul di sekitar panggung.

Sesudah bedug magrib ditabuh maka kelihatanlah penduduk sekitar kediaman bekel Wiro Sentana dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta pernikahan anak perempuan satu-satunya Bekel itu. Tak ada seorang tamu pun yang tak memuji kecantikan pengantin perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa kagum akan kegagahan wajah pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu bulan satu matahari, demikianlah orangorang memberikan perumpamaan. Di kursi depan tampak Ki Juru Mertani, Sekartaji, Pranajaya, Tumenggung Cokro Buono, Tumenggung Noyohito dan masih banyak senopati-senopati dari Mataram yang hadir. Sebagai hadiah pernikahan itu kepada keduanya dihadiahi sebuah rumah kecil namun mewah yang masih ada disekitar lingkungan istana Mataram.

***

MATAHARI yang tadi bersinar amat terik kini sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum.

Di kala setiap orang berada di tempat kediaman masing-masing, di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar lebat itu, maka di samping sebuah pohon asem yang besar dengan rimbunan pot-pot tanaman hias. Sesok tubuh mendekam disana. Seolah-olah orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil perhatian terhadap sambaran kilat dan gelegar guntur yang bersahut-sahutan.

Sesosok tubuh itu ternyata seorang lelaki. Padangannya tajam menyapu sekeliling dari tempat persembunyian. Tatkala dirasa aman tidak ada seorangpun yang melihat. Sesosok tubuh itu mengendap-endap keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan pelan ke arah jendela yang terletak di ujung bangunan. Anehnya di cuaca hujan sederas itu dan sedingin itu. Jendela di pojok bangunan dibiarkan menganga seperti sengaja di buka. Tanpa menunggu lama sesosok tubuh itu dengan gesit melompat ke dalam kamar melalui jendela yang menganga. Sosok tubuh itu tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya dari balik pintu.

Begitu ada di dalam kamar terlihat seorang wanita muda setengah rebahan di ranjang. Perempuan ini cantik ini dengan bentuk tubuh yang sangat mengairahkan. Apalagi pakaian yang dikenakannya terbuat dari sutera tipis sehingga boleh dikatakan hampir tak ada bagian tubuhnya yang terlindung dari pandangan mata!

"Kakang Mondo, tutup dulu jendalanya"

Lelaki yang baru datang basah kuyup itu segera menutup jendela dan menguncinya dari dalam.

"Sri Tanjung, aku sangat merindukan mu. Telah beberapa pekan kita tidak pernah bermesra-mesraan lagi"

Perempuan yang ternyata Sri Tanjung tertawa genit.

"Aku juga merindukan sentuhan mu kakang. Beberapa pekan yang lalu suami ku selalu di rumah. Tidak ada tugas ke luar Mataram. Baru kali ini kita punya kesempatan bagus"

Seperti telah dituturkan sebelumnya, Sri Tanjung meskipun anak petinggi dan anak seorang pejabat terhormat tapi bukanlah seorang perempuan baik-baik. Diantara sekian banyak keburukannya, yang paling terkenal di kalangan orang-orang Istana ialah sifatnya yang mata keranjang. Tak boleh melihat laki-laki gagah, apalagi jika laki-laki itu masih muda belia dan tegap kuat!

"Sekarang keringkan tubuh mu dulu kakang. Di dekat lemari itu telah aku persiapkan handuk untuk mengeringkan badan"

Lelaki yang bernama Mondo itu bergegas melepas pakaiannya yang basah. Lalu mengeringkan dengan kain yang telah dipersiapkan oleh Sri Tanjung. Posisi badannya membelakangi ranjang tempat Sri Tanjung merebahkan diri. Sri Tanjung tertawa nakal. Dia beringsut dan duduk di tepi tempat tidur besar. Dia menggerakkan bahunya sedikit maka baju sutera yang dikenakannya melorot ke bawah, tertahan sebentar di lekukan atas sepasang payudaranya yang kencang, baru melorot jatuh ke bawah. Mondo yang melihat hal itu dari pantulan cermin. Menelan ludah. Tidak berapa lama dua insan pasangan selingkuh itu telah bergumul di atas tempat tidur.

***

Hujan yang mengguyur kini hanya tinggal rintik-rintik. Menyisakan genang air dimana-mana. Hawa juga semakin dingin mencucuk menembus tulang. Mbok Lunggah yang sejak pernikahan Sri Tanjung di tugaskan untuk melayani anak perempuan semata wayang bekel Wiro Sentana duduk termenung di atas sebuah lincak bambu yang ada di dapur.

"Mengapa Den Ayu Sri Tanjung belum juga berubah? Satu tahun berlalu sudah menikah Masih saja tabiatnya seperti itu. Bukannya mereda malah semakin menjadi-jadi"

"Sungguh kasihan Den Rana. Dia lelaki yang baik. Bertanggung jawab dan pekerja keras. Tidak tahu kelakuan bejat istrinya"

Ternyata ungkapan buah tidak mungkin jatuh jauh dari pohon tidak sepenuhnya benar. Gusti Bekel dan Nyai Bekel orang baik-baik, sopan, memjaga etika dan dermawan. Mengapa Den Ayu Sri tabiatnya seperti itu? Dunia isinya bermacam-macam tidak bisa tertebak"

"Aku harus bagaimana ini?! Kalau diam saja aku merasa sangat berdosa. Kalau aku mengadu pada Den Rana takut dituduh fitnah karena tidak ada bukti. Aku tahu lelaki itu tadi pasti sekarang ada di kamar Den Ayu Sri Tanjung. Dan aku sangat yakin lelaki itu juga pasti sering menyelinap kesini"

Kegalauan hati Mbok Lunggah memikirkan hal itu. Pada saat hujan tadi tanpa sengaja Mbok Lunggah melihat sesosok tubuh lelaki yang masuk ke dalam kamar majikannya. Sementara suami majikannya Rana Wulung sedang bertugas di perbatasan Mataram. Langkah kaki terdengar berjalan memasuki dapur.

"Mbok Lunggah..." suara seorang perempuan.

Mbok Lunggah tergagap. Lamunannya seketika buyar. Dihadapannya berdiri Sri Tanjung. Rambut panjangnya acak-acakan. Kebaya dan kain jarik yang dikenakan pun seperti asal menempel di badan. Sehingga tidak diperhatikan beberapa bagian aurat nya tersembul menantang.

"Astagfirullah Den Ayu.... Simbok kaget"

"Tolong Mbok Lunggah buatkan wedang jahe dua gelas. Letakkan di depan kamar saja. Nanti biarkan aku yang akan mengambilnya sendiri"

"Maaf den..dua gelas? Den Ayu berdua dengan Den Rana Wulung?"

"Sudah mbok jangan banyak tanya. Apapun perintahku langsung kerjakan. Kau disini di bayar untuk berkerja bukan untuk bertanya"

Sri Tanjung berbicara dengan sengit. Mukanya semburat merah karena menahan amarah. Mbok Lunggah hanya tertunduk. Tatkala Sri Tanjung telah berlalu sembari menutup pintu setengah dibanting. Mbok Lunggah segera meracik untuk membuat wedang jahe.

BERSAMBUNG
close