Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TALDEA DJALIL (Part 3)


Di tempat lain, di tengah hutan yang sepi, Bima berjalan tanpa arah. Ia hanya mengikuti kata hati saja dan tidak tahu harus ke mana. Dari kejauhan, samar-samar ia melihat seorang kakek sedang membereskan alat pancing di tepian sungai. Kemungkinan besar karena sudah masuk waktu maghrib, ia akan segera pulang.

"Handak kemana ikam, Nak?" (Mau kemana kamu, Nak?) sapa kakek tadi berjalan ke arah Bima sambil menenteng alat pancing terbuat dari bambu. 

"Kada ke mana-mana, kek, Ulun bejalan aja." (Tidak kemana-mana, Kek, aku jalan-jalan aja)

"Singgah ke rumah aku aja Nak. Kita sholat maghrib dulu," ajak kakek. 

Karena gelapnya malam sudah hampir menutupi pandangan mata, terpaksa Bima mengikuti kakek itu ke rumahnya, dalam perjalanan ke rumah, beliau hanya diam saja, tidak ada pembicaraan satu patah katapun. Jalan yang di tempuh juga nyaman tanpa ada hal-hal aneh. 

"Masuk Nak. Maaflah keadaannya seperti ini," ucap kakek sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Bima hanya senyum membalas perkataan kakek tadi. Setelah menunggu sekitar dua menit, beliau tidak juga keluar padahal mau melaksanakan shalat maghrib.
"Kebetulan ada tong air di samping rumah mungkin bisa di gunakan buat berwudhu." batin Bima yang segera mengambil wudhu dan sholat

Setelah selesai melaksanakan sholat maghrib sambil santai duduk menunggu. Kakek pun keluar dari dalam. Karena dari awal datang Bima hanya di teras saja tidak berani masuk.

"Be apa ikam jauh-jauh kesini nak?" (Mau ngapain kamu jauh-jauh ke sini, Nak?) Kakek keluar membawa segelas kopi dan gorengan. 

"Ulun, kesini ada orang yang handak minta bantuan aja kek" (Aku kesini ada orang yang mau minta bantuan aja, Kek)

"Oh, ikam mau menolong bebinian itu kah?" (Oh, kamu mau menolong perempuan itu, kan?) Kakek duduk sambil menyuguhkan makanan.

Bima terkejut, tau dari mana kakek ini? Padahal dari sungai sampai ke rumah, tidak ada pembicaraan sama sekali tentang perempuan yang mau dibantu. 

"Iya Kek. Banyak halangan ke kampung ini ternyata."

"Hati-hati aja ikam nak lah. nyawa taruhannya menolong bebinian itu," (Hati-hati saja kamu Nak, nyawa taruhannya menolong perempuan itu) ucap kakek. 

"InsyaAllah kek do'akan aja Ulun (saya). Mudahan kawa (bisa) menolong bebinian (perempuan) itu," Balas Bima.

"Nama ikam (kamu) sudah terkenal di alam sana. Pesanku jangan lagi ikam (kamu) ulangi perbuatan yang dulu. Berserah diri kepada Allah kuncinya dalam menolong orang,"  jelas Kakek. 

"Iya kek." 

"Nah, makan dan minum kopinya lah." 

Keduanya pun terlibat obrolan ringan seputar kehidupan. Sedang asik ngobrol itu, tiba tiba kakek secara langsung menyuruh Bima untuk cepat kembali ke kampung itu setelah shalat isya. 

"Nak sepertinya ikam (kamu) habis isya langsung Bulik (pulang) aja lah. Kawal ikam (teman kamu) perlu bantuan sepertinya."

Kali ini Bima yakin beliau bukan orang biasa walaupun kehidupannya sederhana dan terlihat biasa biasa saja, tapi mata batin beliau tidak bisa diragukan, Setelah sholat isya Bima bergegas kembali ke kampung Bayang.

"Kamu ikuti aja jalan ini nak lah. Semoga kamu bisa melewati ujian ini," ucap kakek sebelum Bima berpamitan pergi.

***

"Bang... Bang... Cepat ke rumah Pak Yusuf!"

Panggilan beberapa orang warga yang ia temui di jalan membuat Bima semakin cepat melangkahkan kakinya sedikit berlari. Sesampainya di rumah pak Yusuf, terlihat ustaz Umar sedang menyadarkan beberapa warga yang kesurupan dengan sangat kelelehan karena sedikitnya tenaga tersisa. 

"Umar, Istirahat saja dulu biar aku yang urus." perintah Bima.

"Dari mana saja, Bang?... Aku sudah tidak sanggup. Padahal pemimpin jin ini sudah aku bereskan..." Jelas Umar.

"Sebentar Umar. Sepertinya bukan itu masalahnya, di depan rumah Pak Yusuf ada barang seperti kendi coba kamu cari dulu." 

Bergegas Umar ke depan rumah sambil membawa senter, melihat-lihat di Kolong rumah bolak balik mencari tidak menemukan apapun.

"Bang, tidak ada apa-apa di sini," teriak Umar dari kejauhan.

"Ada Umar, coba pelan-pelan mencarinya sambil istighfar." Sesaat setelah beristighfar, Umar menunduk dan melihat ke bawah kolong. Disana ternyata ada bungkusan kain hitam tergantung di kayu bawah kolong.

Setelah itu, Umar mengambil dan menyerahkan bungkusan kain hitam tadi ke Bima. Warga yang kesurupan pun semakin menggila tidak terkendali setelah barang itu di temukan.

"Bang, ini mungkin barangnya." Umar memberikan bungkusan kain hitam ke Bima.

"Ada garam Pak Yusuf? sama korek," pinta Bima. Bergegas Pak Yusuf mengambil garam dan korek api. Bungkusan kain hitam itu pun dibuka dengan perlahan-lahan. 

"Astaghfirullah... ternyata isinya ini, pantas saja banyak warga yang kesurupan." 

Garam itu pun di taburkan Bima ke barang tersebut sambil ustaz Umar melantunkan ayat suci Al-Quran, korek api yang menyala dengan cepat menyambar barang itu dan menghanguskannya menjadi abu.

"Nah Umar, masuk saja ke rumah tolong jangan keluar, Di dalam rumah saja. Ingat kalian zikir bersama di dalam. Apapun yang terjadi jangan sekali-kali kalian coba keluar rumah."

Umar dan Pak Yusuf serta warga yang sadar masuk ke rumah duduk mengelilingi anggun yang hampir tidak sadarkan diri. Bima di depan rumah berdiri menghadapi warga yang masih belum sadar, kalau di hitung, masih ada sisa 6 warga yang kesurupan.

"Kalian cepat keluar dari badan itu!" Bima sambil menunjuk ke arah warga yang kesurupan.

"Tidak akan sebelum dia mati di tangan kami!"  ucap warga yang yang kesurupan. 

"Baiklah kalau itu pilihan kalian!"

Angin kencang datang dengan tiba-tiba, beberapa orang yang kesurupan seperti ketakutan melihat di belakang Bima. Buto sang raksasa itu datang berdiri di belakang dengan mata merah dan taring yang panjang serta badan yang berotot, melotot ke arah warga yang kesurupan.

Sosok jin dalam tubuh warga itupun ciut ketakutan

"Siapa yang perintahkan kalian menganggu anak Pak Yusuf dan beberapa warga di kampung ini!?" ancam Bima.

"Lebih baik aku makan saja mereka tuan, buto sudah sangat tidak tahan melihat jin-jin itu seenaknya mengganggu warga."

"Tanya Yusuf... dia sudah tau siapa yang menyuruh kami.." jawab beberapa warga kesurupan.

"Baiklah kalian cepat keluar dari badan para warga. Ingat jangan kembali lagi!" ancam Bima dengan wajah serius.

Belum selesai Bima berbicara warga yang kesurupan satu persatu tumbang dengan sendirinya, dibantu beberapa warga, bima ikut menyadarkan mereka setelah kesurupan.

"Sebaiknya kalian pulang saja, ini sudah larut malam," Perintah Bima kepada warga itu.

Bima lalu masuk ke rumah dengan perlahan, meninggalkan warga yang sedang membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing. Terlihat masih ada beberapa warga dan umar duduk mengelilingi seorang perempuan di ruang tamu. Tidak terasa air mata menetes melihat keadaannya, Badan yang hanya tersisa tulang berbungkus kulit terbaring lemah, terkadang matanya memandang tajam ke arah atas.

Bima menghentikan langkah kaki lebih memilih duduk agak menjauh. Sambil menghela nafas panjang sedikit emosi sesaat di dada.

"Astaghfirullah, apa yang mereka lakukan ini sudah sangat keterlaluan,"  Gumam Bima"

"Dia anak saya," ucap salah satu perempuan dari belakang berdiri mememakai jilbab hitam.

"Nama lengkapnya Anggun Nur maya beberapa warga di sini memanggilnya Aya."

"Maaf Bu, Dari kemarin datang sampai sekarang belum menjenguk keadaan anaknya.." jelas Bima sambil membalikkan badan. 

"Saya mengerti, tidak papa"

"Ceritanya bagaimana, Bu? kenapa bisa sampai seperti ini anaknya?" tanya Bima. 

"Sepertinya besok saja aku ceritakan."

Bima paham setelah kejadian panjang dan berat malam ini beberapa warga dan Umar perlu istirahat, waktu juga sudah menunjukkan jam 12 dini hari lewat.

"Iya Bu, kita sebaiknya istirahat saja dulu."

Umar memberi tahu warga untuk segera pulang ke rumah masing-masing, karena situasi sudah mulai bisa terkendali. Walaupun keadaan anggun belum ada perubahan sama sekali, paling tidak sudah cukup. Gangguan-gangguan malam ini membuat sebagian warga kelelahan dan cukup trauma..

"Bang. Gak istirahat?" ajak Umar pada Bima.

"Nanti saja, Kalian duluan saja istirahat, kita bergantian menjaga, aku mau melihat keadaan Aya sebentar," Jelas Bima dengan wajah seperti orang pasrah. 

Pak yusuf dan ibu Khadijah menghampiri anaknya yang sudah tertidur tidak gelisah seperti malam-malam kemarin, jelas terlihat wajah sedih di kedua orang tua berharap diberikan jalan yang terbaik

"Pak, Bu. Do'a kan terus Anggun semoga di berikan jalan yang terbaik. Lebih baik istirahat saja dulu Pak sementara saya yang jaga."

"Bang, jangan lupa istirahat," tegur Umar sambil berjalan memasuki kamar yang berdekatan dengan ruang tamu bersamaan dengan Pak Yusuf.

Bima duduk tepat di samping Anggun pertama kali. Percaya tidak percaya seperti inilah keadaannya, di dalam hati Bima hanya bisa berdoa. "Semoga Anggun panjang umur."

***

Anggun Nur maya namanya, perempuan muda anak tunggal dari Pak Yusuf dan Ibu Khadijah. Ia pesantren dalam hal pergaulan sangat terbatas. Bahkan di tempat tinggalnya hanya beberapa orang saja yang dekat itupun hanya sesama perempuan saja, Aya panggilannya, paling sering membantu mamanya dalam pekerjaan rumah. Tidak mau keluar kecuali ijin kedua orang tuanya

"Aya, ada Bu?" sapa beberapa perempuan muda berhijab dari luar. 

Aya terbiasa mengisi kegiatannya dengan pengajian rutin kampung tiap malam jumat. Sebelum mamanya menjawab, Aya keluar dengan wajah kusut baru bangun tidur.

"Eh,... Kalian duluan saja ke mushola nanti Aya susul," pinta Aya kepada temannya.

"Mandi dulu, Nak, baru ke mushola!" nasehat Umi sambil duduk memotong sayuran buat makan malam.

"Iya Mi. Abi ke mana ya?" tanya Aya sambil duduk makan pisang goreng dan minum teh hangat. 

"Rapat di aula Desa. Dua hari lagi akan diadakan pesta adat kampung. Tau sendiri kehadiran Abi kamu penting di acara seperti itu"

"Oh, iya lupa, Kalau gak di laksanakan kenapa? Kan cuma adat istiadat saja?" dengan mulut penuh makanan Aya menanyakan prihal adat istiadat. 

"Ya gak papa Nak. Namanya kebiasaan kampung kita, mensyukuri nikmat Allah dengan berdo'a dan zikir bersama."

"Setelah itu apa tidak ada ceramah?" tanya Aya antusias. 

"Ya ada Nak. Ustad dari Samarinda sudah Abi panggil." Aya hanya menganggukkan kepala mendengar ucapan Umi.

"Terus acara selanjutnya ?"

"Kita makan-makan. Apa salahnya melaksanakan seperti itu? Malah dengan kebersamaan silaturahmi antar desa dan kampung lebih kuat. Ingat nak tali silaturahmi jangan sampai putus," nasehat mama. 

"Betul juga ya Umi. Katanya abi mau mengundang desa di dekat sungai itu? Abi serius mengundang? kan mereka terkenal dengan ilmu hitam!"

"Tenang saja nak ini cuma pesta kampung, kita tidak ada ritual aneh-aneh. Mandi sana teman kamu sudah di mushola tuh sebentar lagi adzan maghrib" Aya bergegas ke kamar mandi bersiap-siap menghadiri acara rutinitas anak muda tiap malam jum'at. 

Tenda makanan sudah mulai disiapkan warga. Para ibu-ibu memasak bersama, muda mudi pun ikut serta dalam mempersiapkan pesta adat desa. Makanan sudah siap beraneka ragam dari sayur, Ikan dan beberapa jajan pasar mulai disusun di atas meja makan. Tidak lupa buah-buahan segar tersusun rapi. 

"Ustad Umar sudah dijemput?" tanya Pak Yusuf kepada warga yang mengurus penjemputan dari Samarinda. Ustad umar diminta datang mengisi ceramah dan membacanyakan doa untuk acara selama beberapa hari.

"Sudah Pak. Mungkin setengah jam lagi sampai," jawab beberapa warga. 

"Bagaimana tamu dari seberang? apa sudah datang?"

Tiba tiba Seseorang menepuk pundak Pak Yusuf dari belakang, orang tua berpakaian adat dan beberapa Pengawal serta anaknya, Rony.

"Eh. Pak darwis silahkan duduk," sapa Pak Yusuf sambil mengarahkan tempat khusus buat tamu jauh tersebut.

"Terima kasih Pak, atas undangannya kami sangat merasa terhormat bisa datang ke sini," tutur Pak Darwis sambil menyantap makanan yang sudah di siapkan.

"Saya tinggal dulu. Pak. Silahkan dinikmati makanan dan minuman kalau perlu sesuatu panggil saja warga di sini." Pak Yusuf berlalu pergi mengurus keperluan acara 

Pak Darwis duduk santai bersama Rony sambil melihat-lihat berlangsungnya acara sampai selesai. Rony melihat tajam ke perempuan cantik berpakaian hijab hitam sedang duduk dengan para ibu-ibu..

"Siapa dia pak?.." Tanya Rony.

"Siapa perempuan muda itu Pak?" tanya Rony kepada bapaknya.

"Dia Aya anak Pak Yusuf, Ron. Kamu naksir?"

Rony sebagai anak kepala adat yang disegani tidak sungkan-sungkan langsung mendatangi Aya di tengah keramaian.

"Hai! Perkenalkan namaku Rony pasti kamu tau." 

Anggun yang tidak biasa bertemu laki-laki apalagi yang tidak kenal hanya diam tidak membalas perkataan Rony. 

"Sombong sekali kamu!" ucap Rony kesal.

"Maaf kalau mau berkenalan temui dulu orang tua saya," tutur Aya dengan mata yang tidak mau menatap wajah Rony.

"Oh! si Yusuf? dia bapak kamu?"

Warga yang menyaksikan sedikit kesal dengan perlakuan Rony terhadap Aya di tengah keramaian. Apalagi Aya terkenal baik dalam pergaulan, sopan santun di junjung tinggi

"Iya, ijin sama beliau dulu," cetus Aya. 

"Tidak usah ijin pasti Yusuf setuju. Bagaimana kalau kamu aku lamar? kebetulan momennya sangat bagus di tengah pesta adat ini" Rony dengan sombong berbicara seperti itu seolah-olah dia orang yang paling di segani di wilayah itu. 

"Maaf, sepertinya tidak bisa!" Aya menjawab dengan wajah merah menahan amarah karena perlakuan Rony sangat tidak sopan.

"Hem... Baiklah kalau itu jawabannya."

Rony sengaja memegang tangan Aya dan langsung menciumnya di depan keramaian. Tidak tinggal diam Aya yang sangat menjaga kehormatan refleks menampar wajah Rony. 

"Assalamu'alaikum," sapa Ustad Umar yang baru datang dari penjemputan, mendekati Rony yang mau membalas tamparan.

"Ohhh ustad kota datang datang mau membela!" Rony mendorong tubuh umar dengan keras.

"Lebih baik kembali saja ke belakang," perintah Ustaz Umar kepada Aya. Pak Darwis dan pak Yusuf pun mendatangi keributan itu dan ikut melerai Rony yang mau berkelahi dengan Ustad Umar. 

"Sudah cukup! maaf atas ketidak sopanan anak saya." Pak Yusuf merasa tidak nyaman akan kejadian tadi.

"Eh Yusuf! Coba didik anak kamu jangan sampai nanti dia jadi bangkai yang berjalan!" Ucap Rony angkuh dan mengancam.

Mendengar ucapan itu beberapa warga dan ustad umar tersulut emosi karena itu sebuah ancaman..

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close