Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 6)


JEJAKMISTERI - Ramai pagi itu suasana di kediaman Rahmad. Dirinya yang setuju dengan semua saran Mbah Sarji,  mengabari hampir seluruh keluarga besarnya dan juga mertuanya. 

Isak tangis sejenak menghiasi dalam rumah. Terutama dari Mbok Ngah, melihat Warni yang belum juga sadarkan diri. Namun, itu tak lama. Karena Rahmad sendiri segera menjelaskan maksud tujuannya mengumpulkan hampir seluruh keluarga. 

Tak ada penolakan dari pihak keluarga manapun, saat Rahmad mengutarakan beberapa persyaratan dari Mbah Sarji demi menyelamatkan Warni dan calon anaknya. Bahkan beberapa dari saudaranya seketika itu bersama-sama membantu Rahmad, mencari kelengkapan syarat guna sebuah ritual pembebasan jiwa Warni.

Sedikit kesulitan saat itu mencari persyaratan tertentu yang di anggap paling vital. Namun beruntung, tak sampai sore hari semua yang di butuhkan Mbah Sarji, terpenuhi. 

Keramain kembali terlihat di rumah Rahmad, setelah jeda beberapa puluh menit dari suara Adzan Isya berkumandang. Tepatnya, selepas melakukan satu kewajiban empat reka'at, bagi yang menjalakan. 

Tak lama kemudian, lantunan bait-bait kalimah suci terdengar bergemuruh di dalam rumah Rahmad. yang di baca dari beberapa puluh lelaki tua dan muda, dengan dipimpin seorang lelaki setengah baya bersorban. 

Tenang, meneduhkan, suasana saat itu dalam rumah Rahmad. Namun hal sebaliknya justru terjadi di dalam sebuah kamar. Di mana, di atas ranjang bertilam kain lembut, sebujur tubuh Warni masih tergolek dan terpejam. 

Tak jauh dari ranjang, atau tepatnya di sisi sebelah kiri, seorang lelaki tua berkopiah lusuh tampak tengah duduk bersila menghadapap empat mangkok berisi bubur warna-warni, juga empat buah kelapa hijau yang sudah  terbuka di bagian atas. 

Bukan hanya itu, empat butir telur juga terlihat menghias di tengah lingkaran aneka makanan tradisional yang di susun memutar, berlaman masing-masing selembar kain putih. Sedang di ujung ranjang, di kolong bawah selonjoran kaki Warni, teronggok cawan besar berisi darah merah kehitaman mengental, dari seekor kambing berbulu hitam yang menjadi salah satu sarana bagi Mbah Sarji. 

Hawa sedikit panas di rasakan Mbah Sarji. Membuat buliran-buliran keringat keluar dari pori-pori kulit merembes hingga membasahi baju dombornya. Entah hawa itu berasal dari reaksi ritual atau karena kamar yang tertutup rapat. 

Mbah Sarji masih terus berada di dalam kamar itu. Terdiam dan terpejam, meski di luar, di ruang tamu serta teras depan sudah lengang. Hanya menyisakan beberapa kerabat dekat dan seorang lelaki setengah baya bersorban, yang baru saja selesai memimpin acara doa bersama.

Beberapa detik, beberapa menit, sampai beberapa jam kemudian, akhirnya Mbah Sarji menyudahi ritual Weningnya. Beranjak keluar dengan tubuh serta wajah pucat terbasahi keringat. Langkah sempoyongannya seketika di sambut wajah menyirat harap-harap cemas dari keluarga Warni. Terutama Rahmad, Mbok Ngah dan Pak Kasdi. 

"Bagaimana Warni, Mbah?" tanya Mbok Ngah, terlihat tak sabar menunggu Mbah Sarji yang sedang mengatur deru nafasnya. 

Mbah Sarji terdiam menatap Rahmad, tak lama beralih pada sosok bersorban yang di kenal orang paling di segani untuk urusan Agama, Luqman. 
Satu tarikan nafas panjang mengawali cerita Mbah Sarji. Bagaimana awal dirinya dalam melakukan madiasi ritual Wening dan berhasil mengeluarkan empat bocah terekan yang menghuni garba peteng Warni. Namun, itu semua harus di bayar satu kesepakatan sebuah pengakuan. 

"Pengakuan? pengakuan seperti apa, Mbah?" tanya Luqman, yang sedari awal hanya mendengarkan. Ia merasa ada satu kejanggalan dengan kalimat, sebuah pengakuan. 

"Pengakuan sebagai orang tua asuh," jawab Mbah Sarji.
Suasana seketika tersentuh keheningan, setelah semua mendengar dan tau apa maksud dari ucapan Mbah Sarji. 

"Apa tak ada cara lain, Mbah? takutnya, Mbak Warni tetap tak percaya dengan semua ini," ujar Luqman, merasakan satu kekawatiran. Mengingat Warni mempunyai jalan pikiran dan keyakinan berbeda dari pada umumnya masyarakat setempat. 

"Itulah yang menjadi tugas utama, Mas Rahmad. Untuk cara lain saya...." Mbah Sarji terdiam sejenak seolah berpikir untuk menyambung ucapannya. Namun tak lama, bukan kata-kata yang keluar dari bibir sepuhnya, melainkan gelengan pelan kepala sebagai satu isyarat ketidak mampuan.

"Tidak apa-apa, Mbah. Saya akan berusaha sekuat mungkin meyakinkan Warni. Mudah-mudahan setelah sadar dia bisa menyadari dan merubah kekeliruannya." Rahmad yang sudah merasa tak enak hati, akhirnya membuka suara demi meyakinkan Mbah Sarji, Luqman dan termasuk dirinya sendiri.

Malam itu, setelah semuanya tak lagi bisa mencari cara lain, akhirnya menyepakati cara yang di ambil Mbah Sarji, tak terkecuali Ust Luqman. Dirinya yang menjadi salah satu sesepuh di bidang Agama, ikut menyanggupi membantu dengan lantunan doa-doa dan ayat-ayat suci Al Quran, selama tiga hari berturut-turut. Dengan harapan, Warni bisa segera tersadar dari semuanya. 

Namun, lagi-lagi satu masalah kembali muncul, ketika pagi hari, tepatnya saat Warni sadar dari pingsannya. Ia terlihat bingung akan keadaan dirinya dan sekeliling kamarnya. Di mana, bau wangi kembang setaman pertama kali membaui hidungnya. Menyusup dan tercium lembut, dari arah bawah ranjang. 

Tubuhnya yang masih lemah, ia paksa bangkit demi memastikan isi dalam ruang kamar yang semakin terlihat janggal olehnya. Matanya mengedar, menatapi tiap-tiap sudut penuh seksama, hingga sampai pada satu titik di bawah, di samping ranjang sisi sebelah kiri, wajah Warni menciut dan sebentar kemudian berubah merah demi melihat empat buah mangkok berisi bubur berwarna putih dan kecoklatan. 

Tak hanya itu. Warni benar-benar tercenguk menahan marah, melihat semua isi ruang kamar di penuhi kelengkapan sebuah ritual yang di gunakan Mbah Sarji. Ia tersadar akan suatu perkara dan barang di sekelilingnya teramat ia ingkari kini nyata ada dalam kamarnya. Membuat tubuhnya seketika terbangun dan segera melangkah keluar. 

"Mas... Mas Rahmad!" teriak Warni yang baru menapak di lantai luar kamar. 
Seraut wajah semringah tak lama muncul dari ruang dapur, menjadikan Warni semakin terheran. Sebab wajah itu bukan milik Rahmad, melainkan wajah Mbok Ngah, ibu Warni sendiri. 
"Ibu? kok, Ibu ada di sini?" tanya Warni dengan wajah menciut.
"Alkhamdulillah kamu sudah siuman, Nduk," sahut Mbok Ngah, bukan menjawab pertanyaan Warni, tapi lebih kepada mengexpresikan kebahagiaannya melihat Warni yang sudah sadar. 

"Siuman? apa maksud, Ibu? dan... dan apa sebenarnya yang terjadi, Buk?" kembali Warni bertanya penuh kebingungan. Melihat ibunya terlihat begitu bahagia pagi itu. 

"Kamu dari kemaren pingsan. Makanya Ibu ada di sini sama Bapak," jawab Mbok Ngah sembari menuntun Warni duduk di ambal ruang keluarga. 
Warni hanya terdiam setelah menselonjorkan kedua kakinya di ambal berbulu halus. Namun dari raut wajahnya, ia seperti terkejut mendengar sedikit penjelasan ibunya. 

Baru saja Warni ingin membuka mulut dan bertanya kembali, tiba-tiba ia di kejutkan oleh kemunculan tiga lelaki dari arah ruang tamu. Kedua bola mata Warni spontan melotot tajam, demi melihat satu sosok diantara suami dan bapaknya. Menunjukan satu expresi ketidak senangan dan kemarahan pada sosok lelaki itu. 

"Mau ngapain orang tua itu di sini?" ucap Warni sengit, di tujukan pada sosok lelaki tua di samping Pak Kasdi yang tak lain adalah Mbah Sarji. 
"Warni! jaga sedikit omongnmu! beliau Mbah Sarji, yang sudah ikut andil menyelamatkanmu," sahut Pak Kasdi dengan tegas sedikit tertahan, mendengar ucapan putrinya dirasa tak sopan pada Mbah Sarji. 

"Sudah, Pak. Tidak apa-apa," ucap Mbah Sarji seperti tak enak sendiri melihat suasana yang berubah canggung. 
"Tolong, Mas Rahmad. Bantu saya membereskan perlengkapan yang ada di dalam kamar." Sambung Mbah Sarji meminta Rahmad yang terdiam, untuk membantunya. 
"Baik Mbah," sahut Rahmad seraya melangkah masuk terlebih dulu ke dalam kamar miliknya, kemudian di susul Mbah Sarji. 

Sedang Warni, ia hanya tertunduk setelah mendengar ucapan bapaknya. Dirinya hanya terdiam tak menolak atau melarang Mbah Sarji yang masuk ke dalam kamar bersama suaminya. Tapi dalam diamnya, Warni sesekali melirik dengan sorot sinis penuh kebencian. 

"Nduk, sekali ini saja Ibu harap kamu mau menuruti dan mengerti. Perkara yang kamu hadapi sekarang ini bukanlah masalah sepele. Ini menyangkut keselamatanmu dan juga bayi dalam kandunganmu," ucap Mbok Ngah, memecah perasaan canggung antara Warni dan Pak Kasdi yang masih sama-sama tercenung.

Tak ada sahutan, Warni masih tertunduk meski ia mendengar penuturan ibunya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, hingga membuatnya sama sekali tak menyahuti perkataan Mbok Ngah yang terus berucap memberi nasehat dengan lembut. 

Mbok Ngah baru berhenti berkata, ketika Rahmad dan Mbah Sarji keluar dari kamar. Ikut mendengarkan sebentar pesan-pesan dari Mbah Sarji, dan melihat tangan sosok tua itu memberikan dua botol air bening kepada Rahmad sebelum akhirnya sosok Mbah Sarji berpamitan. 

"Dek, ini kamu minum separuh, dan separuhnya lagi kamu usapkan pada kandunganmu." Pinta Rahmad sembari menyodorkan salah satu botol berisi air, sepeninggalan Mbah Sarji. 
"Untuk apa, Mas? dan ini air apa?" jawab Warni sambil menerima botol berukuran sedang dari tangan suaminya. 
"Ini air sudah di doakan oleh Pak Luqman, untuk memagari kamu dan bayi dalam kandunganmu," jawab Rahmad. 

"Mas, aku ini cuma kecapekan saja. Aku gak apa-apa. Mas lihat sendiri kan, kalau aku dan kandunganku baik-baik saja. Mending Mas Rahmad panggilin Bidan atau Dokter kandungan saja deh... dari pada harus percaya dengan yang beginian. Apa lagi sama Pak tua tadi." 
Lagi-lagi, Rahmad, Mbok Ngah dan Pak Kasdi di buat tercengang dengan apa yang di ucapkan Warni. Mereka terlihat saling pandang, tak menduga jika Warni belum juga tersadar setelah pingsan begitu lama akibat perbuatannya sendiri. 

"Dek, aku mohon. Sekali ini saja kamu mau mendengar dan mengesampingkan ketidak percayaanmu terhadap hal mistis atau apa pun. Ini kamu anggap saja air biasa dari seorang Ustad," ucap Rahmad pelan dan berharap Warni mau berubah pikiran. 

"Mas... Mas. Mendingan kamu antar saya ke Bidan atau Dokter sekarang. Biar sekalian tau jenis kelamin anak kita. Bukan malah menyuruh saya buat minum dan percaya dengan akal-akalan orang-orang itu." Sedikit tersenyum kali ini Warni menyahuti ucapan Rahmad. Namun senyum sebuah cibiran. 

"Warni! kamu benar-benar kelewatan. Seharusnya kamu berterima kasih dengan Mbah Sarji dan Ustad Luqman. Bukan malah menyebut mereka seperti itu!" Tegas, lagi-lagi ucapan Pak Kasdi yang sudah mulai geram dengan semua ucapan dan anggapan Warni.

"Bisa saja kan, Pak. Ini akal-akalannya Mbah Sarji yang masih tak terima dengan ucapan saya tempo hari. Malah saya merasa jika saya pingsan karena kecapekan gara-gara adu mulut sama dia." Sanggah Warni juga dengan suara yang mulai meninggi. 

"Cukup, Warni! tak pantas kamu berucap dan berprasangka seperti itu! pingsannya kamu itu gara-gara ulahmu sendiri yang lancang membakar barang sembarangan dan menantang penghuni alam lain di belakang rumah. Masih untung kamu selamat! dan harusnya kamu berterima kasih pada Mbah Sarji serta Pak Luqman yang sudah menolongmu tanpa mengharap imbalan." 

Kali ini Warni terdiam. Melihat api kemarahan di mata Pak Kasdi yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Membuat suasana sejenak terasa hening, kala ke empatnya seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing.

Tapi tak lama keheningan ruang keluarga tersudahi oleh suara lirih Mbok Ngah yang membujuk Warni. Tangan keriputnya mengusap pelan pada rambut putrinya dengan penuh kasih sayang, di sertai ucapan nasehat agar bisa di mengerti dan bisa meluluhkan hati Warni. 

Sepintas Warni tampak mendengar dan seperti menerima nasehat dari Mbok Ngah. Itu terlihat saat ia bangkit dan berjalan kembali ke dalam kamar, dengan membawa dan tetap menggenggam botol berisi air putih pemberian Rahmad dari Ust Luqman yang di titipkan Mbah Sarji. Tanpa berucap atau berkata apa-apa lagi kepada Suami maupun kedua orang tuanya. 

***

Setelah perdebatan pagi itu, Warni lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Tak menghiraukan kesibukan di dapur dari beberapa tetangga dan kerabat dekatnya serta keluarga dari suaminya, dalam menyiapkan hidangan ala kadarnya untuk acara di malam hari. 
Ia bahkan mengacuhkan Mbah Sarji yang tiap malam selalu masuk di temani Rahmad ke dalam kamar guna menyusun empat mangkok berisi bubur dan empat kelapa muda hijau tertumpang masing-masing sebuah telur di atasnya selama tiga hari berturut-turut. 

Tepat di hari ke empat atau setelah Mbah Sarji dan Ustad Luqman mengakhiri seluruh acara di rumah Rahmad, suasana rumah Rahmad kembali sunyi. Mbok Ngah serta Pak Kasdi juga sudah kembali pulang ke rumah mereka sendiri. Pulang dengan membawa harapan keselamatan dan tak terulangnya kembali kejadian yang hampir merenggut nyawa putri serta calon cucu mereka selepas beberapa hari acara di gelar. 

Kehidupan Warni dan Rahmad sementara waktu normal seperti sedia kala. Rahmad sendiri tak lagi merasakan hal ganjil atau sesuatu janggal dalam diri Warni. Istri yang selalu menampik adanya hal ghaib atau apapun, setelah acara itu sekilas terlihat berubah di matanya. Membuatnya merasa tenang saat dirinya bekerja dan meninggalkan sendiri di rumah.

Namun, semua itu tak bertahan lama. Berawal dari kecurigaannya di waktu sore hari saat ia baru saja pulang bekerja, mendapati suara samar percakapan di dalam kamar. Rahmad terheran, terpaku sebentar di ruang keluarga, menajamkan pendengarannya untuk memastikan suara wanita tua yang menjadi lawan bicara istrinya. 

Rasa penasaran yang semakin menguat akhirnya memaksa kaki Rahmad untuk berayun mendekat dan masuk ke dalam kamar, setelah ucapan salam dari bibirnya terlebih dahulu mengawali. 

Sedikit terperanjat Rahmad, melihat seorang wanita tua berambut putih rata, bertapi jarik batik putih tengah berdiri di samping istrinya sambil kedua tanganya tertumpu, mengelus perlahan perut buncit Warni. 

Rahmad merasakan hal berbeda ketika tatapan matanya beradu pandang dengan sosok wanita tua yang tetiba saja menoleh. Ada kengerian dari sorot matanya yang tajam, membuat Rahmad sedikit takut dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya. 

"Mas, baru pulang?" sapa Warni saat menyadari kehadiran suaminya. 
"Oh, ya Mbah. Ini suami saya, Mas Rahmad," sambung Warni memperkenalkan Rahmad pada sosok wanita tua di sampingnya. 

Rahmad hanya membisu dan tetap terpaku, kala sosok wanita tua itu lagi-lagi menatapnya sembari tersenyum, atau tepatnya menyeringai. Menambah semakin kuat rasa takut dalam benaknya. 

"Ini Mbah Sulak, Mas. Beliau tukang urut yang biasa memijat wanita hamil di kampung ini," kembali Warni menyambung ucapanya. Dan kali ini ia memperkenalkan sosok wanita tua yang dirinya sebut sebagai Mbah Sulak. 

Rahmad hanya menggangguk pelan. Bibirnya masih terasa kelu melihat seringaian terus saja menghias dari bibir Mbah Sulak. Hingga akhirnya, Rahmad yang merasakan suasana hati dan pikiran semakin tak enak, memutuskan untuk keluar kamar.
Akan tetapi, baru saja ia membalikkan badan, suara berat Mbah Sulak menghentikan kakinya melangkah. Membuatnya semakin merinding takut, manakala sosok Mbah Sulak mendekat. Bukan saja karena sosoknya yang terlihat ngeri oleh mata Rahmad saat itu, melainkan juga bau menyengat yang menyebar dari tubuh Mbah Sulak. Bau yang seketika mengingatkanya akan satu hal, dan biasa ia jumpai atau di pakai dalam mengurus prosesi sebuah jenazah. Yaitu, bau Kapur Barus...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close