Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DALANG DEMIT KAMPUNG WAYANG (Part 7 END) - Buto Lireng

Sebuah bukit batu yang berdiri kokoh di tengah lebatnya hutan kaki pengunungan seolah dengan tegas menantang kami.

Sosok makhluk yang diatas bukit itulah yang harus kami hadapi.


JEJAKMISTERI - “Bapak... suworo sopo kuwi pak?” (Bapak... suara siapa itu pak?) Tanya Danan tiba-tiba.

Mencoba mencari suara yang dimaksud oleh Danan, namun tidak ada suara lain selain suara angin dan daun-daun yang saling bergesekan.

“Suara koyok opo Danan?” (suara seperti apa Danan?)

“Mboh Pak.. ora jelas” (Ngaak tahu pak, Nggak jelas)

Sepertinya Danan tidak mau memusingkan suara yang ia dengar dan bergegas menuju puncak bukit batu mendahului kami.

Krincing...

Duoongg...

Krincing...
Terdengar suara alat musik gamelan yang dimainkan dengan malas dan asal-asalan.

Pemandangan yang kami lihat di bukit batu saat ini jauh berbeda dari sebelumnya. Tidak ada lagi roh-roh penasaran yang menonton pementasan wayang dari seseorang yang mengaku sebagai putra dari Ki Jaruk itu.

“Kowe kabeh uwis mateni bapakku... Saiki kowe nyolong penontonku” (kalian sudah membunuh ayahku, sekarang kalian mencuri penontonku) ucap dalang muda itu dengan nada yang lemas.

“Puas Kalian!” Lanjutnya dengan wajah yang penuh amarah.

Aku sedikit menjaga jarak dari makhluk itu. Bukan karena ucapanya, tapi karena pemandangan mengerikan yang saat ini kami lihat.

Dalang yang mengaku putra dari Ki Jaruk itu terlihat sedang memainkan wayangnya yang telah berubah menjadi demit.

Saat ini Bukit batu ini dikuasai seorang dalang yang sedang bermain bersama berbagai makhluk yang dipanggilnya.

Mulai dari wanara siluman kera, kidangan burung hitam, hingga siluman-siluman yang sering muncul di cerita pewayangan.

“Mas Bisma, kita tidak punya banyak waktu lagi” Ucap Bimo yang mencoba mengingatkanku.

Aku menerjang makhluk itu bersama dengan Bimo. Setidaknya aku masih mengingat kisah Ki Daru Baya mengenai cara mengalahkan demit dari wayang ini.

Bimo.. Sepertinya ia telah mempersiapkan sesuatu.
Ia membacakan mantra pembakar dan menciptakan api yang besar diantara kami.

Ia membacakan mantra disekitaran api itu sambil beberapa kali memutarkan tanganya untuk mengendalikanya.

Sementara aku bertarung sengit dengan siluman kera. Bimo dengan mudahnya melemparkan api ke demit-demit lemah yang menyerang kami dan dengan segera mengubah mereka kembali menjadi berwujud wayang.

“Edan! Ilmu apa itu Bimo!” Tanyaku yang takjub dengan api yang dimunculkan olehnya saat itu.

“Aku baru melatih ilmu ini mas, belum sempurna.. namun api ini putih, ia hanya mampu menghilangkan ilmu hitam, menyembuhkan, dan menenangkan” Jelas Bimo.

Sebenarnya aku cukup heran sekaligus senang. Bimo tidak memilih belajar ilmu dengan kekuatan penghancur seperti pendekar lainya, tapi dia malah memilih ilmu yang jarang berguna seperti ini.

“Geni Baraloka... Sepertinya nama itu cocok untuk ilmumu,” Ucapku yang segera mundur dan mendekat ke bara api itu.

“Sebuah bara api yang bisa membakar kekuatan jahat dari berbagai alam seolah berasal dari khayangan”

Bimo sepertinya sedikit terkesan dengan ucapanku.

“Uapik mas jenenge... bagus namanya ! Jurus pamungkas Bimo pendekar sambara pembakar angkara Geni Baraloka!” Ucapnya dengan bangga.

“Kedowonen Paklek! Geni Baraloka wae..” (Kepanjangan Paklek, Geni Baraloka saja)

Suara panjul tiba-tiba terdengar seolah sedang melakukan sesuatu di sekitar kami.

“Uasem kowe Jul.. minggiro!” (Asem kamu jul, minggir sana!) Balas Bimo yang setengah nyengir mendengar ledekan Panjul.

Entah mengapa melihat tingkah laku mereka berdua suasana mencekam di tempat ini menjadi mulai tidak tidak terasa.
Sebuah mantra kubacakan layaknya puisi yang mengalun menemani terangnya rembulan di malam ini.

Ajian Gambuh Rumekso memanggil tiupan angin besar yang segera mengelilingi kami.
Tiupan angin yang kuarahkan ke api milik Bimo membuatnya semakin membesar hingga aku mampu mengarahkan api milik Bimo untuk membakar semua demit anak buah dalang demit itu hingga kembali menjadi wayang.

“Hebat Mas! Aku saja gak tau kalau api ini bisa digunakan dengan cara seperti itu!” Ucap Bimo yang terkesan.

“Makanya sekolah yang bener, tiupan angin yang mengandung oksigen bisa membesarkan bara api” Balasku.

Sang dalang demit itu terlihat murka dengan serangan kami, ia mengambil kembali wayang kulit berwujud kurawa yang tergeletak dan membangkitkanya lagi.

“Percuma... sebanyak apapun ilmu yang kalian punya, aku bisa memanggil mereka lagi dengan nyawa dari setiap manusia yang pernah ditumbalkan kepadaku” Ucapnya dengan wajah yang meremehkan kami.

Bimo terlihat cukup panik mengetahui tentang itu, Sepertinya Bimo masih kewalahan mengendalikan Geni Baraloka.

Dalang demit itu kembali melangkah untuk mengambil wayang kulit hitam miliknya untuk dibangkitkan kembali. Namun sepertinya wajah bingung terlihat di wajahnya.

Ia tidak dapat menemukan wayang miliknya.

“Panjul! Aku entuk telu!” (Panjul aku dapet tiga)

“Aku dong entuk limo” (Aku donk dapet lima)

Tedengar suara kedua bocah itu dari arah jauh di belakang kami. Terlihat pula kliwon si monyet kecil milik panjut menyeret wayang kulit yang sebelumnya berwujud wanara menuju kedua bocah itu.

“Heh demit ! Kamu nyariin ini kan?” Ucap Panjul dengan sombong.

Di tengah-tengah kedua bocah itu sudah menumpuk boneka wayang kulit hitam yang sebelumnya berwujud demit.
Aku tertawa! Rupanya Danan dan Panjul mengambil kesempatan untuk mengumpulkan wayang milik demit itu.

Tetapi aku tetap heran mengapa kedua bocah itu tidak terpengaruh dari kekuatan hitam yang dulu mencoba merasukiku saat memegang wayang itu. Panjul mengeluarkan sebuah benda dari sakunya.

Itu adalah korek api tua dengan ukiran kuno, aku tahu.. korek itu adalah salah satu pusaka yang diwariskan kepada kami.

“Panjul! Korek itu?!” Tanya Bimo.

“Maaf paklek, Bulek yang nyuruh Cahyo bawa korek ini waktu ke meriksa ke pabrik gula.. nanti Cahyo balikin pas sampe rumah” Ucapnya sambil menyalakan korek itu dan membakar seluruh boneka wayang kulit milik dalang itu.

Api dari korek pusaka itu mampu menahan kekuatan hitam dari benda itu dan menghanguskanya hingga tak bersisa.

Wajah penuh marah muncul dari dalang itu.

“Kalian tau berapa banyak kulit manusia yang kugunakan untuk membuat wayang itu!” ucapnya geram.
Seketika ia mengeluarkan dua buah benda yang tidak biasa.

Wayang berwujud naga jawa seperti yang kami lihat sebelumnya dan satu lagi wayang kurawa yang sepertinya merupakan ras buto.

“Kalau kalian suka dengan mainanku, harusnya kalian juga suka dengan ini!” Ucap Dalang itu sembari melemparkan wayang kulit berbentuk kurawa itu ke arah Danan dan Panjul.

Mereka seperti bersiap menerima benda itu, namun tepat sebelum mencapai tanah wayang itu berubah menjadi raksasa besar yang menghempaskan kedua bocah itu.

“Panjul! Danan!” Teriak Bimo yang khawatir dengan keadaan mereka.

“Brengsek!” Ucapku yang segera menerjang dalang demit itu namun wayang satunya yang berwujud naga hitam mengibaskan ekornya dan membuatku terpental.

Sebelum sempat menolong kedua bocah itu, demit berwujud kurawa menahan Bimo bersamaan dengan dalang demit yang sudah menggenggam kerisnya untuk menyerang kami.

Aku tidak bisa fokus melawan makhluk-makhluk ini sementara demit buto tadi menghancurkan sisi bukit batu tempat Danan dan cahyo berada tadi.
Entah, aku harus berbuat apa antara harus menolong Danan dan Panjul atau bertarung dengan demit ini.

Apalagi kami sama sekali tidak bisa meremehkan Naga yang muncul dari wayang miliknya, wayang ini sangat berbeda dengan demit-demit keroco tadi. Wayang ini dibuat material yang berbeda sama seperti wayang kurawa buto yang mencelakai Danan dan Panjul.

Api hitam dari naga jawa itu bahkan bisa menghapuskan Geni Baraloka milik Bimo sedangkan pikiranku terbagi dengan kekhawatiran akan Danan dan Panjul yang jatuh ke jurang itu.

“Mas Bisma... kita titipkan kedua anak itu pada perlindungan Gusti yang maha kuasa, fokuslah pada pertarungan ini” Ucap Bimo

Ucapan Bimo benar, tepat setelah kata-katanya suara dentuman terdengar dari bawah jurang. Itu menandakan demit buto itu masih melancarkan serangan yang berarti Danan dan Panjul masih hidup.

Aku sedikit tenang namun tetap saja pikir anaku masih terbagi pasti begitu juga dengan Bimo.

Dalang demit itu menyerangku dengan keris hitamnya persis yang digunakan oleh Ki Jaruk sementara demit kurawa membantunya hingga membuatku terpojok.

Tidak bisa..

Ini terlalu sulit bila harus melawan mereka tanpa Keris Ragasukma di tanganku.

Beberapa kali aku terpental dengan serangan mereka, beruntung aku masih memilik ajian pelindung yang bisa meminimalisir lukaku.

Cukup lama pertarungan sengit ini berlangsung hingga aku mulai kehabisan tenaga. Yang lebih mengerikan lagi, apabila ini tidak selesai saat matahari terbit Roh warga desa akan kembali ke tempat ini.

Di tengah rasa khawatirku tiba-tiba terdengar suara raksasa yang melangkah menghampiri kami.

Tunggu... Demit buto itu kembali ke tempat ini? Berarti Danan dan Panjul?

***

(Sudut pandang Danan)
Kemunculan raksasa dari wayang dalang demit itu membuatku dan Cahyo terjatuh ke sebuah jurang dangkal di pinggir bukit.

Sopo kowe?

Samar-samar terdengar suara seperti tadi aku datang ke tempat ini, ternyata suara itu berasal dari dalam bukit batu ini.

“Si.. siapa itu?” teriaku mencoba mencari tahu siapa pemilik suara itu.

Kowe sing ngrusak panggonanku? (Kamu yang merusak tempat tinggalku)

“Bukan! Dalang demit karo anak buahe kuwi sing ngrusak” (Bukan! Dalang demit sama anak buahnya yang merusak) Jawabku.

Tepat setelah aku berteriak, langkah kaki besar menyapu pohon-pohon sekitarku seolah memang mengincar kami.

“Danan Lari!!“ Teriak panjul yang sepertinya menjadi sasaran utama makhluk itu.

Aku bersembunyi di balik pepohonan sebelum memutuskan apa yang terjadi.

Kenopo keris kuwi iso ono ning kowe? (Kenapa keris itu bisa ada sama kamu?)

Keris? Apa maksud makhluk itu adalah Keris Ragasukma yang ada di dalam sukmaku?

“I—ini pusaka warisan bapak, darimana kamu tahu benda ini?” Tanyaku penasaran.

Hahahaha... aku kenal pemilik keris itu

“Eh.. M-mbah kenal sama bapak?” tanyaku dengan polos

"Mbah?"

“Kalau kenalanya bapak berarti aku manggilnya mbah kan?”

"I--Iyo, manggil mbah yo rapopo."

Belum sempat melanjutkan pembicaraan lagi tiba-tiba hutan yang berada di sebelahku menjadi porak poranda oleh demit raksasa itu.

Aku khawatir dengan keadaan Panjul namun saat makhluk itu menemukan keberadaanku ia segera berlari dan mengayunkan pukulanya kepadaku.

Aku tak mampu menghindar dari serangan sebesar itu dan hanya dapat meringkuk pasrah atas hasil dari seranganya.

Namun hingga beberapa saat, tak ada satupun serangan yang mengenai tubuhku. Ternyata saat aku membuka mata muncul sesosok makhluk raksasa yang berdiri dihadapanku.

“Pemilik keris itu sebelumnya bukan pengecut, pertarungan denganya bahkan tidak bisa kulupakan sampai sekarang” Ucap raksasa itu.

Suara dari makhluk itu persis seperti suara yang muncul di pikiranku tadi.

“M-mbah...” Ucapku yang tak tahu harus berkata apa.

“Aku Buto Lireng, raksasa penguasa bukit batu ini!” Ucapnya seolah menyatakan keberadaanya.

“Jadi makhluk ini yang merusak wilayah kekuasaanku?”

Aku mengangguk, namun aku penasaran bagaimana bapak bisa mengenal makhluk ini.

Sebuah pukulan keras dari Buto Lireng menghempaskan Demit wayang buto yang dipanggil oleh dalang demit itu.

“Hebat! Mbah keren.. mirip kayak Prabu Dasamuka di cerita Ramayana!” Ucapku yang takjub dengan kekuatan raksasa itu.

“Heh! Prabu Dasamuka? Maksud kamu Rahwana?“ Ucap raksasa itu.

“Iya mbah.. aku baru tahu ada Buto yang suka cerita wayang” Jawabku.

“Hahaha... bocah kecil, aku berada dari jaman yang di ceritakan di pewayangan.. tak masalah kamu menyamakanku dengan Rahwana. Cinta sejatinya pada Sinta memang pantas dihormati” Ucapnya.

Ini hal yang aneh, aku berada diantara pertempuran antar kedua raksasa namun perbincanganku dengan Buto Lireng membuatku tidak merasakan takut sama sekali.

“Kau tahu seranganku barusan? Ayahmu dapat menahan dengan ajian miliknya dan mengembalikan tenagaku hingga berlipat-lipat” Ceritanya.

“Bapak Sehebat itu?” tanyaku.

“Lebih hebat! Aku kalah dan berjanji untuk tidak mengganggu manusia lagi.. tapi aku selalu merindukan waktu untuk bertarung denganya” Jelasnya.

Seketika aku membayangkan pertarungan hebat antara bapak dan Buto Lireng sang penguasa bukit batu ini.

Demit wayang buto itu kembali menyerang, namun Buto Lireng dengan mudah menahanya dan menyerang dengan bertubi-tubi.

“Danan! Sopo kuwi! Keren!” Ucap Cahyo yang tiba-tiba muncul di tengah pertempuran ini.

“Iki Mbah Buto Lireng, Koncone bapak!“ Jawabku.

Buto Lireng menoleh pada cahyo yang kembali dari persembunyianya bersama kliwon.

“Keren? Kalian belum lihat serangan ini!”

Seketika Buto Lireng mengayunkan lenganya berkali kali hingga telapaknya berubah menjadi batu.

Iya melompat setinggi-tingginya dan menghujamkan pukulan sekeras-kerasnya ke demit wayang buto itu hingga tidak berdaya dan kembali menjadi wayang kulit.

Seketika kliwon berlari mengambil wayang itu sementara Cahyo menyalakan api dari korek pusaka dan membakarnya.

“Matur suwun yo mbah!” Teriaku pada sosok besar penjaga bukit batu itu.

“Wis.. reneo, tak gowo munggah.. aku meh ngeliat piye bapakmu saiki?” (Sudah.. kesini, tak bawa ke atas, aku mau melihat bagaimana ayahmu sekarang) Ucapnya sambil mengajak kami berdua menaiki lenganya.

Dengan mudah kami menaiki jurang kecil ini hingga melihat kondisi di puncak bukit batu ini. hingga pemandangan yang mengenasan terlihat di hadapan kami.

Bapak dan Paklek kewalahan menghadapi sosok naga dengan mahkota di kepalanya yang mampu menyaingi api milik paklek dan Bapak harus menghadapi Dalang itu dengan tangan kosong.

“Mas Bisma! I—itu! Buto Lireng!”
Ucap Paklek yang panik dengan kedatangan Buto Lireng dihadapan mereka.
Mereka terlihat semakin panik, namun saat melihat kami berdua ada di bahunya bapak segera mundur mengambil jarak.

“Buto Lireng.. untuk apa kamu kemari!” Ucap Bapak yang seperti sudah biasa berbicara dengan makhluk ini.

“Menyaksikan kematianmu...” Jawab Buto Lireng

***

(Sudut pandang Bisma...)
Sosok raksasa mendekat dari belakang kami. Tepat dari arah jurang tempat Danan dan Panjul tadi terjatuh.

Tunggu... Demit buto itu kembali ke tempat ini? Berarti Danan dan Panjul?

Aku menjaga jarak dan memutuskan untuk memeriksa ke jurang, namun raksasa yang muncul itu ternyata bukan demit wayang anak buah dalang itu.

“Mas Bisma, itu Buto Lireng!” Ucap Paklek yang panik dengan kedatangan Buto Lireng dihadapan mereka.

Apalagi ini? Setelah dalang demit kini Buto Lireng musuhku terdahulu datang menghampiri kami!

Tapi sebelum aku semakin panik, aku meliihat Danan dan Cahyo muncul dari Punggung Buto Lireng.

A-aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini.

“Buto Lireng.. untuk apa kamu kemari!” Ucap Bapak yang seperti sudah biasa berbicara dengan makhluk ini.

“Menyaksikan kematianmu...” Jawab Buto Lireng sambil menatapku.

“Mbah.. ojo galak-galak to! Bapak udah babak belur itu” Ucap Danan yang entah kenapa bisa akrab dengan Buto Lireng.

“Lho.. kalau Rahwana kan ngomonge yo koyo ngono kuwi. Keren to?” (Lho kalau Rahwana ngomongya ya seperti itu.. keren kan?) Ucap Buto Lireng.

Aku yang sebelumnya merasa heran kini seperti mengerti sesuatu.

Rupanya Buto Lireng ini memiliki sifat tersembunyi.. dibalik sifatnya yang buas dan penampilanya yang mengerikan dia ternyata dekat dengan anak kecil.

“Pendekar Bisma.. kau tidak bertarung seperti dulu! Apa yang membuatmu khawatir? Jangan bilang kamu menjadi lemah tanpa Keris pusakamu?” Ucap Buto Lireng.

“Enak saya kau bicara! Aku hanya belum memutuskan bagaimana menyelesaikan pertarungan ini setelah menghabisi Ki Jaruk Ayah dari makhluk itu” Jelasku.

“Apa maksudmu?! Ki Jaruk belum mati! Dia ada di hadapanmu!” Ucap Buto Lireng.

Tu—tunggu? Apa maksud Buto Lireng?

“Brengsek kau Buto Lireng! Apa maumu ikut campur urusanku!” Ucap Dalang demit itu yang panik dengan kehadiran Buto Lireng.

“Apa Urusanku? Kamu yang menghancurkan bukit kekuasaanku! Membuatnya jadi sarang demit-demitmu! Sudah bagus bukan aku yang menghabisimu!” Balas Buto Lireng.

Aku dan Bimo mundur ke arah Buto Lireng dan mengatur pernafasan kami.

“Mas, ini kekuatan terakhir Keris Sukmageni, aku tidak bisa menggunakanya kembali sampai benar-benar pulih”
Ucap Bimo yang segera meneteskan darahnya di keris andalanya itu dan memulihkan kondisi kami berdua.

“Kedua bocah ini dalam perlindunganku! Berikan tontonan menarik padaku” Ucap Buto Lireng.

Aku tertawa.. aku sama sekali tidak pernah menyangka musuh besarku saat dulu kini membantuku di pertempuran ini.

“Matur suwun, Terima kasih Buto Lireng, aku berhutang satu”

Berkat Buto Lireng aku sadar. Rupanya yang sedari tadi kuhadapi bukanlah anak dari Ki Jaruk. Dia adalah Ki Jaruk sendiri yang tubuhnya sudah mati dan kini rohnya berubah menjadi demit.
Dengan wujud rohnya ini dia bisa membuat penampilanya menjadi lebih muda.

Aku benar-benar tertipu dengan strategi drama bodoh Ki Jaruk ini.

“Tidak akan ada bedanya! Bila raksasa sialan itu tidak ikut campur... kalian tetap akan mati di tanganku!” Ucapnya yang segera memerintahkan wayang kurawanya untuk menyerangku.

“Danan.. perhatikan ini!”

Aku membentuk sebuah kepalan tangan dan membacakanya doa dan mantra yang baru saja kupelajari.

“Ini adalah ajian yang digunakan pendekar jaman kerajaan terdahulu”

Tepat saat wayang kurawa itu mendekat, aku menghujamkan sebuah pukulan jarak jauh yang sudah diiperkuat dengan kuasa pemberian Sang Pencipta.

Seketika demit kurawa itu terhempas dan kembali menjadi sesosok wayang.

“Itu adalah Ajian Lebur Saketi... Ingat itu Danan!” Ucapku yang segera menyusul Ki Jaruk dan bersiap menghadapinya satu lawan satu.

“Keren! Bapakmu keren!“ Ucap Cahyo yang terkesima dengan seranganku. Terlihat kera kecil di pundaknya juga melompat kegirangan.

“Bapakmu memang pantas menjadi lawanku..” Ucap Buto Lireng pada Danan yang masih dengan wajah terkesimanya.

“Kalau ini namanya Jurus pamungkas Bimo pendekar sambara pembakar angkara Geni Baraloka!” Ucap Bimo yang sepertinya tidak mau kalah dengan atraksiku.

Ia menggunakan sisa kekuatanya untuk menyalakan lagi api yang kunamai sebagai Geni Baraloka itu untuk menyaingi Api Hitam demit berwujud Naga itu.

“Wis Paklek... ora usah melu-melu, diguyu karo kliwon” (sudah paklek, nggak usah ikut-ikut.. diketawain sama kliwon tuh) Ucap Panjul yang mencoba meledek pakleknya itu.

“Uasem kowe.. awas mengko mulih deso siap-siap jalan kaki” (Asem kami.. awas nanti pulang ke desa siap-siap jalan kaki) Bimo balas menggoda panjul.

Di tengah pertarungan ini aku bersyukur bahwa dalam keadaan mencekam seperti ini Danan berada bersama orang-orang maksudku makhluk-makhluk baik yang melindunginya. Mungkin Inilah pelengkap dari takdir besarnya.

Ia tidak hanya harus menghadapi banyak bahaya, tapi ia juga akan ditemani orang-orang dan makhluk yang akan mewarnai hidupnya.

***

Sekali lagi aku membacakan mantra di kepalan tanganku dengan sempurna. Seluruh kekuatan yang kusimpan kukerahkan dengan serangan ini.

“Itu Danan! Ajian Lebur Saketi lagi!“ Ucap Cahyo dengan penuh semangat.

Danan mengangguk, menelan ludahnya dan berusaha tidak melewatkan apapun dari pertarungan ini.

Sayangnya strategiku tidak semudah itu. aku harus membiarkan Ki Jaruk menghunuskan kerisnya pada tubuhku baru setelah itu aku menyerangya dengan ajianku ini.

Semoga saja mereka memaafkanku atas pilihanku ini.

“Pakde! Ayo serang“ Ucap Cahyo.

“Iya pak.. Tunggu apa lagi?” lanjut Danan.

Tidak, aku masih harus menunggu Ki Jaruk untuk lebih dekat.

Tepat saat Api putih Bimo membakar demit naga yang berasal dari wayang itu.

Ki Jaruk mendekat menggunakan semua kekuatanya untuk menyelimuti keris hitamnya dengan aura gelap dan berlari menghujamkanya kepadaku.

Sebuah benda menusuk tepat di bahu kiriku, aku menggenggam lengan itu dan mengerahkan semua kekuatan Ajian lebur Saketi di tubuh roh Ki Jaruk hingga tak mampu lagi bergerak.

“Setidaknya aku tidak mati sendiri” Ucap Ki Jaruk yang tubuh rohnya telah terbelah dengan seluruh kekuatan hitam meninggalkanya.

Ki Jaruk terjatuh dengan tubuhnya yang kembali menua. Dengan posisinya yang terkapar di tanah ia hanya melihat seekor monyet kecil yang menggenggam sebuah keris.. keris hitam.

Tu—tunggu! Jangan-jangan itu keris Ki Jaruk!

Aku menoleh pada lukaku, dan ternyata yang menusuk bahuku hanyalah batang kayu pendek yang hanya menyisakan sebuah luka kecil.

“Haha!! Itu baru namanya monyet Jagoan! Kenalin namanya Kliwon!” Ucap Cahyo yang merasa bangga dengan monyet sahabatnya itu.

“Kera Brengsek!” Ki jaruk mengumpat dengan seluruh tenaganya sambil menatap monyet kecil itu.

Bukanya takut, monyet kecil itu malah mendekati ki jaruk dan mengeluarkan energi besar yang menciptakan bayangan seekor kera raksasa.

Ki Jaruk terlihat ketakutan, entah apa yang membuatnya seperti itu hingga bisa membuat ki jaruk bereaksi seperti itu.

Setelahnya kliwon meninggalkan Ki Jaruk yang tubuhnya mulai menghilang dan di pastikan ia tak akan pernah lagi muncul di alam ini.

Dummm!!

Suara keras terdengar dari pukulan Buto Lireng di tanah sekitarnya.

“Hahaha... Aku senang! Rasa bosanku hilang! Cerita ini akan menemaniku saat tertidur lagi di bukit ini” Ucap Buto Lireng dengan penuh semangat.

“Pendekar... didik anakmu dengan benar, kembalilah kemari dan bermainlah denganku ketika ia sudah sehebat dirimu”

Buto Lireng menurunkan kami dan meninggalkan kami kembali ke dalam bukit batu dibawah tempat kami bertarung.

“Matur suwun mbah!“

Teriak Danan mengantar kepergian Buto Lireng. Sosok Raksasa penguasa bukit batu, bukan.. Pelindung bukit batu di ujung desa Kandimaya.

Tepat saat kepergianya matahari mulai terbit di sela-sela pegunungan. Kami memandangnya sambil terbaring diatas bukit batu melepas semua lelah yang terjadi semenjak pertempuran tadi.

Ternyata pemandangan indah inilah yang selalu dinikmati oleh Buto Lireng setiap paginya. Pantas saja dia selalu marah saat tempat ini dirusak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.

***

Setelah semua tragedi itu kami berpamitan dengan warga desa dan Ki Daru Baya setelah memastikan semua sudah kembali normal.

Entah apa yang merasuki Danan hingga ia jadi semakin sering mengajaku berlatih.

Tentu saja dengan sisa umur yang kumiliki aku mewarisakan semua yang kumiliki pada Danan baik itu secara langsung maupun dengan caraku sendiri yang semoga akan ia sadari nanti.

Bimo kembali bersama Panjul dan Kliwon ke desanya, sepertinya ia menghadapi masalah lain di bangunan pabrik gula tua di belakang desanya.

Hal baiknya, Bimo pulang dengan menaiki motor Vespa pemberian kepala desa sebagai tanda terima kasihnya.

Aku? Aku tidak mendapatkan motor vespa seperti Bimo. Sebagai gantinya Ikatan Dalang di Desa Kandimaya akan membiayai seluruh biaya sekolah Danan hingga ia kuliah. Mereka berinisiatif seperti ini karena sudah tau akan kondisi penyakitku.

Di saat-saat penyakit ini mulai menyerangku aku dan Kirana memutuskan untuk pindah di desa Kandimaya dan menghabiskan sisa hidupku disini dengan warga yang ramah dan pementasan wayang yang selalu bisa menghiburku hingga melupakan penyakitku.

Danan memang anak yang kuat. Mungkin kemampuan yang ia miliki, membuatnya merasa bahwa kematian hanya memisahkan raga dan roh. Sehingga kami masih bisa berkomunikasi. Sayangya kenyataanya lebih rumit dari itu.

Beruntung aku sempat menyaksikan Danan tumbuh remaja.

Ia sempat berbicara saat nanti selepas kepergianku Danan ingin tinggal di rumah Bu Ranti budenya di Jawa Barat untuk mengenal budaya yang ia tidak ketahui.

Bahkan ia sudah merencanakan untuk kuliah di Jogja. Entah bagaimana ia bisa sangat tertarik dengan Gunung Merapi.

Tidak hanya Danan, Kirana juga ingin kembali melatih sinden-sinden muda di sanggar Ki Daru Baya. Itu meyakinkanku bahwa ia tidak akan pernah kesepian

Ah... aku senang melihat pertumbuhan dan bagaimana ia mempersiapkan masa depanya.
Tidak ada lagi yang kusesali di hidup ini.

Aku sangat berterima kasih pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua yang kualami dalam hidup.
Bisma Pendekar Sambara… Pamit.

-TAMAT-

*****
Sebelumnya


EPILOG:
Seorang pria datang seorang diri ke atas sebuah bukit batu di pinggir desa. Ia menikmati matahari yang terbit dengan indah diantara gunung yang mengitarinya.

“Maaf, kita tidak bisa bertarung lagi hari ini... ini sudah batasku” Ucap Bisma yang menghampiri Buto Lireng di atas bukit itu.

Bayangan sosok raksasa muncul mendekat ke arah pria itu.

“Sudah.. sudah cukup, setiap pertarungan kita akan selalu menjadi cerita panghantar tidurku di bukit ini” Ucap sosok raksasa itu.

“Apa aku boleh meminta sesuatu?” Ucap Bisma.

“Katakan..“

“Apa kau mengijinkan jasadku untuk bersemayam di sini? Aku suka matahari terbit di tempat ini”

Raksasa itu menoleh dengan wajah yang kaget.

“Tentu saja, Kehormatan untuku bisa menemani jasadmu di sini, nanti aku tunjukan tempat terbaik menonton pementasan wayang di desa itu. Tak hanya itu, setiap malam tertentu ada seekor rusa putih yang sangat cantik menghampiri bukit ini. Ada juga sekumpulan kunang-kunang yang menerangi malam di musim kemarau.”

Entah mengapa Buto Lireng menjadi semangat setelah mendengar permintaan Bisma.

“Syukurlah... tapi sepertinya hiburanmu tidak hanya berhenti sampai di sini..
Mimpiku memperlihatkan Danan akan kembali ke sini bersama sosok leluhur kami”

Sosok raksasa itu menoleh dengan wajah yang penasaran.

“Apa yang akan mereka lakukan di sini?”

“Danan akan menghadapi hal besar, sesuatu yang berhubungan dengan tempat asal rasmu.. Jagad segoro demit”

“Kalau begitu aku akan tetap di sini untuk memastikan ia akan siap menghadapi bencana itu.. siapa yang akan bersamanya saat itu”

“Leluhur kami yang bernama.. Daryana Putra Sambara...”

SELESAI
close