Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TALDEA DJALIL (Part 2)


Hujan turun dengan derasnya, setelah sholat subuh. Akses perjalanan ke kampung semakin berat tidak bisa di prediksi kapan hujan akan reda. Walaupun hujan tidak membuat Bima dan Ustad Umar patah semangat untuk pergi ke kampung Bayang  bersama Pak Yusuf.

"Umar dan pak yusuf kalian duluan saja, saya ke arah selatan sebentar mencari pohon besar itu," pinta Bima.

"Jangan, Bang! Bahaya ... Lebih baik kita mengobati anaknya Pak Yusuf dulu!" jelas Ustaz Umar dan Bima pun mengangguk tanda setuju. 

Seharusnya perjalanan kaki ditempuh dalam jangka waktu kurang lebih dua jam, sudah sampai di kampung Bayang. Tetapi, mereka bertiga hanya berputar-putar saja selama tiga jam di jalan. 

"Berhenti dulu, Umar! Kalian tidak merasa ada keanehan? Kita berjalan dari tadi di sini-sini saja!"  Dengan wajah serius Bima menatap beberapa pohon besar.

Ustaz Umar dan Pak Yusuf baru sadar kalau dari tadi cuma melewati jalan itu-itu saja. Bima terdiam sejenak matanya menatap tajam ke arah pohon kembar tepat berada di depan mereka. 

"Kalian yang ada di sana sedang apa?" suara lantang Bima seperti petir menyambar di tengah hutan. 

Dari atas pohon kembar yang lumayan besar itu turun dua makhluk berkaki panjang badannya kurus  rambutnya hampir menutupi wajah yang rusak berjalan dengan pelan ke arah rombongan. 

"Silahkan lewat Tuan!" makhluk itu mengenali Bima, mungkin lebih baik mengalah saja.

Ustaz Umar beserta Bima pun meneruskan perjalanan, belum dua puluh menit berjalan mereka sudah sampai di depan gerbang masuk. Mereka langsung di sambut para warga dengan wajah ceria melihat Pak Yusuf bersama Ustad Umar dan Bima. 

"Silahkan Ustad dan Bima kita ke rumah saja dulu sambil membersihkan diri," ajak Pak Yusuf.

Bima membalas,
"Umar, warga di sini ramah, ya? Baru saja kita datang sudah di sambut."
 
"Seperti inilah, Bang. Warganya yang ramah walaupun di pedalaman, lebih baik kita membersihkan diri dulu." 

Sesampainya di depan rumah, Umar terkejut melihat rumah Pak Yusuf walaupun di kampung tetapi terlihat lumayan mewah tidak seperti rumah warga sekitar. 

Bima dan Ustaz Umar langsung membersihkan badan. Pak Yusuf selaku tuan rumah menyediakan makanan dan minuman, tidak lupa menyusun tempat tidur buat peristirahatan.

"Wah... Pak Yusuf jangan repot-repot. Kita di sini cuma sebentar tidak lama," tutur ustaz Umar. 

"Tidak masalah Ustaz, ini sudah menjadi tradisi di kampung."

Setelah selesai mandi, Bima iseng melihat-lihat sekeliling kampung dan mengobrol ke beberapa Warga, kebanyakan mereka berprofesi sebagai nelayan ikan di sungai, terkadang saat musim durian atau rambutan ada beberapa warga luar datang membeli hasil panen kebun. Sedangkan para ibu hanya di rumah sambil bercocok tanam sayur, buat tambahan sewaktu-waktu bisa di gunakan teman lauk makan.

"Om! Om! Kita main yuk di sungai." Anak kecil umur enam tahun, mengajak Bima ke arah sungai.

"Adek saja, ya... Om, mau istirahat dulu. Hati-hati mainnya," ucap Bima sambil tersenyum.

Anak-anak itupun berlarian ke arah sungai terjun berenang. Mungkin anak di sini sudah terbiasa mandi serta bermain di sungai dari sore sampai mendekati senja.

Tidak seberapa lama adzan maghrib berkumandang dalam sekejap para orang tua mengajak anak mereka bergegas bersiap ke musholla. Suasana yang sangat indah di lihat, saat matahari terbenam menggantikan gelapnya malam yang ada hanya bintang dan sinar terang bulan purnama.
 
"Ustaz..., Bima ke mana ya? Dari sore sampai lewat senja belum pulang?" tanya Pak Yusuf. 

"Biasa pak, dia itu suka menyendiri apalagi daerah seperti ini sangat ia sukai, jelas ustadz umar.

"Oh begitu ustaz. Soal anak saya bagaimana? Apakah malam ini saja diobatin?" ungkap Pak Yusuf. 

"Boleh, Pak. Di mana anaknya?"

"Mari Ustaz kita ke rumah sebelah sana, anak saya dirawat istri saya langsung."

Melihat keadaan anak Pak Yusuf, hati Ustaz Umar sangat sedih. Bagaimana tidak kondisi yang bisa dibilang memprihatinkan.

***

Namanya Anggun, anak yang cantik tinggi  berkulit putih dengan mata sedikit sipit walaupun bukan keturunan Chinese. Umurnya sekitar dua puluh tiga tahun.

Anggun hanya bisa terbaring lemah dengan mata melotot ke atas, wajah yang pucat, tubuhnya pun sudah tidak ada daging, yang tersisa hanya tulang dan kulit.

"Astaghfirullah. Ini Anggun pak?" Ustaz Umar sangat terkejut melihat anaknya Pak Yusuf. 

"Iya Ustaz kita sekeluarga sudah ikhlas kalau memang Allah mengambil Anggun, kita ridho dari pada seperti ini kasian." Ustaz Umar hanya beristighfar melihat kondisi Anggun seperti itu, antara hidup dan mati.

"Tolong ustaz bagaimana caranya anak kami bisa mendapatkan jalan terbaik kasian kondisi dia seperti ini," tutur istri Pak Yusuf sebut saja namanya Bu Khadijah.

"InsyaAllah Bu, saya bantu sebisa mungkin, semoga Allah memberikan jalan terbaik. Sediakan air putih di botol sama daun sirih serta air garam jangan lupa kalian berdoa bantu saya."

Malam itu cukup ramai warga di depan teras rumah ingin menyaksikan Ustaz Umar membantu Anggun. Ustaz Umar keluar rumah sambil melihat sekeliling mencari Bima dari tadi tidak kelihatan, sambil bertanya-tanya kepada warga yang ikut hadir. Tetapi semuanya tidak tau ke mana.

"Ustaz semua sudah lengkap silahkan. Pak Yusuf memanggil." Dalam beberapa menit Umar membaca doa-doa ruqyah serta zikir,  Anggun yang awalnya cuma diam kini ada reaksi tangannya yang lemah tiba-tiba mengeras dan wajah sedikit marah, tetapi Umar tetap membaca ayat-ayat suci Al-Quran di ikuti oleh beberapa warga.

"Percuma kamu seperti itu." Anggun yang dari awal sakit jarang berbicara kini mengeluarkan kata-kata lantang.

"Siapa kamu! Kenapa menganggu anak ini?" Umar berusaha berkomunikasi dengan makhluk yang ada di badan Anggun. Tetapi Anggun hanya diam tidak menjawab lagi. Umar pun meminumkan air yang sudah dibacakan itu ke Anggun.

Gedubrak....!

Warga sedang asik duduk tiba-tiba kesurupan tidak hanya satu, tetapi ada delapan warga tidak sadarkan diri. Ada yang berteriak, tertawa, bahkan ada merayap seperti macan kelaparan.  

"Hai kamu! jangan main-main sama kita," ucap salah satu Warga yang kesurupan. 

Umar yang tadinya di dalam rumah mengobati Anggun kini keluar membantu warga menyadarkan orang-orang kesurupan,  tetapi lama kelamaan Umar merasa kewalahan menghadapi orang-orang semakin di sembuhkan semakin banyak yang kesurupan.

"Bima ke mana Pak? Dari maghrib tidak terlihat," tanya Umar.

"Itu dia Ustaz. Saya sudah perintahkan dua orang warga mencari Bima di dekat sungai."

"Situasi seperti ini biasanya Bima akan langsung hadir kenapa tidak ada." batin Umar. Malam semakin larut, warga yang kesurupan sangat susah disadarkan. Umar melihat warga kesurupan, lalu duduk bersila dengan santai di antara warga. Dia yang paling tenang. 

"Assalamu'alaikum! Kenapa anak buah kamu mengganggu warga?" Ternyata yang sedang di ajak bicara Umar ini pemimpin para jin tersebut.

"Kamu jangan ikut campur urusanku!" ancam pimpinan jin itu.

"Ternyata kamu yang menganggu anak Pak Yusuf?"

"Kalau iya kenapa!?" Suara berat seperti menantang terdengar lantang.

Tidak ada pembicaraan basa basi, Umar yang sudah kesal langsung memegang kepalanya si warga yang kesurupan pimpinan jin itu. Di temani pak Yusuf. membaca beberapa ayat Suci Al-Quran 

"Kamu mau aku bakar sekarang!" sergah Umar membuat pimpinan jin itu ketakutan. 

"Ampun jangan. Ini semua bukan kemauan saya?"

"Lantas siapa?" sergah Umar. 

Pimpinan Jin itu terdiam tidak mau menjawab pertanyaan. 

"Pasti Rony kan?" Pak Yusuf menjawab pertanyaan Umar. Pimpinan jin hanya tersenyum.

"Benar kamu Yusuf! Anak kamu sebentar lagi akan mati." Tiba-tiba saja jin itu keluar dari tubuh warga sepertinya dia menyerah, tetapi masih ada beberapa warga yang belum sadar. 

"Bagaimana ini? Masih ada warga yang kesurupan?" tanya Pak Yusuf.

Umar merasa pimpinannya sudah di selesaikan kenapa malah anak buahnya belum ikut keluar? pikir Ustad Umar.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close