Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENDEKAR BILIH TANDING


Dua orang lelaki berpakain bagus memacu tunggangan mereka, menghambur menyeberangi sungai kecil berair jernih. Ikan-ikan dalam sungai yang tengah berenang menikmati kesejukan alam pagi terkejut berlompatan ke permukaan air. Tatkala memasuki kawasan Kota Gede. Lelaki paruh baya yang menunggang kuda berwarna hitam mengangkat tangan memberi isyarat untuk mengurangi laju kuda. Pemuda di belakangnya segera mengurangi kecepatan lari kudanya. Dua ekor binatang itu hanya berjalan saja beriringan.

“Rana Wulung, nanti kau akan aku bawa menghadap kepada Ki Juru Martani. Mungkin beliau akan bisa menjadikan mu salah satu prjurit di Mataram”

“Baiklah Gusti Bekel. Saya akan mengikuti semua perintah Gusti”

Tidak berapa lama kemudian dua orang ini sampai di pintu gerbang sebuah bangunan besar yang tidak lain adalah kerajaan Mataram. Seorang prajurit segera membuka pintu gerbang begitu mengetahui siapa yang datang. Bekel Wiro Sentana mengarahkan kudanya ke arah kediaman Ki Juru Mertani. Sesampainya disana terlihat Ki Juru Mertani sedang memberi makan seekor ayam jago kelangenannya. Ayam jago itu sangat besar, kokoh tubuhnya. Dua pasang jalu yang menempel di kaki jago itu mencuat panjang laksana kuku pancanaka.

“Bagong... Bagong... kur ...kur ...kur...”

“Ayo, makan dulu jagung-jagung kesukaanmu”

Ki Juru menabur remah-remah jagung yang di sebar di atas tanah. Si Bagong nama ayam jago itu dengan sigap dengan paruhnya yang tajam segera mematuk bulir-bulir jagung. Ki Juru menghentikan pekerjaannya. Tatkala melihat dua orang menghampirinya. Matanya terpincing berusaha melihat siapa yang datang. Saat sudah dekat....

“Kamu toh Wiro Sentana, aku kira priyayi darimana”

Penasehat nomor satu Panembahan Senopati itu menyambut tamunya.

“Maaf Ki Juru sowan pagi-pagi begini. Saya ingin menyampaikan sesuatu pada Ki juru”

“Ayo kalau begitu kita ke pendopo saja. Bicaranya sambil minum kopi biar nanti dibuatkan oleh si Genju”

“Genju, tolong buatkan minum tiga cangkir kopi”

Genju yang sedang menyirami bunga bakung yang tumbuh di halaman. Segera meletakkan pekerjaannya.

“Inggih ki Juru.. sekedap saya buatkan dulu“

Tukang kebun itu lalu berlari ke arah dapur yang terletak di belakang rumah.

Ki Juru Mertani sudah duduk di pendopo. Duduk lesehan dialasi karpet tebal berwarna hijau bermotifkan gambar burung merak.

“Ayo silahkan katakan apa yang ingin kau sampaikan Wiro Sentana“

“Begini Ki Juru, anak saya sudah pulang dari Kaliwungu”

“Anakmu Sri Tanjung yang kemarin ketanya di culik oleh kawanan rampok Wonogalih?”

“Inggih, leres Ki Juru. Seperti dawuh Ki Juru dua hari yang lalu bahwa saya musti mengirim prajurit dan seorang senopati untuk membasmi kawanan itu dan menyelamatkan anak saya. Tapi ternyata tadi malam Sri Tanjung sudah kembali”

“Syukurlah kalau begitu Wiro”

“Dan yang lebih menggembirakan komplotan Suro Gedug telah musnah”

“Jadi prajurit yang kau kirim berhasil menumpas rampok itu?”

Pembicaraan itu terpotong saat Genju datang membawa tiga cangkir kopi ke dalam nampan dari kuningan. Tukang kebun itu laku dodok (bejalan jongkok sebagai penghormatan kepada orang berkuasa pada masa itu) kemudian meletakkan tida cangkir itu ke depan ki Juru Mertani. Aroma kopi memenuhi rongga penciuman.

“Ini kopinya diunjuk dulu”

“Maturnuwun, terimakasih Genju”

Genju lalu beringsut-ingsut meninggalkan pendopo itu.

“Lanjutkan pembicaraan mu tadi Wiro...”

“Musnahnya gerombolan rampok itu karena pemuda ini Ki Juru”

Juru Mertani menoleh ke arah Rana Wulung. Pandangannya tajam namun teduh penuh kearifan.

“Siapa namamu Ngger cah bagus?”

Ki Juru Mertani bertanya pada Rana Wulung.

Rana Wulung menyembah lalu menjawab.

“Saya Rana Wulung. Hanya sekedar anak desa dari lereng Merapi Ki Juru”

“Lereng Merapi.. Lereng Merapi..”

Ki Juru Mertani mengusap-usap jenggotnya.

“Disana aku dulu punya kawan seorang empu hebat. Pusaka-pusaka yang diciptakannya semua pilihan. Namanya Empu Wanabaya. Apakah kau murid empu sakti itu?”

Lidah Rana Wulung serasa kelu. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Mendengar nama Empu Wanabaya disebut.

“Bu..Bukan Ki Juru..”

Tergagap Rana Wulung menjawab hal itu.

“Saya hanya anak desa biasa tidak memiliki guru yang mumpuni. Ilmu kanuragan yang saya miliki hanya kanuragan anak desa yang tidak ada apa-apanya”

Rana Wulung berusaha merendah.

“Tetapi bisa menghancurkan komplotan maling seorang diri. Tidak sembarang orang bisa melakukannya. Kau tahu? Suro Gedug itu sangat sakti dan licin. Sulit ditangkap apalagi dibunuh”

“Maka dari itu lah ki Juru saya ingin Rana Wulung bisa diangkat menjadi prajurit atau mungkin senopati di Mataram ini. Sekarang ini Mataram terus membangun dalam segala bidang. Termasuk dibidang pertahanan. Kita butuh tenaga-tenaga muda yang tidak sedikit”
Wiro Sentana menjelaskan keinginannya.

Juru Mertani mengangguk angguk.

“Itu soal yang mudah Wiro, soal olah keprajuritan biarkan Tumenggung Cokro Buono yang akan menangani hal itu. Soal dimana Rana Wulung akan ditempatkan semua aku percayakan pada Tumenggung Cokro”
“Terimakasih Ki Juru”

***

Derap kaki kuda memasuki pekarangan. Seeorang lelaki tinggi tegap turun dari kuda tunggangannya. Surjan hitam yang dikenakan menambah kegagahannya. Setelah menambatkan kudu di bawah pohon sawo. Lelaki ini berjalan menuju ke arah pendopo. Senyum terkembang dari bibirnya.

“Wah..nampaknya para priyayi agung lagi berkumpul”

Lelaki yang baru datang itu duduk di samping Wiro Sentana.

“Baru juga dibicarakan kau muncul di sini adi Cokro”

Lelaki tegap ini ternyata Tumenggung Cokro Buono.

“Membicarakan saya kakang Wiro?”

Tumenggung Cokro Buono tampak keheranan.

“Iya Cokro, Wiro Sentana ingin mendaftarkan anak muda ini menjadi prajurit Mataram”

Ki Juru Mertani menoleh ke arah Rana Wulung.

Tumenggung Cokro Buono kemudian mendeham.

“Siapa namamu anak muda?”

“Rana Wulung Gusti tumenggung. Saya ingin menjadi prajurit bahkan ingin menjadi senopati di Mataram ini“

Tumengung Cokro tersenyum mendengar jawaban Rana Wulung.

“Untuk menjadi seorang senopati tidak mudah. Harus melewati beberapa tahapan tugas atau ujian yang harus dilalui. Tidak bisa langsung ujug-ujug menjadi senopati“

“Saya siap membuktikan diri jika saya mampu gusti tumenggung”

Rana Wulung menjawab mantap. Pemuda ini yakin selama Kelabang Sewu ada di tangannya. Apaun bisa diraih dan dikalahkan.

“Bagaimana Cokro. Anak muda itu siap untuk di uji. Itu berarti memang dia percaya punya kemampuan yang lebih”

Ki Juru Mertani menimpali sambil menyeruput kopi yang sudah menghangat di cangkirnya.

“Baiklah, ayo ikut aku ke pekarangan. Aku akan mengujimu disini. Jika kau bisa bertahan atau bahkan bisa mengalahkan ku dalam tiga jurus. Aku akan mengangkat mu jadi senopati sekaligus orang kepercayaanku”

Tumenggung Cokro Buono beranjak dari duduknya. Rana Wulung tampak kebingungan. Ki Juru Mertani yang tanggap soal kebingungan pemuda ini. Kemudian berkata..

“Ayo sudah tunjukkan kemampuan mu Ngger. Aku juga ingin melihat”

“Ayo Rana tunjukkan kemampuan mu lekas berdiri dan ke pekarangan. Lalui ujian itu”

Wiro Sentana mendesak Rana Wulung.

“Baik gusti akan saya laksanakan”

Rana Wulung menyembah. Lalu berdiri menyusul Tumenggung Cokro Buono yang sudah duluan turun ke bawah.
Dua orang berdiri berhadap-hadapan di tengah pekarangan. Genju mengintip dari balik pintu. Tukang kebun itu tampaknya juga ingin menyaksikan adu kanuragan.

“Kau siap Rana Wulung?”

Tumenggung Cokro Buono bertanya.

“Silahkan Gusti saya siap”

***

Keduanya lalu memasang kuda-kuda. Didahului dengan bentakan keras Tumenggung Cokro Buono menyerang cepat. Rana Wulung menghindar sembari meloloskan keris yang sedari tadi terselip di pinggang kirinya. Sinar biru kemerahan memancar dari pamor keris Kelabang Sewu. Sesaat Tumenggung Cokro Buono tersentak tapi itu tidak lama. Sebagai seorang tumenggung yang sudah kenyang asam garam peperangan dan pertempuran. Pamor keris itu tidak menyurutkan nyalinya.

"Wuuttt...!"

Satu pukulan lengan yang keras dan menimbulkan angin bersiuran menderu ke arah kepala Rana Wulung. Pemuda ini cepat-cepat merunduk dan sebelum dia sempat melakukan serangan balasan, lengan kiri Tumenggung Cokro Buono telah memapas ke pinggang membuat pemuda ini terpaksa melompat menyelamatkan dirinya!

Perkelahian seru segera berlangsung jurus demi jurus! Meskipun Rana Wulung memegang keris sakti Kelabang Sewu di tangan kanannya, namun gerakan-gerakan lengan lawannya hebat sekali, membuat dia tak bisa leluasa melancarkan serangan-serangan.
Wiro Sentana yang menyaksikan pertarungan itu dari tepi pendopo diam-diam berdecak kagum. Tidak disangka Rana Wulung bisa mengimbangi ilmu kanuragan dari Tumenggung Cokro Buono yang terkenal sebagai pendekar bilih tanding.

Genju yang mengintip dari balik pintu berkali-kali meleletkan lidah kagum. Tidak sadar kaki dan tangannya ikut memukul dan menedang. Saat tinjunya tanpa sengaja membentur pintu jati yang atos. Tukang kebun itu menjerit tertahan. Ditiup-tiupi tangannya yang lecet memerah.
Kedua tangan Tumenggung Cokro Buono laksana sepasang tongkat baja memukul dan membabat kian dari berbagai jurusan! Karena tak mungkin bagi Rana Wulung untuk mengirimkan tusukan ke tubuh ataupun ke kepala lawannya maka kini pemuda itu merubah taktiknya.

Serangan-serangan keris Kelabang Sewu langsung diarahkan pada kedua tangan Tumenggung Cokro Buono. Dan buktinya memang berhasil! Dan ketika keris itu kini dipakai untuk menggempur sepasang tangan Tumenggung Cokro Buono, petinggi Mataram ini merasakan pula dinginnya sambaran angin senjata tersebut, dia tak lagi dapat bergerak leluasa. Hingga pada akhirnya, tusukan keris Kelabang Sewu diarahkan ke dada. Tumenggung Cokro Buono berkelit kesamping. Mata keris lewat dari dadanya. Tapi sempat menyerempet pakaian yang di kenakan. Pakaian itu robek sedikit tapi untunglah kulit dada Tumenggung Cokro Buono tidak sedikitpun tergores.

Tumenggung Cokro Buono membalas serangan itu dengan pukulan tangan kirinya ke arah rahang Rana Wulung. Pemuda ini terkejut tidak sempat menghindar. Lalu menyambut pukulan Tumenggung Cokro Buono dengan tinju tangan kirinya. Dua pukulan beradu. Tubuh Tumenggung Cokro Buono terjajar ke belakang. Tangannya memerah, lecet dan ngilu. Sementara Rana Wulung terduduk di tanah. Keris Kelabang Sewu masih tergenggam erat di tangan kanan.

Tumenggung Cokro Buono mendekat lalu mengulurkan tangan kanan untuk membantu Rana Wulung berdiri.

"Ilmu kanuragan mu sangat tinggi Rana. Mataram butuh orang-orang sepertimu. Mungkin aku bisa terbunuh jika aku menghadapi mu dalam pertempuran yang sesungguhnya"

Rana Wulung menyelipkan keris Kelabang Sewu ke dalam sarungnya karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus, senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal diluar kira-kira setengah senti.

Lalu mengangguk hormat.

"Terimakasih Gusti Tumenggung"

"Nah, nanti siang temui aku di alun-alun akan ku perkenalkan dengan senopati-senopati Mataram yang lain. Sekalian ada satu tugas yang telah menunggumu"

Tumenggung Cokro Buono menarik nafas panjang. Kemudian berjalan ke arah pendopo. Dimana di tempat itu tengah duduk Ki Juru Mertani dan Wiro Sentana.

BERSAMBUNG
close