Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 1) - Mustika Ismaya

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


GEGER MUSTIKA

Bugh!

Aku terjerembab mencium bebatuan lalu mengumpat kesal. Sialan! Dia memang punya jurus aneh yang membuatku jadi seperti anak kemarin sore.

"Ayo maju! Jangan tanggung-tanggung! Langsung berubah jadi siluman saja! Kalau begini terlalu mudah!" Ejeknya.

Darahku langsung mendidih. Dua titik hitam di bawah pusarku seketika bereaksi.

Aku kabulkan permintaannya! Akan ku robek-robek mulut besarnya! Lihat saja!

***

Yudha harus mencegah bangkitnya mustika kuno yang kemunculannya diyakini bakal menimbulkan prahara.

Tapi dalam usahanya itu, Yudha malah terjebak dalam situasi yang tak terduga.

Situasi yang justru membuatnya menghilangkan begitu banyak nyawa manusia.

Tapi dia menikmatinya...

***

Mustika Ismaya

GEMPAAAA!

Sebuah teriakan keras menggema seantero ruangan. Tanah bergetar, lampu kedap-kedip seiring benda-benda bergoyang lalu berjatuhan.

Semua orang spontan berhamburan, bahkan sampai ada yang terjatuh saking paniknya. Jerit suara perempuan saling adu nyaring. Untuk sesaat, situasi tak ubahnya perang Baratayudha.

Tapi aku malah terpaku, sedikit terlambat sadari situasi sampai akhirnya Jaka datang berlari menghampiri.

"Ayo Yud! Malah bengong!" Teriak Jaka seraya menarik tanganku untuk ikut bersamanya keluar menuju tempat terbuka.

Setelah sekian detik, getaran itu berhenti. Tapi belum ada yang berani beranjak. Nampaknya mereka takut kalau terjadi gempa susulan seperti yang sudah-sudah.

Halaman pabrik kini dipenuhi wajah-wajah tegang, saling bertukar cerita betapa kagetnya mereka tadi. Sementara yang lainnya sibuk mengabadikan momen ini dengan ponsel.

Sebulan belakangan ini, terhitung sudah 3 kali gempa terjadi. Kekuatannya bervariasi, tapi yang tadi jadi yang paling keras hingga mampu ciptakan kekacauan.

15 menit kemudian, terdengar suara panggilan dari pengeras suara, meminta agar kami semua kembali bekerja. Tentu saja banyak yang menggerutu, mereka pikir pabrik akan diliburkan.

"Gendeng! Bukannya disuruh pulang malah disuruh kerja lagi! Nggak punya otak!" Maki Jaka bersungut kesal sembari masuk mengikuti yang lain.

Aku tersenyum. Jaka memang begitu. Mulutnya akan langsung utarakan isi kepalanya tanpa tedeng aling-aling.

Aku hendak mengekor Jaka masuk ke dalam, sebelum telingaku mendengar suara berbisik memanggil entah darimana.

"Mas Yudha.."

Langkahku spontan terhenti, aku kenal suara itu. Suara yang kerap muncul di saat tak terduga. Mataku jelalatan mencari sosok pemilik suara. Bisa kurasakan kehadirannya tak jauh dari sini.

Lalu kutemukan apa yang kucari. Di sana, dekat pintu gerbang, nampak seseorang berdiri sambil melambaikan tangannya padaku. Dugaanku tak salah. Itu memang dia. Mau apa dia di sini?

Bergegas aku menghampirinya. Meski dia menggunakan jaket dan topi beserta kain yang menutupi sebagian wajahnya, tapi tetap saja tak mampu sembunyikan bau prengus dari tubuhnya itu.

"Apa kabar Ji? Lama kita nggak ketemu. Buat apa kamu dandan begitu? Percuma. Baumu itu masih tembus kemana-mana." Sapaku setengah bercanda pada Panji, si anak ajaib putra Raja Genderuwo.

Tapi bukannya tertawa, Panji malah menjawab dengan nada khawatir. "Gawat mas, gawat."

Aku jadi heran melihat sikap Panji. "Gawat? Gawat apanya?" Tanyaku padanya. Jujur saja, aku jadi ikut khawatir. Kalau orang sekelas Panji sampai resah, itu tandanya ada masalah.

Sebentar Panji celingak-celinguk, lalu menurunkan kain penutup memperlihatkan sepasang taring kecil di sudut bibirnya. "Mustika Ismaya."

Bisik Panji nyaris tak terdengar.

Dahiku spontan berkerut mendengar nama benda asing yang disebutnya. "Mustika Ismaya? Apa itu?"

"Jangan disini mas, kita bicara di tempat lain." Pinta Panji.

Aku tak mungkin menolak. Dari wajah Panji yang tegang, sepertinya ini hal yang teramat penting. "Ya sudah, kita bicara di kontrakan."

Panji menurut. Kuminta dia menunggu sementara aku minta ijin pada pak Yanto.

"Mau kemana Yud? Tanya Jaka yang melihatku bebenah untuk pulang setelah mendapat ijin dari pak Yanto.

"Pulang dulu, ada tamu."

"Cewek? Kenalin dong!"

"Cewek aja otakmu!" Sahutku sembari menepuk ubun-ubunnya.

Jaka cuma nyengir. Dia pun ngeloyor pergi sementara aku bergegas mengambil motor lalu meluncur bersama Panji.

Setibanya di kontrakan, belum sempat kami masuk, tercium aroma bunga melati yang amat menyengat. Aku dan Panji saling pandang, kami tau siapa yang bakal datang.

"Sttt.. mas, siap-siap, ada kak Mayang." Bisik Panji.
Dia tak sadar padahal Mayang sudah berdiri persis di belakangnya.

"Apa?? Ngomongin aku?!"

Panji kaget spontan menoleh, lalu cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. "Eh, kak Mayang. Apa kabar kak? Tumben main kemari?"

"Ada yang mau aku bicarakan dengan Yudha. Kamu sendiri mau apa? Lama tak ada kabarnya tiba-tiba muncul di sini." Jawab Mayang.

"Sudah, lebih baik kita bicara di dalam." Ucapku memotong sembari membuka pintu lalu mempersilahkan mereka masuk.

"Ya ampuuuun! Berantakan begini? Dasar pemalas!" Pekik Mayang saat melihat kamarku yang mirip kapal pecah.

Panji geli menahan senyum. Rasa cemasnya seketika hilang. Dia memang paling suka kalau aku kena damprat, katanya wajahku jadi lucu seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibu.

"Iya, belum sempat aku bereskan. Apalagi tadi ada gempa." Jawabku berkilah seadanya.

Mayang langsung membenahi semuanya sambil ngomel-ngomel. Dia memang paling tak suka melihat tempatku berantakan. Sementara aku hanya bisa pasrah menunggu bersama Panji yang terus cekikikan.

"Nah, kalau begini kan enak." Ucap Mayang setelah selesai melakukan aksi bersih-bersihnya.
Sepertinya naluri keibuannya makin terasah saja.

"Mayang, tadi kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan? Ada apa?" Tanyaku pada putri gaib calon istriku itu.

"Ada manusia yang mau coba ciptakan malapetaka." Jawab Mayang sembari melirik Panji.

"Maksudnya?" Tanyaku tak mengerti.

"Sepertinya apa yang mau disampaikan kak Mayang sama persis dengan apa yang akan kita bicarakan." Panji menjelaskannya padaku.

"Tentang benda tadi? Apa namanya?"

"Mustika Ismaya." Sahut Mayang mendahului. Panji pun mengangguk mengiyakan.

"Memangnya ada apa dengan mustika itu? Aku baru denger?"

Mayang memberi isyarat agar Panji yang menjelaskannya. Pemuda itu pun akhirnya mulai bicara.

"Ribuan tahun yang lalu, terjadi pertempuran dahsyat antara 7 raja Jin dari pulau Sumatra dan pulau Jawa."

"Mereka bertempur begitu hebat hingga menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Tumbuhan mati, hewan-hewan pun mati. Wabah penyakit menyebar dimana-mana."

"Lalu muncul Maha Guru Ismaya, orang sakti yang mampu meredam kekacauan itu. Dengan kesaktiannya, Maha Guru Ismaya meringkus ketujuh raja jin itu lalu mengurung mereka dalam sebuah batu, kemudian dia tanam di perut gunung yang ada di selat Sunda."

"Tunggu dulu. Maksudmu gunung Krakatau?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Gunung itu adalah tempat bersemayamnya mustika Ismaya. Dan kini, ada orang yang coba untuk mengeluarkan mustika itu dari perut gunung yang imbasnya mengganggu keseimbangan alam hingga menimbulkan bencana di mana-mana."

"Ketahuilah, siapapun yang bisa memiliki mustika itu, kekuatan 7 raja jin ada dalam genggamannya. Dia akan menjadi penguasa alam gaib, bahkan punya kemampuan untuk membolak-balik waktu. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau mustika itu jatuh ke tangan orang jahat."

"Ya Allah, menakutkan sekali. Lalu manusia macam apa yang sanggup melakukannya?" Tanyaku lagi.

"Aku tak tau. Yang pasti, dia bukan manusia sembarangan. Mustika itu hanya bisa diambil dengan rapalan mantra-mantra yang tertulis dalam kitab kuno yang diwariskan pada raja-raja Jawa. Entah darimana orang itu berhasil mendapatkannya." Jawab Panji menutup kisah panjangnya.

Mayang pun lalu menambahkan. "Iya, makanya kami sebagai penghuni alam gaib jadi resah. Itu sebabnya ibu Ratu memintaku untuk menemuimu. Ibu Ratu ingin agar kita mencegah jangan sampai hal itu terjadi."

Aku sedikit keberatan mendengar bagian akhir dari kalimat Mayang. "Kita? Kamu nggak usah ikut-ikutan. Biar aku dan Panji saja." Pintaku pada Mayang.

Mayang spontan berdiri lalu bertolak pinggang.
"Heh! Kamu pikir aku lemah? Kamu pikir aku nggak bisa apa-apa? Begitu?!"

"Bu--bukan begitu maksudku. Ji! Bantu ngomong dong! Jangan diam saja!"

Panji setengah mati menahan tawa. Tapi akhirnya dia memberikan pembelaannya untukku. "Maaf kak Mayang, tapi mas Yudha benar. Mustika itu amat berbahaya. Mustika itu akan memberi pengaruh tak terduga pada mahluk gaib manapun yang ada di dekatnya."

"Pokoknya aku ikut! Titik!" Ucap Mayang lalu bersedekap tangan pasang muka cemberut. Lagaknya sama persis ketika dia minta ikut ke tempat futsal tempo hari.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close