Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 5)


JEJAKMISTERI - "Mas! Tolong. Perutku sakit banget!" Rintih Warni, saat tau suaminya berdiri di ambang pintu.

Rahmad yang masih gemetar hanya diam. Ketakutan masih bergelanyut kuat melihat empat sosok anak kecil dan sesosok wanita yang sudah di lihatnya tiga kali, kembali mengalihkan perhatian pada tetesan darah di kaki Warni.

Beberapa saat lamanya Rahmad menyaksikan kengerian itu. Menatap lidah-lidah kecil nan panjang, menyapu lutut Istrinya. Rahmad tak kuat lagi, ia tak tahan mendengar rengek rintih kesakitan Warni, hingga akhirnya ia menguatkan diri untuk beranjak dari dalam rumahnya. 

Setengah berlari Rahmad menembus gelap malam, menyusuri jalanan kampung tanpa tau tujuan pasti. Sepi, sunyi, sepanjang ia melewati rumah-rumah warga dan beberapa simpang. 

Sampai di sebuah simpang tiga, di jalan paling kecil, wajah Rahmad sebentar terlihat mengulas harapan, melihat sebuah rumah sedikit di ujung jalan mengarah ke area persawahan, tampak terang dengan beberapa lelaki duduk di teras depan. Ayunan langkahnya semakin cepat dan kencang. Tak perduli dengan rasa lelah, linu, juga nafas yang sudah tersengal, untuk bisa segera sampai di rumah belum dirinya tau pemiliknya.

Tiga lelaki 45an dan seorang lelaki tua seketika berdiri, terheran akan kedatangan Rahmad, berwajah pucat penuh ketakutan. 
Sejenak mereka memberi kesempatan Rahmad mengatur nafas, sebelum menceritakan penyebab dirinya datang penuh kecemasan. Ketiga lelaki terlihat hanya manggut-manggut, mendengarkan seksama semua cerita Rahmad. Tapi tidak dengan lelaki tua berkopiah lusuh yang duduk di kursi paling sudut. Wajahnya saat itu terlihat datar menanggapi cerita Rahmad. Hingga sampai di akhir titik cerita Rahmad, barulah wajah keriputnya menggurat ketegangan.

"Bojomu iku ora loro biasa. Iku mergo wes kewanen karo barang alus, seng manggon luweh ndisek nang pekaranganmu mburi." (Istrimu itu bukan sakit biasa. Itu karena sudah terlalu berani dengan makhluk tak kasap mata, yang menempati lebih dulu di halaman belakang rumahmu)

Terhenyak tiga lelaki di sisi kanan kiri Rahmad, mendengar ucapan singkat dari lelaki tua yang tak lain, Mbah Sarji. Mereka tak mengira jika cerita dan permohonan Rahmad untuk meminta bantuan, berkaitan dengan tempat yang mereka tau sebagai tempat paling ngeres di kampung itu. Rahmad sendiri langsung menundukkan wajah. Mendengar sahutan dingin Mbah Sarji. Mengingat, perlakuan dan kata-kata Warni pada Mbah Sarji sore tadi, membuatnya merasa malu. 

"Wes, ayo mangkat. Tulungi bojomu. Ra perlu nyeluk Bidan po Dokter, percumah." (Sudah, ayo berangkat. Tolong istrimu. Tidak perlu manggil Bidan atau Dokter, percumah.) Ajak Mbah Sarji, seolah tau pikiran dan perasaan Rahmad.

Tiga kendaraan roda dua sedikit tua, saat itu juga melaju beriringan ke rumah Rahmad. Tak sampai lima belas menit, mereka tiba di halaman dan langsung merangsek ke dalam, menyusul Rahmad yang lebih dulu masuk. Hawa anyep langsung di rasa menyusup kulit mereka, saat berada di ambang pintu kamar Rahmad. Di mana, di dalam kamar itu tubuh Warni tergolek diam di atas kasur. Matanya terpejam, nafasnya mendayu berirama. Tak ada rintihan, tak ada tangisan, membuat tiga lelaki yang mengikuti Mbah Sarji dan Rahmad saling pandang.

Sedang Rahmad sendiri, yang berdiri di samping ranjang, sekilas terkesiap melihat satu keanehan. Jelas-jelas tadinya ia melihat tetesan darah di kedua kaki Warni. Menjadi santapan lidah empat sosok anak kecil, serta seorang sosok wanita berwajah gosong mengelupas. Tapi, saat itu, tiba-tiba hilang tak berbekas. Tak ada lagi tetesan darah, tak ada bau anyir menyengat, yang ada hanya tubuh Warni tertutupi selimut berbulu lembut dengan motif bunga, tak sadarkan diri.

"Sampeyan-sampeyan metuo disek. Aku tak omong-omong karo Mas Rahmad." (Kalian-kalian keluar dulu. Saya mau berbicara dengan Mas Rahmad.) Perintah Mbah Sarji tiba-tiba pada tiga lelaki yang masih di landa rasa heran.

"Ngerti, opo seng wes kedaden nang bojomu karo kandungane?" (Tau, apa yang sudah terjadi pada Istrimu dan kandungannya?) ucap Mbah Sarji, setelah kepergian tiga lelaki pengiringnya.

Sebentar Rahmad menatap Mbah Sarji penuh kesungguhan. Sebelum kembali beralih menatap Warni yang masih terpejam. 
Dan tak lama, gelengan pelan kepalanya menjadi jawaban atas pernyataan Mbah Sarji.

"Geteh lan bocah-bocah cilik, seng awakmu delok mau, iku tondo bojomu wes kenek Langon," (Darah dan anak-anak kecil, yang kamu lihat tadi, itu tanda Istrimu sudah terkena Langon,) ucap Mbah Sarji, mengawali penjelasannya.

"Langon? Opo iku Mbah?" (Langon? Apa itu Mbah?) sahut Rahmad, penasaran.

"Kandungan seng kelebu roh nyasar wadahe bocah-bocah Terekan. Lan bakal njikok calon bocah seng di kandung sak durunge babaran," (Kandungan yang kemasukan roh nyasar ke wadah anak-anak Terekan. Dan akan mengambil calon anak yang di kandung sebelum waktu kelahiran,) jawab Mbah Sarji pelan, di sela-sela tarikan nafasnya.

Namun, sampai selesai penjelasan Mbah Sarji di titik itu, Rahmad masih terlihat bingung dan belum sepenuhnya mengerti.

"Sepurone, Mbah. Taseh bingung kulo Mbah?" ( Maaf, Mbah. Masih bingung saya Mbah?) sahut Rahmad kembali dengan siratan penuh tanda tanya.

"Terekan iku, calon bocah seng metu kepekso seko darbo peteng. Durung kelebon roh, sukmo, nanging wes duweni wadah. Lan mergo seng ngalami iku ra tanggap, di anggep barang sepele, ra di urus, akhire dadi wadale jin, roh-roh kesasar tanpo wadah, mbentuk dadi koyo bocah-bocah seng awakmu delok mau." (Terekan itu, calon anak yang keluar terpaksa dari Rahim. Belum kemasukan Roh, Sukma, namun sudah mempunyai tempat. Dan karena yang mengalami itu tidak mengerti, di anggap masalah sepele, tak di urus, akhirnya jadi sasaran tempat kasap Jin, Roh-Roh kesasar tanpa mempunyai tempat, membentuk seperti wujud anak-anak yang kamu lihat tadi.)

Kali ini, Rahmad tertegun seperti memahami maksud penjelasan Mbah Sarji. Membuatnya kembali membayangkan puluhan sosok kecil betanduk, dan empat sosok anak kecil berlendir merah yang dirinya lihat beberapa saat lalu.

"Terus, kepripun nasib bojoku niki, Mbah?" (Terus, bagaimana nasib Istriku ini, Mbah?)

Rahmad yang mendadak teringat akan Warni, kembali bertanya. Menahan rasa cemas dengan nasib istrinya saat itu.

"Kudu di tebusi. Seng mlebu nang njero kandungane bojomu ora mek siji, nanging papat sekaligus. Mergo bojomu kewanen nantang, lan gawe salah gede ngobong barang ritualan seng biasa di kanggokne sesepuh biyen." (Harus ada penebusan. Yang masuk ke dalam kandungannya istrimu tidak cuma satu, tapi empat sekaligus. Karena istrimu sudah berani menantang, dan membuat kesalahan besar membakar barang ritualan yang biasa di gunakan sesepuh terdahulu.)

Lagi-lagi Rahmad tertunduk. Mengingat kembali kelakuan istrinya yang sudah kelewat batas. Dan sekarang, bukan hanya Warni sendiri harus merasakan akibatnya, tapi juga bakal merepotkan banyak orang. Belum lagi rasa malu akan di tanggungnya dari kerabat, tetangga, yang pernah di cemooh, di umpat, saat mengetahui malapetaka dan kondisi Warni akibat buah dari kesombongannya.

"Mas Rahmad, dewe saiki kudu moro nang mburi. Ben ngerti opo seng di karepake lan dadi penjalukane seng momong bocah-bocah terekan iku. Supoyo ora telat kanggo nylametke bojo lan calon anakmu." (Mas Rahmad, kita sekarang harus datang ke belakang. Biar tau apa yang di inginkan dan jadi permintaan pengasuh anak-anak terekan itu. Supaya tidak terlambat untuk menyelamatkan istri dan calon anakmu.)

Sedikit terjingkat Rahmad mendengar ajakan Mbah Sarji. Bukan saja membuyarkan renungannya, tapi juga kalimat ajakan dari Mbah Sarji, untuk mendatangi pekarangan belakang yang memang ia sendiri percaya keangkerannya.

Tak sempat ia menjawab, Mbah Sarji sudah beranjak melangkah keluar dari dalam kamar. Berbicara sebentar dengan tiga lelaki masih setia menungguinya di depan, sebelum kembali berbalik dan melangkah menuju pekarangan belakang.

Hanya keheningan di rasa Rahmad saat mengikuti setapak demi setapak ayunan kaki di belakang Mbah Sarji. Wajahnya menyirat penuh ketegangan, membayangkan sosok wanita berwajah mengelupas yang bersemayam di tempat bakal di tujunya. 

Bayangan itu semakin menari-nari di pelupuk mata Rahmad, ketika ujung sisi kiri pekarangan mulai terlihat samar. Jiwanya seketika bergejolak, tubuhnya mempias, mendapati hawa sangat dingin nan lembab, setelah melewati beberapa langkah jembatan papan pendek sungai kecil, yang di gunakan sebagai pembuangan air dari sumur dan dapur. Padahal, Rahmad tau dan yakin betul, jika saat itu malam belum masuk waktu dini hari.

"Awakmu tunggunen kene. Ojo lungo seko kene, sak durunge aku ngadek. Siji maneh, ojo mbok gagas opo ae seng ketok nang ngarep mripatmu." (Kamu tunggulah di sini. Jangan pergi dari sini, sebelum saya berdiri. Satu lagi, jangan kamu hiraukan apapun yang terlihat di depan matamu.) 

Pesan Mbah Sarji lirih, saat menghentikan langkahnya, dan hanya tinggal berjarak beberapa depa dari rumpunan bambu. 

Rahmad mengangguk, meski dirinya tak mengerti dengan apa yang akan di lakukan Mbah Sarji. Ia baru tau setelah tak lama, Mbah Sarji duduk bersila bergumam pelan melafalkan kalimat-kalimat berbahasa Jawa kuno, tepat di depan kubangan abu hitam tempat Warni membakar tumpukan pakaian bayi. 

Beberapa detik, beberapa menit, di lalui Rahmad dalam kungkungan rasa tercekam. Posisinya yang berdiri di belakang Mbah Sarji, sesaat bergeser menyamping, menghindari sapuan angin datang tiba-tiba, membuat abu-abu hitam bekas terbakarnya kain berterbangan memutar. Tetapi, di saat bersamaan, Rahmad terjingkat, tercekat kuat, manakala di sisinya, di belakangnya, terdengar suara lirih nan riuh tawa layaknya anak-anak kecil bersahutan.

Belum sempat Rahmad memalingkan wajah, lagi-lagi satu hembusan angin beraroma wangi bunga Kamboja menerpanya. Membuat matanya terpejam sebentar, sebelum kembali terbuka, mendapati sesosok wanita bergaun putih panjang sudah berdiri hadapannya.

Tak ada lagi yang bisa di perbuat Rahmad saat itu. Ingin rasanya ia lari meninggalkan tempat itu, namun kakinya seolah terpaku, berat, tanpa bisa dirinya gerakan. Detik selanjutnya, Rahmad benar-benar merasakan arti dari puncak sebuah ketakutan. Ia tak lagi merasakan desiran darah mengalir dari tubuhnya, tak lagi merasakan detak jantungnya, seolah semua lenyap, sirna, terhempas ke dalam suasana yang baru sekali ia alami dalam hidupnya. 

Ketakutan Rahmad tak terjeda sedikit pun. Bahkan tanpa sadar tubuhnya sudah terduduk di belakang Mbah Sarji. Membuat matanya semakin jelas menatapi bocah-bocah kecil berkain sewek tertawa riang sambil mengitari dirnya dan Mbah Sarji. Rahmad mencoba untuk memejamkan matanya, menghindari tatapan nyalang dari sosok wanita berkulit mengelupas dan berlendir. Namun sayang, kelopak matanya di rasa seperti anggota tubuh lainnya, kaku dan berat. Membuatnya mau tak mau harus terus melihat kengerian dari semua makhluk yang ada di tempat itu, hingga beberapa lamanya.

"Plakk....!" 

Satu kelegaan sebentar menggurat di wajah Rahmad. Ketika sebuah tamparan sedikit keras dari Mbah Sarji mendarat di keningnya. Sebab, di saat bersamaan mata Rahmad tak lagi melihat sosok mengerikan dari bocah-bocah kecil maupun wanita berkulit mengelupas. 

"Wes rampung. Ayo, muleh." (Sudah selesai. Ayo pulang.)

Rahmad belum mampu menjawab, ia hanya menuruti tangan Mbah Sarji yang menarik dan memapahnya berjalan meninggalkan tempat itu. Baru, setelah sampai di dalam rumah dan menghabiskan segelas air putih pemberian Mbah Sarji, sedikit demi sedikit kesadaran Rahmad pulih sedia kala.

"Lumayan kuat mentalmu, Mas Rahmad. Iso ora pingsan di rubung barang alus koyo ngono mau," (Lumayan kuat mentalmu, Mas Rahmad. Bisa tidak pingsan di kerumuni makhluk halus seperti itu tadi,) ucap Mbah Sarji di sela-sela hempasan asap rokok kretek yang baru di nyalakan dan terselip di bibir coklatnya.

"Terus piye bojoku sak kandungane, Mbah?" (Terus bagaimana istri serta kandungannya, Mbah?) tanya Rahmad, tersadar akan tujuan utama dirinya mengikuti Mbah Sarji.

"Sarate rodok abot, Mas. Awakmu kudu ragat lumayan akeh, supoyo bocah terekan papat seng Nang njero kandungane bojomu gelem metu lan calon anakmu iso selamet," (Syaratnya sedikit berat, Mas. Kamu harus keluar biaya lumayan banyak, supaya bocah terekan yang ada di dalam kandungan istrimu mau keluar dan calon anakmu bisa selamat,) sahut Mbah Sarji, menjelaskan.

"Gak opo-opo, Mbah. Piro ae tak bayar, asal bojo lan calon anakku iso sehat, selamet," (Tidak apa-apa, Mbah. Berapa pun saya bayar, asal istri dan anakku bisa seha, selamat,) ujar Rahmad menyanggupi.

"Ora mergo bayarane, Mas. Iku ngono dudu kanggoku, tapi kanggo nukokne peralatan ritual sepitan bocah-bocah terekan seng lanang. Terus akeh seng kudu di lakoni keluargamu sak durunge iku. Awakmu sak keluarga kudu gawe syukuran nganggo coro adate kampung kene. Mergo, omah Iki sak pekarangane biyen dudu panggonan biasa. Ora sitik seng ngrogolke bayi durung patang sasi nang omah Iki. Di buwak nang pekarangan mburi, tanpo di openi sak wajare. Mulo di jenengke Kedung Terekan."

(Tidak karena bayarannya, Mas. Itu semua bukan untuk saya, tapi untuk membelikan perlengkapan ritual upacara khitanan anak-anak terekan yang lelaki. Terus banyak yang harus di lakukan sekeluargamu sebelumnya. Kamu sekeluarga harus membuat syukuran memakai cara adat kampung sini. Karena, rumah sekaligus tanah pekarangannya ini dulu bukan tempat biasa. Tidak sedikit yang menggugurkan kandungan sebelum berumur empat bulan di rumah ini. Di buang ke pekarangan belakang, tanpa di rawat sewajarnya. Makanya di namakan sumber janin buangan.)

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close