Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEREKAN KEDUNG JANIN (Part 1)


JEJAKMISTERI - "Karepe Bapakmu ki apik, Nduk. Iku yo kanggo keslametane awakmu sak keluarga."(Keinginan Bapakmu itu baik, Nduk. Itu juga buat keselamatan dirimu dan keluarga.)

Mbok Ngah, dengan suara lembut, mencoba memberi pengertian pada Warni. Anak perempuannya yang baru saja membeli sebuah rumah, bersama Rahmad, suaminya. 
Meski tersirat kekecewaan, ia masih berusaha tenang menghadapi watak keras Warni, yang menolak untuk membuat syukuran atas rumah baru dan sekaligus kehamilan pertamanya, setelah 4 tahun menikah. 

"Ojo kolot nemen, Mak. Iki wes jaman modern. Wes gak ono acara-acara ngunu iku. Aku tetep wegah gawe Syukuran." (Jangan kuno banget, Mak. Ini sudah jaman modern. Sudah gak ada acara-acara seperti itu. Aku tetap gak mau Syukuran.)

Warni masih tetap ngotot untuk tidak membuat acara apapun. Meski berkali-kali Mbok Ngah, merayu dengan suara lembut  meyakinkan, mengingatkan, akan adat ketimuran yang masih terjaga kuat dalam keluarganya. Tapi Warni, bersikukuh pada pendiriannya. 

"Sepincuk sego gurih, opo sego campur kulupan ae, mbok paringke tonggo-tonggo anyarmu gak opo-opo, War. Karangane awakmu iki urep manggon ono Deso." (Sepincuk nasi gurih, apa nasi campur kulupan saja, kamu berikan tetangga-tetangga barumu gak apa-apa, War. Karena kamu itu hidup bertempat di Desa.)

Kali ini, Pak Kasdi. Suami Mbok Ngah juga bapak Warni, ikut andil dan bicara. Ia baru saja muncul dari belakang bersama Rahmad, suami Warni. 
Namun, lagi-lagi ucapannya pun tak mampu menggoyahkan tameng baja kengeyelan Warni. Ia masih terus berpegang pada prinsip dan keyakinannya, bahwa logika dan nyata adalah segalanya. 

Warni tak percaya dengan ritual apapun. Entah dari adat istiadat, tradisi, maupun dari ke-Agamaan. Terlebih, jika menyangkut hal-hal berbau mistis, ghaib, Warni sangat-sangat mengingkari. 

Hal itu terjadi semenjak Warni menempuh pendidikan tinggi dari sebuah Universitas tak begitu besar di sebuah kota. Walau tak semua, atau mungkin hanya beberapa saja Alumni dari Univ tersebut, beranggapan sama dengan Warni. Tapi banyak yang menduga, jika Warni sedikit banyak terdoktrin oleh pergaulannya selama kuliah di Kampus itu. 

Mbok Ngah dan Pak Kasdi yang menyadari dengan perubahan tabiat Warni, sempat berharap setelah menikah anak perempuan sulungnya itu bisa berubah seperti dulu, patuh serta tau sopan santun. Tapi sayang, kini Warni malah terkesan lebih sadis dan keras kepala. Bahkan terhadap Rahmad suaminya sendiri, sikapnya tak jauh beda. 

Sore itu, berdebatan alot antara Warni dan kedua orang tuanya, berakhir kemenangan untuk Warni. Pak Kasdi dan Mbok Ngah menyerah. Mereka tak kuasa mendengar ucapan-ucapan kasar Warni. Hingga akhirnya  memilih untuk mengalah dan pulang dengan kekecewaan mendalam. 

"Dek, apa gak sebaiknya sekali ini kita ikuti saran Bapak dan Ibu?" ucap Rahmad setelah kepergian mertuanya.

"Halah, Mas. Kok kamu malah ikut-ikutan," jawab Warni ketus. 

"Bukan begitu, Dek. Tadi Aku sempat ngecek tanah dan rumah ini sampai belakang. Dan Bapak mengatakan kalau pekarangan belakang paling ujung, ngeres." Rahmad kembali menjelaskan. Berharap Warni bisa berubah pikiran. 

Tapi, bukan sebuah jawaban mengenakan hati di terimanya. Melainkan ejekan dan ledekan sengit yang keluar dari mulut Warni. 

"Yang ngeres tu pikiran halumu dan Bapak, Mas. Aku tetap tidak akan mengadakan acara apapun. Buang-buang duit aja."

Lagi-lagi Rahmad hanya bisa terdiam. Mengalah adalah satu-satunya cara baginya menghindari keributan dengan Warni. Sebab sudah empat tahun dirinya berumah tangga, tak sekali pun bisa menentang jika Warni sudah bersikap batu. 

Dan akhirnya, sejak detik itu, hari itu, di mulainya kehidupan baru Rahmad bersama Warni dalam kemandirian atau di rumah sendiri. Menjadi titik awal sebuah tragedi memilukan juga menakutkan bagi seluruh warga kampung, khususnya tetangga-tetangga terdekat Warni. 

***

Hari demi hari di lalui Rahmad dan Warni seperti biasa, normal layaknya orang lain. Meski dalam beberapa hal, khususnya cara bermasyarakat, keduanya sering menjadi gunjingan warga, terutama sikap Warni. Namun bagi Warni sendiri, bukanlah satu perkara penting untuk mengganggu aktivitasnya. 
Kehidupannya memang lebih mapan di banding tetangga-tetangga terdekatnya, membuat matanya semakin memandang sebelah, kepada mereka-mereka yang tak menyukainya. 

Memasuki bulan ke dua, bertepatan dengan usia kandungannya yang ke enam, Warni mengajukan cuti dari tempatnya bekerja. Menghabiskan waktu hanya di dalam dan sekitaran rumah tanpa mau bersosialisasi. 
Warni sendiri sangat menyayangi janin dalam rahimnya. Semua yang ia inginkan seperti umumnya wanita hamil untuk menyenangkan calon bayi, selalu terpenuhi. Tapi satu hal Warni lupakan, jika dirinya hidup dalam lingkup sebuah kampung. Dimana, adat istiadat dan pantangan, khususnya wanita hamil masih di jaga erat. 

Seperti halnya sore itu. Entah terdorong oleh apa, tiba-tiba saja Warni punya keinginan untuk berjalan-jalan ke belakang rumah. Mengabaikan waktu surup yang di pantang umumnya warga, tapi tidak baginya. 
Tak ada apapun saat ia sampai di pekarangan belakang. Hanya hamparan lahan kosong miliknya, berbatasan langsung dengan rumpunan bambu-rambu bergerumbul milik warga sekitar. 

Nyanyian lirih dari bibir Warni mengiringi langkahnya, mengitari sungai kecil sebagai ambang batas, sekaligus di gunakan jalan air dari dapur dan sumur tempatnya juga tetangga kanan kiri.

Suara serangga kecil menjadi teman bagi Warni saat itu. Sebelum satu sosok lelaki tua bercaping khas petani, datang dari pekarangan sisi kanan menghampiri dirinya. 
Ada kesan heran dari raut wajah lelaki tua itu. Ketika melihat Warni berjalan sedirian di waktu petang dengan kondisi perut membuncit. Apalagi, tempat yang tengah Warni kitari, adalah sebuah tempat di yakini paling wingit di antara tempat-tempat sebelahnya. 

"Kok wani men, Nduk. Awakmu mlaku mrene surup-surup? po meneh lagek mbobot ngono." (Kok berani sekali, Nduk. Kamu berjalan ke sini di waktu petang? apalagi sedang hamil.)
Tak ada sahutan. Warni hanya terdiam, menatap sinis lelaki tua yang ada di hadapannya. 

"Pekaranganmu iki ora keno go sembrono. Akeh barang aluse seng manggon ndok kunu awet jaman biyen." (Pekaranganmu ini gak bisa untuk sembarangan. Banyak barang halus yang menempati di situ dari jaman dulu.) sambung lelaki tua itu, masih berusaha memberi penjelasan pada Warni. 

"Barang alus opo, Mbah? wong gak ono opo-opo ngene kok. Takhayyul iku, Mbah." (Barang halus apa, Mbah. Orang gak ada apa-apa gini kok. Takhayyul itu, Mbah.)

Terperanjat lelaki tua itu mendengar ucapan Warni. Tak menduga bila wanita cantik di depannya begitu entang berucap, tak mempercayai dengan hal-hal Ghaib. 

"Ojo tok sepelekne, Nduk. iso dadi memolo. Lelembut kui ono, masio ra iso di delok nek ora pas kebeneran opo nganggo moto njero." (Jangan kamu remehkan, Nduk. Bisa jadi malapetaka. Lelembut itu ada, walau tak bisa di lihat jika tidak pas kebetulan atau memakai mata bathin.) 

Lelaki tua itu, masih berusaha sabar. Mengingatkan kembali dengan suara pelan. 
Sayang, tanggapan Warni tidak berubah. Ia tetap mencibir dan tak percaya tentang semua ucapan Mbah Sarji, lelaki yang di sepuhkan kampung Waru, tempat Warni tinggal. 

Beberapa saat kemudian, Warni berlalu dengan gumaman tak jelas. Melangkah pelan namun tak melewati jalan awal ia masuk. Ada siratan aneh dari pancaran mata Mbah Sarji, melihat Warni memilih melompati sungai kecil dari pada melalui jembatan papan pendek yang pertama di lewatinya. 

"Astaga! kemendel tenan. Ra nduwe adab! pantangan opo wae wani nglanggar," (Astaga! terlalu berani benar. Tak punya adab! larangan apapun berani melanggar,) gumam Mbah Sarji sambil mengelus dadanya. 

Hari semakin petang. Semribit angin mulai terasa dingin menerpa kulit hitam Mbah Sarji. Ia masih berdiri terpaku, menatap punggung Warni, yang tak lama menghilang di balik tembok dapur. 

Antara sengaja dan tidak, tetiba saja mata Mbah Sarji mengarah pada lahan kosong di depannya. Terlihat wajar, terang tanpa tumbuhan apapun. Tapi justru karena itu, sedikit demi sedikit membuat bulu-bulu halusnya meremang.
Tak mau berlama-lama dengan keadaan dan hawa semakin tak enak, Mbah Sarji buru-buru berjalan mendekati Cangkul yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Sepintas Mbah Sarji melirik ke arah lahan kosong milik Warni. Ingin memastikan pendengaranya, yang tiba-tiba tersusupi suara lirih tengah bernyanyi. Mendendangkan sebuah lagu khas, sering ia dengar untuk menenangkan tangisan anak-anak. Namun, mata Mbah Sarji tak menangkap sosok apapun, siapapun. Padahal suara itu, nyanyian itu, masih jelas terdengar mendayu telinganya. 

"Mugo-mugo koe sak bayimu slamet, Nduk," (Moga-moga kamu dan bayimu selamat, Nduk,) ucap Mbah Sarji lirih seraya melangkah cepat meninggalkan tempat itu...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close