Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ASMARA RATU LAUT SELATAN


Senja telah memayungi bumi Mataram. Cahaya kemerahan sang surya berpendar di ufuk barat. Burung-burung terbang melintas kembali ke sarang setelah seharian mencari makan. Panembahan Senopati duduk di ruang tengah kediamannya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai hingga menyentuh pinggang. Tubuhnya yang tegap hanya dililit dengan sehelai kain semacam pakaian tidur pada masa itu. Orang nomor satu di Mataram itu duduk setengah rebah disebuah kursi panjang.

Sebuah bantal besar terganjal di punggungnya. Di hadapannya seorang lelaki tua duduk sambil berbicara serius. Sesekali dihisapnya pipa rokok yang terselip di kanan kakinya. Orang tua itu tidak lain Ki Juru Mertanai. Jenggotnya yang sudah berwarna kelabu sesekali berkibar diterpa angin yang masuk dari sela-sela pintu ataupun jendela.

“Terus terang saya sangat khawatir dengan imbas kelakuan Ronggo tadi siang Paman“

“Sudah barang tentu Pamalat, Adipati dari Tuban itu akan memberikan kesaksian palsu serta dibumbui dengan penyedap. Agar ceritanya lebih menarik dan lebih panas. Mulut orang itu tidak ubahnya seperti ular weling, berbisa dan mematikan“

“Mataram sekarang ini belum menjadi apa-apa. Ibarat bayi. Mataram itu baru dalam fase merangkak. Kalau ternyata Romo Sultan menggempur kita dengan pasukan Pajang. Hanya dalam hitungan menit bumi Mataram akan luluh lantak rata dengan tanah“

“Saya kira Ngger Senopati tidak perlu terlalu memikirkan hal itu. Saya sangat kenal dengan Hadiwijaya dia orang yang arif dan tidak mudah untuk dikompor-kompori oleh orang-orang yang ingin memancing di air keruh“

“Tetapi jika hal yang saya takutkan terbukti. Bagaimana Paman Juru?”

Panembahan Senopati tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya. Dia lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah jendela kemudian membukanya lebar-lebar. Sinar senja yang menguning merembes masuk.

“Saya ingin meneruskan cita-cita luhur Ayahanda Pemanahan. Membangun Mataram ini menjadi negeri yang besar, berdaulat dan dapat mengayomi rakyat-rakyatnya. Pasti suatu saat akan terjadi perang saudara. Mataram akan di cap sebagai pemberontak. Trah Selo akan ditulis dalam catatan sejarah sebagai trah yang tidak tahu berterimakasih. Karena berani mbalelo, angkat senjata dengan orang tuanya sendiri“
“Kalau Angger Senopati masih dilanda gelisah. Ada baiknya bersemadi. Memohon petunjuk pada Gusti Allah mendekatkan diri pada yang kuasa. Paman yakin disitu pasti akan ada jawabannya“

“Itu ide yang bagus Paman Juru. Malam nanti akan saya laksanakan tapa brata untuk mencari petunjuk pada yang kuasa. Saya akan melakukan tapa ngeli (menghanyutkan diri di sungai), dari sungai Gajah Wong sampai ke Parangkusumo di segara kidul“

“Lakukan itu Ngger dan temukan petunjuk itu. Agar dirimu lebih mantap dalam menentukan langkah ke depan untuk kemakmuran Mataram beserta rakyat-rakyatnya“

Dua orang senopati tampak datang dari gerbang depan. Di belakangnya seorang pemuda tegap tampak menampakkan rasa kesal di wajahnya. Pemuda itu tidak lain Raden Ronggo. Dua Senopati itu Sekartaji dan Pranajaya.

Ketiga orang itu segera masuk ke dalam kediaaman Panembahan Senopati. Ketiganya menyembah hormat. Lalu duduk di sebuah kursi yang berderet kosong di ruangan itu.

“Terimakasih, Paman Sekartaji dan Paman Pranajaya. Sudah berhasil membawa Ronggo pulang ke Mataram“

Kedua senopati Mataram itu mengangguk hormat.

Raden Ronggo hanya menunduk.

“Ngger Ronggo, ayo bicara pada bapak mu pada Eyang mu ini. Jangan hanya diam membisu seperti anak kecil seperti itu. Kemudian kabur-kaburan, minggat tidak mau pulang. Semua itu bisa diselesaikan dan dibicarakan“

Ki Juru Mertani berbicara pada Raden Ronggo. Perlahan Raden Ronggo menegakkan kepalanya.

“Beribu maaf, ayahanda Senopati dan Eyang juru. Jikalau polah saya telah membuat malu dan mungkin akan membawa bencana pada Mataram. Terus terang jiwa saya terkekang kalau hanya berdiam diri di suatu tempat. Jiwa muda saya ingin melanglang buana. Mencari pengalaman dan melihat dari dekat kehidupan rakyat Mataram“

Panembahan Senopati beranjak dari tempat duduknya. Dihampiri Raden Ronggo lalu ditepuk-tepuk bahu anak sulungnya itu.

“Kalau keinginan mu seperti itu. Ayahanda ijinkan. Silahkan mengembara. Tapi ayahanda ada satu tugas untukmu. Pergilah ke Pati temui paklik mu dan sampaikan surat yang akan aku tulis untuk beliau“

Raden Ronggo menganggukan kepalanya.

“Saya mohon diri Ayahanda, Eyang dan Paman Sekartaji serta Paman Pranajaya. Saya lelah dan butuh istirahat“
Raden Ronggo menyembah pada Panembahan Senopati. Berdiri dari tempat duduknya dan beranjak pergi ke dalam kamarnya. Di ruangan tengah itu kini tinggal Panembahan Senopati, Juru Mertani beserta dua senopati Mataram. Senja mulai beranjak malam. Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib di kejauhan.

***

Mataram telah tenggelam dalam kesunyian dan kegelapan malam. Bangunan utama yang besar itu pun larut dalam kesunyian. Hanya terkadang terlihat beberapa prajurit yang berjalan hilir mudik ronda rutin menjaga keamanan. Satu prajurit terlihat terkapar sambil memeluk lututnya di bawah tangga pintu gerbang. Suara dengkurnya bagai bersaing dengan suara serangga malam. Seekor burung hantu mengepakkan sayapnya di cabang sebuah pohon tanjung lalu mengeluarkan suara aneh menggidikkan bagi siapa saja yang mendengarnya.

Sesosok tubuh berjalan keluar dari sebuah rumah yang berada ditengah lingkup istana. Rambut panjangnya tergerai hampir menyentuh pinggang. Tubuhnya yang tegap berjalan ringan laksana tidak menapak tanah. Prajurit-prajurit yang sedang berjaga bahkan tidak mengetahui kalau sesosok tubuh itu berjalan persis di hadapannya. Bayangan itu kemudian keluar dari kotaraja. Langkah kakinya berjalan ke arah barat kotagede. Tidak berapa lama jalan yang dilalui menurun curam. Sayup-sayup terdengar suara aliran air yang mengalir.

Di samping serumpun pohon bambu orang ini hentikan langkahnya. Di depannya dalam kegelapan dia melihat, ada sungai air nya jernih dan deras. Sinar bulan pucat yang menyembul dari balik awan memantulkan cahaya berpendar dari dasar sungai. Itu lah sungai Gajah Wong.
Lama orang ini menatap sungai sejarak dua puluh langkah dari tempatnya berdiri.

“Saat inilah waktunya...tengah malam persis“

Kakinya terayun menuju ke arah sungai. Orang itu yang tidak lain Panembahan Senopati yang akan melakukan tapa ngeli melangkah ke dalam sungai. Makin dalam, makin dalam dan sewaktu air sungai sudah sampai ke dadanya. Panembahan duduk bersila tepat di tengah sungai. Lalu perlahan dipejamkan kedua matanya rapat-rapat. Dengan posisi duduk bersila air sungai hampir menyentuh hidungnya. Air sungai yang deras membuat tubuh orang nomor satu di Mataram itu tergontai-gontai.

Tidak lama kemudian setelah mencapai titik konsentrasi tertinggi. Tubuh Panembahan Senopati hanyut terbawa arus sungai Gajah Wong. Terus hanyut menuju ke arah selatan. Setelah beberapa lama tubuh Panembahan Senopati terbawa arus hingga sampai di tempuran atau (bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered). Tubuh itu masih saja terseret aliran sungai yang semakin deras arusnya.

Hingga pada akhirnya, tubuh Panembahan Senopati terdampar di sebuah batu karang di Pantai Parang Kusumo Laut Selatan. Masih dengan posisi duduk bersila memejamkan mata. Seperti tidak terjadi apa-apa. Baju hitam yang melilit tubuh sudah basah kuyup. Begitupun rambut panjangnya mengalami hal yang sama. Basah kuyup! Deburan ombak laut selatan seperti tidak terdengar sama sekali di telinga Panembahan Senopati. Calon raja Mataram itu masih larut dalam tapa bratanya.

***

SIANG ITU laut selatan tampak cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis.
Burungburung laut terbang berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya. Di sebuah bangunan sangat besar beratap tinggi. Pada kiri kanan bangunan yang berdinding batu pualam itu berjejer masing-masing dua belas buah pilar putih berukiran indah sekali. Lalu di antara jejeran dua belas tiang ini, pada pertengahan lantai terbentang sehelai permadani tebal berwarna hijau pupus membujur dari tangga di sebelah depan bangunan itu.

Permadani ini membujur terus ke arah bagian ujung lain dari bangunan besar itu yang lebih menyerupai sebuah kerajaan. Di sebelah ujung sana tampak tangga terdiri dari lima undakan, dan diundakan paling atas lantainya ditutupi sehelai permadani tebal berwarna hijau pupus juga. Di tengah-tengah ruangan besar di atas tangga itu terdapat sebuah kursi besar berukiran kepala naga pada kedua tangannya dan ukiran kepala burung garuda pada sandarannya sebelah atas. Di kiri kanan kursi, sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai benang emas memayungi kursi besar.

Di langit-langit ruangan menyala puluhan lampu kecil yang tersusun pada sebuah jambangan indah terbuat dari perak dan memancarkan sinar berkilau-kilau, tergantung tepat di atas kursi besar. Pada dinding ruangan kiri kanan tampak tiga buah pintu berwarna putih yang ditutup dengan sehelai tirai berwarna hijau Di atas pintu menyala lampu-lampu aneh berwarna kehijauan. Jika di cermati bangunan dan warna yang ada di ruangan itu didominasi oleh warna hijau. Kerajaan manakah ini?!

Di balik tirai berwarna hijau itu ternyata ada satu ruangan besar yang luar biasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis dengan pemandangan laut yang indah, termasuk tetumbuhan dan binatang- binatangnya. Di salah satu sudut terletak sebuah pembaringan dan di atas pembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguh rupawan. Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut panjang hitam berkilat. Sepasang matanya bening tapi menyorotkan pandangan tajam. Perempuan ini mengenakan pakaian serba hijau yang tipis dan di atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batu-batu permata.

Wajahnya seperti menyiratkan kegelisahan. Sebentar menarik nafas panjang. Lalu dihembuskan perlahan-lahan dari kedua lubang hidungnya yang mancung.

“Mengapa suhu di dasar laut ini begitu panasnya?”

Gadis cantik berpakaian serba hijau itu mengusap peluh yang menitik di kening dengan punggung tangan kanannya. Gadis itu tidak lain adalah Nyai Roro Kidul. Ratu Penguasa Laut Selatan. Selama ribuan tahun hidup, baru kali ini melihat perubahan alam yang aneh di istananya. Belum selesai keterkejutan akan perubahan suhu yang menjadi panas. Tiba-tiba ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras.

Pada puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah gunung! Terjadilah badai di laut yang dahsyat Istana Laut Selatan tergoncang hebat. Tiang-tiang penyanggang berderak-derak meliuk-liuk seperti akan runtuh. Dibeberapa bagian istana tampak retak-retak di hajar gempa dahsyat. Para jin, setan periperayangan, penghuni Laut Selatan berhamburan kalang-kabut risau menyaksikan perubahan gejala aneh di Laut Selatan, karena gemuruh badai yang diberengi dengan gempa itu terasa panas dingin tak menentu sampai menembus dasar laut. Laut Selatan Pulau Jawa berguncang, menggelegak bagai air panas di kuali. Kemilau air laut yang biru, mendadak keruh berbuih mendidih, terguncang gempa.

***

“Apa gerangan yang terjadi?!”

Nyai Roro Kidul, dara berbaju serba hijau tadi, silangkan kedua lengannya di atas kepala. Mulutnya merapal sesuatu. Ketika kedua lengan itu ditarik dan dipukulkan ke samping, Mendadak terdengar suara seperti ombak berdebur keras. Memandang ke arah pertengahan ruangan, satu keanehan lagi terjadi di tempat itu!

Di tengah ruangan tiba-tiba saja terlihat satu gulungan ombak besar, membentang lebar tak bergerak laksana sebuah layar kaca. Di dalam layar ombak terlihat terang benderang, tak ada apa-apa. Hanya saja di tepi laut itu memang ada seorang lelaki duduk bersedekap disebuah lempeng batu karang melakukan tapa brata. Rambutnya yang tergerai berkibar-kibar dihembus angin pantai. Diakah penyebabnya?!

Nyai Roro Kidul terdiam sejenak. Diamat-amatinya lelaki yang duduk bersemadi itu dan betapa kaget setelah tahu dia adalah Panembahan Senopati. Tak salah lagi dialah penyebab prahara laut selatan. Gemuruh ombak laut panas semakin tak tertahankan, sampai menciptakan bergunung-gunung gelombang. Segera Nyai Roro Kidul melesat ke luar dan berdiri di atas permukaan air laut. Ratu Laut Selatan ini berjalan laksana terbang menghampiri dimana Panembahan Senopati duduk bersila. Setelah hanya berjarak satu langkah Kanjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Panembahan Senopati, sang Ratu jatuh cinta. Hatinya berdebar-debar.

Selanjutnya Kanjeng Ratu Kidul berusaha membangunkan tapa brata Panembahan Senopati.

“Buka matamu Kakang Senopati? Tapa brata mu itu membuat dan menimbulkan bencana alam di dasar Laut Selatan. Apa yang menjadi keinginan mu Kakang Senopati sehingga melakukan tapa brata yang sangat berat?!”

“Siapakah kau, sehingga berani mebangunkan tapa brata ku ini?”

Mata Panembahan Senopati masih terpejam. Kedua insan beda dunia ini berbicara lewat batin.

Kanjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai Penguasa tunggal di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya.

“Akulah Nyai Roro Kidul, Ratu penguasa Laut Selatan ini“

“Aku seorang pemimpin di sebuah tenah kecil bernama Mataram. Aku ingin Mataram menjadi negara yang berkedaulatan, adil dan makmur. Menjadi negeri yang besar dan disegani di seantero tanah Jawa ini bahkan lebih. Akan tetapi, selama ini Mataram masih tunduk di bawah kekuasaan Pajang. Sebagai saudara dan Sultan Pajang masih ayah angkatku sendiri. Alangkah tidak tahu diri kalau aku ini mbalelo. Menghunus, pedang, keris dan tombak serta merentangkan gandewa ke arah saudara-saudara ku sendiri?”

Nyai Roro Kidul tersenyum. Senyumannya sangat manis. Sehingga kecantikannya menjadi berlipat-lipat ganda.

“Hal itu bisa terjadi kakang. Sebentar lagi Karebet akan kehilangan wahyu keprabonnya. Wahyu keprabon akan lari dan meninggalkan Pajang. Kau tahu Kakang... Kemana larinya wahyu keprabon?”

Panembahan Senopati menggelengkan kepala dalam semadinya.

“Wahyu itu akan lari ke atas bumi Mataram. Akan tiba dipangkuan mu tidak berapa lama lagi. Sudah tersurat dalam takdir. Sudah masa nya Joko Tingkir menyerahkan kekuasaan pada trah Selo“

“Benarkah itu.. benarkah yang kau katakan itu Nyimas Ratu?“

Nyai Roro Kidul hanya tersenyum. Tidak sedikitpun menjawab dengan sepatah kata.

“Cita-cita luhurmu akan aku dukung dan bantu Kakang. Aku dan semua bala tentara Laut Selatan akan membantu apa saja demi kejayaan Mataram, termasuk kelak kalau bumi Mataram kedatangan musuh, pasukan ku akan siap membereskannya. Kekuasaan ku akan menjaga Mataram dari bagian selatan. Dan aku perintahkan Endang Cuwiri adik ku yang bersemayam di puncak Gunung Merapi untuk menjaga Mataram dari bagian utara“

“Terimakasih Nyimas Ratu akan bantuanmu itu“

Namun sebelumnya Panembahan Senopati sempat bertanya,

“Bagaimana caranya memanggil mu nyimas jika suatu saat Mataram kedatangan musuh?”

Ratu penguasa laut selatan itu tersenyum, menjawab,

"Bersedekaplah dengan berdiri suku tunggal memandang langit, aku dan bala tentaraku akan segera membawa kemenangan."
Saat itu lah Panembahan Senopati membuka matanya dan mengakhiri tapa brata.

Seketika gemuruh air laut hilang. Tak ada badai tak ada gelombang. Paras Nyai Roro Kidul yang memang sangat cantik dan menawan. Membuat hati Panembahan Senopati bergetar dilanda gelora asmara. Panembahan Senopati terpikat, lalu jatuh cinta. Akhirnya, Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul berjalan beriringan di atas laut menuju istana Laut Selatan.

BERSAMBUNG
close